Dari Tsauban ra., Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa menjamin kepadaku bahwa ia tidak akan meminta-minta kepada orang lain, maka aku akan menjamin surga untuknya." Lalu Tsauban berkata, "Aku berjanji tidak akan meminta-minta." Maka dia tidak pernah meminta-minta sedikitpun pada orang lain. (1).
Seringkali kita temui, seseorang yang berusaha untuk tidak minta bantuan kepada orang lain. Ia hanya mau menerima bantuan dengan ia bekerja dan mem-beri sesuatu. Mereka adalah orang-orang yang menginginkan kehidupan dalam kemuliaan. Sebagaimana ucapan Jibril kepada Rasulullah SAW, yang artinya ,” Wahai Muhammad, kemuliaan adalah ketika seseorang tidak membutuhkan (meminta-minta dari) orang lain ,” (2).
Menahan diri dari mengharapkan bantuan orang lain , dapat menumbuhkan rasa cinta orang lain dan harga diri. Adapun sikap mengharapkan pertolongan (atau bahkan mengharapkan milik orang lain) , akan menyebabkan jatuhnya harga diri.
Memang watak dasar manusia adalah menyukai orang yang memberinya sesuatu dan merendahkan orang yang mengambil sesuatu darinya (baik mengambil karena diberi, apalagi mengambil dengan mencuri).
Seyogyanya dan sebisa mungkin , walaupun miskin, namun tidak meminta pada orang lain. Hendaknya dia menghindari meminta-minta pada orang lain. Sungguh telah datang dari Nabi s.a.w. dorongan yang kuat supaya kita tidak meminta, baik dalam bentuk targhib (anjuran untuk tidak meminta) maupun tarhib (ancaman bagi orang yang meminta-minta).
Seorang hamba beriman , sebaiknya harus berusaha hidup berkecukupan, memerangi kemalasan, semangat dalam mencari nafkah, rajin bekerja, serta menghindari untuk meminta kepada orang lain.
Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda, yang artinya “ Seorang dari kalian mengambil tali lalu membawa seikat kayu di punggungnya, dia makan (dari hasil penjualan itu kayu) dan bersadaqah, itu lebih baik baginya daripada dia mendatang lelaki lain untuk mengemis padanya, baik lelaki itu memberinya atau menolak untuk memberinya. Sebab, tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah”.
Seorang hamba beriman bukanlah pemalas yang menjadi beban orang lain. Bukan pula pe-ngemis, yang menjual harga dirinya, karena mereka adalah manusia tercela dan dibenci oleh Islam.
Sebuah hadist dari Abdullah ibnu Umar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya ,”Tidaklah sikap meminta-minta terdapat pada diri seseorang di antara kalian, kecuali ia bertemu dengan Allah sementara di wajahnya tidak ada secuil daging pun.” (HR. Bukhari - Muslim).
Berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mencari nafkah, sangat dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu SAW, sebagaimana sabda beliau, yang artinya ,“Lakukanlah sesuatu yang bermanfaat bagimu. Mintalah pertolongan kedapa Allah dan janganlah bersikap lemah. Jika sesuatu terjadi pada dirimu, maka jangan katakan, ”Seandainya aku melakukan hal ini dan itu, maka pasti begini”, namun katakanlah, “Allah telah menetapkan, dan apa yang Dia kehendaki, maka Dia kerjakan”. Karena kata “seandainya” itu membuka pintu peluang bagi setan.” (HR Muslim).
Sahl bin Abdullah at-Tutsari berkata, ”Barang siapa yang merusak tawakkal, berarti telah merusak pilar keimanan. Dan barangsiapa yang merusak pekerjaan, berarti ia telah membuat kerusakan dalam sunnah.” Wallahu Al Wasi’ Ar Razzaq. Abu Turob Syandri Ad-Duury (Al Fikrah No.18 Tahun X/26 Jumadil Ula 1430 H)
Sebagaimana Allah berfirman,yang artinya "Janganlah engkau tujukan kedua matamu kepada apa yang telah kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami uji mereka dengannya. Dan karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal." (QS.Thaha: 131)
Dari Abu Said al-Khudri r.a., "Beberapa orang Anshar meminta sesuatu kepada Rasulullah, lalu memberikannya kepada mereka. Kemudian mereka meminta lagi dan Rasulullah memberi-kannya kepada mereka. Kemudian mereka meminta lagi dan Rasulullah memberikannya kepada mereka, sehingga habislah apa yang ada pada beliau.
Kemudian beliau berkata,”Apapun kebaikan yang ada padaku, aku tidak akan pernah menyimpannya dari kalian. Barangsiapa menahan diri (dari mengharap sesuatu yang ada pada orang lain), Allah akan mencukupinya. Barangsiapa kaya hati (tidak merasa kurang sehingga tidak mengharap bantuan orang lain), maka Allah akan membuatnya kaya. Barangsiapa berusaha sabar, Allah akan menjadikannya orang sabar. Tidak ada sesuatu yang diberikan kepada seseorang yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran'." (HR. Bukhari dan Muslim)
Saudaraku, Seorang hamba beriman bukanlah pemalas dan peminta-minta, sebagaimana Imam Ibnul Jauzi berkata, “Tidaklah ada seseorang yang malas bekerja, melainkan berada dalam dua keadaan:
- Menelantarkan keluarga dan meninggalkan kewajiban dengan berkedok tawakkal, sehingga hidupnya menjadi batu sandungan buat orang lain dan keluarga berada dalam kesusahan.
- Demikian itu suatu kehinaan yang tidak menimpa kecuali orang yang hina dan gelandangan. Sebab, orang yang bermartabat tidak akan rela kehilangan harga diri hanya karena kemalasan dengan dalih tawakkal yang sarat dengan hiasan kebodohan. Boleh jadi seseorang tidak memiliki harta, tetapi masih tetap punya peluang dan kesempatan untuk berusaha.
Bukankah Rasulullah telah memberi jaminan surga bagi orang yang mampu memelihara diri dari meminta-minta, sebagaimana hadits didepan.
Hindarilah ketamakan terhadap dunia, maka Allah akan mencintai Anda. Dan hindarilah meng-harap sesuatu yang ada pada orang lain, maka orang akan mencintai Anda.
Dari Hakim ibn Hizam ra., "Aku meminta (sesuatu) kepada Rasulullah, dan beliau memberi. Aku meminta lagi, dan beliau memberi lagi. Aku meminta lagi, dan beliau memberi lagi. Kemudian beliau bersabda, ‘Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau dan manis. Barangsiapa mengam-bilnya dengan kedermawanan hati, maka akan diberkahi; barangsiapa mengambilnya dengan keserakahan, maka tidak akan diberkahi. (Jika tidak diberkahi, maka dia) seperti orang yang makan, tapi tidak pernah kenyang. Tangan di atas (memberi) lebih baik daripada tangan di bawah'." (HR. Muslim) .
Lalu aku (Hakim) berkata, ‘Wahai Rasulullah, demi Zat yang mengutusmu dengan ke-benaran , aku tidak akan mengurangi milik orang lain sedikit pun, setelah engkau, sampai aku meninggalkan dunia ini.
Abu Bakar ra. pernah memanggilnya untuk diberi sesuatu, tetapi dia menolak untuk meneri-manya. Kemudian Umar hendak memberinya lagi, dia tetap menolak. Lalu Umar berkata, "Aku bersaksi kepada kalian, wahai kaum Muslimin, bahwa Hakim, ketika aku tawarkan haknya dari harta rampasan perang, dia menolak untuk menerimanya. Hakim tidak pernah mengurangi harta orang lain setelah (wafatnya) Rasulullah sampai dia meninggal dunia."
Nabi SAW bersabda, yang artinya "Penduduk surga itu ada tiga: penguasa adil yang memberi derma yang tepat, orang yang penyayang berhati lembut terhadap kerabatnya dan orang yang menjauhkan diri dari 'meminta-minta pada orang lain." (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, "Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya. Seseorang membawa tali, mengikat kayu bakar dan memenggulnya (untuk mendapat-kan rezki) itu lebih baik daripada meminta-minta pada seseorang, baik diberi atau tidak." (HR. Bukhari dan Muslim).
Nabi SAW bersabda, yang artinya "Beruntunglah orang yang masuk Islam dan diberi rezki yang cukup, lalu diberi kepuasan dengan apa yang ada padanya." (HR. Muslim)
Nabi SAW bersabda, yang artinya "Orang kaya itu bukan orang yang banyak hartanya, tetapi yang kaya hati." (HR. Bukhari dan Muslim)
Maksudnya orang kaya itu bukan orang yang banyak memiliki harta. Bisa jadi seseorang memiliki banyak harta, tapi dia tidak pernah merasa puas. Oleh karena itu dia adalah orang misnkin yang sebenarnya. Jadi orang yang kaya itu adalah orang yang merasa puas dengan apa yang ada pada dirinya. Dia tidak mengharapkan apa yang ada di tangan orang lain.
Ibnu Taimiyah berkata, "Orang yang kaya hati itu adalah orang yang tidak rakus. Orang yang merdeka tetaplah budak selama masih rakus, dan seorang budak adalah merdeka ketika dia merasa puas dengan apa yang ada. Kata orang, ‘Aku mengikuti nafsuku, maka aku menjadi budaknya.' Oleh karena itu, orang harus segera memangkas dorongan nafsunya agar hatinya tidak diisi oleh perasaan miskin dan rakus. Miskin dan rakus sangat berbeda dengan tawakal dan kekayaan hati."
Dari Samurah ibn Jundab, Rasulullah bersabda, yang artinya "Orang yang meminta-minta sama dengan orang yang melukai wajahnya. Barangsiapa ingin tetap punya muka (tidak kehilangan harga diri), bertahanlah, jangan meminta-minta. Barangsiapa ingin meminta-minta, maka mintalah kepada penguasa, atau ketika dia dalam keadaan sangat terpak-sa." (HR. Abu Daud)
Dari Abu Said al-Khudri, Umar berkata, "Wahai Rasulullah, aku mendengar seseorang berkata tentang kebaikan. Dia menyebutkan bahwa engkau telah memberinya dua dinar. Dia (Rasulullah) berkata, Tetapi si Fulan tidak berkata demikian dan dia tidak memuji. Aku telah memberinya antara sepuluh sampai seratus-atau dia (Rasulullah) berkata, ‘Sampai dua ratus'. Sesungguhnya seseorang yang meminta kepadaku dan aku memberinya, kemudian dia keluar dengan mengepitnya (dengan rakus), maka itu bagi mereka adalah api'." Umar berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau memberi mereka?" Rasulullah menjawab, "Mereka hanya bisa meminta kepadaku dan Allah tidak ingin aku pelit." (HR. Ahmad)
Dari Auf ibn Malik, "Kami sedang berada di tempat Rasulullah SAW sekitar sembilan orang, delapan orang atau tujuh orang.
Beliau berkata, ‘Apakah kalian tidak bersumpah setia kepada Rasulullah?' Padahal baru saja kami melakukan sumpah setia.
Lalu kami berkata, ‘Kita telah melakukan sumpah setia kepadamu, wahai Rasulullah!'
Beliau berkata, ‘Apakah kalian tidak bersumpah setia kepada Rasulullah?'
Kami berkata, ‘Kami telah melakukan sumpah setia kepadamu, wahai Rasulullah!'
Beliau berkata lagi, ‘Apakah kalian tidak bersumpah setia kepada Rasulullah?'
Maka kami membentangkan tangan kami dan mengatakan, ‘Kami telah bersumpah setia kepadamu, wahai Rasulullah! Atas apa lagi kami bersumpah setia?'
Rasulullah menjawab, ‘Atas menyembah hanya kepada Allah, tidak menyekutukan-Nya, shalat lima waktu, taat akan (beliau mengatakan dengan lirih) dan jangan meminta-minta sesuatu dari orang lain.' Lalu aku melihat sebagian mereka tidak pernah meminta-minta sama sekali, bahkan tidak menuntut haknya." (HR. Muslim)
Dari Qabishah ibn Mukhariq al-Hilali, "Aku menanggung utang untuk kepentingan orang lain. Kemudian aku mendatangi Rasulullah dan menanyakan hal itu. Beliau berkata, ‘Laksanakanlah, sampai sedekah datang. Jika sedekah sudah datang, maka kami akan memerintahkan untuk memberimu.' Kemudian beliau berkata, ‘Wahai Qabishah, meminta-minta itu tidak diperbolehkan, kecuali karena tiga hal:
- Seseorang yang menanggung utang karena kepentingan orang lain, sampai dia mendapatkan bantuan kemudian menahan diri tidak minta-minta lagi).
- Seseorang yang tertimpa musibah yang menghancurkan harta bendanya. Dia boleh meminta-minta sampai dia mendapatkan kecukupan.
- Orang yang bangkrut setelah dibenarkan (kebangkrutannya) oleh orang-orang yang dapat dipercaya dari masyarakatnya.
Dalam kondisi seperti ini dia boleh meminta-minta sampai mendapatkan kecukupan. Selain itu, tidak boleh memintaminta, wahai Qabishah. Jika ada yang meminta-minta bukan karena kondisi di atas, maka dia telah memakan barang haram!" (HR. Muslim)
Dari Ibnu Sa'adi al-Maliki, "Umar ibn Khaththab menjadikan aku sebagai pegawai dalam menangani sedekah. Setelah aku menyelesaikan tugasku dan melaporkan kepadanya, Umar memberi upah atas pekerjaan itu. Aku berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya aku melakukan tugas ini karena Allah dan balasannya hanya dari Allah.' Umar berkata, ‘Ambillah (upahmu). Aku pernah bekerja pada masa Rasulullah dan beliau memberikan upah kepadaku. Ketika itu aku berkata kepada Rasulullah seperti yang engkau katakan. Namun Rasulullah berkata, ‘Jika engkau diberi sesuatu tanpa meminta, maka makanlah dan sedekahkanlah (lebihnya)' ." (HR. Muslim)
Saudaraku , anda bisa perhatikan dampak menahan diri dari meminta-minta dan karunia Allah kepada orang yang menahan diri dari meminta-minta kepada orang lain: Abdurrahman ibn Auf datang ke Madinah kemudian Rasulullah mempersaudarakannya dengan Sa'ad ibn Rabi'. Sa'ad menawarkan salah satu istrinya kepada Abdurahman ibn Auf dan separuh hartanya. Namun Abdurrahman menolak tawaran itu. Selang beberapa hari, telah tampak kebahagiaan pada diri Abdurrahman, dan dia telah menikah. Abdurrahman pun menjadi orang kaya.
Dari Anas ibn Malik ra., "Abdurrahman ibn Auf datang ke Madinah lalu Rasulullah memper-saudarakannya dengan Sa'ad ibn Rabi' al-Anshari. Sa'ad adalah orang yang kaya. Sa'ad berkata kepada Abdurrahman, ‘Aku membagi dua hartaku untukmu dan aku nikahkan engkau.'
Abdurrahman berkata, ‘Semoga Allah memberkahimu, keluargamu dan hartamu. Tunjukkan saja jalan ke pasar.' Dia tidak pulang (dari pasar) sampai mendapatkan keuntungan berupa keju dan minyak samin dan membawanya kepada keluarganya. Kami (Anas dan yang lain) menetap sebentar, lalu Abdurrahman datang dengan wajah kotor.
Nabi bertanya kepadanya, ‘Bagaimana keadaanmu?'
Dia menjawab, ‘Wahai Rasulullah, aku telah menikah dengan wanita dari kaum Anshar.' Rasulullah bertanya lagi, ‘Apa yang engkau persembahkan untuknya?" Emas sebesar biji kurma,' jawabnya.
Nabi berkata, ‘Adakanlah walimah, walau hanya dengan seekor kambing!' (HR. Bukhari)
Dari hadits ini, telah dijelaskan tentang bagaimana Allah menjadikan Abdurrhman sebagai orang kaya , karena dia menghindari dari sikap meminta-minta dari orang lain.
Begitu pula yang terjadi dengan Abu Mas'ud al-Badri. Ketika turun ayat sedekah, dia berangkat ke pasar dan bekerja sebagai kuli. Dari kerja itu dia memperoleh upah yang ia sedekahkan. Tidak lama kemudian, Abu Mas'ud menjadi orang yang kaya.
Saudaraku, semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua, sehingga kita bisa mandiri dan dihilangkan dari sikap kebergantungan kepada orang lain . Dan hanya kepada Allah sajalah tempat kita meminta pertolongan.
sumber : JKMHAL, Fikih Akhlak,Musthafa Al-Adhawi,Wahdah.or.id, Zainuddin bin Qosim, The Power of Giving.
1. Dikeluarkan Abu Dawud dalam Sunan II : 295 no.1643, ini lafaznya : Nasai dalam sunannya , no.96 , Ibn Majah dalam sunannya I : 588 ; dan Ahmad dalam musnadnya , 281, dinyatakanshahih oleh Nawawi dalam Riyadush shalihin , hal 539, dan Mundziri dalam At Targhib wat Tarhib II, sementara Al-Alabni berkata , ‘ hadits shahih’. Lihat Shahih Ati Targhib wat Tarhib no.807.
2. Dikerluarkan oleh Hakim IV : 325, dinyatakan shahih oleh beliau dan disetujui oleh Dzahabi, sanadnya juga dihasankan oleh Mundziri dalam At Targhib wat Tarhib :640,dinisbatkan kepada Thabrani dalam al-Ausath , diisyaratkan keshahihannya juga oleh Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id II : 252.Dinisbatkan kepada Thbrani Ash Shahihah , no.831. Beliau menyebutkan tiga jalur riwayat , dari Ali, Shal dan Jabir ra.