Firman Allah, yang artinya, “ Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupannya yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta ,” (Qs. Ta-Ha : 124).
Firman Allah, yang artinya, “ Allah berfirman,”Demikianlah , telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya , dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan ,” (Qs. Ta-Ha : 126).
Saudaraku, tingkat persaingan penghidupan yang makin ketat, menjadikan kita rentan terbawa arus untuk semakin menjauh dari Allah. Seakan kehidupan spiritual mejadi justru menghambat berkembangnya karier kita .
Saudaraku, pernahkah kita merasa terbelenggu dalam penderitaan ? Selesai dari masalah yang satu segera datang masalah yang lainnya , silih berganti. Ya tentu, saya juga mengalami masalah yang bertubi-tubi seperti anda.
Setelah sekian lama merenung, jawaban semua itu semakin jelas terpampang didepan saya. Ya, anda betul, penyebab paling utama adalah karena saya semakin menjauh dari Allah. Perhatian terlalu tertuju pada masalah fisik duniawi. Kita berpikir bahwa materi, jabatan, pekerjaan, keilmuan kita, atau yang lainnya bisa menjadi jalan keluar dari masalah-masalah yang menimpa.
Bukan itu semua jawabannya , justru depresi yang kita dapatkan. Saya semakin terperosok kedalam dasar jurang depresi , samapai sya tidak tahu lagi harus berbuat apa . Disaat itulah barulah kita tersadar bahwa hanya Allah-lah yang bisa menyelamatkan kita dari kehancuran . Kasih sayang Allah yang telah menggapaiku untuk mendekat kepada-Nya. Kelembutan kasih sayang Allah hadir disaat saya semakin jauh dari-Nya.
Bukankah saat-saat ini adalah saat paling tepat untuk bersyukur kepada Allah? Inilah waktu kita untuk mendekat kepada-Nya.
Barulah kita menyadari, bahwa Allah mencintai diri kita. Jauh lebih besar dari cinta kita terhadap diri kita sendiri. Allah membukakan pintu agar kita mendekat kepada-Nya, disaat kita jauh terperosok dalam kemaksiatan.
Saudaraku, janganlah mengulur waktu untuk selalu berusaha mendekat kepada-Nya. Inilah anugerah terindah dari kasih-sayang-Nya.
Saudaraku, tantangan terbesar dalam kehidupan manusia adalah dirinya sendiri. Tantangan ini tidak bersumber dari luar, namun bersumber dari dalam dirinya sendiri. Benarlah, tantangan yang paling berbahaya adalah kemampuan menerima diri sendiri apa adanya. Dengan kata lain adalah bersyukur kepada Allah, atas apa yang ada dalam dirinya.
Sungguh sangat sedikit orang-orang yang bersyukur, sebagaimana firman Allah , yang artinya ,” Dan sedikit sekali diantara hamba-hamba-Ku yang bersyukur”, (Qs. Saba’ : 13).
Tidak atau kurang bersyukur adalah faktor utama penderitaan manusia. Hamba yang paling menderita adalah orang yang tidak bisa menerima keadaan diri sendiri. Karena sikap ini akan melahirkan serangkaian masalah yang tiada berujung. Semua masalah ini berasal dari dalam diri kita sendiri.
Akibat berpikir negatif tentang dirinya sendiri, maka lambat-laun akan menderita gangguan kejiwaan dan penyakit fisik. Penyebab pikiran negative adalah pengaruh internal dalam dirinya sendiri yang membuat seseorang menghancurkan kehidupannya sendiri. Penyebab utama penderitaan seorang hamba adalah melalui pikiran-pikiran negative tentang dirinya sendiri yang terjadi berulang kali, sehingga akhirnya pikiran ini menjadi keyakinan. Keyakinan yang terus diulang oleh perasaan hingga menjadi kebiasaan yang terbawa sepanjang hidup.
Salah satu bentuk bersyukur adalah kemampuan kita menerima diri sendiri apa adanya. Manfaat bersyukur justru akan kembali kepada kita sendiri, bukan kembali kepada Allah. Kita sendirilah yang mengambil dari manfaat rasa syukur kita.
Sebagaimana firman Allah, yang artinya ,” Dan, barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri “ , (Qs. Luqman : 12).
Wallahu a’lam
Sumber : Quwwat al-Tafkir, Dr Ibrahim Elfiky.
Kamis, 28 April 2011
Selasa, 26 April 2011
Adab Minum
Aktivitas minum merupakan aktivitas yang sangat sering dilakukan dalam keseharian. Sungguh ini merupakan kesempatan untuk memberikan pengajaran bagi keluarga , anak-anak kita , juga lingkungan sekitar dan melatih agar terbiasa minum sesuai dengan teladan Rasulullah. Semua itu kita lakukan untuk mengharapkan ridha Allah, dimana perkara mubah akan menjadi bernilai ibadah jika disertai dengan niat untuk beribadah dan mencontoh teladan Nabi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah teladan sempurna perihal minum. Rasulullah sangat menyukai minuman yang dingin dan manis. Aisyah ra menuturkanbahwa , 'Minuman yang paling disukai Rasulullah ialah dingin dan manis. [1].
Penuturan Aisyah di atas menurut para ulama memiliki beberapa ihtimal (kemungkinan). Bisa jadi, yang dimaksud ialah air yang dicampur madu, rendaman kismis ataupun kurma, sebagaimana tercantum dalam riwayat Muslim berikut. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bernafas ketika minum sebanyak tiga kali dan beliau bersabda, yang artinya ,“ Sesungguhnya yang demikian lebih memuaskan, lezat, dan mudah ditelan, serta lebih selamat.” (HR. Muslim, Ahmad, Bukhari, Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah,)
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata,”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah dibuatkan rendaman kismis dalam satu bejana, kemudian beliau minum rendaman tersebut pada hari itu, juga esok harinya dan keesokannya harinya. Pada sore hari ketiga beliau memberi minuman tersebut kepada yang lain, jika masih ada yang tersisa , beliaupun menuangnya.” [2]
Ibnul Qayyim rahimahullah mengungkapkan dalam kitab Zaaduul Ma’ad, jika dua sifat dingin dan manis terhimpun dalam satu minuman, akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi tubuh, membantu proses pencernaan dan penyaluran saripati makanan dengan sempurna, mencairkan dahak, mencuci dan membasmi bibit penyakit di lambung, menetralisir sisa-sisa makanan , serta menstabilkan kehangatan lambung. Di samping itu juga sangat bermanfaat bagi hati, ginjal dan kandung kemih.
Lebih jauh lagi beliau menjelaskan, air dingin yang telah dienapkan memiliki kelembaban yang mampu menetralisir panas tubuh, sekaligus menjaga kelembabannya, serta mengganti sebagian zat yang telah terurai dari tubuh. Karena itulah Rasulullah amat menggemarinya, sebagaimana tercantum dalam riwayat Bukhari, dari Jabir bin Abdillah ra, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke rumah salah seorang laki-laki Anshar bersama seorang sahabatnya, seraya berkata kepadanya,”Adakah engkau mempunyai air yang telah diinapkan dalam bejana kulit? Jika tidak kami akan minum langsung dari mulut kami.”
Selain memberitahukan jenis minuman yang bermanfaat bagi tubuh kita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga memberitahukan dan melarang kita mengkonsumsi semua jenis minuman yang memabukkan.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar.Semua yang memabukkan itu adalah khamr, Dan semua khamr hukum haram [HR. Muslim no. 5185]
Walaupun menurut sebagian orang khamr itu ada bagian manfaatnya, akan tetapi bahaya yang diakibatkan jauh lebih besar. Itulah diantara petunjuk-petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya. Memerintahkan mereka untuk mengkonsumsi yang jelas halalnya dan bermanfaat serta melarang selain itu.
Disamping memberitahukan jenis minuman, Rasulullah juga memberikan tuntunan tentang adab-adab minum serta hal lain yang berkaitan dengan minum. Diantaranya:
1. Minum dengan terlebih dahulu membaca Bismillah. Hal ini berdasarkan hadits yang memerintahkan membaca bismillah sebelum makan. Sebagaimana tasmiyah (membaca bismillah) di sunnahkan sebelum makan, maka demikian juga hal sebelum minum. (Syarah Shahih Muslim juz 13 hal. 189) Syaitan akan menjauhi makanan dan minuman yang dibacakan bismillah sebelum di konsumsi.
2. Minum dengan tangan kanan dan tidak menggunakan tangan kiri. Rasulullah bersabda, yang artinya ," Apabila salah seorang diantara kalian makan, maka hendaklah dia makan dengan tangan kanannya dan apabila salah seorang diantara kalian minum maka hendaklah dia minum dengan tangan kanannya, karena syaitan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya. "[HR. Muslim no. 5233]
Rasulullah bersabda, yang artinya ," Janganlah sekali-kali salah seseorang diantara kalian makan dengan tangan kirinya dan jangan pula minum dengannya. Karena syaitan makan dengan minum dengan tangan kirinya." [HR. Muslim no. 5236]
3. Minum dengan duduk, dan beliau melarang dengan tegas minum dalam keadaan berdiri.Dari Abu Hurairah ia berkata Rasullah bersabda,yang artinya , "Janganlah sekali-kali salah seorang dari kalian minum dengan berdiri, jika lupa hendaklah ia memuntahkannya." [3]
Adapun riwayat-riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah pernah minum dengan berdiri juga merupakan riwayat yang shahih. Namun begitu semua riwayat tersebut merupakan perbuatan Rasulullah.
Sedangkan perkataan beliau lebih didahulukan daripada perbuatan beliau. Kerena perbuatan beliau terkadang menjelaskan, bahwa hal itu merupakan kekhususan bagi beliau sebagai Rasulullah. Wallahu a’lam.[4]
Imam Nawawi t ketika menjelaskan makna larangan minum dalam keadaan berdiri berkata, “Bahwa larangan yang terdapat dalam hadits-hadits tersebut dibawa pengertiannya kepada hukum makruh tanzih” [Syarah Shahih Muslim juz 13 hal. 192].
Berdasarkan adab-adab diatas, kita bisa mengambil satu faidah yaitu bathilnya kebiasaan yang disuguhkan orang diluar Islam berupa makan dan minum sambil berdiri, dengan menggunakan tangan kiri.
Adab lainnya yang perlu harus diperhatikan antara lain ;
1. Tidak bernafas di dalam gelas, dan dianjurkan untuk bernafas tiga kali ketika minum.Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi melarang bernafas dalam bejana ataupun meniupnya.” [5] . Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bernafas tiga kali ketika minum.[6]
2. Tidak minum langsung dari mulut teko.
Dari Abu Hurairah ia berkata,”Rasulullah melarang minum lansung dari mulut teko ataupun qirbah (wadah minum dari kulit).” [7]
3. Tidak minum dengan menggunakan bejana dari emas ataupun perak, karena adanya larangan Rasulullah tentang hal tersebut. Dari Umu Salamah Radhiyallahu 'anha , ia berkata, bahwa Rasulullah bersabda,yang artinya ”Orang yang minum menggunakan wadah emas atau perak, sesungguhnya ia ibarat menelan api neraka ke dalam perutnya.” [8]
4. Menutup bejana air pada malam hari, tidak membiarkannya terbuka.
Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, aku mendengar Rasululah bersabda,” Tutuplah bejana-bejana dan wadah air. Karena dalam satu tahun ada satu malam, ketika itu turun wabah, tidaklah ia melewati bejana-bejana yang tak tertutup, ataupun wadah air yang tidak diikat melainkan akan turun padanya bibit penyakit.” [9]
Inilah beberapa adab yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya. Sebagai seorang hamba beriman, kita berkewajiban untuk mengikuti adab-adab tersebut. Janganlah sampai kita terbawa dengan berbagai kebiasan yang tidak mengacu pada contoh-contoh dari Rasulullah . Dan hanya kepada Allah kita mohon petunjuk dan perlindungan. Semoga Allah meridhai kita semua hamba beriman.
Wallahu a’lam bish shawab. (Nur Hasanah)
sumber, : - Zaadul Ma’ad - Bahjatun Nazhrin, majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VII/1420H/1999M , manhaaj.or.id
catatan
[1]. HR Ahmad 6/38 dan 40, At Tirmidzi dalam Al Jami’ (1896) dan dalam Asy Syamail 1/302 dengan sanad shahih. Dishahihkan oleh Al Hakim 1/337 dan disepakati oleh Adz Dzahabi.
[2]. HR Muslim
[3]. HR Muslim
[4]. Syaikh Salim Al Hilali dalam Bahjatun nazhirin 2/73-74
Penuturan Aisyah di atas menurut para ulama memiliki beberapa ihtimal (kemungkinan). Bisa jadi, yang dimaksud ialah air yang dicampur madu, rendaman kismis ataupun kurma, sebagaimana tercantum dalam riwayat Muslim berikut. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bernafas ketika minum sebanyak tiga kali dan beliau bersabda, yang artinya ,“ Sesungguhnya yang demikian lebih memuaskan, lezat, dan mudah ditelan, serta lebih selamat.” (HR. Muslim, Ahmad, Bukhari, Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah,)
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata,”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah dibuatkan rendaman kismis dalam satu bejana, kemudian beliau minum rendaman tersebut pada hari itu, juga esok harinya dan keesokannya harinya. Pada sore hari ketiga beliau memberi minuman tersebut kepada yang lain, jika masih ada yang tersisa , beliaupun menuangnya.” [2]
Ibnul Qayyim rahimahullah mengungkapkan dalam kitab Zaaduul Ma’ad, jika dua sifat dingin dan manis terhimpun dalam satu minuman, akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi tubuh, membantu proses pencernaan dan penyaluran saripati makanan dengan sempurna, mencairkan dahak, mencuci dan membasmi bibit penyakit di lambung, menetralisir sisa-sisa makanan , serta menstabilkan kehangatan lambung. Di samping itu juga sangat bermanfaat bagi hati, ginjal dan kandung kemih.
Lebih jauh lagi beliau menjelaskan, air dingin yang telah dienapkan memiliki kelembaban yang mampu menetralisir panas tubuh, sekaligus menjaga kelembabannya, serta mengganti sebagian zat yang telah terurai dari tubuh. Karena itulah Rasulullah amat menggemarinya, sebagaimana tercantum dalam riwayat Bukhari, dari Jabir bin Abdillah ra, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke rumah salah seorang laki-laki Anshar bersama seorang sahabatnya, seraya berkata kepadanya,”Adakah engkau mempunyai air yang telah diinapkan dalam bejana kulit? Jika tidak kami akan minum langsung dari mulut kami.”
Selain memberitahukan jenis minuman yang bermanfaat bagi tubuh kita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga memberitahukan dan melarang kita mengkonsumsi semua jenis minuman yang memabukkan.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar.Semua yang memabukkan itu adalah khamr, Dan semua khamr hukum haram [HR. Muslim no. 5185]
Walaupun menurut sebagian orang khamr itu ada bagian manfaatnya, akan tetapi bahaya yang diakibatkan jauh lebih besar. Itulah diantara petunjuk-petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya. Memerintahkan mereka untuk mengkonsumsi yang jelas halalnya dan bermanfaat serta melarang selain itu.
Disamping memberitahukan jenis minuman, Rasulullah juga memberikan tuntunan tentang adab-adab minum serta hal lain yang berkaitan dengan minum. Diantaranya:
1. Minum dengan terlebih dahulu membaca Bismillah. Hal ini berdasarkan hadits yang memerintahkan membaca bismillah sebelum makan. Sebagaimana tasmiyah (membaca bismillah) di sunnahkan sebelum makan, maka demikian juga hal sebelum minum. (Syarah Shahih Muslim juz 13 hal. 189) Syaitan akan menjauhi makanan dan minuman yang dibacakan bismillah sebelum di konsumsi.
2. Minum dengan tangan kanan dan tidak menggunakan tangan kiri. Rasulullah bersabda, yang artinya ," Apabila salah seorang diantara kalian makan, maka hendaklah dia makan dengan tangan kanannya dan apabila salah seorang diantara kalian minum maka hendaklah dia minum dengan tangan kanannya, karena syaitan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya. "[HR. Muslim no. 5233]
Rasulullah bersabda, yang artinya ," Janganlah sekali-kali salah seseorang diantara kalian makan dengan tangan kirinya dan jangan pula minum dengannya. Karena syaitan makan dengan minum dengan tangan kirinya." [HR. Muslim no. 5236]
3. Minum dengan duduk, dan beliau melarang dengan tegas minum dalam keadaan berdiri.Dari Abu Hurairah ia berkata Rasullah bersabda,yang artinya , "Janganlah sekali-kali salah seorang dari kalian minum dengan berdiri, jika lupa hendaklah ia memuntahkannya." [3]
Adapun riwayat-riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah pernah minum dengan berdiri juga merupakan riwayat yang shahih. Namun begitu semua riwayat tersebut merupakan perbuatan Rasulullah.
Sedangkan perkataan beliau lebih didahulukan daripada perbuatan beliau. Kerena perbuatan beliau terkadang menjelaskan, bahwa hal itu merupakan kekhususan bagi beliau sebagai Rasulullah. Wallahu a’lam.[4]
Imam Nawawi t ketika menjelaskan makna larangan minum dalam keadaan berdiri berkata, “Bahwa larangan yang terdapat dalam hadits-hadits tersebut dibawa pengertiannya kepada hukum makruh tanzih” [Syarah Shahih Muslim juz 13 hal. 192].
Berdasarkan adab-adab diatas, kita bisa mengambil satu faidah yaitu bathilnya kebiasaan yang disuguhkan orang diluar Islam berupa makan dan minum sambil berdiri, dengan menggunakan tangan kiri.
Adab lainnya yang perlu harus diperhatikan antara lain ;
1. Tidak bernafas di dalam gelas, dan dianjurkan untuk bernafas tiga kali ketika minum.Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi melarang bernafas dalam bejana ataupun meniupnya.” [5] . Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bernafas tiga kali ketika minum.[6]
2. Tidak minum langsung dari mulut teko.
Dari Abu Hurairah ia berkata,”Rasulullah melarang minum lansung dari mulut teko ataupun qirbah (wadah minum dari kulit).” [7]
3. Tidak minum dengan menggunakan bejana dari emas ataupun perak, karena adanya larangan Rasulullah tentang hal tersebut. Dari Umu Salamah Radhiyallahu 'anha , ia berkata, bahwa Rasulullah bersabda,yang artinya ”Orang yang minum menggunakan wadah emas atau perak, sesungguhnya ia ibarat menelan api neraka ke dalam perutnya.” [8]
4. Menutup bejana air pada malam hari, tidak membiarkannya terbuka.
Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, aku mendengar Rasululah bersabda,” Tutuplah bejana-bejana dan wadah air. Karena dalam satu tahun ada satu malam, ketika itu turun wabah, tidaklah ia melewati bejana-bejana yang tak tertutup, ataupun wadah air yang tidak diikat melainkan akan turun padanya bibit penyakit.” [9]
Inilah beberapa adab yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya. Sebagai seorang hamba beriman, kita berkewajiban untuk mengikuti adab-adab tersebut. Janganlah sampai kita terbawa dengan berbagai kebiasan yang tidak mengacu pada contoh-contoh dari Rasulullah . Dan hanya kepada Allah kita mohon petunjuk dan perlindungan. Semoga Allah meridhai kita semua hamba beriman.
Wallahu a’lam bish shawab. (Nur Hasanah)
sumber, : - Zaadul Ma’ad - Bahjatun Nazhrin, majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VII/1420H/1999M , manhaaj.or.id
catatan
[1]. HR Ahmad 6/38 dan 40, At Tirmidzi dalam Al Jami’ (1896) dan dalam Asy Syamail 1/302 dengan sanad shahih. Dishahihkan oleh Al Hakim 1/337 dan disepakati oleh Adz Dzahabi.
[2]. HR Muslim
[3]. HR Muslim
[4]. Syaikh Salim Al Hilali dalam Bahjatun nazhirin 2/73-74
Jadual Shalat SUBUH
Saudaraku, salah satu syarat sahnya shalat adalah masuknya waktu shalat tersebut. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” [Qs. an-Nisa : 103]
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membagi waktu-waktu shalat secara global dalam al-Qur’an (seperti dalam al-Isra 127 : 78) dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah menjelaskannya secara terperinci dalam beberapa hadits beliau (seperti HR Muslim : 612, dan lainnya) [1].
Tanda-tanda masuknya waktu shalat dapat dilihat dan diketahui oleh siapapun dengan penglihatan masing-masing. Hanya saja sebagian tanda-tanda tersebut berbeda-beda tingkat kemudahan dalam melihatnya. Masuknya waktu Maghrib misalnya, sangat jelas karena dalam hadits-hadits disebutkan bahwa awal waktunya disandarkan kepada terbenamnya matahari. Hal ini berbeda dengan waktu Subuh, di mana tanda masuknya (terbit fajar) tergolong paling samar dibandingkan dengan tanda-tanda masuknya waktu shalat yang lain.
Pada jaman dahulu untuk melihat tanda-tanda masuknya awal dan akhir waktu shalat sangatlah mudah. Akan tetapi ketika zaman mulai berubah, dengan banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan perkotaan, belum lagi dengan banyaknya penerangan-penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang tebal cukup mempengaruhi kondisi langit.
Hal tersebut mempengaruhi tingat kesulitan melihat tanda-tanda awal waktu masuk shalat terutama waktu shalat Subuh. Saat itulah kaum muslimin berijtihad (mencari jalan) untuk mengetahui tanda masuknya shalat yang menjadi samar, di antaranya yaitu dengan membuat jadwal waktu-waktu shalat berdasarkan atas penglihatan sebelumnya dan mengikuti jadwal-jadwal yang ada di negara-negara Islam.
Di Saudi Arabia, pemerintahnya berpegang kepada jadwal ini untuk menentukan waktu shalat bagi penduduknya, dan manusia pun berpegang kepada jadwal ini sejak raja Abdul Aziz alu Su’ud hingga hari ini. [2]
AWAL MULA TIMBUL KERANCUAN WAKTU SUBUH [3]
Sekitar dua puluh tahun yang lalu muncul beberapa orang mempermasalahkan jadwal-jadwal waktu shalat yang telah ada. Mereka berargumen bahwa jadwal waktu shalat tersebut tidak tepat, yaitu terlalu mendahului dari waktu sebenarnya sekitar 20 menit [4]. Mereka mengajak orang-orang untuk menyaksikan secara langsung terbitnya fajar, sebagian orang mengambil pendapatnya dan sebagian yang lain eggan mengikutinya.
Ketika permasalahan tersebut semakin mulai membuat orang ragu dan bingung. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah selaku Mufti Umam Saudi Arabia pada saat itu menugaskan Lajnah khusus (suatu lembaga) untuk meninjau ulang, melihat dan meneliti kembali keabsahan jadwal-jadwal waktu shalat terutama jadwal waktu shalat pada kalender Ummul Quro (kalender resmi yang berlaku di KSA).
Setelah diteliti dengan cermat, Lajnah tersebut berkesimpulan dan memutuskan bahwa waktu-waktu shalat yang sebenarnya bersesuaian dengan jadwal-jadwal yang dipakai oleh kaum muslimin (jadwal waktu shalat Ummul Quro), tidak ada yang salah. Dengan demikian hilanglah kerancuan permasalahan tersebut.
Hanya saja akhir-akhir ini kerancuan tersebut muncul kembali dan semakin diperbincangkan, kemudian Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah selaku Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia, membantah kerancuan ini berdasarkan bukti-bukti yang sampai kepadanya berupa saksi-saksi yang menguatkan kebenaran jadwal-jadwal waktu shalat, ditambah kenyataan yang berjalan selama ini bahwa jadwal-jadwal tersebut dipakai tanpa adanya kesalahan. Demikianlah apa yang dikuatkan oleh Syaikh Dr Shalih Al-Fauzan hafidzahullah dan Syaikh Jad Al-Haq Hafidzahullah (syaikhul Azhar), juga dikuatkan oleh Ahli Falak Dr Shalih bin Muhammad Al-Ujairi Hafidzahullah.[5]
WAKTU SHUBUH DIMULAI DENGAN TERBITNYA FAJAR SHODIQ
Kita ketahui bersama bahwa waktu shalat shubuh dimulai dengan masuknya saat terbit fajar shodiq, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini. Oleh karena itu shalat Shubuh biasa disebut shalat fajar. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa fajar ada dua macam, fajar shodiq dan fajar kadzib,
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya ,“Fajar itu ada dua , pertama fajar (shodiq) yang haram saat itu makanan dan halal shalat (subuh), dan fajar yang lain (kadzib) haram shalat (subuh) dan halal makanan” [HR Ibnu Khuzaimah 1/52/2, Al-Hakim 1/425 dan dishahihkan oleh Al-Albani ,Silsilah Shahihah 2/314]
PERBEDAAN FAJAR SHODIQ DAN KADZIB
Para ulama menjelaskan beberapa perbedaan antara Fajar pertama dengan kedua sebagai berikut :
1). Fajar pertama memanjang dari timur ke barat, sedangkan fajar kedua membentang dari utara ke selatan.
2). Cahaya fajar pertama bersifat sementara kemudian kembali gelap lagi, sedangkan cahaya fajar kedua terus bertambah, tidak kembali gelap lagi
3). Fajar pertama tidak bersambung dengan ufuk karena terhalangi oleh kegelapan, sedangkan fajar kedua bersambung dengan ufuk karena tidak ada kegelapan antaranya dan antara ufuk. [Syarh Mumti’ 2/113 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin].
AKAR PERBEDAAN TENTANG FAJAR SHODIQ
Bila dicermati, ternyata perbedaan pendapat ini timbul dari perbedaan beberapa kalangan ketika mendefinisikan terbitnya fajar shodiq itu sendiri.
Pendapat pertama [6] : Mengatakan bahwa fajar shodiq tidak dikatakan terbit kecuali jika benar-benar tampak jelas cahaya berwarna merah, yang diketahui semua orang, menerangi jalanan dan gunung-gunung. Inilah pendapat yang dipegang oleh mereka yang menyalahkan jadwal waktu shalat Subuh akhir-akhir ini.
Pendapat kedua [7] : Adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa fajar shodiq dikatakan telah terbit jika terlihat sinar putih (permulaan cahaya fajar), atau dengan tampaknya cahaya fajar, tetapi tidak sampai mempengaruhi (tidak merubah) keadaan langit (yang gelap) [8]
DEFENISI FAJAR SHODIQ
Dalam Al-Qur’an telah disebutkan bahwa fajar itu terbit ditandai berupa jelasnya benang putih dengan benang hitam.
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya “Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” [Al-Baqarah 2 : 187]
Ibnu Faris rahimahullah berkata الفجر (fajar) adalah terbelahnya kegelapan malam oleh (datangnya) Subuh (awal siang).
Ibnu Mandur rahimahullah berkata : “Fajar adalah cahaya Subuh, yaitu sinar merahnya matahari di kegelapan malam. Dan fajar itu ada dua macam : Pertama, Fajar mustathil (menjulang ke atas). Ini adalah fajar kadzib yang biasa disebut Dhanab As-Sirhon (ekor srigala). Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar mustathir (menyebar). Ini adalah fajar shodiq yang menyebar di ufuk, yang dengannya haram makan dan minum bagi yang berpuasa. Dan waktu subuh tidak dikatakan masuk kecuali dengan (terbitnya) fajar shodiq”
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata : “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala من الفجر sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (terbit fajar) maksudnya ketika jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yang mana dia adalah sebagian dari fajar, bukan keseluruhan fajar”[9]
Imam Qurthubi rahimahullah berkata : “Dinamai fajar (shodiq) itu benang, karena yang muncul berupa warna putih terlihat memanjang seperti benang” [10]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Dinamai putihnya siang dengan nama benang putih dan hitamnya malam dengan nama benang hitam, menunjukkan bahwa fajar yang terbit adalah awal permulaan warna putih yang berbeda dengan warna hitam disertai dengan tipis dan samarnya, karena benang itu adalah tipis” [Syarhul Umdah, Kitab As-Shiyam : 1/530]
Az-Zamakhsyari rahimahullah berkata : “Yang dimaksud الخيط الأبيض adalah awal permulaan tampaknya fajar yang membentang di ufuk seperti benang yang dibentang” [Al-Kasysyaf : 1/339]
Abu As-Su’ud rahimahullah berkata dalam tafsirnya : “Dan hurup من (dalam ayat من الفجر ), juga boleh bermakna التبعيض (sebagian), karena sesungguhnya yang muncul dari fajar itu adalah sebagian dari fajar (bukan keseluruhannya)” [Tafsir Abul Su’ud : 1/318]
Adapun sifat fajar yang disebutkan berwarna merah, sebagaimana dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya, “Makan dan minumlah sampai menghadangmu (fajar) merah” [HR Abu Daud : 1/69-370, At-Tirmidzi : 705, Ibnu Majah : 1930 dan Ad-Daruquthni hlm 231, dihasankan Al-Albani dalam Silsilah Shahihah : 2031].
Maka al-Khottobi rahimahullah menjawab ; “Makna merah di sini adalah warna putih yang menyebar masuk kepada awal-awal warna merah (bukan benar-benar merah).
Abu ath-Thib Muhammad Syamsudin Al-Adhim Abadi rahimahullah. Penulis kitab Aunul Ma’bud mengatakan : “Makna hadits ‘Makan dan minumlah sampai tampak kepadamu (fajar) merah, maksudnya (sampai tampak) putihnya siang dari hitamnya malam, yaitu waktu Subuh shodiq (fajar Shodiq)” [Aunul Ma’bud : 6/339]
Ibnul Atsir rahimahullah mengatakan tentang warna merah yang kadang dipakai untuk menyebutkan warna putih, sebagaimana orang Arab biasa mengatakan seorang wanita yang berkulit putih dikatakan wanita berkulit merah. [An-Nihayah 1/437]
Al-Jashshah rahimahullah berkata [11] : “Kalau dikatakan mengapa gelapnya malam diserupakan dengan benang hitam, padahal gelapnya meliputi alam (tidak mirip benang?), sungguh kita ketahui bahwa fajar itu diserupakan dengan benang, karena dia memanjang terbentang di ufuk, sedangkan gelapnya malam (yang mendominasi ufuk) tidak ada kemiripan (dengan benang). (Jawabnya ) bahwa benang hitam adalah (gelapnya) malam yang ada pada posisi benang putih sebelum muncul pada tempat tersebut, (benang hitam) di tempat itu sama dengan benang putih yang muncul setelahnya, oleh karena itu disebut benang hitam.
Kemudian beliau menambahkan : “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa (terbitnya) fajar putih yang membentang di ufuk sebelum munculnya merah itulah yang mengharamkan makan dan minum bagi yang berpuasa (saat itulah waktu Subuh dimulai)”.
Makna fajar shodiq yang kita sebutkan ini dikuatkan oleh sebuah hadits berikut.
“Dari Shal bin Sa’d berkata : Tatkala diturunkan ayat makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam sebelum turun ayat (akhirnya) من الفجر yaitu fajar” dahulu orang-orang jika hendak berpuasa, di antara mereka mengikat kakinya dengan benang putih dan benang hitam, lalu dia terus makan (sahur) sampai benar-benar jelas melihat perbedaan antara keduanya, lalu Allah menurunkan من الفجر yaitu fajar, lalu mereka tahu bahwa yang dimaksud (benang putih dan hitam itu) adalah (hitamnya) malam dan (putihnya) siang” [HR al-Bukhari : 4241 dan Muslim 1091]
Keterangan : orang yang hendak berpuasa ini beranggapan bahwa terbitnya fajar harus benar-benar jelas cahaya Subuh itu dengan sempurna, diketahui semua orang dan menerangi ruangan, jalanan dan gunung-gunung, karena dua benang putih dan hitam yang diletakkan berdekatan tidak akan jelas perbedaannya kecuali ketika langit sudah sangat terang, akan tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalahkannya, dan menerangkan bahwa yang dimaksud bukan demikian, tetapi sekedar terbit fajar walaupun tidak sampai menerangi benda-benda dan jalanan, maka itulah mulai waktu Subuh dan seorang yang hendak berpuasa dilarang makan dan minum” [12]
Adapun perkataan Ibnu Jarir tentang karakter sinar terbitnya fajar itu adalah menyebar dan meluas di langit, cahayanya memenuhi dunia hingga memperlihatkan jalan-jalan menjadi jelas, maka ini bukanlah pendapat beliau. Lihatlah awal ucapan dan akhir ucapannya. Sebelumnya beliau mengatakan : “Para penafsir firman Allah berkata ….” Dan Ibnu Jarir menutup dengan perkataan : “Demikian para penafsir menyebutkan pendapat ini”. Dan sebagai bukti, ternyata beliau berpendapat sebagaiaman jumhur berpendapat dengan mengatakan : “(terbit fajar) maksudnya ketika jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yang mana dia adalah sebagian dari fajar semisal benang putih, bukan keseluruhan fajar” [13]
TIDAK SEMUA ORANG MAMPU MELIHATNYA
Semakin banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan perkotaan, ditambah banyaknya penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang menjulang, ini semua mempengaruhi tingkat kesulitan melihat awal terbitnya fajar shodiq yang tipis hanya seperti benang putih, oleh karena itu saat menjelang Subuh, sering kita melihat langit gelap, kemudian tiba-tiba berganti merah dan tidak terlihat lagi warna putih sebelumnya, yang mana warna putih itulah pertanda awal fajar.
Oleh karena itu juga gambar-gambar yang tertangkap oleh kamera jika kita ingin mengabadikan terbitnya fajar, biasanya yang tampak adalah fajar yang berwarna merah, bukan awal fajar yang berwarna putih seperti benang tipis. Karena warna putih ini semakin menjadi samar terpengaruh oleh keadaan langit yang sudah berubah, atau mungkin tertangkap warna putih oleh kamera tetapi tidak tipis seperti benang. Ini semua menunjukkan bahwa awal fajar sudah terbit beberapa waktu yang lalu sebelum kamera menangkap gambar tersebut.
Adapun yang menganggap bahwa terbitnya fajar harus terlihat cahaya terang yang menerangi jalan-jalan atau harus terlihat warna merah di ufuk, maka ini adalah pendapat yang bersandar kepada makna fajar secara bahasa, dan makna ini kurang tepat, karena mereka menyandarkan terbitnya fajar dengan terbitnya fajar secara sempurna (bukan permulaannya). Hal ini tidak sesuai dengan ayat al-Qur’an yang menyerupakan fajar dengan benang putih bersama adanya gelap malam yang lebih dominan.
Perkataan jumhur ini sesuai dengan sebuah hadits yang mengisyaratkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Subuh ketika baru terbit fajar, bukan ketika fajar telah terbit secara sempurna,
sebagaimana dalam haditsnya, yang artinya ,“Lalu Nabi shalat Subuh ketika terbit fajar” [HR At-Tirmidzi 1/149, Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini Hasan Shahih dalam Shahih wa Dha’if Sunan At-Tirmidzi 1/149]
KESIMPULAN MAKNA FAJAR SHODIQ[14]
Fajar shodiq dikatakan telah terbit dan masuk waktu shalat Subuh, serta haram makan dan minum bagi orang yang berpuasa, adalah jika tampak permulaan terbelahnya kegelapan malam oleh cahaya Subuh (bukan tampaknya sinar yang berwarna merah), definisi inilah yang bersesuaian dengan ayat al-Qur’an, yaitu masuknya waktu Subuh adalah “Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” [Al-Baqarah 2 : 187]
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpamakan permulaan Subuh ini dengan benang karena sama tipisnya dan bentuknya yang kecil. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala sama sekali tidak menyebutkan besarnya bentangan benang ini di ufuk, karena benang yang disebutkan bisa panjang dan bisa pendek.
Ayat ini menunjukkan bahwa permulaan munculnya cahaya di timur pertanda fajar terbit walaupun sangat kecil selagi dapat dilihat mata manusia. Dan bukanlah termasuk sifat terbitnya fajar adalah terangnya bumi dan langit, akan tetapi fajar dikatakan telah terbit walaupun gelapnya malam tetap mendominasi, fajar itu dikatakan terbit dengan adanya cahaya sebatas benang di bawah ufuk tepat di atas bumi, dan sebelum menyebarnya cahaya Subuh.
Karena penglihatan manusia terhadap benang di ufuk berbeda tingkat ketajamannya, maka tidak semua manusia melihatnya. Yang dapat melihat adalah orang-orang yang memiliki penglihatan yang sangat tajam, bahkan ketika langit menjadi semakin berubah, maka bisa jadi awal munculnya fajar shodiq itu tidak dapat dilihat oleh mata [15]
AWAL MULA PEMBUATAN JADWAL WAKTU SHALAT
Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, manusia mengetahui waktu shalat dengan melihat tanda-tanda yang tampak bagi mereka. Lalu ketika zaman semakin berubah, mereka memikirkan cara-cara yang mudah untuk mengetahui waktu-waktu shalat dan lainnya. Dahulu mereka hanya berpegang dengan pergantian hari yang terus berputar berbeda-beda menurut musim yang berbeda. Setelah ditemukan alat penunjuk waktu berupa alat yang dipancangkan dan mempunyai bayangan, maka mereka beralih kepada alat ini selama ribuan tahuan, lalu terus berkembang, sehingga ditemukan jam mekanik sekitar abad 13M dan tersebarlah pemakaian jam ini pada abad 15M
Dengan alat ini kaum muslimin mengetahui waktu-waktu dengan lebih tepat, bahkan dapat mengetahui perbedaan waktu permenitnya, kemudian ditemukan jam yang menggunakan bandul pada abad 18. Penemuan ini semakin membuat manusia mengetahui waktu lebih teliti sampai perdetiknya, dan terus berkembang bentuk-bentuk jam ini sampai sekarang. [16]
Ketika manusia telah membutuhkan jam-jam waktu ini, maka mereka juga membutuhkannya untuk mudahnya mengetahui waktu shalat. Karena jika tidak demikian maka mereka harus berulang kali melihat tanda-tanda masuknya waktu shalat yang setiap harinya terulang 5 kali waktu, belum lagi keadaan langit sudah berubah. Bersamaan dengan itulah menjadi dikenal perhitungan waktu-waktu bagi kaum muslimin. Dan cara-cara hisab/perhitungannya ini terus berkembang seiring dengan berkembangnya alat-alat perhitungan waktu yang digunakan oleh kaum muslimin. Lalu ketika ditemukan mesin cetak mulailah dicetak jadwal waktu shalat dan puasa yang kemudian disebarkan sehingga memudahkan kaum muslimin dalam menjalankan ibadah mereka. [17]
Pembuatan jadwal-jadwal ini berdasarkan perhitungan yang sangat teliti para ahli dibidangnya, yaitu menjadikan gerakan matahari sebagai patokannya. Mereka membedakan penentuan waktu ini sesuai dengan perbedaan hari dan tempatnya, bahkan dengan perhitungan menggunakan alat-alat yang lebih canggih dapat diketahui waktu shalat lima waktu sampai beberapa tahun kedepannya [18]. Demikianlah kaum muslimin terus menggunakan jadwal-jadwal waktu shalat dari dahulu hingga sekarang.
HUKUM MENGGUNAKAN JADWAL WAKTU SHALAT
Sejak ditemukan alat-alat modern dan dibuat jadwal waktu shalat, tidak djumpai seorangpun dari para ulama yang mengingkarinya. Ini pertanda bahwa menggunakan jadwal-jadwal tersebut diperbolehkan dengan kesepakatan para ulama/Ijma’ ulama. [19]
Kesepakatan ulama ini diperkuat dengan beberapa perkara, di antaranya.
1). Penggunaan jadwal waktu shalat mempermudah kaum muslimin terutama menentukan waktu Subuh yang telah dikatakan oleh para ulama bahwa munculnya awal fajar shodiq sulit dilihat, sebab ada sesuatu yang menghalangi terlihatnya awal munculnya fajar, seperti tinggi dan banyaknya bangunan. Adanya cahaya buatan, seperti lampu-lampu jalanan dan gedung-gedung serta pabrik-pabrik juga mempengaruhi keadaan ufuk. Hal ini sesuai dengan kaidah Islam adalah agama yang mudah.
2). Dengan penggunaan jadwal tersebut maslahat yang timbul lebih besar dan mafsadat (kerusakan) yang ada lebih ditekan, yaitu berupa perselisihan, pertikaian dan perpecahan di antara kaum muslimin.
3). Jadwal waktu shalat yang ada telah dikeluarkan oleh pemerintah kaum muslimin dan keberadaannya disetujui oleh para ulama. Sehingga kita harus mengikuti apa yang ditetapkan oleh pemimpin dalam urusan yang diberikan kepada mereka. Jika tidak, maka akan timbul perselisihan dan perpecahan yang sangat dibenci dalam Islam. [20]
FATWA SYAIKH IBNU BAZ RAHIMAHULLAH
Berikut fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah selaku mufti umum Saudi Arabia, ketua lembaga ulama besar Saudi Arabia dan ketua Idarotil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ berkaitan dengan masalah jadwal waktu shalat dari kalender Ummul Quro tertanggal 22 Rajab 1417 H.
Beliau mengatakan :“Segala puji bagi Allah semata, dan shalawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga, dan para sahabatnya, adapun setelah itu.
Maka sesungguhnya tatkala banyak pembicaraan dari sebagian orang akhir-akhir ini tentang jadwal (waktu shalat) dalam kalender Ummu Quro, dan dikatakan bahwa terdapat kesalahan padanya, khususnya waktu shalat Subuh yang mendahului sekitar 5 (lima) menit atau lebih dibandingkan waktu yang sesungguhnya. Maka saya tugaskan panitia khusus dari kalangan para ulama untuk pergi keluar dari batas kota Riyadh, (tempat yang jauh) dari lampu-lampu/cahaya-cahaya (buatan), supaya mereka memantau terbitnya fajar, dan supaya diketahui sejauh mana tepatnya penentuan jadwal yang dimaksud dengan kenyataan.
Dan sungguh panitia khusus tersebut dengan kesepakatan mereka menetapkan bahwa jadwal waktu-waktu tersebut tepat/bersesuaian dengan terbitnya fajar, dan tidak benar apa yang disangka sebagian orang bahwa jadwal tersebut mendahului sebelum terbitnya fajar.Dan untuk menghilangkan kerancuan/keraguan yang membuat sebagian orang ragu akan sahnya shalat mereka, maka inilah penjelasannya.
Allah maha memberi taufiq dan maha menunjuki kepada jalan yang lurus” [21]
FATWA SYAIKH ABDUL AZIZ ALU SYAIKH HAFIDZAHULLAH
Mufti umum Saudi Arabia sepeninggal Syaikh bin Baz rahimahullah, yaitu Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah. Beliau juga membantah tuduhan sebagian orang yang menyalahkan jadwal waktu shalat pada kalender Ummul Quro. Beliau mengatakan : “Semua pendapat yang dilontarkan dalam masalah ini adalah salah dan jauh dari kebenaran, sehingga (pendapat-pendapat ini) wajib ditinggalkan. Karena (bila tidak) maka akan mengakibatkan tersebarnya kebingungan di antara kaum muslimin”.
Beliau menambahkan bahwa jadwal waktu shalat yang terdapat pada kalender Ummul Quro adalah jadwal yang resmi dan sesuai syari’at, tidak ada keraguan di dalamnya. Para pengurusnya adalah para ulama yang dipilih lagi terpercaya dari sisi ilmu dan amanahnya. Bahkan jadwal ini telah digunakan kaum muslimin sejak zaman dahulu hingga sekarang” [22]
FATWA SYAIKH DR SHALIH AL-FAUZAN HAFIDZAHULLAH
Syaikh Dr Shalih al-Fauzan hafidzahullah menulis sebuah fatwa berkaitan dengan masalah ini dan diberi judul “Kewajiban Menghormati Fatwa Para Ulama”.
Beliau berkata : “Akhir-akhir ini kita menyaksikan sebagian orang mengutarakan pendapatnya dalam perkara-perkara yang bukan hak mereka untuk mengutaran pendapat. Sehingga mereka membuat manusia bingung dalam ibadah, muamalah, dan aqidah mereka. Diantaranya adalah mereka ikut campur menentukan waktu-waktu shalat, dan akhirnya mereka membingungkan umat, mereka mengumumkan bahwa shalat manusia sekarang belum masuk pada waktunya, mereka mengatakan bahwa jadwal yang dibuat Ummul Quro terdapat kesalahan perhitungan. Padahal jadwal ini disahkan oleh pemerintah, disetujui oleh perbagai kalangan para ulama sejak zaman dahulu dan tidak pernah terjadi kesalahan ketika diterapkan sejak puluhan tahun lamanya” [23]
TANGGAPAN SYAIKH IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah termasuk yang menyatakan bahwa jadwal waktu shalat yang dibuat Ummul Quro terlalu mendahului 5 (lima) menit dari waktu Subuh yang sebenarnya [24], akan tetapi ketika disampaikan kepada beliau fatwa Mufti Umum Syaikh Bin Baz rahimahullah, beliau menanggapi dengan perkataan : “Suatu permasa-lahan yang ditetapkan oleh mufti mamlakah (Saudi Arabia), maka kita tidak ada hak turut campur di dalamnya, dan kita tidak boleh menyelisihinya sama sekali, akan tetapi khusus masalah shalat, seseorang boleh berhati-hati mengakhirkan sampai 5 menit” [Liqo’ al-Bab al-Maftuh 20/147]
AGAMA INI ADALAH NASIHAT, TETAPI UNTUK SIAPA?
Jika tampak bagi seorang tanda waktu masuknya shalat berbeda dengan yang telah ditetapkan oleh pemimpin dan dia menyangka pemimpin dalam hal ini salah, maka wajib baginya menyampaikan perkara ini kepada pemimpin atau wakilnya dalam bidangnya dan menasihati mereka, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan bahwa agama ini adalah nasihat,
sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya ,“Agama ini adalah nasihat, kami bertanya (nasihat) buat siapa? Beliau menjawab : Untuk Allah, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum muslimin dan masyarakat secara umum” [HR al-Bukhari 1/108 dan Muslim 1/74]
Hadits ini menunjukkan bahwa nasihat kepada pemimpin dibedakan dengan nasihat kepada masyarakat secara umum.
Termasuk yang diketahui bersama bahwa penjadwalan waktu shalat (ketika manusia secara umum tidak memungkinkan melihat tanda-tanda masuknya waktu shalat), demikian pula penetapan bulan sabit (pertanda masuknya awal bulan), keduanya termasuk perkara yang diserahkan urusannya kepada lembaga-lembaga pemerintah resmi dalam bidangnya. Jika ada seseorang yang menyangka bahwa suatu perkara yang diurus pemimpin itu salah, (demikian juga urusan-urusan lain yang dimaksudkan supaya umat ini bersatu dan tidak berselisih), maka dia (orang yang menganggap salah) harus mengkhususkan nasihatnya kepada pemimpinnya dengan cara yang baik, bukan membeberkan kesalahan yang ia sangka kepada masyarakat umum, atau memaparkan kesalahan ini di media cetak. Hal ini supaya tidak terjadi kekacauan, kerancuan, kebingungan yang pada akhirnya masyarakat tidak percaya dan selalu curiga kepada pemimpinnya. Jika menasihati pemimpin dengan cara yang baik telah dilakukan, maka lepaslah tanggung jawabnya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, terlepas dari diterima atau tidak nasihat tersebut. Karena dia telah melaksanakan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan nasihat kepada “ahlinya” (yang patut dinasihati). Dan barangsiapa dengan sengaja menyebarkan kesalahan ini kepada masyarakat umum baik dengan cara menulis di majalah atau lainnya, maka dia telah menyalahi perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tingkatan nasihat kepada pihak yang dianggap bersalah. Karena dia menasihati masyarakat sebelum pemimpinnya, padahal semestinya mendahulukan pemimpin baru kemudian masyarakatnya. [25]
KESIMPULAN
1). Para ulama sepakat bahwa masuknya waktu shalat Subuh adalah terbitnya fajar.
2). Para ulama berbeda pendapat tentang penentuan terbitnya fajar, ada yang berpendapat harus sempurna terbitnya dengan syarat cahayanya memenuhi jalanan dan terlihat oleh semua orang, sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa terbitnya fajar jika terlihat warna putih seperti benang tipis pertanda terbitnya awal fajar sebelum adanya cahaya merah, tetapi tidak semua orang dapat melihatnya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupakannya dengan benang putih yang tipis dan samara.
3). Semakin banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan kota-kota, ditambah banyaknya penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang menjulang, sangat mempengaruhi tingkat kesulitan melihat awal terbitnya fajar shodiq yang tipis seperti benang putih, oleh karena itu, jika menjelang Subuh, sering kita melihat langit sangat gelap, lalu tiba-tiba berganti merah dan tidak terlihat lagi warna putih pertanda awal fajar sebelumnya, dan jika kita mengabadikannya dengan kamera, biasanya yang tertangkap adalah fajar yang berwarna merah, bukan awal fajar yang berwarna putih seperti benang tipis, atau mungkin tertangkap warna putih oleh kamera tetapi tidak tipis seperti benang, ini semua menunjukkan bahwa awal fajar sudah terbit beberapa waktu yang lalu sebelum kamera menangkap gambar yersebut.
4). Penggunaan jadwal untuk menentukan jadwal waktu shalat disepakati oleh para ulama kebolehannya.
5). Jika seseorang melihat suatu perkara yang diurus oleh pemimpin/pemerintah ada kesalahan, maka wajib baginya menyampaikan kebenaran kepada pemimpin dan menasihatinya dengan bijak, karena agama adalah nasihat.
6). Dengan demikian tidak ada yang perlu diragukan tentang penggunaan jadwal-jadwal waktu shalat, jika jadwal tersebut resmi dan tidak terbukti salah, terlebih lagi bagi orang yang tidak melihat fajar shodiq secara langsung. Wallahu A’lam
Wallahu a''lam bishshawab
sumber : Abu Ibrohim Muhammad Ali AM Hafidzahullah , http://almanhaj.or.id , Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 4, Tahun ke-9/Dzulqo'dah 1430/2009. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
catatan :
[1]. Risalah fi Mawaqitis Sholat karya Syaikh Muhammad bin Shalih bin Utsaimin rahimahullah hlm.7-11
[2]. Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, karya Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad ash-Shubaihi hafidzahullah, hlm.7
[3]. Banyak pertanyaan masuk ke redaksi dan ada juga yang secara langsung kepada penulis, bahkan hampir di setiap majelis ta’lim saat itu mempertanyakan masalah tersebut. Kemudian pemimpin redaksi majalah Al-Furqon, al-Ustadz Ahamad Sabiq hafidzahullah mnghimbau kami untuk membahasnya, karena permasalahannya semakin dirasa rumit serta membuat banyak orang bingung dan ragu akan keabasahan shalat Subuh mereka. Akhirnya kami putuskan untuk membahasnya demi kemaslahatan bersama. Kami sampaikan Jazakumullah khairan kepada al-Ustadz Abu Ubaidah hafidzahullah yang telah meminjamkan beberapa rujukan penting dalam masalah ini. Dan kami sampaikan bahwa pembahasan ini kami sarikan dari kitab Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, karya Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad ash-Shubaihi hafidzahullah, diberi kata pengantar oleh Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah dan Syaikh Dr Shalih al-Fauzan hafidzahullah. Cetakan pertama tahun 1428H. Demikian juga kami tambahkan dari referensi penting lainnya.
[4]. Di antara mereka yang paling menonjol menyerukan masalah ini adalah Abdullah al-Sulthon, imam masjid salah satu kampong di kota Riyadh, Saudi Arabia. (Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh hlm.7)
[5]. Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.8-11
[6]. Ini adalah pendapat yang diriwayatkan dari Umar, Khudzaifah, Ibnu Abbas, Tholq bin Ali, Atho’ bin Abi Robbah, al-A’masy, dan Masruq. (Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.55-62)
[7]. Seperti yang dikatakan oleh Imam al-Qurthubi rahimahullah bahwa ini adalah pendapat jumhur para ulama, dikuatkan oleh Ibnu Jarir at-Thobari, Ibnu Zaid, dan al-Jashshosh. (Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm 62-66)
[8]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 12 dan 55-66
[9]. Tafsir Ibnu Jarir ath-Thobari 2/182-183
[10]. Tafsir al-Qurthubi 2/320
[11]. Lihat Ahkamul Qur’an karya Imam al-Jashshosh 1/222-230
[12]. Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 76
[13]. Lihat Tafsir Ibnu Jarir at-Thobari 2/182-183, dan Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.76-77
[14]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.53-54
[15]. Sebagaimana diisyaratkan sulitnya melihat fajar shodiq oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dalam As-Syarhul Mumthi’ ala Zadil Mustaqni 2/94. Demikian juga Syaikhuna Dr Sami bin Muhammad as-Shuqoir, murid sekaligus pengganti Syaikh Ibnu Utsaimin sebagai imam rowatib di masjidnya, beliau menafikan terlihatnya fajar shodiq pada zaman sekarang kecuali dengan penelitian yang mendalam. (informasi dari al-Akh Abdul Wahhab dari kota Unaizah, KSA)
[16]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 214, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[17]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 215, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[18]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 216, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[19]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 218, karya Ibnu Jam’an Jaridan. Lihat pula Fiqhu Nawazil fil Ibadat, DR Kholid al-Musyaiqih hlm. 38-39, Fatawa Lajnah Daimah 6/141
[20]. Lantas timbul pertanyaan penting : Kenapa para ulama mengingkari penentuan puasa Ramadhan dengan hisab, tetapi mereka tidak mengingkari dalam penentuan shalat?!! Imam Al-Qorrofi menjawab masalah ini, katanya : “Sesunguhnya Allah menjadikan tergelincirnya matahari merupakan sebab wajibnya shalat Dhuhur, demikain juga waktu-waktu shalat lainnya. Barangsiapa yang mengetahui sebab tersebut dengan cara apapun, maka dia terkait dengan hukumnya. Oleh karena itu hisab yakin bisa dijadikan pegangan dalam waktu shalat. Adapun dalam puasa, Islam tidak menggantungkannya dengan hisab, tetapi dengan salah satu diantara dua perkara : Pertama, Melihat hilal. Kedua : Menyempurnakan bulan sya’ban menjadi tiga puluh hari apabila tidak telihat hilal. Wallahu A’lam [Al-Furuq 2/323-324 secara ringkas]
[21]. Dinukil dari Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 29-30
[22]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 22, dan ini sekaligus membantah mereka yang menyalahkan jadwal shalat Subuh dengan tuduhan bahwa jadwal-jadwal yang berlaku dibuat oleh orang-orang yang tidak ahli dibidangnya, bahkan dikatakan bahwa insinyur Inggris-lah yang membuatnya.
[23]. Dinukil dari Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 22
[24]. Perlu diingat bahwa Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah hanya menngatakan 5 menit saja, bukan 20-25 menit, bahkan beliau mengatakan “ Nampaknya ini adalah berlebih-lebihan, tidak benar”. (Fatawa Ibnu Utsaimin hlm 680). Kemudian, kalau kita terima pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin ini –karena perlu dikaji lagi-, tidak bisa kita terapkan begitu saja di negeri kita, karena adanya perbedaan hisab, perbedaan tempat, dan perbedaan waktu. Wallahu a’lam
[25]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 12-13
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membagi waktu-waktu shalat secara global dalam al-Qur’an (seperti dalam al-Isra 127 : 78) dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah menjelaskannya secara terperinci dalam beberapa hadits beliau (seperti HR Muslim : 612, dan lainnya) [1].
Tanda-tanda masuknya waktu shalat dapat dilihat dan diketahui oleh siapapun dengan penglihatan masing-masing. Hanya saja sebagian tanda-tanda tersebut berbeda-beda tingkat kemudahan dalam melihatnya. Masuknya waktu Maghrib misalnya, sangat jelas karena dalam hadits-hadits disebutkan bahwa awal waktunya disandarkan kepada terbenamnya matahari. Hal ini berbeda dengan waktu Subuh, di mana tanda masuknya (terbit fajar) tergolong paling samar dibandingkan dengan tanda-tanda masuknya waktu shalat yang lain.
Pada jaman dahulu untuk melihat tanda-tanda masuknya awal dan akhir waktu shalat sangatlah mudah. Akan tetapi ketika zaman mulai berubah, dengan banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan perkotaan, belum lagi dengan banyaknya penerangan-penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang tebal cukup mempengaruhi kondisi langit.
Hal tersebut mempengaruhi tingat kesulitan melihat tanda-tanda awal waktu masuk shalat terutama waktu shalat Subuh. Saat itulah kaum muslimin berijtihad (mencari jalan) untuk mengetahui tanda masuknya shalat yang menjadi samar, di antaranya yaitu dengan membuat jadwal waktu-waktu shalat berdasarkan atas penglihatan sebelumnya dan mengikuti jadwal-jadwal yang ada di negara-negara Islam.
Di Saudi Arabia, pemerintahnya berpegang kepada jadwal ini untuk menentukan waktu shalat bagi penduduknya, dan manusia pun berpegang kepada jadwal ini sejak raja Abdul Aziz alu Su’ud hingga hari ini. [2]
AWAL MULA TIMBUL KERANCUAN WAKTU SUBUH [3]
Sekitar dua puluh tahun yang lalu muncul beberapa orang mempermasalahkan jadwal-jadwal waktu shalat yang telah ada. Mereka berargumen bahwa jadwal waktu shalat tersebut tidak tepat, yaitu terlalu mendahului dari waktu sebenarnya sekitar 20 menit [4]. Mereka mengajak orang-orang untuk menyaksikan secara langsung terbitnya fajar, sebagian orang mengambil pendapatnya dan sebagian yang lain eggan mengikutinya.
Ketika permasalahan tersebut semakin mulai membuat orang ragu dan bingung. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah selaku Mufti Umam Saudi Arabia pada saat itu menugaskan Lajnah khusus (suatu lembaga) untuk meninjau ulang, melihat dan meneliti kembali keabsahan jadwal-jadwal waktu shalat terutama jadwal waktu shalat pada kalender Ummul Quro (kalender resmi yang berlaku di KSA).
Setelah diteliti dengan cermat, Lajnah tersebut berkesimpulan dan memutuskan bahwa waktu-waktu shalat yang sebenarnya bersesuaian dengan jadwal-jadwal yang dipakai oleh kaum muslimin (jadwal waktu shalat Ummul Quro), tidak ada yang salah. Dengan demikian hilanglah kerancuan permasalahan tersebut.
Hanya saja akhir-akhir ini kerancuan tersebut muncul kembali dan semakin diperbincangkan, kemudian Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah selaku Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia, membantah kerancuan ini berdasarkan bukti-bukti yang sampai kepadanya berupa saksi-saksi yang menguatkan kebenaran jadwal-jadwal waktu shalat, ditambah kenyataan yang berjalan selama ini bahwa jadwal-jadwal tersebut dipakai tanpa adanya kesalahan. Demikianlah apa yang dikuatkan oleh Syaikh Dr Shalih Al-Fauzan hafidzahullah dan Syaikh Jad Al-Haq Hafidzahullah (syaikhul Azhar), juga dikuatkan oleh Ahli Falak Dr Shalih bin Muhammad Al-Ujairi Hafidzahullah.[5]
WAKTU SHUBUH DIMULAI DENGAN TERBITNYA FAJAR SHODIQ
Kita ketahui bersama bahwa waktu shalat shubuh dimulai dengan masuknya saat terbit fajar shodiq, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini. Oleh karena itu shalat Shubuh biasa disebut shalat fajar. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa fajar ada dua macam, fajar shodiq dan fajar kadzib,
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya ,“Fajar itu ada dua , pertama fajar (shodiq) yang haram saat itu makanan dan halal shalat (subuh), dan fajar yang lain (kadzib) haram shalat (subuh) dan halal makanan” [HR Ibnu Khuzaimah 1/52/2, Al-Hakim 1/425 dan dishahihkan oleh Al-Albani ,Silsilah Shahihah 2/314]
PERBEDAAN FAJAR SHODIQ DAN KADZIB
Para ulama menjelaskan beberapa perbedaan antara Fajar pertama dengan kedua sebagai berikut :
1). Fajar pertama memanjang dari timur ke barat, sedangkan fajar kedua membentang dari utara ke selatan.
2). Cahaya fajar pertama bersifat sementara kemudian kembali gelap lagi, sedangkan cahaya fajar kedua terus bertambah, tidak kembali gelap lagi
3). Fajar pertama tidak bersambung dengan ufuk karena terhalangi oleh kegelapan, sedangkan fajar kedua bersambung dengan ufuk karena tidak ada kegelapan antaranya dan antara ufuk. [Syarh Mumti’ 2/113 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin].
AKAR PERBEDAAN TENTANG FAJAR SHODIQ
Bila dicermati, ternyata perbedaan pendapat ini timbul dari perbedaan beberapa kalangan ketika mendefinisikan terbitnya fajar shodiq itu sendiri.
Pendapat pertama [6] : Mengatakan bahwa fajar shodiq tidak dikatakan terbit kecuali jika benar-benar tampak jelas cahaya berwarna merah, yang diketahui semua orang, menerangi jalanan dan gunung-gunung. Inilah pendapat yang dipegang oleh mereka yang menyalahkan jadwal waktu shalat Subuh akhir-akhir ini.
Pendapat kedua [7] : Adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa fajar shodiq dikatakan telah terbit jika terlihat sinar putih (permulaan cahaya fajar), atau dengan tampaknya cahaya fajar, tetapi tidak sampai mempengaruhi (tidak merubah) keadaan langit (yang gelap) [8]
DEFENISI FAJAR SHODIQ
Dalam Al-Qur’an telah disebutkan bahwa fajar itu terbit ditandai berupa jelasnya benang putih dengan benang hitam.
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya “Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” [Al-Baqarah 2 : 187]
Ibnu Faris rahimahullah berkata الفجر (fajar) adalah terbelahnya kegelapan malam oleh (datangnya) Subuh (awal siang).
Ibnu Mandur rahimahullah berkata : “Fajar adalah cahaya Subuh, yaitu sinar merahnya matahari di kegelapan malam. Dan fajar itu ada dua macam : Pertama, Fajar mustathil (menjulang ke atas). Ini adalah fajar kadzib yang biasa disebut Dhanab As-Sirhon (ekor srigala). Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar mustathir (menyebar). Ini adalah fajar shodiq yang menyebar di ufuk, yang dengannya haram makan dan minum bagi yang berpuasa. Dan waktu subuh tidak dikatakan masuk kecuali dengan (terbitnya) fajar shodiq”
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata : “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala من الفجر sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (terbit fajar) maksudnya ketika jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yang mana dia adalah sebagian dari fajar, bukan keseluruhan fajar”[9]
Imam Qurthubi rahimahullah berkata : “Dinamai fajar (shodiq) itu benang, karena yang muncul berupa warna putih terlihat memanjang seperti benang” [10]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Dinamai putihnya siang dengan nama benang putih dan hitamnya malam dengan nama benang hitam, menunjukkan bahwa fajar yang terbit adalah awal permulaan warna putih yang berbeda dengan warna hitam disertai dengan tipis dan samarnya, karena benang itu adalah tipis” [Syarhul Umdah, Kitab As-Shiyam : 1/530]
Az-Zamakhsyari rahimahullah berkata : “Yang dimaksud الخيط الأبيض adalah awal permulaan tampaknya fajar yang membentang di ufuk seperti benang yang dibentang” [Al-Kasysyaf : 1/339]
Abu As-Su’ud rahimahullah berkata dalam tafsirnya : “Dan hurup من (dalam ayat من الفجر ), juga boleh bermakna التبعيض (sebagian), karena sesungguhnya yang muncul dari fajar itu adalah sebagian dari fajar (bukan keseluruhannya)” [Tafsir Abul Su’ud : 1/318]
Adapun sifat fajar yang disebutkan berwarna merah, sebagaimana dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya, “Makan dan minumlah sampai menghadangmu (fajar) merah” [HR Abu Daud : 1/69-370, At-Tirmidzi : 705, Ibnu Majah : 1930 dan Ad-Daruquthni hlm 231, dihasankan Al-Albani dalam Silsilah Shahihah : 2031].
Maka al-Khottobi rahimahullah menjawab ; “Makna merah di sini adalah warna putih yang menyebar masuk kepada awal-awal warna merah (bukan benar-benar merah).
Abu ath-Thib Muhammad Syamsudin Al-Adhim Abadi rahimahullah. Penulis kitab Aunul Ma’bud mengatakan : “Makna hadits ‘Makan dan minumlah sampai tampak kepadamu (fajar) merah, maksudnya (sampai tampak) putihnya siang dari hitamnya malam, yaitu waktu Subuh shodiq (fajar Shodiq)” [Aunul Ma’bud : 6/339]
Ibnul Atsir rahimahullah mengatakan tentang warna merah yang kadang dipakai untuk menyebutkan warna putih, sebagaimana orang Arab biasa mengatakan seorang wanita yang berkulit putih dikatakan wanita berkulit merah. [An-Nihayah 1/437]
Al-Jashshah rahimahullah berkata [11] : “Kalau dikatakan mengapa gelapnya malam diserupakan dengan benang hitam, padahal gelapnya meliputi alam (tidak mirip benang?), sungguh kita ketahui bahwa fajar itu diserupakan dengan benang, karena dia memanjang terbentang di ufuk, sedangkan gelapnya malam (yang mendominasi ufuk) tidak ada kemiripan (dengan benang). (Jawabnya ) bahwa benang hitam adalah (gelapnya) malam yang ada pada posisi benang putih sebelum muncul pada tempat tersebut, (benang hitam) di tempat itu sama dengan benang putih yang muncul setelahnya, oleh karena itu disebut benang hitam.
Kemudian beliau menambahkan : “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa (terbitnya) fajar putih yang membentang di ufuk sebelum munculnya merah itulah yang mengharamkan makan dan minum bagi yang berpuasa (saat itulah waktu Subuh dimulai)”.
Makna fajar shodiq yang kita sebutkan ini dikuatkan oleh sebuah hadits berikut.
“Dari Shal bin Sa’d berkata : Tatkala diturunkan ayat makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam sebelum turun ayat (akhirnya) من الفجر yaitu fajar” dahulu orang-orang jika hendak berpuasa, di antara mereka mengikat kakinya dengan benang putih dan benang hitam, lalu dia terus makan (sahur) sampai benar-benar jelas melihat perbedaan antara keduanya, lalu Allah menurunkan من الفجر yaitu fajar, lalu mereka tahu bahwa yang dimaksud (benang putih dan hitam itu) adalah (hitamnya) malam dan (putihnya) siang” [HR al-Bukhari : 4241 dan Muslim 1091]
Keterangan : orang yang hendak berpuasa ini beranggapan bahwa terbitnya fajar harus benar-benar jelas cahaya Subuh itu dengan sempurna, diketahui semua orang dan menerangi ruangan, jalanan dan gunung-gunung, karena dua benang putih dan hitam yang diletakkan berdekatan tidak akan jelas perbedaannya kecuali ketika langit sudah sangat terang, akan tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalahkannya, dan menerangkan bahwa yang dimaksud bukan demikian, tetapi sekedar terbit fajar walaupun tidak sampai menerangi benda-benda dan jalanan, maka itulah mulai waktu Subuh dan seorang yang hendak berpuasa dilarang makan dan minum” [12]
Adapun perkataan Ibnu Jarir tentang karakter sinar terbitnya fajar itu adalah menyebar dan meluas di langit, cahayanya memenuhi dunia hingga memperlihatkan jalan-jalan menjadi jelas, maka ini bukanlah pendapat beliau. Lihatlah awal ucapan dan akhir ucapannya. Sebelumnya beliau mengatakan : “Para penafsir firman Allah berkata ….” Dan Ibnu Jarir menutup dengan perkataan : “Demikian para penafsir menyebutkan pendapat ini”. Dan sebagai bukti, ternyata beliau berpendapat sebagaiaman jumhur berpendapat dengan mengatakan : “(terbit fajar) maksudnya ketika jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yang mana dia adalah sebagian dari fajar semisal benang putih, bukan keseluruhan fajar” [13]
TIDAK SEMUA ORANG MAMPU MELIHATNYA
Semakin banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan perkotaan, ditambah banyaknya penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang menjulang, ini semua mempengaruhi tingkat kesulitan melihat awal terbitnya fajar shodiq yang tipis hanya seperti benang putih, oleh karena itu saat menjelang Subuh, sering kita melihat langit gelap, kemudian tiba-tiba berganti merah dan tidak terlihat lagi warna putih sebelumnya, yang mana warna putih itulah pertanda awal fajar.
Oleh karena itu juga gambar-gambar yang tertangkap oleh kamera jika kita ingin mengabadikan terbitnya fajar, biasanya yang tampak adalah fajar yang berwarna merah, bukan awal fajar yang berwarna putih seperti benang tipis. Karena warna putih ini semakin menjadi samar terpengaruh oleh keadaan langit yang sudah berubah, atau mungkin tertangkap warna putih oleh kamera tetapi tidak tipis seperti benang. Ini semua menunjukkan bahwa awal fajar sudah terbit beberapa waktu yang lalu sebelum kamera menangkap gambar tersebut.
Adapun yang menganggap bahwa terbitnya fajar harus terlihat cahaya terang yang menerangi jalan-jalan atau harus terlihat warna merah di ufuk, maka ini adalah pendapat yang bersandar kepada makna fajar secara bahasa, dan makna ini kurang tepat, karena mereka menyandarkan terbitnya fajar dengan terbitnya fajar secara sempurna (bukan permulaannya). Hal ini tidak sesuai dengan ayat al-Qur’an yang menyerupakan fajar dengan benang putih bersama adanya gelap malam yang lebih dominan.
Perkataan jumhur ini sesuai dengan sebuah hadits yang mengisyaratkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Subuh ketika baru terbit fajar, bukan ketika fajar telah terbit secara sempurna,
sebagaimana dalam haditsnya, yang artinya ,“Lalu Nabi shalat Subuh ketika terbit fajar” [HR At-Tirmidzi 1/149, Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini Hasan Shahih dalam Shahih wa Dha’if Sunan At-Tirmidzi 1/149]
KESIMPULAN MAKNA FAJAR SHODIQ[14]
Fajar shodiq dikatakan telah terbit dan masuk waktu shalat Subuh, serta haram makan dan minum bagi orang yang berpuasa, adalah jika tampak permulaan terbelahnya kegelapan malam oleh cahaya Subuh (bukan tampaknya sinar yang berwarna merah), definisi inilah yang bersesuaian dengan ayat al-Qur’an, yaitu masuknya waktu Subuh adalah “Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” [Al-Baqarah 2 : 187]
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpamakan permulaan Subuh ini dengan benang karena sama tipisnya dan bentuknya yang kecil. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala sama sekali tidak menyebutkan besarnya bentangan benang ini di ufuk, karena benang yang disebutkan bisa panjang dan bisa pendek.
Ayat ini menunjukkan bahwa permulaan munculnya cahaya di timur pertanda fajar terbit walaupun sangat kecil selagi dapat dilihat mata manusia. Dan bukanlah termasuk sifat terbitnya fajar adalah terangnya bumi dan langit, akan tetapi fajar dikatakan telah terbit walaupun gelapnya malam tetap mendominasi, fajar itu dikatakan terbit dengan adanya cahaya sebatas benang di bawah ufuk tepat di atas bumi, dan sebelum menyebarnya cahaya Subuh.
Karena penglihatan manusia terhadap benang di ufuk berbeda tingkat ketajamannya, maka tidak semua manusia melihatnya. Yang dapat melihat adalah orang-orang yang memiliki penglihatan yang sangat tajam, bahkan ketika langit menjadi semakin berubah, maka bisa jadi awal munculnya fajar shodiq itu tidak dapat dilihat oleh mata [15]
AWAL MULA PEMBUATAN JADWAL WAKTU SHALAT
Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, manusia mengetahui waktu shalat dengan melihat tanda-tanda yang tampak bagi mereka. Lalu ketika zaman semakin berubah, mereka memikirkan cara-cara yang mudah untuk mengetahui waktu-waktu shalat dan lainnya. Dahulu mereka hanya berpegang dengan pergantian hari yang terus berputar berbeda-beda menurut musim yang berbeda. Setelah ditemukan alat penunjuk waktu berupa alat yang dipancangkan dan mempunyai bayangan, maka mereka beralih kepada alat ini selama ribuan tahuan, lalu terus berkembang, sehingga ditemukan jam mekanik sekitar abad 13M dan tersebarlah pemakaian jam ini pada abad 15M
Dengan alat ini kaum muslimin mengetahui waktu-waktu dengan lebih tepat, bahkan dapat mengetahui perbedaan waktu permenitnya, kemudian ditemukan jam yang menggunakan bandul pada abad 18. Penemuan ini semakin membuat manusia mengetahui waktu lebih teliti sampai perdetiknya, dan terus berkembang bentuk-bentuk jam ini sampai sekarang. [16]
Ketika manusia telah membutuhkan jam-jam waktu ini, maka mereka juga membutuhkannya untuk mudahnya mengetahui waktu shalat. Karena jika tidak demikian maka mereka harus berulang kali melihat tanda-tanda masuknya waktu shalat yang setiap harinya terulang 5 kali waktu, belum lagi keadaan langit sudah berubah. Bersamaan dengan itulah menjadi dikenal perhitungan waktu-waktu bagi kaum muslimin. Dan cara-cara hisab/perhitungannya ini terus berkembang seiring dengan berkembangnya alat-alat perhitungan waktu yang digunakan oleh kaum muslimin. Lalu ketika ditemukan mesin cetak mulailah dicetak jadwal waktu shalat dan puasa yang kemudian disebarkan sehingga memudahkan kaum muslimin dalam menjalankan ibadah mereka. [17]
Pembuatan jadwal-jadwal ini berdasarkan perhitungan yang sangat teliti para ahli dibidangnya, yaitu menjadikan gerakan matahari sebagai patokannya. Mereka membedakan penentuan waktu ini sesuai dengan perbedaan hari dan tempatnya, bahkan dengan perhitungan menggunakan alat-alat yang lebih canggih dapat diketahui waktu shalat lima waktu sampai beberapa tahun kedepannya [18]. Demikianlah kaum muslimin terus menggunakan jadwal-jadwal waktu shalat dari dahulu hingga sekarang.
HUKUM MENGGUNAKAN JADWAL WAKTU SHALAT
Sejak ditemukan alat-alat modern dan dibuat jadwal waktu shalat, tidak djumpai seorangpun dari para ulama yang mengingkarinya. Ini pertanda bahwa menggunakan jadwal-jadwal tersebut diperbolehkan dengan kesepakatan para ulama/Ijma’ ulama. [19]
Kesepakatan ulama ini diperkuat dengan beberapa perkara, di antaranya.
1). Penggunaan jadwal waktu shalat mempermudah kaum muslimin terutama menentukan waktu Subuh yang telah dikatakan oleh para ulama bahwa munculnya awal fajar shodiq sulit dilihat, sebab ada sesuatu yang menghalangi terlihatnya awal munculnya fajar, seperti tinggi dan banyaknya bangunan. Adanya cahaya buatan, seperti lampu-lampu jalanan dan gedung-gedung serta pabrik-pabrik juga mempengaruhi keadaan ufuk. Hal ini sesuai dengan kaidah Islam adalah agama yang mudah.
2). Dengan penggunaan jadwal tersebut maslahat yang timbul lebih besar dan mafsadat (kerusakan) yang ada lebih ditekan, yaitu berupa perselisihan, pertikaian dan perpecahan di antara kaum muslimin.
3). Jadwal waktu shalat yang ada telah dikeluarkan oleh pemerintah kaum muslimin dan keberadaannya disetujui oleh para ulama. Sehingga kita harus mengikuti apa yang ditetapkan oleh pemimpin dalam urusan yang diberikan kepada mereka. Jika tidak, maka akan timbul perselisihan dan perpecahan yang sangat dibenci dalam Islam. [20]
FATWA SYAIKH IBNU BAZ RAHIMAHULLAH
Berikut fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah selaku mufti umum Saudi Arabia, ketua lembaga ulama besar Saudi Arabia dan ketua Idarotil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ berkaitan dengan masalah jadwal waktu shalat dari kalender Ummul Quro tertanggal 22 Rajab 1417 H.
Beliau mengatakan :“Segala puji bagi Allah semata, dan shalawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga, dan para sahabatnya, adapun setelah itu.
Maka sesungguhnya tatkala banyak pembicaraan dari sebagian orang akhir-akhir ini tentang jadwal (waktu shalat) dalam kalender Ummu Quro, dan dikatakan bahwa terdapat kesalahan padanya, khususnya waktu shalat Subuh yang mendahului sekitar 5 (lima) menit atau lebih dibandingkan waktu yang sesungguhnya. Maka saya tugaskan panitia khusus dari kalangan para ulama untuk pergi keluar dari batas kota Riyadh, (tempat yang jauh) dari lampu-lampu/cahaya-cahaya (buatan), supaya mereka memantau terbitnya fajar, dan supaya diketahui sejauh mana tepatnya penentuan jadwal yang dimaksud dengan kenyataan.
Dan sungguh panitia khusus tersebut dengan kesepakatan mereka menetapkan bahwa jadwal waktu-waktu tersebut tepat/bersesuaian dengan terbitnya fajar, dan tidak benar apa yang disangka sebagian orang bahwa jadwal tersebut mendahului sebelum terbitnya fajar.Dan untuk menghilangkan kerancuan/keraguan yang membuat sebagian orang ragu akan sahnya shalat mereka, maka inilah penjelasannya.
Allah maha memberi taufiq dan maha menunjuki kepada jalan yang lurus” [21]
FATWA SYAIKH ABDUL AZIZ ALU SYAIKH HAFIDZAHULLAH
Mufti umum Saudi Arabia sepeninggal Syaikh bin Baz rahimahullah, yaitu Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah. Beliau juga membantah tuduhan sebagian orang yang menyalahkan jadwal waktu shalat pada kalender Ummul Quro. Beliau mengatakan : “Semua pendapat yang dilontarkan dalam masalah ini adalah salah dan jauh dari kebenaran, sehingga (pendapat-pendapat ini) wajib ditinggalkan. Karena (bila tidak) maka akan mengakibatkan tersebarnya kebingungan di antara kaum muslimin”.
Beliau menambahkan bahwa jadwal waktu shalat yang terdapat pada kalender Ummul Quro adalah jadwal yang resmi dan sesuai syari’at, tidak ada keraguan di dalamnya. Para pengurusnya adalah para ulama yang dipilih lagi terpercaya dari sisi ilmu dan amanahnya. Bahkan jadwal ini telah digunakan kaum muslimin sejak zaman dahulu hingga sekarang” [22]
FATWA SYAIKH DR SHALIH AL-FAUZAN HAFIDZAHULLAH
Syaikh Dr Shalih al-Fauzan hafidzahullah menulis sebuah fatwa berkaitan dengan masalah ini dan diberi judul “Kewajiban Menghormati Fatwa Para Ulama”.
Beliau berkata : “Akhir-akhir ini kita menyaksikan sebagian orang mengutarakan pendapatnya dalam perkara-perkara yang bukan hak mereka untuk mengutaran pendapat. Sehingga mereka membuat manusia bingung dalam ibadah, muamalah, dan aqidah mereka. Diantaranya adalah mereka ikut campur menentukan waktu-waktu shalat, dan akhirnya mereka membingungkan umat, mereka mengumumkan bahwa shalat manusia sekarang belum masuk pada waktunya, mereka mengatakan bahwa jadwal yang dibuat Ummul Quro terdapat kesalahan perhitungan. Padahal jadwal ini disahkan oleh pemerintah, disetujui oleh perbagai kalangan para ulama sejak zaman dahulu dan tidak pernah terjadi kesalahan ketika diterapkan sejak puluhan tahun lamanya” [23]
TANGGAPAN SYAIKH IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah termasuk yang menyatakan bahwa jadwal waktu shalat yang dibuat Ummul Quro terlalu mendahului 5 (lima) menit dari waktu Subuh yang sebenarnya [24], akan tetapi ketika disampaikan kepada beliau fatwa Mufti Umum Syaikh Bin Baz rahimahullah, beliau menanggapi dengan perkataan : “Suatu permasa-lahan yang ditetapkan oleh mufti mamlakah (Saudi Arabia), maka kita tidak ada hak turut campur di dalamnya, dan kita tidak boleh menyelisihinya sama sekali, akan tetapi khusus masalah shalat, seseorang boleh berhati-hati mengakhirkan sampai 5 menit” [Liqo’ al-Bab al-Maftuh 20/147]
AGAMA INI ADALAH NASIHAT, TETAPI UNTUK SIAPA?
Jika tampak bagi seorang tanda waktu masuknya shalat berbeda dengan yang telah ditetapkan oleh pemimpin dan dia menyangka pemimpin dalam hal ini salah, maka wajib baginya menyampaikan perkara ini kepada pemimpin atau wakilnya dalam bidangnya dan menasihati mereka, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan bahwa agama ini adalah nasihat,
sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya ,“Agama ini adalah nasihat, kami bertanya (nasihat) buat siapa? Beliau menjawab : Untuk Allah, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum muslimin dan masyarakat secara umum” [HR al-Bukhari 1/108 dan Muslim 1/74]
Hadits ini menunjukkan bahwa nasihat kepada pemimpin dibedakan dengan nasihat kepada masyarakat secara umum.
Termasuk yang diketahui bersama bahwa penjadwalan waktu shalat (ketika manusia secara umum tidak memungkinkan melihat tanda-tanda masuknya waktu shalat), demikian pula penetapan bulan sabit (pertanda masuknya awal bulan), keduanya termasuk perkara yang diserahkan urusannya kepada lembaga-lembaga pemerintah resmi dalam bidangnya. Jika ada seseorang yang menyangka bahwa suatu perkara yang diurus pemimpin itu salah, (demikian juga urusan-urusan lain yang dimaksudkan supaya umat ini bersatu dan tidak berselisih), maka dia (orang yang menganggap salah) harus mengkhususkan nasihatnya kepada pemimpinnya dengan cara yang baik, bukan membeberkan kesalahan yang ia sangka kepada masyarakat umum, atau memaparkan kesalahan ini di media cetak. Hal ini supaya tidak terjadi kekacauan, kerancuan, kebingungan yang pada akhirnya masyarakat tidak percaya dan selalu curiga kepada pemimpinnya. Jika menasihati pemimpin dengan cara yang baik telah dilakukan, maka lepaslah tanggung jawabnya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, terlepas dari diterima atau tidak nasihat tersebut. Karena dia telah melaksanakan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan nasihat kepada “ahlinya” (yang patut dinasihati). Dan barangsiapa dengan sengaja menyebarkan kesalahan ini kepada masyarakat umum baik dengan cara menulis di majalah atau lainnya, maka dia telah menyalahi perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tingkatan nasihat kepada pihak yang dianggap bersalah. Karena dia menasihati masyarakat sebelum pemimpinnya, padahal semestinya mendahulukan pemimpin baru kemudian masyarakatnya. [25]
KESIMPULAN
1). Para ulama sepakat bahwa masuknya waktu shalat Subuh adalah terbitnya fajar.
2). Para ulama berbeda pendapat tentang penentuan terbitnya fajar, ada yang berpendapat harus sempurna terbitnya dengan syarat cahayanya memenuhi jalanan dan terlihat oleh semua orang, sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa terbitnya fajar jika terlihat warna putih seperti benang tipis pertanda terbitnya awal fajar sebelum adanya cahaya merah, tetapi tidak semua orang dapat melihatnya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupakannya dengan benang putih yang tipis dan samara.
3). Semakin banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan kota-kota, ditambah banyaknya penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang menjulang, sangat mempengaruhi tingkat kesulitan melihat awal terbitnya fajar shodiq yang tipis seperti benang putih, oleh karena itu, jika menjelang Subuh, sering kita melihat langit sangat gelap, lalu tiba-tiba berganti merah dan tidak terlihat lagi warna putih pertanda awal fajar sebelumnya, dan jika kita mengabadikannya dengan kamera, biasanya yang tertangkap adalah fajar yang berwarna merah, bukan awal fajar yang berwarna putih seperti benang tipis, atau mungkin tertangkap warna putih oleh kamera tetapi tidak tipis seperti benang, ini semua menunjukkan bahwa awal fajar sudah terbit beberapa waktu yang lalu sebelum kamera menangkap gambar yersebut.
4). Penggunaan jadwal untuk menentukan jadwal waktu shalat disepakati oleh para ulama kebolehannya.
5). Jika seseorang melihat suatu perkara yang diurus oleh pemimpin/pemerintah ada kesalahan, maka wajib baginya menyampaikan kebenaran kepada pemimpin dan menasihatinya dengan bijak, karena agama adalah nasihat.
6). Dengan demikian tidak ada yang perlu diragukan tentang penggunaan jadwal-jadwal waktu shalat, jika jadwal tersebut resmi dan tidak terbukti salah, terlebih lagi bagi orang yang tidak melihat fajar shodiq secara langsung. Wallahu A’lam
Wallahu a''lam bishshawab
sumber : Abu Ibrohim Muhammad Ali AM Hafidzahullah , http://almanhaj.or.id , Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 4, Tahun ke-9/Dzulqo'dah 1430/2009. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
catatan :
[1]. Risalah fi Mawaqitis Sholat karya Syaikh Muhammad bin Shalih bin Utsaimin rahimahullah hlm.7-11
[2]. Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, karya Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad ash-Shubaihi hafidzahullah, hlm.7
[3]. Banyak pertanyaan masuk ke redaksi dan ada juga yang secara langsung kepada penulis, bahkan hampir di setiap majelis ta’lim saat itu mempertanyakan masalah tersebut. Kemudian pemimpin redaksi majalah Al-Furqon, al-Ustadz Ahamad Sabiq hafidzahullah mnghimbau kami untuk membahasnya, karena permasalahannya semakin dirasa rumit serta membuat banyak orang bingung dan ragu akan keabasahan shalat Subuh mereka. Akhirnya kami putuskan untuk membahasnya demi kemaslahatan bersama. Kami sampaikan Jazakumullah khairan kepada al-Ustadz Abu Ubaidah hafidzahullah yang telah meminjamkan beberapa rujukan penting dalam masalah ini. Dan kami sampaikan bahwa pembahasan ini kami sarikan dari kitab Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, karya Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad ash-Shubaihi hafidzahullah, diberi kata pengantar oleh Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah dan Syaikh Dr Shalih al-Fauzan hafidzahullah. Cetakan pertama tahun 1428H. Demikian juga kami tambahkan dari referensi penting lainnya.
[4]. Di antara mereka yang paling menonjol menyerukan masalah ini adalah Abdullah al-Sulthon, imam masjid salah satu kampong di kota Riyadh, Saudi Arabia. (Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh hlm.7)
[5]. Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.8-11
[6]. Ini adalah pendapat yang diriwayatkan dari Umar, Khudzaifah, Ibnu Abbas, Tholq bin Ali, Atho’ bin Abi Robbah, al-A’masy, dan Masruq. (Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.55-62)
[7]. Seperti yang dikatakan oleh Imam al-Qurthubi rahimahullah bahwa ini adalah pendapat jumhur para ulama, dikuatkan oleh Ibnu Jarir at-Thobari, Ibnu Zaid, dan al-Jashshosh. (Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm 62-66)
[8]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 12 dan 55-66
[9]. Tafsir Ibnu Jarir ath-Thobari 2/182-183
[10]. Tafsir al-Qurthubi 2/320
[11]. Lihat Ahkamul Qur’an karya Imam al-Jashshosh 1/222-230
[12]. Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 76
[13]. Lihat Tafsir Ibnu Jarir at-Thobari 2/182-183, dan Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.76-77
[14]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.53-54
[15]. Sebagaimana diisyaratkan sulitnya melihat fajar shodiq oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dalam As-Syarhul Mumthi’ ala Zadil Mustaqni 2/94. Demikian juga Syaikhuna Dr Sami bin Muhammad as-Shuqoir, murid sekaligus pengganti Syaikh Ibnu Utsaimin sebagai imam rowatib di masjidnya, beliau menafikan terlihatnya fajar shodiq pada zaman sekarang kecuali dengan penelitian yang mendalam. (informasi dari al-Akh Abdul Wahhab dari kota Unaizah, KSA)
[16]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 214, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[17]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 215, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[18]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 216, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[19]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 218, karya Ibnu Jam’an Jaridan. Lihat pula Fiqhu Nawazil fil Ibadat, DR Kholid al-Musyaiqih hlm. 38-39, Fatawa Lajnah Daimah 6/141
[20]. Lantas timbul pertanyaan penting : Kenapa para ulama mengingkari penentuan puasa Ramadhan dengan hisab, tetapi mereka tidak mengingkari dalam penentuan shalat?!! Imam Al-Qorrofi menjawab masalah ini, katanya : “Sesunguhnya Allah menjadikan tergelincirnya matahari merupakan sebab wajibnya shalat Dhuhur, demikain juga waktu-waktu shalat lainnya. Barangsiapa yang mengetahui sebab tersebut dengan cara apapun, maka dia terkait dengan hukumnya. Oleh karena itu hisab yakin bisa dijadikan pegangan dalam waktu shalat. Adapun dalam puasa, Islam tidak menggantungkannya dengan hisab, tetapi dengan salah satu diantara dua perkara : Pertama, Melihat hilal. Kedua : Menyempurnakan bulan sya’ban menjadi tiga puluh hari apabila tidak telihat hilal. Wallahu A’lam [Al-Furuq 2/323-324 secara ringkas]
[21]. Dinukil dari Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 29-30
[22]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 22, dan ini sekaligus membantah mereka yang menyalahkan jadwal shalat Subuh dengan tuduhan bahwa jadwal-jadwal yang berlaku dibuat oleh orang-orang yang tidak ahli dibidangnya, bahkan dikatakan bahwa insinyur Inggris-lah yang membuatnya.
[23]. Dinukil dari Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 22
[24]. Perlu diingat bahwa Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah hanya menngatakan 5 menit saja, bukan 20-25 menit, bahkan beliau mengatakan “ Nampaknya ini adalah berlebih-lebihan, tidak benar”. (Fatawa Ibnu Utsaimin hlm 680). Kemudian, kalau kita terima pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin ini –karena perlu dikaji lagi-, tidak bisa kita terapkan begitu saja di negeri kita, karena adanya perbedaan hisab, perbedaan tempat, dan perbedaan waktu. Wallahu a’lam
[25]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 12-13
Kamis, 14 April 2011
Syahwat
Firman Allah, yang artinya," Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita , anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik," (Qs. Ali Imran : 14). Saudaraku, setiap manusia memiliki berbagai keinginan atau kesenangan sesuatu yang kita kenal sebagai syahwat. Ini adalah karunia Allah ke dalam jiwa manusia. Dalam esiklopedia Al-Qur'an dinyatakan bahwa syahwat diartikan sebagai kesenangan. Dalam bentuk kata kerja berari mencintai atau menyenangi sesuatu. Al-asfahani , mengatakan bahwa syahwat pada dasarnya berarti nafsu terhadap sesuatu yang diingini. Syahwat pada manusia tidak harus dipandang sebagai sesuatu yang negatif, karena ibadah (misalanya puasa) sebenarnya tidak dimaksudkan untuk membunuh syahwat manusia , agar manusia tidak punya selera terhadap sesgala sesuatu yang ada di bumi. Namun dimaksudkan untuk mendidik untuk memiliki kemampuan mengendalikannya.
Syahwat sebenarnya juga mempunyai potensi penting yang ada ada dalam diri manusia , dalam arti pengabdian kepada Allah SWT.
Dr. M Ratib An-Nablusi dalam Muqawwamat at Takklif menyebutkan dua hakikat syahwat : 1. Allahtidak menciptakan syahwat kecuali agar dengannya kita menuju kepada Allah. Syawhwat diibaratkan tangga sebagai alat kita untuk mendaki, sekaligus jalan turunan -turunan yang bisa menerumuskan kita ke jurang kehinaan. JAdi dalam pengertian ini syahwat adalah bersifat netral . Syahwat bisa mengantar kita menuju kemuliaan di hadapan Allah , namun juga bisa menjerumuskan ke dalam jurang kehinaan.
2. Allah tidak menciptakan syahwat dalam diri manusia , kecuali Allah juga menciptakan slauran yang bersih sebagai media untuk mengekspresikannya. Didalam islam tidak dikenal adanya pengekangan, namun ada aturan pembatasan. Misalnya kecintaan kepada wanita , maka saluran bersih adalah pernikahan. Sehingga bila manusia mengekspresikan syahwat ini pada saluran yang diridhai, maka Allah akan menurunkan kebahagiaan dan ketentaram bagi hamba tersebut.
Dalam menafsirkan ayat diatas , Sayyid Quthb , menjelaskan bahwa uangkapan kalimat ini tidak memiliki konotasi untuk menganggap kotor dan tidak disukai. Namun ia hanya semata-mata menunjukkan tabiat dan dorongan-dorongannya atau menempatkannya pada tempat yang tidak melamapui batas, serta tidak mengalahkan yang lebih mulia dan lebih tinggi dalam kehidupan serta mengajaknya memandang ufuk yang lain , tanpa tenggelam atau bergelimang di dalamnya.
Islam dalam hal ini memandang fitrah manusia serta menerima kenyataan serta berusaha mendidik dan meninggikan. Bukan membekukan dan mematikannya. Agar syahwat menjadi potensi yang tersalurkan dalam bingkai pengabdian kepada Allah SWT, maka ia harus berjalan dalam jalan syariah. Al Asfahani menyatakan syariat itu berarti ath thariqah al wadhihah (jalan yang terang dan jelas). Jadi mereupakan ketentuan Allah yang memberi arahan dalam perjalanan kehidupan manusia agar tidak menyimpang ke dalam jalan yang sesat.
Sebagaimana firman-Nya, yang artinya ," Kemudian Kami jadikan kamu berada dalam syatu syariat (aturan) dari urusan (agama itu). Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (Qs. At Jatsiah : 18).
Ada beberapa tujuan utama dalam syariat itu yang perlu kita pahami bersama, al
1. untuk mewujudkan kemaslahatan atau kebaikan . Dimana apabila kita melaksanakan perintah-perintah-Nya, maka kebaikan akan datang kepada manusia baik secara fisik , ataupun mental rohani. Seluruh perintah-Nya harus kita yakini bahwa semua itu pasti membawa kebaikan dan keberuntungan bagi hamba-hamba yang melaksanakannya. Banyak ayat -ayat Al-Qur'an yang menegaskan hal ini. Sebagaimana firman-Nya, yang artinya ," Orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan , mereka mendapat kebahagiaan dan tempat kembali yang baik. (Qs. Ar-Rad : 29) Sebagaimana firman-Nya, yang artinya ," Bacalah apa yang telah diwahyukan kepdamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan ) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaanya dari ibadah-ibadah yang lain), dan Allah Maha Megetahui apa yang kamu kerjakan ," (Qs. Al-ankabut : 45).
Sebagaimana firman-Nya, yang artinya ," Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan engkau (Muhammad) untuk (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur'an, benar-benar akan mengem-balikanmu ke tempat kembali. Katakanlah (Muhammad) ," Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang berada dalam kesesatan yang nyata". (Qs. Al-Qasas : 85).
Sebagaimana firman-Nya, yang artinya ," Katakanlah (Muhammad)," Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman! Bertaqwalah kepada Tuhanmu." Bagi orang-orang yang berbuat baik didunia ini akan memperoleh kebaikan. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. " (Qs. Az-Zumar : 10) Dan masih banyak ayat-ayat lainnya yang menunjukkan bahwa semua perintah allah kepada hamba-hamba-Nya itu adalah untuk kebaikan hamba-hamba itu sendiri.
2. Untuk mencegah terjadinya kerusakan atau mafsadat. Didalam islam terdapat larangan-larangan , yang tidak dimaksudkan untuk membatasi atau melarang manusia menikmati segela sesuatu dalam kehidupan ini. Namun untuk mengarahkannya untuk menikmati segala sesuatu dengan benar dan menghindarkan manusia dari kesengsaraan. Tujuan dilarangnya suatu kegiatan atau tindakan sebenarnya justru untuk kebaikan manusia itu sendiri, dan hal ini seringkali yang tidak kita sadari. Misalnya larangan auntuk berbuat zina, dsb.
Sebagaimana firman-Nya, yang artinya ," Dan janganlah kamu mendekati zina ; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk ", (Qs. Al-Isra : 32).
Sebagaimana firman-Nya, yang artinya ," Barang siapa berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah) , maka sesungguhnya itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri ; dan barang siapa tersesat, maka sesungguhnya (kerugian) itu bagi dirinya sendiri. Dan orang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.," (Qs. Al-Isra' : 15).
Saudaraku, Allah SWT juga melarang kita untuk makan dan minum secara berlebihan, dan itu perlu kita sadari bahwa bukan makan dan minumnya yang dilarang , namun sikap berlebihan itu yang tidak dibenarkan. Mengapa? Karena sikap belebihan itu , yang justru merugikan manusia sendiri. Sebagaimana, firman-Nya, yang artinya ," Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indahdi setiap (mamasuki) masjid, makan dan minumlah , dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (Qs. Al-a'raf : 31). Jadi disinilah, rahasia dari kebaikan mengendalikan hawa nafsu adalah pangkal menuju jalan kemuliaan manusia itu sendiri sehingga terhidar dari kesesatan.
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ," Maka pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya , dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan penutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan member petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? " (Qs. Al-Jatsiyah : 23).
Saudaraku, sungguh Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada hamba-hmba-Nya.
Allahu a'lam
Sumber : Khairu ummah, Ramadhan 1431H edisi 30- XIX.
Syahwat sebenarnya juga mempunyai potensi penting yang ada ada dalam diri manusia , dalam arti pengabdian kepada Allah SWT.
Dr. M Ratib An-Nablusi dalam Muqawwamat at Takklif menyebutkan dua hakikat syahwat : 1. Allahtidak menciptakan syahwat kecuali agar dengannya kita menuju kepada Allah. Syawhwat diibaratkan tangga sebagai alat kita untuk mendaki, sekaligus jalan turunan -turunan yang bisa menerumuskan kita ke jurang kehinaan. JAdi dalam pengertian ini syahwat adalah bersifat netral . Syahwat bisa mengantar kita menuju kemuliaan di hadapan Allah , namun juga bisa menjerumuskan ke dalam jurang kehinaan.
2. Allah tidak menciptakan syahwat dalam diri manusia , kecuali Allah juga menciptakan slauran yang bersih sebagai media untuk mengekspresikannya. Didalam islam tidak dikenal adanya pengekangan, namun ada aturan pembatasan. Misalnya kecintaan kepada wanita , maka saluran bersih adalah pernikahan. Sehingga bila manusia mengekspresikan syahwat ini pada saluran yang diridhai, maka Allah akan menurunkan kebahagiaan dan ketentaram bagi hamba tersebut.
Dalam menafsirkan ayat diatas , Sayyid Quthb , menjelaskan bahwa uangkapan kalimat ini tidak memiliki konotasi untuk menganggap kotor dan tidak disukai. Namun ia hanya semata-mata menunjukkan tabiat dan dorongan-dorongannya atau menempatkannya pada tempat yang tidak melamapui batas, serta tidak mengalahkan yang lebih mulia dan lebih tinggi dalam kehidupan serta mengajaknya memandang ufuk yang lain , tanpa tenggelam atau bergelimang di dalamnya.
Islam dalam hal ini memandang fitrah manusia serta menerima kenyataan serta berusaha mendidik dan meninggikan. Bukan membekukan dan mematikannya. Agar syahwat menjadi potensi yang tersalurkan dalam bingkai pengabdian kepada Allah SWT, maka ia harus berjalan dalam jalan syariah. Al Asfahani menyatakan syariat itu berarti ath thariqah al wadhihah (jalan yang terang dan jelas). Jadi mereupakan ketentuan Allah yang memberi arahan dalam perjalanan kehidupan manusia agar tidak menyimpang ke dalam jalan yang sesat.
Sebagaimana firman-Nya, yang artinya ," Kemudian Kami jadikan kamu berada dalam syatu syariat (aturan) dari urusan (agama itu). Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (Qs. At Jatsiah : 18).
Ada beberapa tujuan utama dalam syariat itu yang perlu kita pahami bersama, al
1. untuk mewujudkan kemaslahatan atau kebaikan . Dimana apabila kita melaksanakan perintah-perintah-Nya, maka kebaikan akan datang kepada manusia baik secara fisik , ataupun mental rohani. Seluruh perintah-Nya harus kita yakini bahwa semua itu pasti membawa kebaikan dan keberuntungan bagi hamba-hamba yang melaksanakannya. Banyak ayat -ayat Al-Qur'an yang menegaskan hal ini. Sebagaimana firman-Nya, yang artinya ," Orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan , mereka mendapat kebahagiaan dan tempat kembali yang baik. (Qs. Ar-Rad : 29) Sebagaimana firman-Nya, yang artinya ," Bacalah apa yang telah diwahyukan kepdamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan ) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaanya dari ibadah-ibadah yang lain), dan Allah Maha Megetahui apa yang kamu kerjakan ," (Qs. Al-ankabut : 45).
Sebagaimana firman-Nya, yang artinya ," Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan engkau (Muhammad) untuk (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur'an, benar-benar akan mengem-balikanmu ke tempat kembali. Katakanlah (Muhammad) ," Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang berada dalam kesesatan yang nyata". (Qs. Al-Qasas : 85).
Sebagaimana firman-Nya, yang artinya ," Katakanlah (Muhammad)," Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman! Bertaqwalah kepada Tuhanmu." Bagi orang-orang yang berbuat baik didunia ini akan memperoleh kebaikan. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. " (Qs. Az-Zumar : 10) Dan masih banyak ayat-ayat lainnya yang menunjukkan bahwa semua perintah allah kepada hamba-hamba-Nya itu adalah untuk kebaikan hamba-hamba itu sendiri.
2. Untuk mencegah terjadinya kerusakan atau mafsadat. Didalam islam terdapat larangan-larangan , yang tidak dimaksudkan untuk membatasi atau melarang manusia menikmati segela sesuatu dalam kehidupan ini. Namun untuk mengarahkannya untuk menikmati segala sesuatu dengan benar dan menghindarkan manusia dari kesengsaraan. Tujuan dilarangnya suatu kegiatan atau tindakan sebenarnya justru untuk kebaikan manusia itu sendiri, dan hal ini seringkali yang tidak kita sadari. Misalnya larangan auntuk berbuat zina, dsb.
Sebagaimana firman-Nya, yang artinya ," Dan janganlah kamu mendekati zina ; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk ", (Qs. Al-Isra : 32).
Sebagaimana firman-Nya, yang artinya ," Barang siapa berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah) , maka sesungguhnya itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri ; dan barang siapa tersesat, maka sesungguhnya (kerugian) itu bagi dirinya sendiri. Dan orang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.," (Qs. Al-Isra' : 15).
Saudaraku, Allah SWT juga melarang kita untuk makan dan minum secara berlebihan, dan itu perlu kita sadari bahwa bukan makan dan minumnya yang dilarang , namun sikap berlebihan itu yang tidak dibenarkan. Mengapa? Karena sikap belebihan itu , yang justru merugikan manusia sendiri. Sebagaimana, firman-Nya, yang artinya ," Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indahdi setiap (mamasuki) masjid, makan dan minumlah , dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (Qs. Al-a'raf : 31). Jadi disinilah, rahasia dari kebaikan mengendalikan hawa nafsu adalah pangkal menuju jalan kemuliaan manusia itu sendiri sehingga terhidar dari kesesatan.
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ," Maka pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya , dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan penutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan member petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? " (Qs. Al-Jatsiyah : 23).
Saudaraku, sungguh Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada hamba-hmba-Nya.
Allahu a'lam
Sumber : Khairu ummah, Ramadhan 1431H edisi 30- XIX.
Senin, 11 April 2011
Tips merawat kaca film Mobil anda
Pelapis kaca mobil atau biasa disebut kaca film punya peran tidak kalah penting. Selain jadi sarana penutup pandangan dari arah luar, juga menahan radiasi sinar matahari. Jadi film selain berfungsi sebagai tirai juga untuk melindungi penumpang mobil dari sengatan terik matahari dan menjaga suhu di kabin tetap sejuk saat AC dinyalakan. Saat ini banyak produk kaca film yang ditawarkan. Kualitas dan harganya pun beragam. Oleh karena itu, perlu bijak memilih pelapis kaca itu sebelum memasangnya di kendaraan Anda. Pelapis kaca pada mobil yang baik , tidak hanya meredam panas , namun juga memiliki fungsi alat proteksi dan privasi bagi penggunanya.Ada baiknya memilih kaca film berkualitas yang sudah dikenal dan memiliki jaringan purna jual serta mampu memberikan garansi pabrik. Sahabat , kaca film yang dipakai untuk mobil memang kurang lebih sama dengan yang digunakan untuk Kaca Bangunan gedung. Dan, kelebihan dari memakai Kaca Film ini adalah untuk membuat ruangan lebih adem ( walaupun tidak mesti harus gelap) . Untuk memilih gelap terang kaca film ada rentang antara 30%-80% kegelapannya. Tinggal menyesuaikan kebutuhan yang diinginkan
Kaca gelap sebenarnya tidak selalu membuat adem. Karena kaca gelap meredam panas yang tinggi justru membuat panas ruangan lewat radiasi. Biasanya ini terjadi pada kaca yang hanya berwarna gelap bukan kaca gelap sesungguhnya yang mengandung logam. Model Kaca gelap yang mengandung logam memang lebih baik penyerapan panasnya, hanya saja ruangan akan menjadi sangat gelap.
Umumnya model kaca film dipasang dari arah dalam kaca didalam ruangan kabin . Jarang sekali dipasang di luar ruangan. Selain itu, sebagus apa pun kaca film itu, bila tidak dirawat dengan benar maka tidak akan memberikan fungsi maksimal. Perlakuan yang salah pada kaca film bisa menyebabkan berbagai unsur pelindung yang ada rusak. Bahkan, pelapis itu dapat mengelupas.
Merawat kaca film mobil sebenarnyatidak susah, kaca film ini harus dirawat dengan baik, agar kaca film tidak terlihat buram dan cepat rusak. Berikut ini beberapa langkah perawatan kaca film pada mobil :
1. Bila hendak membersihkan lapisan kaca film mobil hendaknya menghindari penggunaan cleaner yang mengandung soda seperti sabun cuci atau shampo rambut. Sebab, piranti penahan panas ini memiliki beberapa lapisan. Jika tersiram cairan bersoda, akan membuat satu lapisan kaca terkelupas.
2. Setelah membersihkan lapisan kaca film mobil, sebaiknya dibasuh dengan air bersih, kemudian gunakan lap lembut berbahan kulit atau chamois. Tujuannya, agar debu yang di lap tidak menggores permukaan kaca film. Misalnya mobil Anda dilapisi 3M kaca film, 3M auto film, dsb.
3. Jangan dibiasakan membuka kaca jendela auto film tsb ketika melewati jalan berdebu. Hal ini akan menyebabkan debu menempel pada karet jendela, jika semakin banyak debu yang menempel pada karet jendela, ketika kaca dibuka maka kotoran atau debu yang menempel bisa membuat permukaan kaca mengelupas dan merobek kaca film, misalnya kaca film 3M. Selain itu, debu menjadikan warna pelapis tersebut cepat buram
4. Periksa karet jendela kaca mobil bagian dalam, bila terdapat kotoran maka segera bersihkan dengan menggunakan kuas atau sikat gigi. Caranya, turunkan kaca jendela auto film tsb sampai habis, kemudian sambil ditahan dengan jari, bersihkan bagian dalam karet jendela menggunakan kuas atau sikat gigi. Lakukan dengan hati-hati.
5. Hindari bagian dalam jendela kaca mobil dari goresan benda tajam terutama ketika Anda memasukkan barang ke mobil.
6. Jangan biarkan kendaraan di parkir di bawah terik matahari langsung dalam waktu lama. Itu bisa membuat kaca film memuai dan menimbulkan gelembung-gelembung. Tentunya kita tidak ingin ke tempat jual kaca mobil untuk memperbaikinya.
Namun sebelum memasang dan mereawat kaca filem sesuai keinginan, tentu kita harus memilih dulu mana yang cocok dengan kondisi kita. Bagaimana cara memilih kaca film yang tepat? Ada beberapa panduan untuk anda semoga bermanfaat.
Cara memilih 1. Langkah pertama yang patut Anda perhatikan adalah mengamati warna atau tampilan pelapis tersebut. Pastikan warnanya cerah tidak buram apalagi belang-belang.
2. Pada kaca film yang asli biasanya terdapat cap atau print on film merek. Cap itu umumnya terdapat di bagian pojok atau pinggir lembaran.
3. Mintalah jaminan kualitas kaca film dari toko. Distributor kaca film asli akan memberikan kartu garansi kepada pembeli. Masa garansi yang diberikan bervariasi mulai 3 – 5 tahun.
4. Usahakan memasang kaca film tersebut di distributor resmi. Satu hal yang patut Anda ingat, pastikan teknisi yang memasang pelapis tersebut memperhatikan kebersihan di sekitar area pemasangan. Sebab, bila kotor maka debu akan menempel di kaca sebelum pelapis dilekatkan.
Semoga bermanfaat .
Allahu a'lam
Sumber : http://nissan-mobil.blogspot.com , dll
Kaca gelap sebenarnya tidak selalu membuat adem. Karena kaca gelap meredam panas yang tinggi justru membuat panas ruangan lewat radiasi. Biasanya ini terjadi pada kaca yang hanya berwarna gelap bukan kaca gelap sesungguhnya yang mengandung logam. Model Kaca gelap yang mengandung logam memang lebih baik penyerapan panasnya, hanya saja ruangan akan menjadi sangat gelap.
Umumnya model kaca film dipasang dari arah dalam kaca didalam ruangan kabin . Jarang sekali dipasang di luar ruangan. Selain itu, sebagus apa pun kaca film itu, bila tidak dirawat dengan benar maka tidak akan memberikan fungsi maksimal. Perlakuan yang salah pada kaca film bisa menyebabkan berbagai unsur pelindung yang ada rusak. Bahkan, pelapis itu dapat mengelupas.
Merawat kaca film mobil sebenarnyatidak susah, kaca film ini harus dirawat dengan baik, agar kaca film tidak terlihat buram dan cepat rusak. Berikut ini beberapa langkah perawatan kaca film pada mobil :
1. Bila hendak membersihkan lapisan kaca film mobil hendaknya menghindari penggunaan cleaner yang mengandung soda seperti sabun cuci atau shampo rambut. Sebab, piranti penahan panas ini memiliki beberapa lapisan. Jika tersiram cairan bersoda, akan membuat satu lapisan kaca terkelupas.
2. Setelah membersihkan lapisan kaca film mobil, sebaiknya dibasuh dengan air bersih, kemudian gunakan lap lembut berbahan kulit atau chamois. Tujuannya, agar debu yang di lap tidak menggores permukaan kaca film. Misalnya mobil Anda dilapisi 3M kaca film, 3M auto film, dsb.
3. Jangan dibiasakan membuka kaca jendela auto film tsb ketika melewati jalan berdebu. Hal ini akan menyebabkan debu menempel pada karet jendela, jika semakin banyak debu yang menempel pada karet jendela, ketika kaca dibuka maka kotoran atau debu yang menempel bisa membuat permukaan kaca mengelupas dan merobek kaca film, misalnya kaca film 3M. Selain itu, debu menjadikan warna pelapis tersebut cepat buram
4. Periksa karet jendela kaca mobil bagian dalam, bila terdapat kotoran maka segera bersihkan dengan menggunakan kuas atau sikat gigi. Caranya, turunkan kaca jendela auto film tsb sampai habis, kemudian sambil ditahan dengan jari, bersihkan bagian dalam karet jendela menggunakan kuas atau sikat gigi. Lakukan dengan hati-hati.
5. Hindari bagian dalam jendela kaca mobil dari goresan benda tajam terutama ketika Anda memasukkan barang ke mobil.
6. Jangan biarkan kendaraan di parkir di bawah terik matahari langsung dalam waktu lama. Itu bisa membuat kaca film memuai dan menimbulkan gelembung-gelembung. Tentunya kita tidak ingin ke tempat jual kaca mobil untuk memperbaikinya.
Namun sebelum memasang dan mereawat kaca filem sesuai keinginan, tentu kita harus memilih dulu mana yang cocok dengan kondisi kita. Bagaimana cara memilih kaca film yang tepat? Ada beberapa panduan untuk anda semoga bermanfaat.
Cara memilih 1. Langkah pertama yang patut Anda perhatikan adalah mengamati warna atau tampilan pelapis tersebut. Pastikan warnanya cerah tidak buram apalagi belang-belang.
2. Pada kaca film yang asli biasanya terdapat cap atau print on film merek. Cap itu umumnya terdapat di bagian pojok atau pinggir lembaran.
3. Mintalah jaminan kualitas kaca film dari toko. Distributor kaca film asli akan memberikan kartu garansi kepada pembeli. Masa garansi yang diberikan bervariasi mulai 3 – 5 tahun.
4. Usahakan memasang kaca film tersebut di distributor resmi. Satu hal yang patut Anda ingat, pastikan teknisi yang memasang pelapis tersebut memperhatikan kebersihan di sekitar area pemasangan. Sebab, bila kotor maka debu akan menempel di kaca sebelum pelapis dilekatkan.
Semoga bermanfaat .
Allahu a'lam
Sumber : http://nissan-mobil.blogspot.com , dll
Minggu, 10 April 2011
Seputar Ka'bah (2)
Ka'bah adalah suatu bangunan suci yang telah berusia ribuan tahun. Ada beberpa pendapat yangmenyatakan bahwa rumah suci ini pertama kalinya dibangun oleh Nabi Adam. Namun memang tidak ditemukan catatan sejarah yang otentik tentang dibangunya Ka'bah oleh Nabi Adam. Adapun tentang siapa yang membangun Ka'bah secara otentik dijelaskan Allah didalam Al-Qur'an, bahwa yang membangunnya adalah Nabi Ibrahim bersama puteranya Nabi Ismail. Sebagaimana firman-Nya, yang artinya ," Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa) ; Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami) sesungguhnya Eangkau-lah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui ", (Qs. Al-Baqarah : 127). Sebagaimana firman-Nya, yang artinya ,"Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun (untuk beribadah) bagi manusia adalah Baitullah yang ada di Bakkah (Mekkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi sekalian alam," (Qs. Ali Imran : 96). Sebagaimana firman-Nya, yang artinya ,"Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah tua itu (Baitullah)," (Qs.Al-Hajj : 29).
Dalam suatu literatur disebutkan bahwa dalamsejarah pembangunan Ka'bah berlangsung sekitar 10 generasi . Diyakini pembangunan pertama dilakukan oleh Malaikat , du ribu tahun sebelum Nabi Adam diciptakan, sebagai tempat thawaf para malaikat di bumi. Pembangunan dan pemeliharaan oleh para malaikat ini sebagaimana diriwayatkan al Azraqiy. [Ad Dala-il, 2/45 dan lihat Fat-hul Bariy, 13/144]
Selanjutnya dibantu para malaikat , Nabi Adam merenovasi kembali Ka'bah dan melakukan thawaf. Pembangunan dan pemeliharaan oleh Nabi Adam, sebagaimana diriwayatkan al Baihaqiy[Ad Dala-il, 2/45 dan lihat Fat-hul Bariy, 13/144.], dan yang lainnya [ Sirah asy Syamiyah, 1/171. Penulisnya berkata,"Telah meriwayatkannya Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir ath Thabariy secara mauquf, dan al Azraqiy, Abu Syaikh dalam al Adzamah, dan Ibnu Asakir dari Ibnu Abbas." Lihat pula Tafsir Ibnu Katsir, 1/259.3]
Periode berikutnya pembangunan renovasi Ka'bah dilakukan oleh salah seorang putera Nabi Adam yaitu Syist bin Adam ( as Suhailiy, Raudhul-Unfi, 1/221), dengan menggunakan batu dan tanah. Sebagaimana diriwayatkan al Azraqiy[Akhbaru Makkah, 1/8] dan yang lainnya [As Sirah asy Syamiyah, 1/172]
Bangunan ini terus berdiri samapi zaman kenabian Nabi Nuh. Pada Zaman Nabi Nuh Ka'bah mengalami kerusakan akibat terpaan taifun dan banjir nan dasyat.
Beberapa literatur menceritakan pada waktu membangun Ka'bah usia Nabi Ibrahim sekitar 100 tahun. Saat itu Mekkah telah menjadi kota yang ramai, dan menjadi tempat persinggahan para kafilahdan pedagang karena didekatnya ada mata air Zam-Zam.
Jika kita mengkaji lebih dalam Qs. Al-Baqarah 127, dapat diambil kesan bahwa dasar-dasar Baitullah itu memang sudah ada. Sedangkan Nabi Ibrahim dan puterany tinggal merenovasi saja. Dalam Holy Qur'an dijelaskan bahwa Ka'bah yang mula-mula dibangun memiliki tinggi 9 hasta. Panjang dari Hajar Aswad sampai Rukun Syami 32 hasta. Lebarnya dari Rukun Syami sampai Rukun Gharbi 22 hasta. Panjang Rukun Gharbi sampai Rukun Yamani 31 hasta. Lebarnya dari Rukun Yamani samapi Hajar Aswad 20 hasta.
Syaikh Husain Abdullah Basalamah dalam kitab Tarikhul Ka'bah al Mu'azhamah, menjelaskan, Nabi Ibrahim membuat dua pintu untuk Ka'bah dengan ukuran yang sama. Satu dari arah timur dekat Hajar Aswad, dan yang lainnya dari arah barat dekat rukun Yamani. Beliau juga membuat lubang di dalam Ka'bah. Yaitu di sebelah kanan orang yang masuk dari pintu timur yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan harta Ka'bah. Kala itu, Ka'bah belum diberi atap. (Makalah al Ka'bah al Musyarafah Awalul-Bait Wadhi'a lin-Nas, Majalah Haji, Edisi 9 dan 10 Tahun 55 Rabiul Awal dan Rabi'u Tsani 1422H, halaman 35.)
Ka'bah bentuknya tidak simetris. Adapun kekuatan pilarnya ada pada kedua sudut Yamani. Sedangkan di bagian Hajar Aswad tidak terdapat pilar. Batu hitam tersebut dijadikan satu dengan dinding dalam bentuk setengah lingkaran sebagaimana bisa dilihat sekarang disana. Sedangkan pintunya, waktu itu hanya berupa kerangka saja sejajar tanah, yang kemudian disempurnakan oleh generasi-generasi berikutnya.
Ka'bah dengan ketinggian 9 hasta yang didirikan oleh Nabi Ibrahim itu kini memiliki ketinggian 3 kalinya, yaitu 27 hasta. Pada saat itu Nabi Ibrahim meletakkan ketinggian itu pada pondasi setinggi 6 hasta.
As Samiy [Subul-Huda wa Rasyad, 1/192] berkata : "Dinukil oleh az Zubair bin Bakar dalam kitab an Nasab, dan ditegaskan oleh Abu Ishaq al Mawardiy dalam al Ahkam as Sulthaniyah yang menyatakan, orang pertama yang merenovasi bangunan Ka'bah dari kalangan Quraisy setelah Nabi Ibrahim adalah Qushaiy bin Kilab.
As Sakhawi mengatakan, Qushaiy mengumpulkan hartanya yang melimpah dan merenovasi Ka'bah serta menambah tinggi Ka'bah menjadi 9 hasta dari yang telah dibangun pada zaman Nabi Ibrahim. Dia juga membuat atap Ka'bah dari kayu pohon ad-dum dan pelepah kurma, sehingga dialah orang pertama yang membuat atap Ka'bah, kemudian dibuka lagi hingga zaman Quraisy.[ makalah al Ka'bah al Musyarafah Awalul-Bait Wadhi'a lin-Nas, Majalah Haji, Edisi 9 dan 10 Tahun 55 Rabiul Awal dan Rabi'u Tsani 1422H, halaman 35 dan 3615].
Selanjutnya dalam beberapa literature sejarah, pembangunan ini terjadi pada saat usia Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menginjak 35 tahun. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ikut serta dalam pembangunan ini dengan mengangkat batu-batu di atas pundaknya. Ketika sampai pada peletakkan Hajar Aswad, kaum Quraisy berselisih, siapa yang akan menaruhnya. Perselisihan ini nyaris menimbulkan pertumpahan darah, akan tetapi dapat diselesaikan dengan kesepakatan menunjuk seorang pengadil hakim yang memutuskan. Pilihan tersebut, ternyata jatuh pada diri Muhammad [Majalah As Sunnah, Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M, Rubrik Sirah].
Selanjutnya dalam perkembangannya , ketika suku bangsa Quraisy merenovasi Ka'bah, mereka memindahkan dinding sebelah utara Ka'bah sejauh 5 hasta ke selatan, dan menambahkannya ke Hijr Ismail. Dan ketika Abdullah bin Zubair merenovasinya kembali dia mengeluarkan posisi bangunan itu seperti ketika zaman Nabi Ibrahim. Dia juga menambahkan luasan Hijr Ismail ke Ka'bah. Selanjutnya Al Hajjaj bin Yusuf melakukan renovasi terhadap Hijr Ismail seperti bentuk yang sekarang.
Agus Mustofa, dalam bukunya Pusaran Energi Ka'bah, menyatakan bahwa Ka'bah memang telah mengalami beberapa kali pembangunan dan renivasi selam ribuan tahun. Namun ada beberapa hal yang masih tetap eksis seperti semula yaitu letak pondasi dan posisi Hajar Aswad.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Syaikhani [ dalam Subul-Huda wa Rasyad, 1/192. 18]. Pembangunan era 'Abdullah bin az Zubair, Ketika Ibnu az Zubair berencana membangun Ka’bah yang hendak dikembalikan sesuai dengan asas dan bentuk sebagaimana yang telah dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Ismail -sebelum adanya perubahan dari kaum Quraisy- maka beliau menyampaikan rencana ini kepada kaum Muslimin, yang akhirnya disetujui. Kaum Muslimin pun segera memulai pembangunan.
Pertama, mereka menghancurkan bangunan Ka’bah yang ada sampai rata dengan tanah, lalu mencari pondasi Ka’bah yang telah dibuat oleh Nabi Ibrahim. Setelah menemukan, maka segera menegakkan tiang-tiang di sekitarnya dan menutupnya. Kemudian, mulailah mereka membangun dan meninggikan bangunan Ka’bah secara bersama-sama, serta menambah tiga hasta yang telah dikurangi kaum Quraisy, menambah tinggi Ka’bah sepuluh hasta, lalu membuat dua pintu dari arah timur dan barat. Satu untuk masuk, dan yang lain untuk keluar.
Hal itu sesuai dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Syaikhani, yang artinya ,"Wahai, 'Aisyah. Kalau bukan karena kaummu baru lepas dari kejahiliyahan, sungguh aku ingin memerintahkan mereka menghancurkan Ka'bah lalu membangunnya, dan aku masukkan ke dalamnya apa yang telah dikeluarkan darinya, dan aku buat pintunya menempel dengan tanah, serta aku buatkan pintu timur dan barat, dan aku sesuaikan dengan pondasi Ibrahim". [Muttafaqun 'alaih, As Sirah an-Nabawiyah fi Dhu'il-Mashadir, halaman 55.]
Ada kisah menarik. Pada zaman Abdullah bin Zubair ra melakukan renovasi. Ketika itu Ibn Zubair merobohkan Ka'bah dan meratakannya dengan tanah, saat itu dia menemukan pondasi peninggalan Nabi Ibrahim AS yangterdapat di dalamnya Hijr Ismail, sekitar 6 hasta. Batu-batu tersebut berbentuk seperti leher onta, berwarna merah, diman satu dengan yang lain saling bersilang seperti persilangan jari-jari.
Salah seorang dari mereka, Abdullah bin Muthi' Al Adawi meletakkan sebuah tongkat besi yang dipegangnya untuk mendongkel pondasi itu di salah satu sudut Ka'bah. Sesuatu yang luar bisa terjadi. Ternyata seluruh bangunan Ka'bah bergerak. Seluruh sudut ikut bergetar. Bahkan seluruh kota Mekkah ikut bergetar dasyat. Orang-orang terkejut dan cemas, lalu Ibn Zubair berkata,"saksikanlah".
Akhirnya diputuskan untuk tidak meneruskan pembongkaran pondasi Ka'bah. Dan diputuskan hanya melanjutkan pembangunan di atas pondasi yang telah ada.
Istilah Ka’bah adalah bahasa al quran dari kata “ka’bu” yg berarti “mata kaki” atau tempat kaki berputar bergerak untuk melangkah. Ayat 5/6dalam Al-quran menjelaskan istilah itu dg “Ka’bain” yg berarti ‘dua mata kaki’ dan ayat 5/95-96 mengandung istilah ‘ka’bah’ yg artinya nyata “mata bumi” atau “sumbu bumi” atau kutub putaran utara bumi.
Ketika masa pemerintahan khalifah Harun Al Rasyid pada masa kekhalifahan Abbasiyyah , khalifah berencana untuk merenovasi Ka’bah dan membangunnya kembali sebagaimana bangunan 'Abdullah bin az Zubair, akan tetapi Imam Malik bin Anas berkata kepadanya: “Aku bersumpah, demi Allah, wahai Amirul Mukminin, janganlah engkau menjadikan Ka’bah ini sebagai permainan para raja setelah engkau, sehingga tidaklah seseorang dari mereka yang ingin merubahnya, kecuali dia pun akan merubahnya, dan kemudian hilanglah kewibawaan Ka'bah dari hati kaum Muslimin,” lalu Khalifah Harun ar Rasyid pun menggagalkan rencana tersebut, sehingga Ka’bah masih tetap seperti itu sampai sekarang ini.[ As Sirah an-Nabawiyah fi Dhu'il-Mashadir].
Pada era Sultan Murad IV, Syaikh Muhammad Thahir al Kurdi mengatakan, yang memotivasi pembangunan oleh Sultan Murad IV, yaitu adanya hujan deras yang turun pada pagi hari Rabu 19 Sya'ban 1039H di Mekkah dan sekitarnya, yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dimana air masuk ke dalam Masjid al Haram hingga ketinggian 2 meter dari pegangan pintu Ka'bah. Kemudian, pada 'Ashar keesokan harinya, yaitu hari Kamis, dua sisi tembok bagian asy Syami (sebelah utara) Ka'bah runtuh, dan tertarik juga tembok timur sampai pintu Al Syaami dan tidak sisa kecuali itu dan tiang pintunya. Dari tembok barat tersisa seperenamnya. Dari sisi yang tampak ini, hanya sekitar dua per tiganya saja, serta sebagian atap yang sejajar dengan tembok asy Syami (utara) ikut roboh.
Syaikh Abdullah Al Ghazi Al Hindi Al Makki , seorang pakar sejarah, dia mengatakan dalam kitab tarikhnya, bahwa yang roboh dari sisi asy syami (utara) adalah yang dibangun oleh al Hajjaj ats Tsaqafi. Demikian juga, tangga ke atap Ka'bah ikut runtuh. Pernyataan ini sesuai benar dengan kenyataannya. Kemudian Sultan Murad IV memerintahkan pembangunan Ka'bah dan dapat diselesaikan pada bulan Ramadhan 1040 H, sesuai dengan bentuk bangunan al Hajjaj ats Tsaqafi. Pembangunan Sultan Murad IV inilah yang terakhir, hingga sekarang ini.[ At Tarikhul-Qawim li Makkata wa Baitullah al Karim, 3/126-127] .
Dalam sejarahnya bangunan suci ini diurus dan dipelihara oleh Bani Sya’ibah sebagai pemegang kunci Kabah dan administrasi serta pelayanan haji diatur oleh pemerintahan, baik pemerintahan khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawwiyah bin Abu Sufyan, Dinasti Ummayyah, Dinasti Abbasiyyah, Dinasti Usmaniyah Turki, sampai saat ini yakni pemerintah kerajaan Arab Saudi yang bertindak sebagai pelayan dua kota suci, Mekah dan Madinah.
Demikian tentang seputar pembangunan Ka'bah yang disampaikan para ahli sejarah Islam. Mudah-mudahan dapat menambah pengetahuan dan pengagungan kita terhadap Baitullah, al Haram dan kiblat kaum Muslimin yang agung ini.
Wallahu a'lam.
Sumber : Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi , Manhaj or id , Agus Mustofa, Pusaran Energi Ka'bah dll
Dalam suatu literatur disebutkan bahwa dalamsejarah pembangunan Ka'bah berlangsung sekitar 10 generasi . Diyakini pembangunan pertama dilakukan oleh Malaikat , du ribu tahun sebelum Nabi Adam diciptakan, sebagai tempat thawaf para malaikat di bumi. Pembangunan dan pemeliharaan oleh para malaikat ini sebagaimana diriwayatkan al Azraqiy. [Ad Dala-il, 2/45 dan lihat Fat-hul Bariy, 13/144]
Selanjutnya dibantu para malaikat , Nabi Adam merenovasi kembali Ka'bah dan melakukan thawaf. Pembangunan dan pemeliharaan oleh Nabi Adam, sebagaimana diriwayatkan al Baihaqiy[Ad Dala-il, 2/45 dan lihat Fat-hul Bariy, 13/144.], dan yang lainnya [ Sirah asy Syamiyah, 1/171. Penulisnya berkata,"Telah meriwayatkannya Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir ath Thabariy secara mauquf, dan al Azraqiy, Abu Syaikh dalam al Adzamah, dan Ibnu Asakir dari Ibnu Abbas." Lihat pula Tafsir Ibnu Katsir, 1/259.3]
Periode berikutnya pembangunan renovasi Ka'bah dilakukan oleh salah seorang putera Nabi Adam yaitu Syist bin Adam ( as Suhailiy, Raudhul-Unfi, 1/221), dengan menggunakan batu dan tanah. Sebagaimana diriwayatkan al Azraqiy[Akhbaru Makkah, 1/8] dan yang lainnya [As Sirah asy Syamiyah, 1/172]
Bangunan ini terus berdiri samapi zaman kenabian Nabi Nuh. Pada Zaman Nabi Nuh Ka'bah mengalami kerusakan akibat terpaan taifun dan banjir nan dasyat.
Beberapa literatur menceritakan pada waktu membangun Ka'bah usia Nabi Ibrahim sekitar 100 tahun. Saat itu Mekkah telah menjadi kota yang ramai, dan menjadi tempat persinggahan para kafilahdan pedagang karena didekatnya ada mata air Zam-Zam.
Jika kita mengkaji lebih dalam Qs. Al-Baqarah 127, dapat diambil kesan bahwa dasar-dasar Baitullah itu memang sudah ada. Sedangkan Nabi Ibrahim dan puterany tinggal merenovasi saja. Dalam Holy Qur'an dijelaskan bahwa Ka'bah yang mula-mula dibangun memiliki tinggi 9 hasta. Panjang dari Hajar Aswad sampai Rukun Syami 32 hasta. Lebarnya dari Rukun Syami sampai Rukun Gharbi 22 hasta. Panjang Rukun Gharbi sampai Rukun Yamani 31 hasta. Lebarnya dari Rukun Yamani samapi Hajar Aswad 20 hasta.
Syaikh Husain Abdullah Basalamah dalam kitab Tarikhul Ka'bah al Mu'azhamah, menjelaskan, Nabi Ibrahim membuat dua pintu untuk Ka'bah dengan ukuran yang sama. Satu dari arah timur dekat Hajar Aswad, dan yang lainnya dari arah barat dekat rukun Yamani. Beliau juga membuat lubang di dalam Ka'bah. Yaitu di sebelah kanan orang yang masuk dari pintu timur yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan harta Ka'bah. Kala itu, Ka'bah belum diberi atap. (Makalah al Ka'bah al Musyarafah Awalul-Bait Wadhi'a lin-Nas, Majalah Haji, Edisi 9 dan 10 Tahun 55 Rabiul Awal dan Rabi'u Tsani 1422H, halaman 35.)
Ka'bah bentuknya tidak simetris. Adapun kekuatan pilarnya ada pada kedua sudut Yamani. Sedangkan di bagian Hajar Aswad tidak terdapat pilar. Batu hitam tersebut dijadikan satu dengan dinding dalam bentuk setengah lingkaran sebagaimana bisa dilihat sekarang disana. Sedangkan pintunya, waktu itu hanya berupa kerangka saja sejajar tanah, yang kemudian disempurnakan oleh generasi-generasi berikutnya.
Ka'bah dengan ketinggian 9 hasta yang didirikan oleh Nabi Ibrahim itu kini memiliki ketinggian 3 kalinya, yaitu 27 hasta. Pada saat itu Nabi Ibrahim meletakkan ketinggian itu pada pondasi setinggi 6 hasta.
As Samiy [Subul-Huda wa Rasyad, 1/192] berkata : "Dinukil oleh az Zubair bin Bakar dalam kitab an Nasab, dan ditegaskan oleh Abu Ishaq al Mawardiy dalam al Ahkam as Sulthaniyah yang menyatakan, orang pertama yang merenovasi bangunan Ka'bah dari kalangan Quraisy setelah Nabi Ibrahim adalah Qushaiy bin Kilab.
As Sakhawi mengatakan, Qushaiy mengumpulkan hartanya yang melimpah dan merenovasi Ka'bah serta menambah tinggi Ka'bah menjadi 9 hasta dari yang telah dibangun pada zaman Nabi Ibrahim. Dia juga membuat atap Ka'bah dari kayu pohon ad-dum dan pelepah kurma, sehingga dialah orang pertama yang membuat atap Ka'bah, kemudian dibuka lagi hingga zaman Quraisy.[ makalah al Ka'bah al Musyarafah Awalul-Bait Wadhi'a lin-Nas, Majalah Haji, Edisi 9 dan 10 Tahun 55 Rabiul Awal dan Rabi'u Tsani 1422H, halaman 35 dan 3615].
Selanjutnya dalam beberapa literature sejarah, pembangunan ini terjadi pada saat usia Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menginjak 35 tahun. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ikut serta dalam pembangunan ini dengan mengangkat batu-batu di atas pundaknya. Ketika sampai pada peletakkan Hajar Aswad, kaum Quraisy berselisih, siapa yang akan menaruhnya. Perselisihan ini nyaris menimbulkan pertumpahan darah, akan tetapi dapat diselesaikan dengan kesepakatan menunjuk seorang pengadil hakim yang memutuskan. Pilihan tersebut, ternyata jatuh pada diri Muhammad [Majalah As Sunnah, Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M, Rubrik Sirah].
Selanjutnya dalam perkembangannya , ketika suku bangsa Quraisy merenovasi Ka'bah, mereka memindahkan dinding sebelah utara Ka'bah sejauh 5 hasta ke selatan, dan menambahkannya ke Hijr Ismail. Dan ketika Abdullah bin Zubair merenovasinya kembali dia mengeluarkan posisi bangunan itu seperti ketika zaman Nabi Ibrahim. Dia juga menambahkan luasan Hijr Ismail ke Ka'bah. Selanjutnya Al Hajjaj bin Yusuf melakukan renovasi terhadap Hijr Ismail seperti bentuk yang sekarang.
Agus Mustofa, dalam bukunya Pusaran Energi Ka'bah, menyatakan bahwa Ka'bah memang telah mengalami beberapa kali pembangunan dan renivasi selam ribuan tahun. Namun ada beberapa hal yang masih tetap eksis seperti semula yaitu letak pondasi dan posisi Hajar Aswad.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Syaikhani [ dalam Subul-Huda wa Rasyad, 1/192. 18]. Pembangunan era 'Abdullah bin az Zubair, Ketika Ibnu az Zubair berencana membangun Ka’bah yang hendak dikembalikan sesuai dengan asas dan bentuk sebagaimana yang telah dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Ismail -sebelum adanya perubahan dari kaum Quraisy- maka beliau menyampaikan rencana ini kepada kaum Muslimin, yang akhirnya disetujui. Kaum Muslimin pun segera memulai pembangunan.
Pertama, mereka menghancurkan bangunan Ka’bah yang ada sampai rata dengan tanah, lalu mencari pondasi Ka’bah yang telah dibuat oleh Nabi Ibrahim. Setelah menemukan, maka segera menegakkan tiang-tiang di sekitarnya dan menutupnya. Kemudian, mulailah mereka membangun dan meninggikan bangunan Ka’bah secara bersama-sama, serta menambah tiga hasta yang telah dikurangi kaum Quraisy, menambah tinggi Ka’bah sepuluh hasta, lalu membuat dua pintu dari arah timur dan barat. Satu untuk masuk, dan yang lain untuk keluar.
Hal itu sesuai dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Syaikhani, yang artinya ,"Wahai, 'Aisyah. Kalau bukan karena kaummu baru lepas dari kejahiliyahan, sungguh aku ingin memerintahkan mereka menghancurkan Ka'bah lalu membangunnya, dan aku masukkan ke dalamnya apa yang telah dikeluarkan darinya, dan aku buat pintunya menempel dengan tanah, serta aku buatkan pintu timur dan barat, dan aku sesuaikan dengan pondasi Ibrahim". [Muttafaqun 'alaih, As Sirah an-Nabawiyah fi Dhu'il-Mashadir, halaman 55.]
Ada kisah menarik. Pada zaman Abdullah bin Zubair ra melakukan renovasi. Ketika itu Ibn Zubair merobohkan Ka'bah dan meratakannya dengan tanah, saat itu dia menemukan pondasi peninggalan Nabi Ibrahim AS yangterdapat di dalamnya Hijr Ismail, sekitar 6 hasta. Batu-batu tersebut berbentuk seperti leher onta, berwarna merah, diman satu dengan yang lain saling bersilang seperti persilangan jari-jari.
Salah seorang dari mereka, Abdullah bin Muthi' Al Adawi meletakkan sebuah tongkat besi yang dipegangnya untuk mendongkel pondasi itu di salah satu sudut Ka'bah. Sesuatu yang luar bisa terjadi. Ternyata seluruh bangunan Ka'bah bergerak. Seluruh sudut ikut bergetar. Bahkan seluruh kota Mekkah ikut bergetar dasyat. Orang-orang terkejut dan cemas, lalu Ibn Zubair berkata,"saksikanlah".
Akhirnya diputuskan untuk tidak meneruskan pembongkaran pondasi Ka'bah. Dan diputuskan hanya melanjutkan pembangunan di atas pondasi yang telah ada.
Istilah Ka’bah adalah bahasa al quran dari kata “ka’bu” yg berarti “mata kaki” atau tempat kaki berputar bergerak untuk melangkah. Ayat 5/6dalam Al-quran menjelaskan istilah itu dg “Ka’bain” yg berarti ‘dua mata kaki’ dan ayat 5/95-96 mengandung istilah ‘ka’bah’ yg artinya nyata “mata bumi” atau “sumbu bumi” atau kutub putaran utara bumi.
Ketika masa pemerintahan khalifah Harun Al Rasyid pada masa kekhalifahan Abbasiyyah , khalifah berencana untuk merenovasi Ka’bah dan membangunnya kembali sebagaimana bangunan 'Abdullah bin az Zubair, akan tetapi Imam Malik bin Anas berkata kepadanya: “Aku bersumpah, demi Allah, wahai Amirul Mukminin, janganlah engkau menjadikan Ka’bah ini sebagai permainan para raja setelah engkau, sehingga tidaklah seseorang dari mereka yang ingin merubahnya, kecuali dia pun akan merubahnya, dan kemudian hilanglah kewibawaan Ka'bah dari hati kaum Muslimin,” lalu Khalifah Harun ar Rasyid pun menggagalkan rencana tersebut, sehingga Ka’bah masih tetap seperti itu sampai sekarang ini.[ As Sirah an-Nabawiyah fi Dhu'il-Mashadir].
Pada era Sultan Murad IV, Syaikh Muhammad Thahir al Kurdi mengatakan, yang memotivasi pembangunan oleh Sultan Murad IV, yaitu adanya hujan deras yang turun pada pagi hari Rabu 19 Sya'ban 1039H di Mekkah dan sekitarnya, yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dimana air masuk ke dalam Masjid al Haram hingga ketinggian 2 meter dari pegangan pintu Ka'bah. Kemudian, pada 'Ashar keesokan harinya, yaitu hari Kamis, dua sisi tembok bagian asy Syami (sebelah utara) Ka'bah runtuh, dan tertarik juga tembok timur sampai pintu Al Syaami dan tidak sisa kecuali itu dan tiang pintunya. Dari tembok barat tersisa seperenamnya. Dari sisi yang tampak ini, hanya sekitar dua per tiganya saja, serta sebagian atap yang sejajar dengan tembok asy Syami (utara) ikut roboh.
Syaikh Abdullah Al Ghazi Al Hindi Al Makki , seorang pakar sejarah, dia mengatakan dalam kitab tarikhnya, bahwa yang roboh dari sisi asy syami (utara) adalah yang dibangun oleh al Hajjaj ats Tsaqafi. Demikian juga, tangga ke atap Ka'bah ikut runtuh. Pernyataan ini sesuai benar dengan kenyataannya. Kemudian Sultan Murad IV memerintahkan pembangunan Ka'bah dan dapat diselesaikan pada bulan Ramadhan 1040 H, sesuai dengan bentuk bangunan al Hajjaj ats Tsaqafi. Pembangunan Sultan Murad IV inilah yang terakhir, hingga sekarang ini.[ At Tarikhul-Qawim li Makkata wa Baitullah al Karim, 3/126-127] .
Dalam sejarahnya bangunan suci ini diurus dan dipelihara oleh Bani Sya’ibah sebagai pemegang kunci Kabah dan administrasi serta pelayanan haji diatur oleh pemerintahan, baik pemerintahan khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawwiyah bin Abu Sufyan, Dinasti Ummayyah, Dinasti Abbasiyyah, Dinasti Usmaniyah Turki, sampai saat ini yakni pemerintah kerajaan Arab Saudi yang bertindak sebagai pelayan dua kota suci, Mekah dan Madinah.
Demikian tentang seputar pembangunan Ka'bah yang disampaikan para ahli sejarah Islam. Mudah-mudahan dapat menambah pengetahuan dan pengagungan kita terhadap Baitullah, al Haram dan kiblat kaum Muslimin yang agung ini.
Wallahu a'lam.
Sumber : Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi , Manhaj or id , Agus Mustofa, Pusaran Energi Ka'bah dll
Nikmat (besar) dibalik musibah
Firman Allah, yang artinya ," Dan sungguh Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ." (Qs. Al-An'am : 42). Ibn Jarir dalam Tafsir Ibnu Jarir menjelaskan , bahwa ," Maka Kami beri ujian kepada mereka dengan kesengsaraan", maksudnya adalah berupa kefakiran yang amat keras dan kesempitan dalam kehidupan. Dan yang dimaksudkan dengan "kemelaratan" adalah berbagai (musibah) penyakit dan penderitaan yang amat meyakitkan yang dirasa pada tubuh. Firman Allah yg berbunyi ," Supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri", maksudnya adalah Allah memberikan penyakit itu agar mereka tunduk dan merendahkan diri mereka kepada Allah, mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah, hanya memasrahkan keinginannya kepada Allah, berupa sikap merendahkan diri hanya kepada Allah dengan ketaatan dan memohon ketenangan dari mereka kepada Allah dengan bertobat."
Saudaraku, bukankah para rasul adalah hamba yang paling mulia disisi Allah , namun justru Allah memberikan ujian yang sangat keras kepada hamba-hamba yang paling Dia kasihi itu. Tentu ada rahasia besar dibalik itu, sungguh Allah Maha Mengetahui , Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Saudaraku, yang sedang menderita suatu penyakit (musibah) , semoga Allah segera memberikan kesembuhan. Dan sesungguhnya penyakit dan segala sesuatu yang tidak disenangi , bahkan segala sesuatu yang disukai atau disenangi merupakan sunnah rabbani yang sarat dengan hikmah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai cobaan dan ujian bagi hamba-hamba-Nya.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam, pernah bersabda, yang artinya ," Sesungguhnya manusia yang paling berat cobaannya adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang setingkat di bawah mereka , kemudian orang-orang yang setingkat di bawah mereka, kemudian orang-orang yang setingkat di bawah mereka ," (Hr Ahmad, An-Nasa'I dan Al Hakim).
Cobaan ini bisa berupa godaan nafsu (syahwat) , kemiskinan, penyakit , kecemasan, kekurangan harta, jiwa dst. Cobaan itu juga bisa jadi berupa kekayaan , keturunan, kesehatan, dst. Cobaan itu bisa berupa sesuatu yang dicintai maupun sesuatu yang dibenci. Namun kita seringkali tergoda untuk marah bahkan menyalahkan Allah bila mendapat cobaan atas hal-hal yang kita benci, dan menganggap hal-hal yang membuat kita nikmat bukan sebagi suatu ujian dari Allah. Seorang hamba selalu diuji dengan berbagai hal, baik berupa sesuatu yang mendatangkan kegembiraan dan sesuatu yang disukai, ataupun berupa sesuatu yang dibenci.
Dari penggalan riwayat Abi Sa'id Al Khudri ra ketika menjenguk Rasulullah yang sedang menderita sakit. Dia bertanya,' Ya Rasulullah , alangkah beratnya penyakit ini bagimu,' Rasulullah menjawab , yang artinya ," Demikianlah keadaan kami, allah melipatkgandakan cobaan-Nya kepada kami dan melipatgandakan pahalanya," Said bertanya lagi,' Wahai Rasulullah, siapa manusia yang paling berat cobaanya?'. Rasulullah menjawab, yang artinya ," Rara Nabi", Said bertanya lagi,'Kemudian siapa ya Rasulullah?' Rasulullah menjawab, yang artinya ," Kemudian orang-orang saleh, sampai-sampai jika salah seorang diantar mereka ditimpa kefakiran, maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali beban (penderitaan yang mengerumininya (Yuhawwiiha), sesungguhnya mereka gembira dengan cobaan sebagaimana mereka gembira ketika mereka mendapatkan kesenangan". (Hr Ibn Majah 2,1334 no.4042).
Ibn Abi ad Dunya dalam Al Farju Ba'da Asy Syiddah, menyatakan Sufyan bin Uyaninah , berkata, ' Apa yang dibenci seorang hamba itu lebih baik baginya daripada apa yang ia cintai, karena apa yang dibencinya dapat menggerakkannya untuk selalu berdoa dan apa yang dicintainya (justru) sering membuatnya terlena'. Bahkan Wahab bin Munabbih dalam Asy Syukru , berkata bahwa diturunkannya bala' (bencana, musibah) itu agar dengannya doa-doa dipanjatkan kepada Allah'.
Saudaraku diantara faedah dari sebuah bala' (penyakit) adalah sebagai pengingat, bahwa betapa telah banyak kenikmatan yang selalu dan masih tercurah kepada hamba-Nya. Betapa banyak kenikmatan yang telah Allah anugerahkan kepada kita. Dan berapa sering Allah telah menjaga kita dari berbagai hal yang tidak disukai. Kenikmatan yang teramat banyak itu, seringkai membuat kita terlena, terlebih lagi di saat kita sehat bugar. Hal ini makin terlihat dengan sikap-sikap kita yang makin terlarut dalam kenikmatan-kenikmatan tsb.
Dan suatu ketika seorang hamba diuji dengan sebuah penyakit dan dibuat lemah tiada berdaya, maka ia akan ingat dengan sikap sombongnya terhadap nikmat yang telah diberikan Allah dikala sebelum tertimpa penyakit. Betapa banyak waktu dan masa yang panjang dimana ia bebas dan merasa sehat walafiat, kemudian ia menjadi ingat akan nikmat Allah sekarang ini yang dianugerahkan-Nya .
Kondisi yang sehat walafiat seringkali membuat seseorang bersikap berlebihan, kufur nikmat dan membangggakan diri. Karena umumnya ia menikmati kegagahan, kekuatan dan kondisi yang nyaman. Sehingga manakal hamba itu ditimpakan penyakit dan dikagetkan oleh kepedihan maka ia akan merasa dirinya (kegagahannya, kekuatannya, ) seolah telah hancur, perasaan hatinya menjadi lebih halus dan hatinya mulai bersih dari kotoran-kotoran berupa akhlak tercela, seperti sikap sombong, angkuh , ujub dst. Kemudian digantikan dengan sikap dan perasaan tunduk kepad aAllah dan tawadhu dalam menghambakan diri kepada-Nya.
Ibn Qayyyim dalam Syifa Al-alil, menyatakan bahwa mengambil faedah dari berbagai kepedihan dan penyakit tidak akan dapat dirasakan kecuali oleh orang yang hatinya jernih. Oleh karena itu sehatnya hati dan jiwa tergantung pada kepedihan dan kesulitan yang dirasakan oleh jasmani. Seandainya tidaka ada ujian dalam kehidupan ini, maka niscaya seorang hamba akam mudah terserang berbagai penyakit hati seperti sombong, ujub, angkauh dan kesat ahti, yang semuanya itu justru menjadi penyebab utama kehancuran dirinya.
Saudaraku, yakinlah Allah jika menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia akan memberikan cobaan dan ujian sesuai dengan kondisi sang hamba, yang mana dengan ujian dan cobaan itu , hamba tersebut dapat membebaskan dirinya dari berbagai hal yang menghancurkan dirinya. Sehingga jika Allah telah membuatnya bersih, jernih dan suci dari berbagai penyakit hati, maka Allah menempatkan hamba tersebut pada derajat yang mulia di sisi-Nya di dunia ini. Yaitu menghambakan diri kepada-Nya .
Dari Muhammad bin Khalid As-Sulami , dari ayahnya, dari kakeknya, ia adalah sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ia berkata , aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, yang artinya ," Sesungguhnya seorang hamba itu jika telah ditetapkan oleh Allah suatu kedudukan baginya, ia tidak akan dapat mencapainya (kedudukan itu) dengan amal perbuatannya. Maka Allah akan memberikan ujian pada tubuh, harta atau pada anak keturunannya, kemudian ia bersabar terhdap ujian tersebut hingga ia mencapai kedudukan yang telah ditetapkan oleh Allah baginya itu ", (Hr Abu Dawud).
Dari Muadz bin Muhammad bin Muadz bin Ubay bi Ka'ab, dari ayahnya , dari kakeknya, dari Ubay bin Ka'ab , ia berkata,' Wahai Rasulullah, apakah ganjaran pada penyakit demam?'. Rasulullah menjawab, yang artinya ," Akan ada kebaikan-kebaikan pada penderitanya atas apa yang membuatnya terganggu (menderita) atau sesuatu yang menimpa uratnya ,"
Dari Hubaib al-Harrabi, ia berkata,'Hasan pernah mengunjungiku ketika aku sedang sakit , ia berkata kepadaku," Wahai Hubaib, sesungguhnya jika kita tidak diberikan pahala kecuali dari apa-apa yang kita cintai saja, maka niscaya akan sedikitlah pahala kita. Sesungguhnya Allah itu Maha Mulia dan akan menguji hamba-Nya dengan sesuatu yang dibencinya dan Allah akan memberikan kepadanya pahala yang sangat besar". (kitab Al Maradh wa Al-Kaffarat).
Suatu ketika Rasulullah menjenguk seorang yang sakit, kemudian bersabda kepada orang yang sedang sakit itu, yang artinya ," Beritakanlah kabar gembira, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla pernah berfirman , (yang artinya)," Penyakit itu adalah api-Ku yang Aku timpakan kepada hamba-Ku yang mukmin di dunia ini, agar ia dapat selamat dari api neraka pada akhir nanti, " (Hr Ahmad dan Hakim,)
Itulah baru sebagian kecil dari rahasia rahmat Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Allah memberikan kepada hamba-Nya cobaan berupa bala atau penyakit agar ia dapat merasakan manfaat dari penyakit yang dideritanya dan mendapatkan keuntungan-keuntungan yang tidak akan pernah dia dapatkan bila tidak menderita penyakit itu.
Saudaraku sesungguhnya Allah tidak butuh menyiksa hamba-Nya dan Dia tidak membutuhkan sesuatu apapun yang dapat menyebabkan hamba-Nya menderita, akan tetapi Kasih Sayang Allah dan Hikmah Allah dan Rahmat-Nya kepada hamba-Nya lah yang mengharuskan adanya bala' atau penyakit. Maka bagi-Nya segala pujian atas selutuh rahmat yang telah dia berikan.
Oleh karena penyakit dan bala' itu merupakan nikmat dari Allah, maka orang-orang shaleh terdahulu selalu menyambut gembira ketika mereka ditimpa suatu penyakit atau bala', seperti gembiranya salah seorang diantara kita ketika mendaptkan kemewahan (kelapangan)
Sebagaimana Rasulullah SAW telah menyebutkan bahwa cobaan para Rasul (Nabi) dan orang-orang shaleh adalah penyakit, kefakiran dll. Kemudian Rasulullah bersabda , yang artinya," Sehingga salah seorang diantara mereka , merasa sangat bergembira dengan bala yang menimpanya, seperti gembiranya salah seorang di antara kalian ketika mendaptakan kemewahan (kelapangan)," (Hr Ibn Majah 2/1334-1335)
Dalam Madarij as-Salikin, sebagian salaf berkata, bahwa wahai anak adam ,nikmat Allah yang tidak engkau sukai yang telah diberikan kepadamu lebih besar (manfaatnya) dari nikmat Allah yang engkau sukai.
Saudaraku, itulah kenapa jika para Nabi dan orang-orang shaleh adalah hamba-hamba yang paling dicintai Allah, maka cobaan terhadap mereka melebihi cobaan yang ditimpakan kepada orang-orang selain mereka.
Diriwayatkan Sa'id bin Abi Waqqash bahwa ia berkata ,' Wahai Rasulullah , siapa manusia yang paling berat cobaanya ?' Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallah , bersabda, yang artinya ," Para Nabi, kemudian orang-orang terbaik setelah mereka dan (kemudian) orang-orang terbaik setelah mereka . Seseorang itu diberi cobaan sesuai dengan (kadar) agamanya. Jika (kadar) agamanya kuta maka cobaannya pun berat, namun jika (kadar) agamanya lemah maka ia aakan diberi cobaan sesuai dengan (kadar) agamanya itu. Seseorang hamba tidak akan pernah lepas dari cobaan hingga cobaan itu menghapuskan seluruh dosa-dosanya dan dia dapat berjalan di muka bumi ini tanpa ada dosa sedikitpun," (Hr Turmudzi -Ibn Majah).
Karena itulah Rasulullah sebagai hamba-Nya yang terbaik , maka Rasulullah adalah orang yang mendapat ujian (cobaan) paling keras, derita akibat penyakit yang menimpa beliau melebihi hamba-Nya yang lain. Sebagaimana Aisyah ra, pernah berkata," Aku tidak pernah melihat orang yang menderita karena sakit , melebihi derita yang dialami Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam ," (Hr Bukhari Muslim).
Demikianlah , kita dapatkan Rasulullah mengalami penderitaan silih berganti. Seandainya hal itu bukanlah kebaikan dan nikmat , niscaya Rasulullah tidak akan mengalaminya melebihi manusia pada umumnya, karena beliau adalah kekasih Allah dan penutup para nabi. Demikian halnya dengan keadaan para nabi lainnya. Cobaan yang mereka alami sangat luar biasa. Allah mencoba mereka dengan berbagai macam musibah dan melimpahkan kepada mereka nikmat cobaan yang sangat banyak.
Allahu a'lam
Sumber : Abdullah bin ali Al-Juaitsin, hikmah orang sakit.
Saudaraku, bukankah para rasul adalah hamba yang paling mulia disisi Allah , namun justru Allah memberikan ujian yang sangat keras kepada hamba-hamba yang paling Dia kasihi itu. Tentu ada rahasia besar dibalik itu, sungguh Allah Maha Mengetahui , Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Saudaraku, yang sedang menderita suatu penyakit (musibah) , semoga Allah segera memberikan kesembuhan. Dan sesungguhnya penyakit dan segala sesuatu yang tidak disenangi , bahkan segala sesuatu yang disukai atau disenangi merupakan sunnah rabbani yang sarat dengan hikmah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai cobaan dan ujian bagi hamba-hamba-Nya.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam, pernah bersabda, yang artinya ," Sesungguhnya manusia yang paling berat cobaannya adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang setingkat di bawah mereka , kemudian orang-orang yang setingkat di bawah mereka, kemudian orang-orang yang setingkat di bawah mereka ," (Hr Ahmad, An-Nasa'I dan Al Hakim).
Cobaan ini bisa berupa godaan nafsu (syahwat) , kemiskinan, penyakit , kecemasan, kekurangan harta, jiwa dst. Cobaan itu juga bisa jadi berupa kekayaan , keturunan, kesehatan, dst. Cobaan itu bisa berupa sesuatu yang dicintai maupun sesuatu yang dibenci. Namun kita seringkali tergoda untuk marah bahkan menyalahkan Allah bila mendapat cobaan atas hal-hal yang kita benci, dan menganggap hal-hal yang membuat kita nikmat bukan sebagi suatu ujian dari Allah. Seorang hamba selalu diuji dengan berbagai hal, baik berupa sesuatu yang mendatangkan kegembiraan dan sesuatu yang disukai, ataupun berupa sesuatu yang dibenci.
Dari penggalan riwayat Abi Sa'id Al Khudri ra ketika menjenguk Rasulullah yang sedang menderita sakit. Dia bertanya,' Ya Rasulullah , alangkah beratnya penyakit ini bagimu,' Rasulullah menjawab , yang artinya ," Demikianlah keadaan kami, allah melipatkgandakan cobaan-Nya kepada kami dan melipatgandakan pahalanya," Said bertanya lagi,' Wahai Rasulullah, siapa manusia yang paling berat cobaanya?'. Rasulullah menjawab, yang artinya ," Rara Nabi", Said bertanya lagi,'Kemudian siapa ya Rasulullah?' Rasulullah menjawab, yang artinya ," Kemudian orang-orang saleh, sampai-sampai jika salah seorang diantar mereka ditimpa kefakiran, maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali beban (penderitaan yang mengerumininya (Yuhawwiiha), sesungguhnya mereka gembira dengan cobaan sebagaimana mereka gembira ketika mereka mendapatkan kesenangan". (Hr Ibn Majah 2,1334 no.4042).
Ibn Abi ad Dunya dalam Al Farju Ba'da Asy Syiddah, menyatakan Sufyan bin Uyaninah , berkata, ' Apa yang dibenci seorang hamba itu lebih baik baginya daripada apa yang ia cintai, karena apa yang dibencinya dapat menggerakkannya untuk selalu berdoa dan apa yang dicintainya (justru) sering membuatnya terlena'. Bahkan Wahab bin Munabbih dalam Asy Syukru , berkata bahwa diturunkannya bala' (bencana, musibah) itu agar dengannya doa-doa dipanjatkan kepada Allah'.
Saudaraku diantara faedah dari sebuah bala' (penyakit) adalah sebagai pengingat, bahwa betapa telah banyak kenikmatan yang selalu dan masih tercurah kepada hamba-Nya. Betapa banyak kenikmatan yang telah Allah anugerahkan kepada kita. Dan berapa sering Allah telah menjaga kita dari berbagai hal yang tidak disukai. Kenikmatan yang teramat banyak itu, seringkai membuat kita terlena, terlebih lagi di saat kita sehat bugar. Hal ini makin terlihat dengan sikap-sikap kita yang makin terlarut dalam kenikmatan-kenikmatan tsb.
Dan suatu ketika seorang hamba diuji dengan sebuah penyakit dan dibuat lemah tiada berdaya, maka ia akan ingat dengan sikap sombongnya terhadap nikmat yang telah diberikan Allah dikala sebelum tertimpa penyakit. Betapa banyak waktu dan masa yang panjang dimana ia bebas dan merasa sehat walafiat, kemudian ia menjadi ingat akan nikmat Allah sekarang ini yang dianugerahkan-Nya .
Kondisi yang sehat walafiat seringkali membuat seseorang bersikap berlebihan, kufur nikmat dan membangggakan diri. Karena umumnya ia menikmati kegagahan, kekuatan dan kondisi yang nyaman. Sehingga manakal hamba itu ditimpakan penyakit dan dikagetkan oleh kepedihan maka ia akan merasa dirinya (kegagahannya, kekuatannya, ) seolah telah hancur, perasaan hatinya menjadi lebih halus dan hatinya mulai bersih dari kotoran-kotoran berupa akhlak tercela, seperti sikap sombong, angkuh , ujub dst. Kemudian digantikan dengan sikap dan perasaan tunduk kepad aAllah dan tawadhu dalam menghambakan diri kepada-Nya.
Ibn Qayyyim dalam Syifa Al-alil, menyatakan bahwa mengambil faedah dari berbagai kepedihan dan penyakit tidak akan dapat dirasakan kecuali oleh orang yang hatinya jernih. Oleh karena itu sehatnya hati dan jiwa tergantung pada kepedihan dan kesulitan yang dirasakan oleh jasmani. Seandainya tidaka ada ujian dalam kehidupan ini, maka niscaya seorang hamba akam mudah terserang berbagai penyakit hati seperti sombong, ujub, angkauh dan kesat ahti, yang semuanya itu justru menjadi penyebab utama kehancuran dirinya.
Saudaraku, yakinlah Allah jika menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia akan memberikan cobaan dan ujian sesuai dengan kondisi sang hamba, yang mana dengan ujian dan cobaan itu , hamba tersebut dapat membebaskan dirinya dari berbagai hal yang menghancurkan dirinya. Sehingga jika Allah telah membuatnya bersih, jernih dan suci dari berbagai penyakit hati, maka Allah menempatkan hamba tersebut pada derajat yang mulia di sisi-Nya di dunia ini. Yaitu menghambakan diri kepada-Nya .
Dari Muhammad bin Khalid As-Sulami , dari ayahnya, dari kakeknya, ia adalah sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ia berkata , aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, yang artinya ," Sesungguhnya seorang hamba itu jika telah ditetapkan oleh Allah suatu kedudukan baginya, ia tidak akan dapat mencapainya (kedudukan itu) dengan amal perbuatannya. Maka Allah akan memberikan ujian pada tubuh, harta atau pada anak keturunannya, kemudian ia bersabar terhdap ujian tersebut hingga ia mencapai kedudukan yang telah ditetapkan oleh Allah baginya itu ", (Hr Abu Dawud).
Dari Muadz bin Muhammad bin Muadz bin Ubay bi Ka'ab, dari ayahnya , dari kakeknya, dari Ubay bin Ka'ab , ia berkata,' Wahai Rasulullah, apakah ganjaran pada penyakit demam?'. Rasulullah menjawab, yang artinya ," Akan ada kebaikan-kebaikan pada penderitanya atas apa yang membuatnya terganggu (menderita) atau sesuatu yang menimpa uratnya ,"
Dari Hubaib al-Harrabi, ia berkata,'Hasan pernah mengunjungiku ketika aku sedang sakit , ia berkata kepadaku," Wahai Hubaib, sesungguhnya jika kita tidak diberikan pahala kecuali dari apa-apa yang kita cintai saja, maka niscaya akan sedikitlah pahala kita. Sesungguhnya Allah itu Maha Mulia dan akan menguji hamba-Nya dengan sesuatu yang dibencinya dan Allah akan memberikan kepadanya pahala yang sangat besar". (kitab Al Maradh wa Al-Kaffarat).
Suatu ketika Rasulullah menjenguk seorang yang sakit, kemudian bersabda kepada orang yang sedang sakit itu, yang artinya ," Beritakanlah kabar gembira, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla pernah berfirman , (yang artinya)," Penyakit itu adalah api-Ku yang Aku timpakan kepada hamba-Ku yang mukmin di dunia ini, agar ia dapat selamat dari api neraka pada akhir nanti, " (Hr Ahmad dan Hakim,)
Itulah baru sebagian kecil dari rahasia rahmat Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Allah memberikan kepada hamba-Nya cobaan berupa bala atau penyakit agar ia dapat merasakan manfaat dari penyakit yang dideritanya dan mendapatkan keuntungan-keuntungan yang tidak akan pernah dia dapatkan bila tidak menderita penyakit itu.
Saudaraku sesungguhnya Allah tidak butuh menyiksa hamba-Nya dan Dia tidak membutuhkan sesuatu apapun yang dapat menyebabkan hamba-Nya menderita, akan tetapi Kasih Sayang Allah dan Hikmah Allah dan Rahmat-Nya kepada hamba-Nya lah yang mengharuskan adanya bala' atau penyakit. Maka bagi-Nya segala pujian atas selutuh rahmat yang telah dia berikan.
Oleh karena penyakit dan bala' itu merupakan nikmat dari Allah, maka orang-orang shaleh terdahulu selalu menyambut gembira ketika mereka ditimpa suatu penyakit atau bala', seperti gembiranya salah seorang diantara kita ketika mendaptkan kemewahan (kelapangan)
Sebagaimana Rasulullah SAW telah menyebutkan bahwa cobaan para Rasul (Nabi) dan orang-orang shaleh adalah penyakit, kefakiran dll. Kemudian Rasulullah bersabda , yang artinya," Sehingga salah seorang diantara mereka , merasa sangat bergembira dengan bala yang menimpanya, seperti gembiranya salah seorang di antara kalian ketika mendaptakan kemewahan (kelapangan)," (Hr Ibn Majah 2/1334-1335)
Dalam Madarij as-Salikin, sebagian salaf berkata, bahwa wahai anak adam ,nikmat Allah yang tidak engkau sukai yang telah diberikan kepadamu lebih besar (manfaatnya) dari nikmat Allah yang engkau sukai.
Saudaraku, itulah kenapa jika para Nabi dan orang-orang shaleh adalah hamba-hamba yang paling dicintai Allah, maka cobaan terhadap mereka melebihi cobaan yang ditimpakan kepada orang-orang selain mereka.
Diriwayatkan Sa'id bin Abi Waqqash bahwa ia berkata ,' Wahai Rasulullah , siapa manusia yang paling berat cobaanya ?' Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallah , bersabda, yang artinya ," Para Nabi, kemudian orang-orang terbaik setelah mereka dan (kemudian) orang-orang terbaik setelah mereka . Seseorang itu diberi cobaan sesuai dengan (kadar) agamanya. Jika (kadar) agamanya kuta maka cobaannya pun berat, namun jika (kadar) agamanya lemah maka ia aakan diberi cobaan sesuai dengan (kadar) agamanya itu. Seseorang hamba tidak akan pernah lepas dari cobaan hingga cobaan itu menghapuskan seluruh dosa-dosanya dan dia dapat berjalan di muka bumi ini tanpa ada dosa sedikitpun," (Hr Turmudzi -Ibn Majah).
Karena itulah Rasulullah sebagai hamba-Nya yang terbaik , maka Rasulullah adalah orang yang mendapat ujian (cobaan) paling keras, derita akibat penyakit yang menimpa beliau melebihi hamba-Nya yang lain. Sebagaimana Aisyah ra, pernah berkata," Aku tidak pernah melihat orang yang menderita karena sakit , melebihi derita yang dialami Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam ," (Hr Bukhari Muslim).
Demikianlah , kita dapatkan Rasulullah mengalami penderitaan silih berganti. Seandainya hal itu bukanlah kebaikan dan nikmat , niscaya Rasulullah tidak akan mengalaminya melebihi manusia pada umumnya, karena beliau adalah kekasih Allah dan penutup para nabi. Demikian halnya dengan keadaan para nabi lainnya. Cobaan yang mereka alami sangat luar biasa. Allah mencoba mereka dengan berbagai macam musibah dan melimpahkan kepada mereka nikmat cobaan yang sangat banyak.
Allahu a'lam
Sumber : Abdullah bin ali Al-Juaitsin, hikmah orang sakit.
Jumat, 08 April 2011
Makna keseimbangan
Disamping kebutuhan materi, manusia juga harus menjaga kebutuhannya diluar materi. Dan yang juga terpenting dalam hal ini adalah keimanan. Inilah yang dinamakan keseimbangan diri, seimbang dalam arti kebutuhan fisik dan seimbang dalam kebutuhan spiritual. Tentang keseimbangan. Allah berfirman dalam al-Qur’an, yang artinya ,” Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu , dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan “, (Qs. Al-Qashash : 77). Rasulullah SAW bersabda, yang artinya ,” Yang terbaik diantara kalian bukanlah orang yang beramal untuk dunianya tanpa akhirat. Juga bukan orang yang beramal untuk akhiratnya dan meninggalkan dunianya. Tetapi yang terbaik diantara kalian adalah orang yang beramal untuk keduanya “, (Hr Bukhari dan Muslim).
Islam sangat memperhatikan keseimbangan, keharmonisan dan keselarasan antara jasmani dan ruhani. Keduanya harus saling mendukung satu sama lain. Keduanya mendapatkan porsi yang seimbang.
Sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya ,” Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) , umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.. “, (Qs Al-Baqarah : 143).
Ketika seorang hamba membiasakan diri mendirikan shalat dhuha didalam aktivitas kesehariannya, maka ia telah termasuk kedalam orang yang telah menyeimbangkan diri untuk mencapai kehidupan dunia dan akhirat. Disaat , ia tengah mencari rizki untuk kepentingan jasmani, ia juga mengaktifkan jejak spiritual. Yang pada akhirnya telah menanamkan pahala untuk kepentingan akhirat.
Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW, yang artinya ,” Sesungguhnya Allah Maha Mulia lagi Maha Agung berfirman ,” Hai anak Adam, cukupilah Aku dengan melakukan empat rekaat shalat sunnah dhuha, maka aku akan mencukupi kebutuhannmu pada akhir hayatmu “, (Hr. Ahmad dan Abu Ya’la dari Uqbah bin Amir al-Juhani)
Ini adalah bagian dari keseimbangan diri, keseimbangan tubuh dan jiwa agar dapat mencapai kebahagiaan sejati. Sebagiamana telah dicontohkan dalam pribadi manusia agung Rasulullah SAW, yang dalam diri beliau terdapat keseimbangan antara kekuatan spiritual yang mendalam dan vitalitas fisik yang sempurna.
Mengapa keseimbangan iman dan usaha dapat menghilangkan perasaan takut dan berganti menjadi kedamaian dan tentram ? Orang-orang yang beriman akan lebih tahan dan sabar dalam menghadapi cobaan-cobaan hidup. Kehidupannya seimbang sehingga mampu menghadapi hari-harinya dengan ketentraman. Keseimbangan diri dapat menumbuhkan optimisme dalam berbagai hal.
Allahu a'lam
Islam sangat memperhatikan keseimbangan, keharmonisan dan keselarasan antara jasmani dan ruhani. Keduanya harus saling mendukung satu sama lain. Keduanya mendapatkan porsi yang seimbang.
Sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya ,” Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) , umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.. “, (Qs Al-Baqarah : 143).
Ketika seorang hamba membiasakan diri mendirikan shalat dhuha didalam aktivitas kesehariannya, maka ia telah termasuk kedalam orang yang telah menyeimbangkan diri untuk mencapai kehidupan dunia dan akhirat. Disaat , ia tengah mencari rizki untuk kepentingan jasmani, ia juga mengaktifkan jejak spiritual. Yang pada akhirnya telah menanamkan pahala untuk kepentingan akhirat.
Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW, yang artinya ,” Sesungguhnya Allah Maha Mulia lagi Maha Agung berfirman ,” Hai anak Adam, cukupilah Aku dengan melakukan empat rekaat shalat sunnah dhuha, maka aku akan mencukupi kebutuhannmu pada akhir hayatmu “, (Hr. Ahmad dan Abu Ya’la dari Uqbah bin Amir al-Juhani)
Ini adalah bagian dari keseimbangan diri, keseimbangan tubuh dan jiwa agar dapat mencapai kebahagiaan sejati. Sebagiamana telah dicontohkan dalam pribadi manusia agung Rasulullah SAW, yang dalam diri beliau terdapat keseimbangan antara kekuatan spiritual yang mendalam dan vitalitas fisik yang sempurna.
Mengapa keseimbangan iman dan usaha dapat menghilangkan perasaan takut dan berganti menjadi kedamaian dan tentram ? Orang-orang yang beriman akan lebih tahan dan sabar dalam menghadapi cobaan-cobaan hidup. Kehidupannya seimbang sehingga mampu menghadapi hari-harinya dengan ketentraman. Keseimbangan diri dapat menumbuhkan optimisme dalam berbagai hal.
Allahu a'lam
Sumber : Muhammad Makhdlori, Menyingkap Mukjizat Shalat Dhuha
Rabu, 06 April 2011
Harga sebuah kesabaran
Sabar adalah pengakuan seorang hamba kepada Allah SWT bahwa segala sesuatu yang menimpanya berasal dari-Nya, lalu ia ikhlas karenanya, dan mengharapkan pahala dari-Nya. Ada seorang yang ditahan , dicambuk dia, dan tidak juga diberi makan, namun yang tampak daripadanya hanyalah kesabaran. Saudaraku, seorang hamba memang senantiasa memerlukan kesabaran setiap saat di setiap kondisi. Manusia hidup diantara perintah yang harus ia kerjakan , larangan yang harus ia jauhi dan takdir yang harus ia terima serta nikmat yang harus disyukuri. Sungguh , jika seorang hamba mengerjakan suatu amal kebajikan yang hanya diketahui oleh Allah SWT, niscaya akan ditulis dalam catatan rahasia-Nya. Lalu bila ia membicarakannya maka dipindahkanlah catatan itu ke catatan amal terang-terangan. Jadi janganlah mengira, saudaraku , janganlah disangka bila telah selesai mengerjakan suatu amal itu bukan berarti selesai sabar terhadapnya. Sabar bisa dibagi tiga perkara, 1. sabar terhadap perintah 2. sabar terhadap larangan dan hal-hal yang menyelisihi syari’at, yaitu denganmenjauhinya. 3. sabar terhadap qadha (takdir) Allah yaitu dengan tidak menyesalinya.
Dari riwayat Ummu Salamah , Rasulullah bersabda” Tidak ada seorang muslim pun yang ditimpa suatu musibah lalu mengucapkan apa yang diperintahkan oleh Allah – yang artinya ‘sesungguhnya kita ini milik Allah dan kepada-Nya-lah kita akan kembali. Ya Allah berikanlah pahala kepadaku atas musibah ini, dan gantikanlah dengan yang lebih baik darinya”, kecuali Allah akan menggantikan dengan yang lebih baik darinya”. (Hadits Hr Muslim, dalam al-Janaiz VI/220).
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda ,” Allah berfirman ,” Tidak ada pahala (yang Ku-sediakan ) bagi seorang hamba-Ku yang beriman, yang jika aku ambil kekasihnya (suami atau istrinya) dari penduduk dunia lalu ia ikhlas didalamnya selain surga”. (Hr Bukhari, dalam Ar-Raqaiq XI/241).
Dari riwayat Aisyiah, Rasulullah SAW bersabda, “ Setiap musibah yang menimpa seseorang mukmin pastilah Allah menjadikannya sebagai kaffarah (atas dosanya) sampai-sampai duri yang menusukinya ,”. Dari riwayat Abu Hurairah , Rasulullah SAW bersabda, “ Ujian akan terus datang kepada seorang mukmin atau mukminah mengenai jasadnya, hartanya dan anaknya sehingga ia menghadap Allah tanpa membawa dosa,”. (1)
Khabbab bin Al-Arts berkata ,”Kami pernah mengadu kepada Rasulullah SAW, ketika beliau sedang bersandar pada mantel dibawah naungan Ka’bah. Kami berkata ,” Mengapa engkau tidak meminta tolong kepada Allah SWT dan berdoa untuk kita? “
Maka Rasulullah SAW bersabda ,” Diantara orang-orang mukmin sebelum kalian, ada yang digalikan sebuah lubang untuknya. Ia dimasukkan kedalamnya, didatangkan sebuah gergaji lalu diletakkan diatas kepalanya dan ia pun dibelah menjadi dua. Ada juga yang disisir dengan sisir besi sampai mengelupas kulit dan dagingnya. Tepai semua itu tidak menghalangi mereka dari dien mereka. Demi Allah , Dia benar-benar akan menganugerahi urusan ini (risalah) sampai nanti akan ada seorang pengendara yang berjalan dari Shan’a ke Hedramaut tidak takut kecuali kepada Allah. Dia hanya kawatir akan adanya seekor srigala yang dapat menerkan kambingnya. Namun kalian tergesa-gesa”. (2)
Firman Allah,” Dan diantara mereka Kami jadikan pemimpin-pemimpin yang menjadikan perintah Kami sebagai petunjuk. Yaitu ketika mereka sabar dan yakin kepada ayat-ayat Kami”, (Qs As-Sajdah : 24).
Semoga Allah selalu mencurahkan nimat kesabaran kepada kita semua, sabar dalam melaksanakan perintah-Nya dan sabar dalam menjauhi larangan-Nya.
Sumber : Tazkiyatun Nafs.
(1) Hr Ahmad dalam Musnad II/287, at-Tirmidzy dalam Az –Zuhd VII/80 Beliau berkomentar , hasan shahih.
(2) Hr Al-Bukhary dalam Al-Ikrah XII/315 dan Manaqib Al-anshar VII/164
Dari riwayat Ummu Salamah , Rasulullah bersabda” Tidak ada seorang muslim pun yang ditimpa suatu musibah lalu mengucapkan apa yang diperintahkan oleh Allah – yang artinya ‘sesungguhnya kita ini milik Allah dan kepada-Nya-lah kita akan kembali. Ya Allah berikanlah pahala kepadaku atas musibah ini, dan gantikanlah dengan yang lebih baik darinya”, kecuali Allah akan menggantikan dengan yang lebih baik darinya”. (Hadits Hr Muslim, dalam al-Janaiz VI/220).
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda ,” Allah berfirman ,” Tidak ada pahala (yang Ku-sediakan ) bagi seorang hamba-Ku yang beriman, yang jika aku ambil kekasihnya (suami atau istrinya) dari penduduk dunia lalu ia ikhlas didalamnya selain surga”. (Hr Bukhari, dalam Ar-Raqaiq XI/241).
Dari riwayat Aisyiah, Rasulullah SAW bersabda, “ Setiap musibah yang menimpa seseorang mukmin pastilah Allah menjadikannya sebagai kaffarah (atas dosanya) sampai-sampai duri yang menusukinya ,”. Dari riwayat Abu Hurairah , Rasulullah SAW bersabda, “ Ujian akan terus datang kepada seorang mukmin atau mukminah mengenai jasadnya, hartanya dan anaknya sehingga ia menghadap Allah tanpa membawa dosa,”. (1)
Khabbab bin Al-Arts berkata ,”Kami pernah mengadu kepada Rasulullah SAW, ketika beliau sedang bersandar pada mantel dibawah naungan Ka’bah. Kami berkata ,” Mengapa engkau tidak meminta tolong kepada Allah SWT dan berdoa untuk kita? “
Maka Rasulullah SAW bersabda ,” Diantara orang-orang mukmin sebelum kalian, ada yang digalikan sebuah lubang untuknya. Ia dimasukkan kedalamnya, didatangkan sebuah gergaji lalu diletakkan diatas kepalanya dan ia pun dibelah menjadi dua. Ada juga yang disisir dengan sisir besi sampai mengelupas kulit dan dagingnya. Tepai semua itu tidak menghalangi mereka dari dien mereka. Demi Allah , Dia benar-benar akan menganugerahi urusan ini (risalah) sampai nanti akan ada seorang pengendara yang berjalan dari Shan’a ke Hedramaut tidak takut kecuali kepada Allah. Dia hanya kawatir akan adanya seekor srigala yang dapat menerkan kambingnya. Namun kalian tergesa-gesa”. (2)
Firman Allah,” Dan diantara mereka Kami jadikan pemimpin-pemimpin yang menjadikan perintah Kami sebagai petunjuk. Yaitu ketika mereka sabar dan yakin kepada ayat-ayat Kami”, (Qs As-Sajdah : 24).
Semoga Allah selalu mencurahkan nimat kesabaran kepada kita semua, sabar dalam melaksanakan perintah-Nya dan sabar dalam menjauhi larangan-Nya.
Sumber : Tazkiyatun Nafs.
(1) Hr Ahmad dalam Musnad II/287, at-Tirmidzy dalam Az –Zuhd VII/80 Beliau berkomentar , hasan shahih.
(2) Hr Al-Bukhary dalam Al-Ikrah XII/315 dan Manaqib Al-anshar VII/164
Senin, 04 April 2011
Membiasakan Shalat RAWATIB
Para ulama sangat memperhatian shalat sunnah Rawâtib ini. Yang dimaksud dengan shalat sunnah Rawâtib, yaitu shalat-shalat yang dilakukan Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam atau dianjurkan bersama shalat wajib, baik sebelum maupun sesudahnya. Ada yang mendefinisikannya dengan shalat sunnah yang ikut shalat wajib.[1] Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin mengatakan, yaitu shalat yang terus dilakukan secara kontinyu yang mendampingi shalat fardhu.[2] Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya ," Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Apabila bagus maka ia telah beruntung dan sukses, dan bila rusak maka ia telah rugi dan menyesal. Apabila kurang sedikit dari shalat wajibnya maka Rabb 'Azza wa jalla berfirman: "Lihatlah, apakah hamba-Ku itu memiliki shalat tathawwu' (shalat sunnah)?" Lalu shalat wajibnya yang kurang tersebut disempurnakan dengannya, kemudian seluruh amalannya diberlakukan demikian” [HR At-Tirmidzi] [3] Dari hadits tersebut, terlihat betapa shalat sunnah Rawâtib memiliki peran penting, yakni untuk menutupi kekurangsempurnaan yang melanda shalat wajib seseorang. Terlebih lagi harus diakui sangat sulit mendapatkan kesempurnaan tersebut. Sebahgiqaman Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya ," Sesungguhnya seseorang selesai shalat dan tidak ditulis kecuali hanya sepersepuluh shalat, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya sepertiganya, setengahnya” [HR Abu Dawud dan Ahmad] [4]
Di antara hadits yang menunjukkan keutamaan shalat sunah Rawâtib secara umum, ialah hadits Ummu Habîbah, yang artinya ," Tidaklah seorang muslim shalat karena Allah setiap hari dua belas raka'at shalat sunnah, bukan wajib, kecuali akan Allah membangun untuknya sebuah rumah di surga” [5]
Jumlah raka'at ini ditafsirkan dalam riwayat at-Tirmidzi dan an-Nasâ-i, dari hadits Ummu Habibah sendiri, yang artinya, "Ummu Habibah berkata,"Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda :'Barang siapa yang shalat dua belas raka'at maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga; empat raka'at sebelum Zhuhur dan dua raka'at setelahnya, dua raka'at setalah Maghrib, dua raka'at sesudah 'Isya`, dan dua raka'at sebelum shalat Subuh."
Dalam riwayat lain dengan lafazh, " Barang siapa yang terus-menerus melakukan shalat dua belas raka'at, maka Allah membangunkan baginya sebuah rumah di surga” [HR An-Nasâ-i] [6]
Riwayat ini menunjukkan sunnahnya membiasakan dan secara rutin agar kita mengerjakan shalat dua belas raka'at tersebut setiap hari. Sehingga, siapapun yang membiasakan diri melakukan sunnah-sunnah Rawâtib ini, ia termasuk dalam keutamaan tersebut. Dan ini dikuatkan dengan contoh perbuatan Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam , sebagaimana tersebut dalam hadits Ibnu 'Umar , yang artinya ," Aku hafal dari Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam sepuluh raka'at: dua raka'at sebelum Zhuhur dan dua raka'at sesudahnya, dua raka'at setelah Maghrib, dua raka'at setelah 'Isya, dan dua raka'at sebelum shalat Subuh. Dan ada waktu tidak dapat menemui Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam . Hafshah menceritakan kepadaku, bila muadzin beradzan dan terbit fajar, beliau shollallahu 'alaihi wa sallam shalat dua raka'at.” [7]
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim terdapat tambahan lafazh,"“Dan dua raka'at setelah Jum'at. Adapun (shalat sunnah Rawatib) Maghrib dan 'Isya dilakukan di rumahnya” [8]
Dalam riwayat Muslim berbunyi, " Adapun (shalat sunnah Rawâtib) Maghrib, Isya dan Jum'at, aku lakukan bersama Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam di rumahnya” [9]
JUMLAH RAKA'AT SUNNAH RAWATIB Dalam masalah jumlah raka'at sunnah Rawatib ini, di kalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat pendapat, yang terbagai dalam dua pendapat. Ini dikarenakan perbedaan dua hadits di atas.
Pertama, menyatakan jumlah raka'atnya adalah sepuluh dengan dasar hadits Ibnu 'Umar ra, dan inilah pendapat para ulama madzhab Hambaliyah dan Syafi'iyyah.[10]
Kedua, menyatakan jumlah raka'atnya ialah dua belas, berdasarkan hadits Ummu Habibah di atas, dan inilah pendapat madzhab Hanafiyyah dan Ibnu Taimiyyah.[11]
Ketiga, menyatakan tidak ada batasan jumlah raka'at, bahkan cukup dengan melakukan dua raka'at dalam setiap waktu untuk mendapatkan keutamaan shalat sunnah Rawatib, dan inilah pendapat madzhab Malikiyyah.
Juga hadits yang berbunyi," Dari Ibnu 'Umar radhiallahu'anhu , dari Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda: "Semoga Allah merahmati seseorang yang shalat sebelum 'Ashar empat raka'at".[13]
Menurut Imam Nawâwi, beliau rahimahullah mengatakan, yang paling sempurna dalam Rawatib yang mendampingi shalat fardhu selain witir, adalah delapan belas raka'at, sebagaimana dijelaskan penulis (asy-Syairazi), dan paling sedikit adalah sepuluh, sebagaimana yang beliau sebutkan. Di antara ulama ada yang berpendapat delapan raka'at dengan menghapus sunnah Isya'; (demikian) ini pendapat al-Khudari. Dan ada yang menyatakan bahwa jumlahnya dua belas, (yaitu) dengan menambah dua raka'at lain sebelum Zhuhur, dan ada yang menambah dua raka'at sebelum shalat 'Ashar. Semua ini sunnah, namun perbedaan pendapat ada pada yang muakkad (yang lebih ditekankan) darinya.[14]
Yang rajih –Wallahu A'lam– yaitu mengembalikan definisi shalat sunnah Rawâtib sebagai shalat sunnah pendamping shalat fardhu yang dilakukan sebelum atau sesudah, dan ada anjuran dari Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam . Sehingga yang lengkap ialah delapan belas raka'at, sebagaimana disampaikan Imam an-Nawawi di atas.
Namun, manakah yang sunnah muakkad dari semua itu?
Dalam persoalan ini, pendapat yang rajih ialah pernyataan yang disampaikan oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin [15], yaitu duabelas raka'at dengan perincian dua raka'at sebelum Subuh, empat raka'at sebelum Zhuhur, dua raka'at setelah Zhuhur, dua raka'at setelah Maghrib, dan dua raka'at setelah 'Isya`,
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ummu Habîbah, juga dikuatkan dengan hadits 'Aisyah yang berbunyi, " Sesungguhnya dahulu, Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat rakaat sebelum Zhuhur” [16]
Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu 'Umar radhiallahu'anhu yang menerangkan bahwa beliau radhiallahu'anhu hafal dari Nabi sepuluh raka'at. Mengenai hal ini, Ibnul-Qayyim memiliki penjelasan: "Dahulu, Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam selalu menjaga sepuluh raka'at pada waktu muqim. Inilah yang disampaikan Ibnu 'Umar . . . , dan beliau shollallahu 'alaihi wa sallam terkadang shalat empat raka'at sebelum Zhuhur, sebagaimana dijelaskan dalam Shahîhain dari 'Aisyah bahwa beliau shollallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat raka'at sebelum Zhuhur. Sehingga bisa dikatakan bahwasanya bila Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam shalat di rumah, maka beliau shollallahu 'alaihi wa sallam shalat empat raka'at. Dan bila shalat di masjid, maka shalat dua raka'at. Demikianlah yang lebih rajih. Bisa juga dikatakan bahwa beliau shollallahu 'alaihi wa sallam pernah berbuat demikian dan berbuat begitu, kemudian 'Aisyah dan Ibnu 'Umar masing-masing menyampaikan apa yang dilihatnya".[17]
Adapun Syaikh 'Abdullah bin Abdur-Rahman al-Bassâm melakukan kompromi terhadap hadits-hadits ini. Beliau mengatakan: "Pernyataan 'empat raka'at sebelum Zhuhur', tidak bertentangan dengan hadits Ibnu 'Umar yang terdapat pernyataan 'dua raka'at sebelum Zhuhur'. Letak komprominya, terkadang beliau shollallahu 'alaihi wa sallam shalat dua raka'at dan terkadang empat. Kemudian masing-masing dari mereka berdua (Ibnu 'Umar dan 'Aisyah), masing-masing menceritakan salah satu dari kedua amalan tersebut. Fenomena semacam ini terjadi juga pada banyak ibadah dan dzikir-dzikir sunnah."[18]
FAIDAH SHALAT SUNNAH RAWATIB Sebagaimana telah diuraikan pada awal uraian ini, shalat sunnah Rawâtib ini didefinisikan dengan shalat yang terus dilakukan secara kontinyu mendampingi shalat fardhu. Demikian Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin memberikan definisinya, sehingga berkaitan dengan faidah shalat sunnah Rawatib ini, beliau memberikan penjelasan: "Faidah Rawatib ini, ialah menutupi (melengkapi) kekurangan yang terdapat pada shalat fardhu".[19]
Sedangkan Syaikh 'Abdullah al-Basâm mengatakan dalam Ta-udhihul-Ahkam (2/383-384) bahwa shalat sunnah Rawâtib memiliki manfaat yang agung dan keuntungan yang besar. Yaitu berupa tambahan kebaikan, menghapus kejelekan, meninggikan derajat, menutupi kekurangan dalam shalat fardhu. Sehingga Syaikh al-Basâm mengingatkan, menjadi keharusan bagi kita untuk memperhatikan dan menjaga kesinambungannya.
Wallahul-Muwaffiq. sumber : Oleh Ustadz Kholid Syamhudi , Manhaj .or.id, majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M.
KEUTAMAAN SHALAT SUNNAH RAWATIB Ada beberapa hadits Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam yang menjelaskan keutamaan shalat sunnah Rawâtib secara umum, dan ada juga yang khusus pada satu shalat sunnah Rawatib tertentu, seperti keutamaan shalat sunnah sebelum Subuh.
Di antara hadits yang menunjukkan keutamaan shalat sunah Rawâtib secara umum, ialah hadits Ummu Habîbah, yang artinya ," Tidaklah seorang muslim shalat karena Allah setiap hari dua belas raka'at shalat sunnah, bukan wajib, kecuali akan Allah membangun untuknya sebuah rumah di surga” [5]
Jumlah raka'at ini ditafsirkan dalam riwayat at-Tirmidzi dan an-Nasâ-i, dari hadits Ummu Habibah sendiri, yang artinya, "Ummu Habibah berkata,"Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda :'Barang siapa yang shalat dua belas raka'at maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga; empat raka'at sebelum Zhuhur dan dua raka'at setelahnya, dua raka'at setalah Maghrib, dua raka'at sesudah 'Isya`, dan dua raka'at sebelum shalat Subuh."
Dalam riwayat lain dengan lafazh, " Barang siapa yang terus-menerus melakukan shalat dua belas raka'at, maka Allah membangunkan baginya sebuah rumah di surga” [HR An-Nasâ-i] [6]
Riwayat ini menunjukkan sunnahnya membiasakan dan secara rutin agar kita mengerjakan shalat dua belas raka'at tersebut setiap hari. Sehingga, siapapun yang membiasakan diri melakukan sunnah-sunnah Rawâtib ini, ia termasuk dalam keutamaan tersebut. Dan ini dikuatkan dengan contoh perbuatan Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam , sebagaimana tersebut dalam hadits Ibnu 'Umar , yang artinya ," Aku hafal dari Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam sepuluh raka'at: dua raka'at sebelum Zhuhur dan dua raka'at sesudahnya, dua raka'at setelah Maghrib, dua raka'at setelah 'Isya, dan dua raka'at sebelum shalat Subuh. Dan ada waktu tidak dapat menemui Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam . Hafshah menceritakan kepadaku, bila muadzin beradzan dan terbit fajar, beliau shollallahu 'alaihi wa sallam shalat dua raka'at.” [7]
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim terdapat tambahan lafazh,"“Dan dua raka'at setelah Jum'at. Adapun (shalat sunnah Rawatib) Maghrib dan 'Isya dilakukan di rumahnya” [8]
Dalam riwayat Muslim berbunyi, " Adapun (shalat sunnah Rawâtib) Maghrib, Isya dan Jum'at, aku lakukan bersama Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam di rumahnya” [9]
JUMLAH RAKA'AT SUNNAH RAWATIB Dalam masalah jumlah raka'at sunnah Rawatib ini, di kalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat pendapat, yang terbagai dalam dua pendapat. Ini dikarenakan perbedaan dua hadits di atas.
Pertama, menyatakan jumlah raka'atnya adalah sepuluh dengan dasar hadits Ibnu 'Umar ra, dan inilah pendapat para ulama madzhab Hambaliyah dan Syafi'iyyah.[10]
Kedua, menyatakan jumlah raka'atnya ialah dua belas, berdasarkan hadits Ummu Habibah di atas, dan inilah pendapat madzhab Hanafiyyah dan Ibnu Taimiyyah.[11]
Ketiga, menyatakan tidak ada batasan jumlah raka'at, bahkan cukup dengan melakukan dua raka'at dalam setiap waktu untuk mendapatkan keutamaan shalat sunnah Rawatib, dan inilah pendapat madzhab Malikiyyah.
Keempat, menyatakan jumlah raka'atnya delapan belas. Demikian ini pendapat Imam asy-Syairazi dan disetujui Imam an-Nawawi dalam al-Majmû' Syarhul-Muhadzdzab. Pendapat ini berdalil dengan hadits Ummu Habibah di atas, serta hadits Ummu Habibah lainnya yang berbunyi, "Aku mendengar Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Barang siapa yang menjaga empat raka'at sebelum Zhuhur dan empat raka'at setelahnya maka Allah mengharamkannya dari neraka." [12]
Juga hadits yang berbunyi," Dari Ibnu 'Umar radhiallahu'anhu , dari Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda: "Semoga Allah merahmati seseorang yang shalat sebelum 'Ashar empat raka'at".[13]
Menurut Imam Nawâwi, beliau rahimahullah mengatakan, yang paling sempurna dalam Rawatib yang mendampingi shalat fardhu selain witir, adalah delapan belas raka'at, sebagaimana dijelaskan penulis (asy-Syairazi), dan paling sedikit adalah sepuluh, sebagaimana yang beliau sebutkan. Di antara ulama ada yang berpendapat delapan raka'at dengan menghapus sunnah Isya'; (demikian) ini pendapat al-Khudari. Dan ada yang menyatakan bahwa jumlahnya dua belas, (yaitu) dengan menambah dua raka'at lain sebelum Zhuhur, dan ada yang menambah dua raka'at sebelum shalat 'Ashar. Semua ini sunnah, namun perbedaan pendapat ada pada yang muakkad (yang lebih ditekankan) darinya.[14]
Yang rajih –Wallahu A'lam– yaitu mengembalikan definisi shalat sunnah Rawâtib sebagai shalat sunnah pendamping shalat fardhu yang dilakukan sebelum atau sesudah, dan ada anjuran dari Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam . Sehingga yang lengkap ialah delapan belas raka'at, sebagaimana disampaikan Imam an-Nawawi di atas.
Namun, manakah yang sunnah muakkad dari semua itu?
Dalam persoalan ini, pendapat yang rajih ialah pernyataan yang disampaikan oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin [15], yaitu duabelas raka'at dengan perincian dua raka'at sebelum Subuh, empat raka'at sebelum Zhuhur, dua raka'at setelah Zhuhur, dua raka'at setelah Maghrib, dan dua raka'at setelah 'Isya`,
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ummu Habîbah, juga dikuatkan dengan hadits 'Aisyah yang berbunyi, " Sesungguhnya dahulu, Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat rakaat sebelum Zhuhur” [16]
Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu 'Umar radhiallahu'anhu yang menerangkan bahwa beliau radhiallahu'anhu hafal dari Nabi sepuluh raka'at. Mengenai hal ini, Ibnul-Qayyim memiliki penjelasan: "Dahulu, Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam selalu menjaga sepuluh raka'at pada waktu muqim. Inilah yang disampaikan Ibnu 'Umar . . . , dan beliau shollallahu 'alaihi wa sallam terkadang shalat empat raka'at sebelum Zhuhur, sebagaimana dijelaskan dalam Shahîhain dari 'Aisyah bahwa beliau shollallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat raka'at sebelum Zhuhur. Sehingga bisa dikatakan bahwasanya bila Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam shalat di rumah, maka beliau shollallahu 'alaihi wa sallam shalat empat raka'at. Dan bila shalat di masjid, maka shalat dua raka'at. Demikianlah yang lebih rajih. Bisa juga dikatakan bahwa beliau shollallahu 'alaihi wa sallam pernah berbuat demikian dan berbuat begitu, kemudian 'Aisyah dan Ibnu 'Umar masing-masing menyampaikan apa yang dilihatnya".[17]
Adapun Syaikh 'Abdullah bin Abdur-Rahman al-Bassâm melakukan kompromi terhadap hadits-hadits ini. Beliau mengatakan: "Pernyataan 'empat raka'at sebelum Zhuhur', tidak bertentangan dengan hadits Ibnu 'Umar yang terdapat pernyataan 'dua raka'at sebelum Zhuhur'. Letak komprominya, terkadang beliau shollallahu 'alaihi wa sallam shalat dua raka'at dan terkadang empat. Kemudian masing-masing dari mereka berdua (Ibnu 'Umar dan 'Aisyah), masing-masing menceritakan salah satu dari kedua amalan tersebut. Fenomena semacam ini terjadi juga pada banyak ibadah dan dzikir-dzikir sunnah."[18]
FAIDAH SHALAT SUNNAH RAWATIB Sebagaimana telah diuraikan pada awal uraian ini, shalat sunnah Rawâtib ini didefinisikan dengan shalat yang terus dilakukan secara kontinyu mendampingi shalat fardhu. Demikian Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin memberikan definisinya, sehingga berkaitan dengan faidah shalat sunnah Rawatib ini, beliau memberikan penjelasan: "Faidah Rawatib ini, ialah menutupi (melengkapi) kekurangan yang terdapat pada shalat fardhu".[19]
Sedangkan Syaikh 'Abdullah al-Basâm mengatakan dalam Ta-udhihul-Ahkam (2/383-384) bahwa shalat sunnah Rawâtib memiliki manfaat yang agung dan keuntungan yang besar. Yaitu berupa tambahan kebaikan, menghapus kejelekan, meninggikan derajat, menutupi kekurangan dalam shalat fardhu. Sehingga Syaikh al-Basâm mengingatkan, menjadi keharusan bagi kita untuk memperhatikan dan menjaga kesinambungannya.
Wallahul-Muwaffiq. sumber : Oleh Ustadz Kholid Syamhudi , Manhaj .or.id, majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M.
catatan ; [1]. Shahîh Fiqhis-Sunnah, Abu Mâlik Kamâl bin as-Sayyid Sâlim, al-Maktabah at-Taufiqiyyah, Mesir, tanpa cetakan dan tahun (1/372). [2]. Syarhul-Mumti' 'ala Zâdil-Mustaqni', Syaikh Muhammad bin Shalih al- 'Utsaimin, Tahqîq: Dr. Khâlid al-Musyaiqih dan Sulaimân Abu Khail, Muassasah Âsâm, Cetakan Kedua, Tahun 1414 H (3/93). [3]. HR At-Tirmidzi no. 413 dan Ibnu Majah no. 1425. Dishahihkan Al-Albani dalam shahih Al-Jami Ash-Shaghir no. 2020 [4]. HR Abu Daud no. 796 dan dihasankan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud dan Shahih at-Targhib Wa at-Tarhib no. 537 [5]. HR Muslim, kitab Shalat al-Musâfir wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah Qablal-Farâ-idh wa Ba'daha, no. 1199. [6]. HR An-Nasa’i no. 1804 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa’i. (Lihat no. 1804 no. 1804, 261 dan 1696) [7]. HR al-Bukhari, kitab Tahajjud, Bab: ar-Rak'atain Qablal-Zhuhur (no. 1180), dan Muslim, kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah (no. 729). [8] HR al-Bukhari, kitab Jum'at, Bab: Tathawwu' Ba'dal-Maktubah (no. 1120), dan Muslim, kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah (no. 1200). [9]. HR Muslim kitab Shalat al-Musafirîn wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah (no. 1200). [10]. Syarhul-Mumti' (3/93) dan Shahih Fiqhis-Sunnah (1/372). [11]. Ibid. [12]. HR at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat (no. 428), Ibnu Majah, kitab ash-Shalat (no. 428), Abu Dawud, kitab ash-Shalat, Bab: al-Arba' Qablal-Zhuhri wa Ba'daha (no. 1269) dan Ibnu Majah, kitab ash-Shalat was-Sunnah fiha, Bab: Mâ Jâ-a fiman Shalla Qablal-Zhuhri `Arba'an wa Ba'daha `Arba'an (no. 1160). Dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan Ibni Majah (1/191). [13]. HR Ahmad dalam Musnad-nya (4/203), at-Tirmidzi dalam kitab ash-Shalat, Bab: Mâ Jâ-a fil-Arba' Qablal-'Ashr (no. 430), Abu Dawud dalam kitab ash-Shalat, Bab ash-Shalat Qablal-'Ashr (no. 1271), dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Dawud (1/237). [14]. Al- Majmu' Syarhul-Muhadzab, Imam an-Nawawi dengan penyempurnaan oleh muhammad Najîb al-Muthi'i, Dar Ihyâ-ut-Turats al-'Arabi, Beirut, Cetakan Tahun 1419H (3/502). [15]. Syarhul-Mumti' (4/96). [16]. HR al-Bukhari dalam kitab al-Jum'at, Bab: ar-Rak'ata-in Qablal-Zhuhri (no. 1110). [17]. Zâdul-Ma'âd, Ibnul-Qayyim, Tahqiq: Syu'aib al-Arnauth, Mu-assasah ar-Risalah, Cetakan Kedua, Tahun 1418 H (1/298). [18]. Ta-udhihul-Ahkâm min Bulughul-Maram, Syaikh 'Abdullah bin 'Abdur-Rahman al-Basâm, Maktabah al-Asadi, Mekkah, Cetakan Kelima, Tahun 1423 H (2/382-383). [19]. Syarhul-Mumti' (4/96).
Langganan:
Postingan (Atom)