Bila seorang hamba menginginkan melalui ibadah-nya sesuatu yang lain, apa hukumnya ?
Ikhlas kepada Allah SWT - maknanya seseorang bermaksud melalui ibadahnya tersebut untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT dan mendapatkan keridhaan-Nya.
Bila seorang hamba menginginkan sesuatu yang lain melalui ibadahnya, maka di sini perlu dirinci lagi berdasarkan klasifikasi-klasifikasi berikut:
Pertama Seorang hamba yang memang ingin bertaqarrub kepada selain Allah di dalam ibadahnya ini dan mendapatkan pujian semua makhluk atas perbuatannya tersebut. Maka, ini menggugurkan amalan dan termasuk syirik
Hadits shahih dari Abu Hurairah ra- bahwasanya Rasulullah saw bersabda,yang artinya "Allah SWT berfirman,"Aku adalah Dzat Yang Paling tidak butuh kepada persekutuan para sekutu; barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia memperse-kutukan-Ku dengan sesuatu selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya beserta kesyirikan yang diperbuatnya. " (Shahih Muslim, kitab az-Zuhud (2985).
Kedua
Seorang hamba bermaksud melalui ibadahnya untuk meraih tujuan duniawi seperti kepemimpinan, kehormatan dan harta, bukan untuk tujuan bertaqarrub kepada Allah; maka amalan orang seperti ini akan gugur dan tidak dapat mendekatkan dirinya kepada Allah SWT.
Allah SWT berfirman,yang artinya "Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka itu di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. " (Qs. Hud: 15-16)
Perbedaan antara klasifikasi kedua ini dan pertama; bahwa dalam :
- klasifikasi pertama, orang tadi bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah.
- Pada klasifikasi kedua , dia tidak bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tsbt sebagai ahli ibadah kepada Allah bahkan dia malah tidak peduli atas pujian orang terhadap dirinya.
Ketiga,
Seorang hamba bermaksud untuk bertaqarrub kepada Allah SWT, di samping tujuan duniawi yang merupakan konsekuensi logis dari adanya ibadah tersebut, seperti :
- dia memiliki niat dari thaharah yang dilakukannya (di samping niat beribadah kepada Allah) untuk menyegarkan badan dan menghilangkan kotoran yang menempel padanya;
- lokasi syiar haji (al-Masya'ir) dan bertemu para jama'ah haji lainnya;
maka hal ini akan mengurangi pahala ikhlas akan tetapi jika yang lebih dominan adalah niat beribadahnya, berarti pahala lengkap yang seharusnya diraih akan terlewatkan. Meskipun demikian, hal ini tidak berpengaruh bila pada akhirnya melakukan dosa.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT mengenai para jamaah haji, yang artinya "Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari Rabbmu. " (Qs Al-Baqarah: 198)
Jika yang dominan adalah niat selain ibadah, maka dia tidak mendapatkan pahala akhirat, yang didapatnya hanyalah pahala apa yang dihasilkannya di dunia itu. Dikhawatirkan malah dia berdosa karena hal itu, sebab dia telah menjadikan ibadah yang semestinya merupakan tujuan yang paling tinggi, sebagai sarana untuk meraih kehidupan duniawi yang hina.
Maka, dia tidak ubahnya seperti orang yang dimaksud di dalam firmanNya, "Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. " (QS. At-Taubah: 58)
Di dalam Sunan Abu Daud dari Abu Hurairah ra disebutkan bahwa ada seorang laki-laki berkata, 'wahai Rasulullah, (bagaimana bila-penj.) seorang laki-laki ingin berjihad di jalan Allah sementara dia juga mencari kehidupan duniawi?"
Rasulullah SAW bersabda, "Dia tidak mendapatkan pahala."
Orang tadi mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali
dan Nabi SAW tetap menjawab sama, "Dia tidak mendapatkan pahala. " (Sunan Abu Daud, kitab al-Jihad(2516); Musnad Ahmad, Juz II, hal. 290, 366 tetapi di dalam sanadnya terdapat Yazid bin Mukriz, seorang yang tidak diketahui identitasnya (majhul); lihat juga anotasi dari Syaikh Ahmad Syakir terhadap Musnad Ahmad, no. 7887.)
Demikian pula hadits dalam kitab ash-Shahihain dari Umar bin al-Khaththab ra, bahwasanya Nabi SAW bersabda,yang artinya "Barangsiapa yang hijrahnya karena ingin meraih kehidupan duniawi atau untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahinya; maka hijrahnya hanya mendapatkan tujuan dari hijrahnya tersebut". (Shahih al-Bukhari, kitab Bad'u al-Wahyi (1); Shahih Muslim, kitab al-Imarah (1907).)
Jika persentasenya sama saja, tidak ada yang lebih dominan antara niat beribadah dan non ibadah; maka hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut. Akan tetapi, pendapat yang lebih persis untuk kasus seperti ini adalah sama juga; tidak mendapatkan pahala sebagaimana orang yang beramal karena Allah dan karena selainNya juga.
Perbedaan antara jenis ini dan jenis sebelumnya (jenis kedua), bahwa tujuan yang bukan untuk beribadah pada jenis sebelumnya terjadi secara otomatis. Jadi, keinginannya tercapai melalui perbuatannya tersebut secara otomatis seakan-akan yang dia inginkan adalah konsekuensi logis dari pekerjaan yang bersifat duniawi itu.
Selanjutnya akan muncul pertanyaan
"Apa standarisasi pada jenis ini sehingga bisa dikatakan bahwa tujuannya yang lebih dominan adalah beribadah atau bukan beribadah?"
Jawabannya,
standarisasinya bahwa dia tidak memperhatikan hal selain ibadah, maka baik hal itu tercapai atau tidak tercapai, telah mengindikasikan bahwa yang lebih dominan padanya adalah niat untuk beribadah, demikian pula sebaliknya.
Yang jelas, perkara yang merupakan ucapan hati amatlah serius dan begitu urgen sekali. Indikasinya, bisa jadi hal itu dapat membuat seorang hamba mencapai tangga ash-Shiddiqin, dan sebaliknya bisa pula mengembalikannya ke derajat yang paling bawah sekali.
Sebagian ulama Salaf berkata, "Tidak pernah diriku berjuang melawan sesuatu melebihi perjuangannya melawan (perbuatan) ikhlas. "
Kita memohon kepada Allah agar dianugerahi niat yang ikhlas dan lurus di dalam beramal.
Allahu A’lam
Sumber Rujukan: Syaikh Ibnu Utsaimin , Kumpulan Fatwa dan Risalah dari Syaikh Ibnu Utsaimin, Juz 1, hal. 98-100. Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, hal. 155-158, Penerbit Darul Haq, http://www.fatwa-ulama.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar