Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda , yg artinya
“Sesungguhnya diantara kalian nanti akan sangat berambisi thd
kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (hr.
Al-Bukhari , 7148) .
Saudaraku, bagaimana status perbuatan meminta jabatan . Banyak Hadits
yg menjelasankan ttg permasalahan ini . Kedudukan/ jabatan seakan telah menjadi simbol status, kenikmatan dst .
Rasulullah saw bersabda kpd Abdurrahman bin Samurah , yg artinya ," :
Wahai Abdurrahman bin Samurah janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena
jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah
dgn diberi taufik kepada kebenaran). Namun jk diserahkan kepadamu karena
permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu .(Hr. Bukhari dlm Shahih no. 7146
“Siapa yg tidak meminta jabatan Allah akan menolongnya dlm menjalankan
tugasnya” dan no. 7147 “Siapa yg minta jabatan akan diserahkan padanya (dgn
tidak mendapat pertolongan dari Allah dlm menunaikan tugasnya).
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. 1652 oleh Al- Imam An-Nawawi , dg judul “Bab Larangan meminta jabatan dan berambisi utk mendapatkannya”.
Dari riwayat dari Abu Dzar Al-Ghifari, ia berkata: “Wahai Rasulullah tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?”
Mendengar permintaanku itu , lalu Rasulullah menepuk pundakku seraya bersabda, yang artinya ," Wahai Abu Dzar engkau seorang yg lemah sementara kepemimpinan itu adl amanah. Dan nanti pada hari kiamat ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yg mengambil dgn haknya dan menunaikan apa yg seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.”
Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya ," Wahai Abu Dzar aku memandangmu seorang yg lemah dan aku menyukai untukmu apa yang kusukai utk diriku. Janganlah sekali-kali engkau memimpin dua orang dan jangan sekali- kali engkau menguasai pengurusan harta anak yatim.” Al-Imam An-Nawawi membawakan kedua hadits Abu Dzar di atas dalam kitab beliau Riyadhush Shalihin bab “Larangan meminta jabatan kepemimpinan dan memilih utk meninggalkan jabatan tersebut jika ia tidak pantas utk memegangnya atau meninggalkan ambisi terhadap jabatan”.Kepemimpinan Yang Diimpikan Dan DiperebutkanMenjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua orang kecuali sedikit dari mereka yg dirahmati oleh Allah.
Saudaraku, godaan untuk mencapai jabatan yang diinginkan sering menjadikannya sebagai rebutan khususnya jabatan yg menjanjikan ketenaran atau kesenangan lainnya.
Dengan memiliki kedudukan , jabatan tertentu, maka jalan untuk kesenangan atau tunbtutan
hawa nafsu menjadi lebih lapang misalnya kepopuleran, penghormatan dari orang lain, mempunyai
wewenang untuk dapat memerintah dan
menguasai, kekayaan, kemewahan ataupun kemegahan.
Walaupun sebenarnya dibalik itu ada tuntutan akan tanggung jawab , melaksanakan amanah, melaksanakan kewajiban sebagai seorang pemimpin yang sangat berat, akan tetapi kadang kala tuntutan amanah yang berat ini seakan tertutupi oleh keindahan, kemegahan dan kekeuasaaan yang ada disisi lain yang juga menempel di suatu kedudukan.
Walaupun sebenarnya dibalik itu ada tuntutan akan tanggung jawab , melaksanakan amanah, melaksanakan kewajiban sebagai seorang pemimpin yang sangat berat, akan tetapi kadang kala tuntutan amanah yang berat ini seakan tertutupi oleh keindahan, kemegahan dan kekeuasaaan yang ada disisi lain yang juga menempel di suatu kedudukan.
Sungguh benar sabda Rasulullah ketika beliau menyampaikan hadits yg diriwayatkan dari Abu Hurairah, yang artinya ," Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.”
Al-Muhallab dalam Nas-alullah as-salamah wal ‘afiyah, berkata sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari : “Ambisi utk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yg mendorong manusia utk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah dirampasnya harta dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita dan karenanya terjadi kerusakan yg besar di permukaan bumi.
”Seseorang yg menjadi penguasa dgn tujuan seperti di atas tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat kecuali siksa dan adzab.
Allah berfirman , yang artinya ,"Itulah negeri akhirat yg Kami jadikan utk orang-orang yg tidak ingin menyombongkan diri di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Dan akhir yg baik itu hanya utk orang- orang yg bertakwa.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: “Allah mengkhabarkan bahwasanya negeri akhirat dan keni’matannya yg kekal tidak akan pernah lenyap dan musnah disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya yg beriman yg tawadhu’ tidak ingin merasa tinggi di muka bumi yakni tidak menyombongkan di hadapan hamba-hamba Allah yg lain tidak merasa besar tidak bertindak sewenang-wenang tidak lalim dan tidak membuat kerusakan di tengah mereka.”
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, berkata bahwa , “Seseorang yg meminta jabatan seringnya bertujuan utk meninggikan dirinya di hadapan manusia menguasai mereka memerintahnya dan melarangnya.. Oleh karena itu seseorang dilarang utk meminta jabatan.Tidak banyak orang yg berambisi menjadi pimpinan kemudian berpikir tentang kemaslahatan umum dan bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba Allah dgn kepemimpinan yang kelak bisa dia raih.
Rasulullah menggambarkan kerakusan terhadap jabatan seperti dua ekor serigala yg kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing.
Sebagaimana Rasulullah bersabda, yang artinya ," Tidaklah dua ekor serigala yg lapar dilepas di tengah segerombolan kambing lebih merusak dari pada merusaknya seseorang terhadap agamanya krn ambisinya utk mendapatkan harta dan kedudukan yg tinggi.” (HR. Tirmidzi no. 2482 dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 2/178) Sebagaimana petikan sabda Rasulullah kepada Abu Dzar, yang artinya “Wahai Abu Dzar engkau seorang yg lemah”.
Sabda Rasulullah ini membekas di hatinya. Namun amanahlah yg menuntut hal tersebut. Maka hendaknya dijelaskan kepada orang tersebut mengenai sifat lemah yg melekat padanya. Namun jika seseorang itu kuat maka dikatakan padanya ia seorang yg kuat. Dan sebaliknya bila ia seorang yg lemah maka dikatakan sebagaimana adanya. Yang demikian ini merupakan suatu nasehat. Dan tidaklah berdosa orang yg mengucapkan seperti ini bila tujuannya utk memberikan nasehat bukan utk mencela atau mengungkit aib yg bersangkutan.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Makna ucapan Nabi kepada Abu Dzar adalah beliau melarang Abu Dzar menjadi seorang pemimpin krn ia memiliki sifat lemah sementara kepemimpinan membutuhkan seorang yg kuat lagi terpercaya. Kuat dari sisi ia punya kekuasaan dan perkataan yg didengar/ditaati tidak lemah di hadapan manusia. Karena apabila manusia menganggap lemah seseorang maka tidak tersisa baginya kehormatan di sisi mereka dan akan berani kepadanya orang yg paling dungu sekalipun sehingga jadilah ia tidak teranggap sedikitpun. Akan tetapi bila seseorang itu kuat dia dapat menunaikan hak Allah tidak melampaui batasan-batasannya dan punya kekuasaan. Maka inilah sosok pemimpin.” (Syarh Riyadhush Shalihin 2/472).
Rasulullah juga menyatakan kepada Abu Dzar bahwa kepemimpinan itu adl sebuah amanah.
Karena memang kepemimpinan itu memiliki dua rukun kekuatan dan amanah hal ini dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dgn dalil “Sesungguhnya orang yg paling baik yg kamu ambil utk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Penguasa Mesir berkata kepada Yusuf ‘Alaihissalam: “Sesungguhnya kamu mulai hari ini menjadi seorang yg berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.”
Allah menyebutkan sifat Jibril dgn menyatakan, yang artinya.“Sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar firman Allah yg dibawa oleh utusan yg mulia yg mempunyai kekuatan yg mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yg memiliki ‘Arsy. Yang ditaati di kalangan malaikat lagi dipercaya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Amanah itu kembalinya kepada rasa takut pada Allah tidak menjual ayat-ayat Allah dgn harga yg sedikit dan tidak takut kepada manusia. Inilah tiga perangai yang Allah tetapkan terhadap tiap orang yg memutuskan hukuman atas manusia.
Allah berfirman, yang artinya ," Maka janganlah kalian takut kepada manusia tapi takutlah kepada-Ku. Dan jangan pula kalian menjual ayat-ayat-Ku dgn harga yg sedikit. Siapa yg tidak berhukum dgn apa yg Allah turunkan maka mereka itu adl orang-orang kafir.” {As-Siyasah Asy- Syar’iyyah hal. 12-13}
Al-Imam Al-Qurthubi menyebutkan beberapa sifat dari seorang pemimpin ketika menafsirkan ayat: “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dgn beberapa kalimat kemudian Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai imam bagi seluruh manusia’. Ibrahim berkata: ‘ dari keturunanku’.
Allah berfirman: "Janji-Ku tidak mengenai orang-orang yg zhalim’.” (Al- Baqarah: 124)
Al-Imam Al-Qurthubi berkata: “Sekelompok ulama mengambil dalil dgn ayat ini utk menyatakan seorang imam itu harus dari kalangan orang yg adil memiliki kebaikan dan keutamaan juga dengan kekuatan yg dimilikinya utk menunaikan tugas kepemimpinan tersebut.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 2/74)
Saudaraku, jabatan atau kepemimpinan adalah amanah sehingga orang yg menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul amanah. Dan tentunya yg namanya amanah harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat sehingga sepantasnya yg mengembannya adl orang yg cakap dalam bidangnya.
Karena itulah Rasulullah melarang orang yg tidak cakap utk memangku jabatan krn ia tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dgn semestinya.
Rasulullah juga bersabda, yang artinya " Apabila amanah telah disia-siakan maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada yg bertanya: Wahai Rasulullah apa yg dimaksud dgn menyia-nyiakan amanah? Beliau menjawab ‘Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya maka nantikanlah tibanya hari kiamat”
Selain itu, jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya.
Diriwayatkan , Abu Musa ra: “Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah. Maka salah seorang dari keduanya berkata: ‘Angkatlah kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah’. Temannya pun meminta hal yang sama. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda , yang artinya ," Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (HR. Al-Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Sepantasnya bagi seseorang tidak meminta jabatan apapun. Namun bila ia diangkat bukan karena permintaannya, maka ia boleh menerimanya. Akan tetapi jangan ia meminta jabatan tersebut, dalam rangka wara’ dan kehati-hatiannya dikarenakan jabatan dunia itu bukanlah apa-apa.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/470)
Al-Qadhi Al-Baidhawi berkata: “Karena itu tidak sepantasnya orang yang berakal, bergembira dan bersenang-senang dengan kelezatan yang diakhiri dengan penyesalan dan kerugian.” (Fathul Bari, 13/134)
Saudaraku , mari kita memersapi sabda
Rasulullah ini , yang diriwayatkan Bukhari 6613
حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ
حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
سَمُرَةَ قَالَ قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا
عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا
عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ
أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا
مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ
janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan dgn tanpa meminta, maka kamu akan ditolong, & jika kamu diberinya karena meminta, maka kamu akan ditelantarkan, & jika kamu bersumpah, lantas kamu lihat ada suatu yg lebih baik, maka bayarlah kafarat sumpahmu & lakukanlah yg lebih baik.
Imam Ibnu
Baththal mengutip dari Al Muhallab, bahwa:
فيه دليل على أنه من تعاطى أمرًا
وسولت له نفسه أنه قائم بذلك الأمر أنه يخذل فيه فى أغلب الأحوال ؛ لأنه من سأل
الإمارة لم يسألها إلا وهو يرى نفسه أهلا لها
Pada hadits ini merupakan dalil bahwa orang yang sibuk mengerjakan tugas yang didapatkan melalui minta-minta, dan dia menjalankan tugas itu, maka dia akan terlantar di banyak keadaan, karena orang yang meminta jabatan tidaklah dia memintanya melainkan dia melihat dirinya dalam keadaan mampu menjalankannya. (Syarh Shahih Al Bukhari, 8/217)
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin
Abdullah bin Jibrin dalam Syarh ‘Umdatul Ahkam, menjelaskan hakikat
jabatan, yang kesimpulannya adalah tidak
pantas untuk diminta-minta, bahwa yang dimaksud dengan kepemimpinan di sini
adalah semua bentuk kepemimpinan, jadi dia adalah pemimpin bagi penduduk sebuah
negeri, atau sebagai penguasa, pemimpin, kepala, baik kepala bagian, seksi,
keluarga, kabilah, atau semisalnya, di mana mereka merujuk kepadanya dan
mentaatinya, dan dia memerintahkan mereka kepada apa-apa yang menurutnya baik
untuk mereka dan semisalnya.
Kekuasaan diperuntukkan bagi mereka yang punya kompetensi dan hendaknya dijauhkan dari mereka yang tidak punya kemampuan, dan manusia tidak boleh rakus kepadanya, karena di dalamnya terdapat tanggung jawab, kerja keras, dan pekerjaan yang dibebankan kepada penguasa, karena manusia menggantungkan diri kepadanya dan menuntutnya untuk melakukan ini dan itu, namun dia ternyata mengalami cacat dalam keadilannya maka dia akan dituduh dan dicurigai, atau dia disebut melakukan pekerjaan yang bukan ahlinya, atau semisalnya. Nah, karena inilah dilarang untuk meminta jabatan.
Namun perlu dipahami bahwa , jabatan atau kedudukan disamping memiliki potensi fitnah dan namun juga punya manfaat keabikan sekaligus. jabatan bisa menjadi fitnah jika dipegang oleh orang-orang yang memiliki niat jahat yang dengannya dia bisa melakukan kejahatan, atau punya niat baik, tetapi tidak punya kecakapan mengelola keduanya. Sebaliknya, keduanya menjadi manfaat yang besar bagi umat manusia jika dikuasai oleh orang-orang berhati mulia, shalih, dan cakap dalam mengelolanya.
Namun di lain pihak ,beberapa ulama menyatakan
bahwa tidak semua meminta jabatan dilarang, karena Rasulullah juga pernah memperbolehkannya , dimana dalil yang digunakan adalah :
sebagaimana riwayat , Utsman bin Abu Al ‘Ash Radhiallahu
‘Anhu berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْنِي
إِمَامَ قَوْمِي قَالَ أَنْتَ إِمَامُهُمْ وَاقْتَدِ بِأَضْعَفِهِمْ وَاتَّخِذْ
مُؤَذِّنًا لَا يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا
Wahai Rasulullah jadikanlah aku sebagai pemimpin bagi kaumku! Beliau bersabda: “Engkau adalah pemimpin bagi mereka, perhatikanlah orang yang paling lemah di antara mereka, dan angkatlah seorang muadzin dan jangan upah dia karena adzannya.” (HR. Abu Daud No. 531, Ahmad No. 17906, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 8365, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 1636, Al Hakim No. 715, katanya: shahih sesuai syarat Imam Muslim. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Ta’liq Musnad Ahmad No. 17906)
Namun perlu dipahami disini bahwa orang yang meminta ini , berkedudukan
sebagai salah satu sahabat Rasulullah, yang tentu saja tidak diragukan
lagi kualitas keimanannya dan keshalihannya. Disini diterangkan sahabat Utsman bin Abu Al ‘Ash ra meminta
kedudukan sebagai pemimpin bagi kaumnya ( dalam konteks hadits ini adalah pemimpin
shalat) dan nabi pun menunjuknya sebagai
seorang pemimpin bagi kaumnya itu. Para pensyarah hadits juga menjelaskan bahwa
hadits ini dalil kebolehan meminta jabatan kepemimpinan, sebagaimana yang nanti
kami paparkan.
Sebagian fuqaha berpendapat diperbolehkan
meminta jabatan, dan ini bukan hal yang
dibenci.Tentunya jika dia benar-benar ingin berjuang untuk agama, berkhidmat
untuk umat, dan memiliki kecakapan terhadap jabatan tersebut. Bukan untuk
memperkaya diri dan ambisi-ambisi pribadi apalagi lagi menyalahgunakannya, kita
sendirilah yang bisa mengukur diri kita pribadi.
Syaikh Said bin ‘Ali bin Wahf Al Qahthani Hafizhahullah dalam Al Imamah fish Shalah menyatakan bahwa :
فإن ذلك فيما يتعلق برياسة الدنيا التي لا يُعَانُ مَنْ
طلبها، ولا يستحق أن يُعْطَاهَا مَنْ سأله، فإذا صَلحت النية وتأكدت الرغبة في
القيام بالواجب والدعوة إلى الله – عز وجل – فلا حرج من طلب ذلك.
Sesungguhnya hal ini terkait dengan
jabatan dunia yang tidak usah ditentang orang yang memintanya, dan tidak pula
berhak diberikan kepada yang memintanya, namun jika dia niatnya bagus dan
diperkuat oleh keinginan untuk menjalankan kewajiban dan dakwah ilallah
‘Azza wa Jalla, maka tidak apa-apa meminta jabatan itu.
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah berkata bahwa , bolehkah meminta menjadi seorang pemimpin? Jawabannya: jika hal itu membawa kepada maslahat tidaklah apa-apa, karena kepemimpinan adalah termasuk qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) dan ibadah. (Syarh Sunan Abi Daud, 3/404)
Berkata para ulama, bahwasanya
meminta jabatan adalah perkara yang terlarang, jika memang tidak ada keperluan
untuk itu karena hal itu berbahaya sebagaimana diterangkan dalam hadits yang
menyebutkannya. Tetapi jika karena didorong oleh keperluan dan maslahat yang
syar’i untuk memintanya maka hal itu dibolehkan, berdasarkan kisah Nabi
Yusuf ‘Alaihis Salam dan hadits ‘Utsman (bin Abu Al
‘Ash) Radhiallahu ‘Anhu tersebut. (Majmu’ Fatawa Ibni
Baaz, 7/232)
Saudaraku
, kita harus mengukur kemampuan dan niat diri kita sendiri. Sanggupkah kita
dapat mendekati kualitas keimanan
seperti sahabat Utsman bin Abu Al ‘Ash ra. Untuk itulah sebaiknya kita tidak meminta
jabatan apapun, karena kualitas kita tidak akan pernah sanggup mendekati kualitas
keimanan seorang sahabat Rasulullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar