Pemahaman
tentang tawakal bisa berlainan . Adakalanya orang yg berpura-pura tawakal,
tidak mau bekerja, malas , atau menolak menjalani sebab-sebab (usaha) , tentu hal
ini jelas menyalahi sunatullah pada alam ini. Bisa jadi tipe ini menganggap
kenapa harus berupaya , toh semua telah ditentukan Allah.
Contoh
terbaik adalah dari Rasulullah melalui para sahabatnya yg tetap mengambil sebab (upaya/usaha), sekalipun kita meyakini bahwa Rasulullah adalah
yg paling sempurna tawakalnya dan para sahabat adalah orang-orang yg tidak
diragukan lagi tingkat tawakanya. Ibn Qayyim dlm Zaad al-Ma’ad , menyatakan
bhw Rasulullah dan para sahabat ketika berhadapan dengan musuh tetap
membekali diri dengan perisai dan berbagai persenjataan. Bahkan Rasulullah SAW
memasuki Mekkah dengan topi baja di kepala beliau, padahal Allah telah
menurunkan ayat , yang artinya,” Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia”,
(Qs. Al-Maidah : 67) .
Abu
Dawud dlm Al-Jihad bab Fii Lubsi Al-Adra , menyatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika perang Uhud
juga mengenakan dua lapis baju besi.
Ibn
Qayyim dalam Madarij As-Salikin , berkata bahwa seorang yang ahli tauhid dan
tawakal tidak akan menoleh kepada sebab-sebab artinya ia tidak merasa tenang
dengannya. Dimana ia tidak ingin cenderung kepadanya dan tidak pula menoleh
(meninggalkan) kepadanya (upaya/ sebab). Artinya ia tidak menggugurkannya ,
tidak pula menyepelekannya dan tidak pula membuangnya. Akan tetapi
mengamalkannnya dengan menoleh kearahnya. Dengan memperhatikan musabab dan
penggeraknya. Maka secarasyar’i dan secara akal tidak sah bertawakanl melainkan
kepada-Nya satu-satunya.
Jika
Rasulullah dalam bepergian untuk berjihad atau beribadah haji atau beribadah
umrah selalu membawa bekal yang juga diikuti oleh para sahabatnya. Padahala
Beliau dan para sahabat adalah orang-orang yang benar-benar memeiliki tawakal.
Dr
Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji dalam At Tawakkul ‘ala Allah wa Alaqatuhu bi
Al-Asbab, menyatakan bahwa Ibn Qayyim
dalam Zaad al-Ma’ad , bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam memberikan
petunjuk kepada hamba-Nya dengan tujuan agar dapat mencapai kesempurnaan dan
mendapatkan apa-apa yang menjadi tuntutannya. Hamba harus tamak (berupaya
keras) terhadap apa-apa yang bisa mendatangkan manfaat baginya dengan menguras
semua kemampuannya. Ketika pada saat demikianlah tahassub “Hasbunallah Wa Nikmal Wakil ( Cukuplah hanya Allah
yang menjadi penolong kami ) “ bermanfaat bagi dirinya. Ucapan “Hasbunallah Wa Nikmal Wakil “ tentu bertentangan
dengan orang yang suka bermalas-malasan dan sembarangan sehingga tertinggal
oleh kemaslahatannya , lalu orang itu berkata “Hasbunallah Wa Nikmal Wakil “ maka Allah akan mencela
orang itu. Bukan dalam keadaan yang sedemikian itulah tempat tahassub itu. Akan
tetapi tahassub adalah sejalan dengabn siapa ia bertakwa dan bertawakal
kepada-Nya.
Al
Baihaqi dalam Syu’ab Al Iman , berkata ketika seseorang bertanya kepada
Al-Hasan dengan berkata,’ Wahai Abu Sa’id, aku selalu membuka mushhafku lalu
aku membacanya hingga sore hari tiba.’ Al-Hasan berkata,’ Bacalah di pagi hari
dan saat sore hari, dan jadikan sepanjang hari anda produksititas dan apa-apa
yang membawa kebaikan untuk anda’.
Dr
Abdulllah al-Ahmadi dalam Al-Masali wa Ar-Rasail Al-Marwiyah ‘an Al Imam Ahmad
fii Al-Aqidah, berkata bahwa Imam Ahmad menyuruh untuk selalu di pasar dan
berkata,’ alangkah indahnya sikap tidak membutuhkan (pertolongan) orang lain.
Imam Ahmad juga pernah ditanya tentang suatu kaum yang tidak bekerja dan mereka
berkata,’kami bertawakal’. Maka Imam Ahmad berkata,’Mereka itu pembuat bid’ah’.
Saudaraku
, bekerja dan perintah bekerja (beusaha) adalah upaya yang selalu dilakukan
oleh para Rasul dan Nabi terdahulu. Mereka adalah hamba-hmab yang bertawakal
dengan tingkatan tertinggi. Ibn Qayyim dalam Masail Shalih, berkata bahwa Adam
as adalah ahli perkayuan, Idris as adalah ahli jahit, Ibrahim as dan Luth as
adalah ahli pertannian, Shali as adalah saudagar, Sulaiman as adalah pengrajin
daun kurma, Dawud as adalah ahli pembuat baju besi dan makan dari hasil
penjualannya. Sedangkan Nabi Musa, Syu’iab dan Rasulullah adalah para
pengembala. Semoga Allah melimpahkan shalawat-Nya kepada mereka semua.
Abdul
Wahhab dalam tafsir Al-Aziz al-Hamid, berkata bahwa yang benar yang telah
ditunjukkan oleh berbagai nash adalah bahwa menggeluti (mengusahakan) sesuatu
dengan sebab-sebabnya tidak menghilangkan tawakal, bahkan tawakal adalah sebab
paling besar dalam rangka mendapatkan menfaat dan menangkis bahaya.
Ibn
Qayyim dalam Al-Fawaid , berkata bahwa tawakal adalah sebab yang paling kuat
secara mutlak.
Ibn
Qayyim dalam Madarij As-Salikin menyatakan bahwa bahkan kami diperintahkan
untuk melakukan ubudiyah dengan meniti sebab, sebagaqimana kami diperintahkan
untuk melakukan ubudiyah dengan cara tawakal, karena.. ubudiyah dengan meniti
sebab tidak akan tegak melainkan di atas kaki tawakal , dan kaki tawakal tidak
akan tegak melainkan diatas telapak kaki ubudiyah.
Ibn
Hibban dalam Raudhatu al-Uqala berkata bahwa Abu Qilabah (seorang imam dan ahli
tafsir) telah mengirim surat kepada Ayyub, dimana didalammnya ia menulis bahwa
hendaknya engkau selalu dipasar . Ketahuilah bahwa kekayaan itu menolak
keburukan. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa hendaknya engkau tetap di
pasarmu, karena sesungguhynya disana ketidakbutuhan kepada orang lain dan
kebikan bagi agama.
Al-Khathib
Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, menyatakan bahwa Ibnu Al-Mubarak rahimahullah berkata kepada Al-Fudhail (seorang imam yang
zuhud), ‘ Engkau memerintahkan kami agar berzuhud, serba mengurangi, dan hidup
secara secukupnya saja, namun kami melihat engkau ( berdagang) membawa barang
dagangan dari negeri Khurasan ke negeri Haram. Bagaimana ini sedangkan engkau
memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan ini?’
Ibnu
Mubarak, menjawab,’Wahai Abu Ali, kulakukan ini untuk memelihara diri dan
menjaga kehormatanku. Kulakukan ini untuk memberikan pertolongan untuk taat
kepada Rabbku. Aku tidak melihat hak Allah melainkan aku segera kepada-Nya
hingga aku menunaikannya.
Ibnu
Aqil berkata ,’sebagian kaum menyangka bahwa berhati-hati dan waspada itu
menghilangkan tawakal dan tawakal adalah mengabaikan segala akibat dan membuang
sikap berjaga-jaga. Yang demikian itu menurut para ulama adalah kemalasan dan
sikap sembarangan yang menurut ulama harus dihinakan. Allah tidak pernah
memerintahkan untuk bertawakal melainkan sikap untuk berhati-hati dan
megeluarkan segala daya upaya untuk berjaga-jaga. Sebagaimana firman-Nya, yang
artinya ,” ...Dan bermusyawarah-lah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal-lah kepada Allah “. (Qs.
Ali-Imran : 159).
Imam
Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyatakan bahwa mengarahkan perhatian (hanya) kepada
sebab-sebab (upaya-upaya) adalah syirik dalam aspek tahuhidm, sedangkan
menghilangkan sebab-sebab (usaha-usaha) ahgar tidak berfungsi sebagai sebab
adalah kelemahan pada akal, sedangkan berpaling dari sebab-sebab (berupaya)
secara total adalah merusak didalam syariat.
Allah
‘alam
Sumber
: Dr Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji - At Tawakkul ‘ala Allah wa Alaqatuhu bi
Al-Asbab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar