Dr. Frederic , dalam Forgive for Good , menjelaskan sifat pemaaf sebagai resep yang telah terbukti bagi kesehatan dan kebahagiaan. Buku tersebut memaparkan bagaimana sifat pemaaf memicu terciptanya keadaan baik dalam pikiran seperti harapan, kesabaran dan percaya diri dengan mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat dan stres. Menurut Dr. Luskin, kemarahan yang dipelihara menyebabkan dampak ragawi yang dapat teramati pada diri seseorang.
Abul Laits Assamarqandi meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Said Alkhundri r.a. berkata Nabi Muhammad s.a.w. bersabda, yang artinya : "Marah itu bara api maka siapa yang merasakan demikian, jika ia sedang berdiri makan hendaklah duduk, bila ia sedang duduk hendaklah bersandar (berbaring)."
Benarlah bila dikatakan bahwa kemarahan adalah salah satu bentuk penderitaan. Permasalahan tentang kemarahan jangka panjang atau yang tak berkesudahan adalah kita telah melihatnya menyetel ulang sistem pengatur suhu di dalam tubuh. Ketika Anda terbiasa dengan kemarahan tingkat rendah sepanjang waktu, Anda tidak menyadari seperti apa normal itu. Hal tersebut menyebabkan semacam aliran adrenalin yang membuat orang terbiasa. Hal itu membakar tubuh dan menjadikannya sulit berpikir jernih – memperburuk keadaan.
Sebuah tulisan berjudul "Forgiveness" [Memaafkan], yang diterbitkan Healing Current Magazine [Majalah Penyembuhan Masa Kini] edisi bulan September-Oktober 1996, menyebutkan bahwa kemarahan terhadap seseorang atau suatu peristiwa menimbulkan emosi negatif dalam diri orang, dan merusak keseimbangan emosional bahkan kesehatan jasmani mereka. Artikel tersebut juga menyebutkan bahwa orang menyadari setelah beberapa saat bahwa kemarahan itu mengganggu mereka, dan kemudian berkeinginan memperbaiki kerusakan hubungan. Jadi, mereka mengambil langkah-langkah untuk memaafkan. Disebutkan pula bahwa, meskipun mereka tahan dengan segala hal itu, orang tidak ingin menghabiskan waktu-waktu berharga dari hidup mereka dalam kemarahan dan kegelisahan, dan lebih suka memaafkan diri mereka sendiri dan orang lain.
Agar dapat memahami makna memaafkan, kita perlu merenungkan situasi hidup tanpa permaafan. Kita coba tinjau dari sudut psikologi memaafkan ? Mengapa memaafkan?. Hidup tanpa permaafan akan memerlama penderitaan psikis yang berawal dari sikap permusuhan dan keinginan mengalahkan.
Umumnya sikap dan keinginan ini berlatar belakang amarah, suatu emosi yang menghabiskan energi mental dan stres.
John Monbourquette dalam How to Forgive (2000), menyatakan bahwa dendam , merupakan keadilan instinktual yang mencuat dari alam bawah sadar. Derita menghendaki derita atas nama keadilan instinktual. Akibatnya, kita terikat rantai derita, berbalut kekerasan yang tiada putus. Rantai derita mesti diputus oleh sikap memaafkan.
Seringkali kita menfasirkan memaafkan sebagai melupakan, ini dinamakan sebagai . proses permaafan yang menyesatkan. Seorang penulis berkebangsaan Rusiaan , Madame Swetchine , menyatakan bahwa sangat jarang kita memaafkan dan sangat sering kita melupakan. Melupakan masih tersimpan potensi untuk upaya membalas tindakan agresif.
Benarlah bahwa walaupun mudah diucapkan, memaafkan bukanlah perbuatan yang mudah dilakukan. Ketika seseorang telah atau akan terzalimi , maka yang tertanam biasanya ingin membalas. Perasaan seperti itu adalah wajar dalam diri orang biasa. Namun, sikap memaafkan hanya ada pada diri orang yang luar biasa.
Memaafkan butuh kematangan diri dan kecakapan spiritual. Kematangan diri hanya bisa didapatkan melalui keterbukaan hati dan pikiran akan segala pengalaman hidup yang dialami. Sementara kecakapan spiritual hanya bisa diperoleh ketika telah memiliki rasa penghambaan yang tinggi hanya kepada Allah SWT semata.
Bukankah Allah SWT menyediakan pahala utama sebagai balasan atas kemuliaan sikap mereka. ''Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.'' (QS Asy-Syuura : 43).
Dan bagi yang mempunyai keluhuran akhlak, mereka bukan hanya mampu memaafkan kesalahan orang lain, melainkan sekaligus membalas kesalahan tersebut dengan kebaikan yang tak pernah terbayangkan oleh sang pelaku.
Sebagaimana firman-Nya, yang artinya “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolak-lah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Qs Fushshilat: 34).
Coba kita simak , sebuah Jurnal ilmiah EXPLORE (The Journal of Science and Healing), edisi Januari/Februari 2008, Vol. 4, No. 1 “New Forgiveness Research Looks at its Effect on Others” (Penelitian Baru tentang Memaafkan Mengkaji Dampaknya pada Orang Lain).
Dijelaskan banyak bukti bahwa perilaku memaafkan mendatangkan manfaat kesehatan bagi orang yang memaafkan. Lebih jauh dari itu, penelitian terbaru mengisyaratkan pula bahwa pengaruh memaafkan ternyata juga berimbas baik pada kehidupan orang yang dimaafkan.
Worthington Jr, psikolog Virginia Commonwealth University, dalam “Forgiveness in Health Research and Medical Practice”, di jurnal Explore, Mei 2005, Vol.1, No. 3, Worthington dkk memaparkan dampak sikap memaafkan terhadap kesehatan jiwa raga, dan penggunaan “obat memaafkan” dalam penanganan pasien.
Penelitian dengan teknologi pencitraan otak seperti tomografi emisi positron dan pencitraan resonansi magnetik fungsional berhasil mengungkap perbedaan pola gambar otak orang yang memaafkan dan yang tidak memaafkan.
Orang yang tidak memaafkan terkait erat dengan sikap marah, yang berdampak pada penurunan fungsi kekebalan tubuh. Mereka yang tidak memaafkan memiliki aktifitas otak yang sama dengan otak orang yang sedang stres, marah, dan melakukan penyerangan (agresif).
Demikian pula, ada ketidaksamaan aktifitas hormon dan keadaan darah si pemaaf dibandingkan dengan si pendendam atau si pemarah. Pola hormon dan komposisi zat kimia dalam darah orang yang tidak memaafkan bersesuaian dengan pola hormon emosi negatif yang terkait dengan keadaan stres. Sikap tidak memaafkan cenderung mengarah pada tingkat kekentalan darah yang lebih tinggi. Keadaan hormon dan darah sebagaimana dipicu sikap tidak memaafkan ini berdampak buruk pada kesehatan.
Raut wajah, daya hantar kulit, dan detak jantung termasuk yang juga diteliti ilmuwan dalam kaitannya dengan sikap memaafkan. Sikap tidak memaafkan memiliki tingkat penegangan otot alis mata lebih tinggi, daya hantar kulit lebih tinggi dan tekanan darah lebih tinggi. Sebaliknya, sikap memaafkan meningkatkan pemulihan penyakit jantung dan pembuluh darah.
Kesimpulannya, sikap tidak mau memaafkan yang sangat parah dapat berdampak buruk pada kesehatan dengan membiarkan keberadaan stres dalam diri orang tersebut. Hal ini akan memperhebat reaksi jantung dan pembuluh darah di saat sang penderita mengingat peristiwa buruk yang dialaminya. Sebaliknya, sikap memaafkan berperan sebagai penyangga yang dapat menekan reaksi jantung dan pembuluh darah sekaligus memicu pemunculan tanggapan emosi positif yang menggantikan emosi negatif.
Harry M. Wallace dkk dari Department of Psychology, Trinity University, One Trinity place, San Antonio, AS dalam Journal of Experimental Social Psychology, Vol 44, No. 2, March 2008, hal 453-460 , “Interpersonal consequences of forgiveness: Does forgiveness deter or encourage repeat offenses?” ,menyimpulkan bahwa menyatakan pemberian maaf biasanya menjadikan orang yang mendzalimi si pemaaf tersebut untuk tidak melakukan tindak kedzaliman serupa di masa mendatang.
Nampaknya, ilmu pengetahuan semakin menyadari pentingnya memaafkan sebagai-mana diajarkan agama. Di dalam Al Qur’an, Hadits maupun teladan Nabi Muhammad SAW, memaaf-kan dan berbuat baik kepada orang yang mendzalimi merupakan perintah yang sangat kuat dianjurkan.
Sebagaimana firman-Nya , yang artinya ,“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim.” (Qs. Asy Syuuraa :40).
Semoga kita mendapat hidayah dari Allah untuk menjadi hamba yang mudah memaafkan.
Allahu a’lam
Sumber : http://republika .co.id, http://www. harunyahya.com ,www.hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar