Bangga
diri bisa menjangkiti siapapun, meski ia seorang ahli ibadah. Walaupun
tidak dinyatakan dlm perkataan atau perbuatan, dapat dirasakan dalam hati si
hamba sendiri. ini virus penghancur , yg akan menumbuhkan berbagai macam sifat merusak seperti syirik.
Suatu ketika
Abu Ubaidah ra menjadi imam di kaumnya. Selepas shalat ia berkata ’Setan
terus berupaya membesarkan hatiku shg aku merasa bhw aku memiliki
keutamaan (derajat) yg lebih dari orang lain. Akhirnya aku memutuskan utk tidak akan
pernah menjadi imam bagi orang lain selama hidupku.’ (Mawa’izh as shahabah,
Shalih Ahmad al Syami).
Seringkali kita tertipu
oleh perasaan punya nilai lebih dari orang
lain. Bisa jadi berupa ilmu yg lebih tinggi atau amal shalih yg melebihi
orang lain. Atau merasa mendapat pengakuan lebih dari orang sekitar kita. Dan
seterusnya. Kita tak sadar bahwa sebenarnya setan atau nafsu sedang menggiring
kita untuk memusnahkan kebaikan kita, yg telah kita perbuat dgn susah payah.
Tersanjung dengan pujian bhw kita sebagai; ahli ibadah, qari’ al Qur’an, imam
yang indah bacaannya, panutan, tawadhu’, berbudi pekerti luhur dst. Jika ini
yang kita rasakan, berarti kita telah terjebak pada permainan setan yang membinasakan amal baik kita. Menghancurkan amal
ibadah kita.
Ada hal yg lebih tersamar lagi , jika seseorang melakukan beberapa amal ibadah dan
taqarrub kepada Allah akan merasakan hatinya tentram, jiwanya tenang, menerima
serta qana’ah dengan pemberian Allah Ta’ala. Kadang-kadang timbul perasaan dalam diri perasaan sudah
memberikan hak-hak Allah. Perasaan ini adalah potensi penyebab timbulnyan
rasa kekaguman dan bangga dengan prestasi
ibadahnya. Merasa puas dengan ketaatan
yang telah dilakukan adalah di antara tanda kegelapan hati dan kejahilan.
Kekaguman pada
prestasi ibadah akan melahirkan kepuasan, kebanggaan, dan akhlak buruk kepada
Allah Ta’ala. Selanjutnya akan berkembang perasaan amalnya diterima .
Mereka tidak tahu betapa besar dosa dan maksiatnya, juga mereka tidak tahu
apakah amalnya bernilai keikhlasan atau tidak. Oleh karena itu, mereka
dianjurkan untuk meminta rahmat Allah dan selalu mengucapkan istighfar karena
Allah Mahapengumpun dan Mahapenyayang.
Imam al-Ghazali dalam
Ihya` Ulumuddin menjelaskan bahwa salah satu yang dapat mendorong seseorang terjangkiti
kesombongan adalah karena amal dan ibadah . Merasa
amal yg telah mencukupi, lebih besar , lebih berbobot dst, maka hatinya menjadi
keras (angkuh). Akhirnya menganggap
orang lain tidak bisa beramal sebaik seperti
yang ia lakukan.
Sungguh Rasulullah saw. Pernah bersabda:
بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ
“Cukuplah seseorang dilabeli buruk ketika
ia merendahkan saudaranya yang muslim”. (H.R. Muslim).
disaat ia melihat orang lain beramal dan beribadah, ia merasa amal dan ibadahnya lebih baik daripada orang tersebut. Kita harus hati-hati dari perasaan seperti ini. Ini adalah bisikan setan agar amal dan ibadah kita menjadi rusak. Bukankah tadinya iblis adalah penghuni surga, ibadahnya paling banyak,di antara banyak malaikat lainnya,kemakrifatanya kepada Allah SWT tidak di ragukan lagi,akan tetapi karena ia merasa lebih mulia dari Adam as , sehingga ia enggan melaksanakan perintah Allah untuk sujud menghormat kepada Adam as , saat itulah ia berubah menjadi mahluk yang paling terlaknat.
disaat ia melihat orang lain beramal dan beribadah, ia merasa amal dan ibadahnya lebih baik daripada orang tersebut. Kita harus hati-hati dari perasaan seperti ini. Ini adalah bisikan setan agar amal dan ibadah kita menjadi rusak. Bukankah tadinya iblis adalah penghuni surga, ibadahnya paling banyak,di antara banyak malaikat lainnya,kemakrifatanya kepada Allah SWT tidak di ragukan lagi,akan tetapi karena ia merasa lebih mulia dari Adam as , sehingga ia enggan melaksanakan perintah Allah untuk sujud menghormat kepada Adam as , saat itulah ia berubah menjadi mahluk yang paling terlaknat.
Saudaraku,
jangan lah merasa bahwa masuk syurga itu karena prestasi amalan kita. Diriwayatkan
dari Abu Hurairah radliyallah 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda:
لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ قَالُوا
وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ
يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا
"Sungguh
amal seseorang tidak akan memasukkannya ke dalam surga."
Mereka
bertanya, "tidak pula engkau ya Rasulallah?"
Beliau
menjawab, "Tidak pula saya. Hanya saja Allah meliputiku dengan karunia dan
rahmat-Nya. Karenanya berlakulah benar (beramal sesuai dengan sunnah) dan
berlakulah sedang (tidak berlebihan dalam ibadah dan tidak kendor atau lemah)."
(HR. Bukhari dan Muslim, lafadz milik al-Bukhari)
Sesungguhnya
seseorang tidak akan masuk surga kecuali dengan rahmat Allah. Dan di antara
rahmat-Nya adalah Dia memberikan taufiq untuk beramal dan hidayah untuk taat
kepada-Nya. Karenanya, dia wajib bersyukur kepada Allah dan merendah diri
kepada Allah. Seorang hamba tidak pantas membanggakan amal ibadahnya yang
seolah-olah bisa terlaksana karena pilihan dan usahanya semata, apalagi ada
perasaan telah memberikan kebaikan untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan amal ibadah hamba-hamba-Nya. Dia Mahakaya,
tidak butuh kepada makhluk-Nya.
Disisi
lain , Rasulullah bersabda, yang artinya ,” tidak masuk surga orang yang
didalam hatinya masih terdapat kesombongan (walaupun) sebiji atom”, (Hr
Muslim).
Sungguh
iblis memiliki andalan untuk menjerat hamba ahli ibadah, yaitu senjata
riya’ dan senjata ujub. Dan celakalah orang yang terjerat senjata ini, satu senjata
atau dua sekaligus , dalam keadaan riya’ sehingga amalannya akan rusak, dan
pada waktu yang sama iapun ujub dan ta’jub dengan amalan shalihnya akan rusak. Ada
yang selamat dari senjata riya’ akan
tetapi jatuh terkena tembakan senjata ujub, sehingga gugurlah pula amalannya.
Beliau
Rasulullah bersabda
لَوْ لَمْ تَكُوْنُوا تُذْنِبُوْنَ خَشِيْتُ عَلَيْكُمْ
مَا هُوَ أَكْبَرُ مِنْ ذَلِكَ الْعُجْبَ الْعُجْبَ
“Jika
kalian tidak berdosa, maka aku takut kalian ditimpa dengan
perkara yg lebih besar darinya (yaitu) ujub! ujub!” (HR Al-Baihaqi, Syu’abul
Iman no 6868, hadits ini dinyatakan oleh Al-Munaawi bahwasanya isnadnya jayyid
(baik) dalam at-Taisiir, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Al-Jaami’ no 5303)
Al-Munaawi
dalam At-Taisiir bisyarh Al-Jaami’ as-Shoghiir berkata: “Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengulangi-ngulanginya (*ujub!, ujub!) sebagai tambahan
(penekanan) untuk menjauhkan (*umatnya) dan sikap berlebih-lebihan dalam
mengingatkan (*umatnya).
Hal
ini dikarenakan pelaku maksiat mengakui kekurangannya maka masih diharapkan ia
akan bertaubat, adapun orang yang ujub maka ia terpedaya dengan amalannya, maka
jauh/sulit baginya untuk bertaubat”
Seseorang
pernah bertanya kepada Aisyah ra,’ (Kapan seseorang dikatakan buruk)?’
maka
beliau berkata, ‘pada saat ia menyangka bahwa ia adalah orang baik’ (At-Taisiir
bisyarh Al-Jaami’ as-Shoghiir 2/606)
Ibnu
Mas’ud ra berkata bahwa , ‘Kebinasaan
pada dua perkara, putus asa dan ujub’
Al-Munaawi
dalam At-Taisiir bisyarh Al-Jaami’ as-Shoghiir 2/606 , berkata bahwa, ‘Ibnu
Mas’uud mengumpulkan dua perkara ini karena orang yg putus asa tidak akan
mencari kebahagiaan karena dia sudah putus asa, dan demikian juga orang yg ujub
tidak akan mencari-cari kebahagiaan karena dia menyangka bahwa ia telah
meraihnya’
Ibnul Mubarok ra berkata:
وَلاَ أَعْلَمُ فِي الْمُصَلِّيْنَ شَيْئًا شَرٌّ مِنَ
الْعُجْبِ
Aku
tidak mengetahui pada orang-orang yang sholat perkara yang lebih buruk daripada
ujub (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Sy’abul Iman no 8260).
Ketika
ada seseorang melihat kepada Bisyr Al-Haafi yang dalam keadaan lama dan indah
ibadahnya. Maka Bisyr berkata kepadanya :’ Janganlah engkau terpedaya dengan
apa yang kau lihat dariku, sesungguhnya Iblis beribadah kepada Allah ribuan
tahun kemudian dia menjadi kafir kepada Allah” (At-Taisiir bisyarh Al-Jaami’
as-Shoghiir 2/606)
Rendah
hati (tawadhu’) diukur dari kedalaman jiwa yang memancarkan perilaku. Tingkah
laku rendah hati , memang tidak mudah diraih , walaupun oleh ahli ibadah
sekalipun. Seringkali sifat rendah hati justru dimiliki oleh orang-orang biasa
menurut pandangan orang banyak atau orang yang merasa pernah melakukan dosa atau
kesalahan sehingga ia menyesalinya.
Seorang
ahli ibadah berkata, bahwa “Kemaksiatan
yang menimbulkan rasa rendah diri dan harapan (akan rahmat dan belas kasih
Allah), lebih baik daripada taat yang membangkitkan rasa mulia diri dan
keangkuhan”.
Rasa
rendah diri hamba yang terlibat dalam perbuatan maksiat, lebih baik daripada
angkuhnya hamba yang berbuat taat. Seorang hamba yang taat beribadah, akan
tetapi tumbuh rasa angkuh dan riya’ dalam hatinya, maka kemungkinan Allah
Ta’ala akan meremehkan amal ibadahnya itu. Ada juga hamba yang sering terlibat
perbuatan dosa, yang sangat menyedihkan hatinya, Allah Lemberi hidayah
kepadanya, lalu tumbuh penyesalannya dan rasa khasiyah kepada Allah, ia telah
berjalan menuju keselamatan.
Sering
kita alami , disaat semangat ketaatan meningkat, godaan
akan rasa bangga diri (kesombongan) mulai bermunculan. Ketaatan yang tidak
diiringi dengan keterjagaan hati menjadikan kita mudah jatuh dlm kesombongan,
karena merasa lebih hebat dengan ketaatan yang kita miliki. Merasa super taat
(thughyan at-tha’ah) , lalu mudah meremehkan perbuatan baik orang lain yang
menurutnya lebih rendah kualitas ibadahnya. Memandang rendah perbuatan orang
lain dan merasa amaliyah diri sendiri lebih baik , adalah bencana yang
mengerikan.
Sikap tinggi hati meskipun masih samar dan tersembunyi akan menjerumuskan pelaku-nya kedalam ujub (tindakan mengagumi diri), meremehkan orang lain serta menutup jiwa untuk mengetahui kekurangan diri sendiri dengan lebih teliti. Dan musibah yang menanti adalah orang ini menjadi tidak banyak bahkan lalai meminta ampunan kepada Allah dan memperbaiki kesalahan-kesalahannya.
Saudaraku, sikap rendah hati banyak dicontohkan Rasulullah, sebagaimana Rasulullah bersabda, yang artinya ,” Wahai manusia bertaubatlah kepada Allah dan mintalah ampunan-Nya. Dan aku bertaubat kepada Allah sehari 100 kali “. (Hr Muslim).
Sikap tinggi hati meskipun masih samar dan tersembunyi akan menjerumuskan pelaku-nya kedalam ujub (tindakan mengagumi diri), meremehkan orang lain serta menutup jiwa untuk mengetahui kekurangan diri sendiri dengan lebih teliti. Dan musibah yang menanti adalah orang ini menjadi tidak banyak bahkan lalai meminta ampunan kepada Allah dan memperbaiki kesalahan-kesalahannya.
Saudaraku, sikap rendah hati banyak dicontohkan Rasulullah, sebagaimana Rasulullah bersabda, yang artinya ,” Wahai manusia bertaubatlah kepada Allah dan mintalah ampunan-Nya. Dan aku bertaubat kepada Allah sehari 100 kali “. (Hr Muslim).
Diriwayatkan
pada masa lampau ada seorang ahli ibadah istiqomah bertaqarrub kepada Allah,
membuat ia selalu mendapat perlindungan-Nya. Kemana saja pergi ia selalu
ditutupi oleh awan hingga badannya tidak terkena panas matahari.
Pada
suatu hari ketika ahli ibadah ini sedang dalam suatu perjalanan, seorang
pelacur melihatnya, lalu dalam hati pelacur ini tumbuh perasaan halusnya. Ia
mendekati hamba Allah yang taat ini, dengan harapan ia mendapatkan rahmat
Allah.
Ketika
pelacur ini mendekat kepadanya, maka ahli ibadah ini merasa jijik, dan mengusir pelacur itu dengan
kata-kata yang menyakitkan.
Nabi
Muhammad saw menerima wahyu dari Allah swt tentang peristiwa ini, menyebutkan bhw Allah swt telah mengampuni dosa pelacur
tersebut dan membatalkan amal ibadah si ahli ibadah itu.
Peristiwa
ini telah mernberi pengajaran kepada kita, janganlah mereka mencampurkan kemurnian ibadah
kepada Allah dengan perasaan atau tindakan yang berakibat musnahnya amal ibadat
mereka sendiri. Perbuatan seperti riya’, bangga, meremehkan sesama , menyakiti sesama , karena merasa dekat dengan Allah,
adalah perbuatan yang bisa merusak amal ibadah kita sendiri. (Al Hikam, Ibnu
Athailah as Sakandari)
Aisyah
ra pernah berkata, ‘ sungguh kalian melupakan ibadah yang paling utama, yaitu
rendah hati’. Sedangkan pengertian tawadhu menurut Hamdun Al-Qashar adalah
merasa bahwa tidak ada seorang pun yang membutuhkan kita, baik dalam urusan
agama maupun urusan dunia.Ada yang menyatakan bahwa tawadhu’ adalah bahwa kita
tidak melihat diri kita berharga. Barang siapa melihat dirinya berharga, maka
ia tidak dianggap memiliki tawadhu ‘ sedikitpun.
Ibnul
Qayyim menyatakan, bahwa amaliyah tidak diukur dari tinggi rendahnya kualitas
oleh bentuk dan jumlahnya, tetapi hanya diukur dengan apa yang ada didalam
hati. Bisa jadi bentuk amalannya sama tetapi kulitas dihadapan Allah bagaikan
jarak langit dan bumi. Kualitas batin suatu amaliyah sangat menentukan nilai
amalan itu sendiri, walaupun ini bukan berarti tata cara (kaifiyah) beramal dan
beribadah diabaikan.
Dan ibadah dan perbuatan baik , tidak hanya sebatas gerak fisik, namun substansinya terletak pada kualitas hati. Gerak hati yang abstrak dan samar perlu mendapatkan perhatian untuk menghindari perhatian hanya pada aspek fisik saja.
Dan ibadah dan perbuatan baik , tidak hanya sebatas gerak fisik, namun substansinya terletak pada kualitas hati. Gerak hati yang abstrak dan samar perlu mendapatkan perhatian untuk menghindari perhatian hanya pada aspek fisik saja.
Lalu
apa saja tanda-tanda kalau kita telah terjangkiti ujub
Al-Munaawi As-Syafii dalam (At-Taisiir bisyarh Al-Jaami’ as-Shoghiir , menyebutkan bahwasanya diantara tanda-tanda orang yang ujub adalah:
Al-Munaawi As-Syafii dalam (At-Taisiir bisyarh Al-Jaami’ as-Shoghiir , menyebutkan bahwasanya diantara tanda-tanda orang yang ujub adalah:
·
ia merasa heran
jika doanya tidak dikabulkan oleh Allah (padahala ia merasa bahwa ketakwaannya
dan amalannya bisa menjadikan doanya
dikabulkan oleh Allah,). Hal seperti inilah menunjukkan ia mulai ujubn dengan amalan shalihnya.
Karenanya tatkala merasa doanya tidak dikabulkan maka iapun heran.
·
ia merasa heran
jika orang yang menyakitinya dalam keadaan istiqomah
·
Jika orang yang
mengganggunya ditimpa dengan musibah maka dia merasa bahwa itu merupakan
karomahnya, lalu ia berkata, “Tidakkah kalian melihat apa yang telah Allah
timpakan kepadanya”, atau ia berkata, “Kalian akan melihat apa yang akan Allah
timpakan kepadanya.
Lalu
bagaimana menghindari rasa berbangga diri ini, Imam Ibnu 'Athoillah menyatakan
bahwa ada dua golongan yang bisa terhindar dari sifat ini
1.
orang-orang yang berjalan di jalan
Allah, dimana mereka tidak memandang
amal ibadahnya dan mengandalkannya. Mereka, saat perjalanannya dalam membersihkan
jiwa, merasa belum maksimal dalam beribadah, serta yakin bahwa amal ibadah dan
ketaatan mereka tidak akan selamat dari cipratan penyakit-penyakit hati. Merasa
bahwa amal ibadah mereka tidak pantas untuk dipersembahkan kepada Allah dan
mengharapkan pahala.
2.
Orang-orang al-washil ilallah (yang
telah sampai kepada Allah). bahwa mereka tidak memperhatikan amalan-amalan yang telah mereka kerjakan,
tidak membanggakan diri dengan ibadahnya, dikarenakan pikiran dan jiwa mereka
telah tenggelam dalam kekhusyukan beribadah. Mereka tidak sempat memikirkan dan
memperhatikan keadaan (haliyah) diri mereka. Perlu diketahui, bahwa tak seorang
pun dari hamba-hamba Allah yang saleh yang mengetahui bahwa diri mereka itu
termasuk golongan al-washil ilallah. Karena memang keadaan manusia itu, setiap
bertambahnya kedekatan dan ma'rifat terhadap Allah, bertambah pula
kecurigaannya terhadap diri dan nafsunya dan semakin terbukalah semua
kekurangan dan kelalaiannya. Jika halnya demikian, bagaimana mungkin mereka
para hamba Allah yang saleh dapat merasa bahwa dirinya termasuk golongan ini.
Saudaraku
, Perasaan ujub menjangkiti pada saat :
1.
Orang yang rajin
ibadah merasa kagum dengan ibadahnya.
2.
Orang yang berilmu,
kagum dengan ilmunya.
3.
Orang yang cantik,
kagum dengan kecantikannya.
4.
Orang yang
dermawan, kagum dengan kebaikannya.
5.
Orang yang
berdakwah, kagum dengan dakwahnya.
Sufyan at-Tsauri mengatakan ujub adalah perasaaan kagum pada dirimu sendiri sehingga merasa bahwa lebih mulia dan lebih tinggi darajat.
Muthrif rahimahullah berkata, “Kalau aku tidur tanpa tahajud dan bangun dalam keadaan menyesal, adalah lebih baik dari aku bertahajud tetapi berasa kagum dengan amalan tahajudku.”
Imam Nawawi rahimahullah berkata,”ketahuilah bahwa keikhlasan niat terkadang dihalangi oleh penyakit ujub. Sesiapa ujub dengan amalnya sendiri maka akan terhapus amalnya". (Syarh Arba’in)
Allahu
a’lam
Sumber
: Man
tawadha’a lillahi rafa’ahu al-kibru - abdul Malik al Qasim bin Muhammad, At-Tawaadhu’
fii Dhauil Qur’anil Kariim was Sunnah ash-Shahiihah - Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, mediabilhaq.wordpress.com , dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar