Jumat, 31 Oktober 2008
Jangan meminta-minta
Kita juga jumpai orang berada dipinggir jalan tengadahkan tangan ke setiap orang melintas. Perbuatan meminta-minta adalah tercela didalam pandangan Islam. Mereka tinggalkan usaha tangan sendiri. Padahal Allah SWT telah menjamin rezeki setiap makhluk-Nya. Firman Allah yamh artinya , “ Tidak ada satu binatang melatapun dibumi ini melainkan Allah-lah mengatur rizkinya,” (Qs. Hud : 6).
Rasulullah bersabda yang artinya ,” Seandainya kamu sekalian benar-benar tawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan memberi rizki bagi kalian sebagaiama Dia memberi rizki kepada burung. Dimana burung itu pada waktu pagi dengan perut kosong (lapar), dan pada waktu sore hari ia kembali dengan perut kenyang “. (Hr At Tirmidzi (4/2344), Ibn Majah (2/ 4164), Al Hakim dalam Al-Mustadrak (4/318) dan dia , berkata, “ hadits ini hasan shahih dan disepakati oleh Adz-Dzahaby ).
Yakinlah saudaraku, bahwasanya setiap makhluk telah dijamin rizkinya oleh Allah SWT, dan seorang hamba dituntut berusaha untuk mendapatkannya.
Sungguh indah , Rasulullah SAW memberikan perumpamaan dengan seekor burung yang keluar dari sarangnya untuk mencari rizki. Burung itu tidak tinggal didalam sarangnya dan menunggu rizki datang sendiri kepadanya. Begitu juga manusia .
Firman Allah yang artinya, “ Apabila shalat telah selelsai ditunaikan maka bertebaranlah kamu sekalian dimuka bumi ini dan carilah karunia Allah ,” (Qs . Al-Jum’ah : 10).
Rasulullah sangat menganjurkan agar seorang hamba muslim makan dari hasil usaha sendiri dan menjaga kehormatan diri dengan tidak meminta dan mengharapkan pemberian dari orang lain.
Rasulullah bersabda yang artinya, “ Sungguh salah seorang diantara kalian pergi mencari kayu bakar dan dipikulkan ikatan kayu itu di punggungnya, maka itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada seseorang baik orang itu memberi ataupun tidak memberinya ,” (Hr Bukhari 4/2073/alfath, Muslim 2/zakat/721, an-Nasay 5/2573, dari Abu Hurairah).
Dari riwayat sahabat Al-Miqdam bin Ma’dikarib ra, bahwa Rasulullah bersabda yang artinya, “ Tidak ada seseorang, makan makanan yang lebih baik daripada makan dari hasil usahanya sendiri dan sesungguhnya nabi allah Daud AS makan dari hasil usahanya sendiri (Hr Bukhari 4/2072/al-Fath, Ahmad dalam musnadnya 4/131,132,).
Bahkan dari riwayat Ibn ‘Umar, Rasulullah bersabda yang artinya , “ Seseorang diantara kalian akan selalu meminta-minta sehingga ia nanti bertemu dengan Allah sedangkan mukanya tiada berdaging sama sekali “, (Hr Bukhari 3/1474/Al-Fath dan Muslim 2/Zakat/720 dan Ahmad 2/15).
Hadits riwayat Abu Hurairah , bahwa Rasulullah bersabda yang artinya ,” Barang siapa yang meminta-minta kepada sesama manusia dengan tujuan untuk memperbanyak kekayaannya, maka sesungguhnya ia meminta bara api. Terserah padanya apakah ia mengumpulkan sedikit saja atau akan memperbanyaknya “ (Hr Muslim 2/zakat/760, Ibn Majah 2/1737, ahmad dalam masnadnya 2/231 dan Al Baihaqy dalam sunannya 4,196).
Sungguh , kelaparan dan sedikit ibadah lebih baik daripada seorang hamba memakan dari hasil meminta-minta dari orang lain seraya melakukan banyak ibadah.
Sabagaimana riwayat Imam Muslim dari sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali , bahwa dia berkata ,” Saya memiliki tanggungan (hutang, diat dan sebagainya) lalu saya mendatangi Rasulullah SAW untuk meminta sesuatu kepada beliau .
Rasulullah bersabda , : Tinggallah ! sampai datang kepada kami sedekah , nanti akan kami perintahkan agar dibagikan kepadamu “.
Kemudian Rasulullah bersabda, “ Hai Qabishah , sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali bagi salah satu dari tiga orang.
Pertama, orang yang sedang menanggung beban (denda, hutang dan sebagainya) maka ia boleh meminta sampai ia melepaskan tanggungan (beban ) itu.
Kedua, Seseorang yang tertimpa kecelakaan/ musibah yang menghabiskan hartanya, maka ia boleh meminta-minta sehingga ia bisa memperoleh kehidupan yang layak.
Ketiga, seseorang yang sangat miskin, sehingga disaksikan oleh tiga orang cerdik pandai dari dari kaumnya bahwa “si fulan benar-benar miskin” , maka ia boleh meminta-minta sehingga ia bisa memperoleh kehidupan yang layak.
Hai Qabishah, meminta-minta yang selain karena tiga sebab ini maka itu adalah usaha yang haram, dan orang yang memakannya berarti makan barang haram ,”. (Hr Bukhari 3/1479/al-Fath, dan Muslim 2/zakat/719.”.
Firman Allah yang artinya ,” Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan , kelaparan jiwa dan buah-buahan dan berikanlah berita kepada orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan inna lillahi wa inna illaihi rajiun mereka itulah yang mendapat keberkahan sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk “. (Qs. Al Baqarah 155-157).
Saudaraku, marilah kita berusaha dengan kemampuan yang ada dengan cara yang halal dan menghiasi diri dengan sifat qona’ah. Qona’ah atau merasa cukup dengan apa yang ada pada diri kita.
Dari abu Hurairah , bahwa Rasulullah pernah bersabda yang artinya ,” Bukanlah yang dinamakan kaya itu karena banyak hartanya, tetapi yang dinamakan kaya sebenarnya adalah kekayaan jiwa “. (Hr Bukhari 11/6446/Al-Fath , dan Muslim 2/zakat/726).
Allahu a’lam
Sumber kutipan : Buletin Jum’at Al Atsariyyah , http ://Almkassari.com
keutamaan Hamdalah
Hamdalah merupakan penggalan kata yang selalu kita ucapkan setiap kali kita selesai melakukan sesuatu yang secara lengkap kita membacanya dengan ucapan “Al-hamdulillah” (segala puji hanya milik Allah) atau “Al-hamdulillah rabbil ‘alamin” (segala puji hanya milik Allah Tuhan semesta alam).
Kata alhamd itu sendiri terdiri dari kata “al” dan “hamd”, yang seringkali diterjemahkan dengan pujian.
Yaitu pujian yang ditujukan kepada Allah. Sebuah ungkapan pujian yang hanya diserahkan dan disampaikan kepada Allah SWT.
“Alhamd” (puji) baik secara aktual maupun verbal adalah bentuk dari manifestasi keparipurnaan dan suksesnya suatu tujuan, dari segala yang ada. Sebab Hamdalah itu merupakan bentuk dari pujian pembuka, sekaligus merupakan pujian indah bagi yang berhak mendapatkannya.
Seluruh makhluk di seluruh langit dan bumi ini secara keseluruhan juga memuji Allah SWT bertasbih dan bertahmid. Semuanya senantiasa menyucikan dan memuji-Nya.
Firman Allah SWT, yang artinya : “Tak satu pun dari segala yang ada kecuali selalu bertasbih dan memuji-Nya”.
Jagad raya senantiasa memiliki kesadaran darimana awal mulanya, bagaimana penjagaan atas kelestariannya dan pengaturannya, sebagai cermin konotatif dari arti hakiki Rububiyah bagi semesta alam. Yakni bagi segala sesuatu yang terkandung dalam Ilmu Allah. Seperti sebuah tanda bagi yang ditandai. Juga mengandung makna globalitas keselamatan yang penuh karena mengandung arti Ilmu dan sekaligus mengandung makna mengalahkan. Yang terkandung itu juga berarti kebajikan-kebajikan yang umum maupun khusus. Yaitu nikmat lahiriyah maupun nikmat batiniyah. Nikmat lahiriyah seperti kesehatan dan rizki, sedangkan nikmat batiniyah seperti pengetahuan dan ma’rifat.
Maka pujian dengan segala substansinya itu mutlak hanya bagi Allah Ta’ ala, secara azali maupun abadi menurut proporsi hak hamba melalui Dzat-Nya.
Kata al-hamdulillah memiliki dua sisi makna.
1. Pertama, berupa pujian kepada Tuhan dalam bentuk ucapan.
2. Kedua, pujian dalam bentuk perbuatan yang biasa kita sebut dengan syukur.
Kedua sisi ini tergabung dalam ucapan al-hamdulillah.
Pujian kepada Allah dalam bentuk ucapan merupakan anjuran agama setiap kali merasakan anugerah. Itu sebabnya Rasulullah saw. Selalu mengucapkan al-hamdulillah pada setiap kondisi dan situasi. Ketika berpakaian, sesudah makan, ketika akan tidur dan setiap bangun tidur, dan seterusnya dari perbuatan Rasulullah saw yang mengajarkan kita untuk selalu mengucapkan al-hamdulillah dalam setiap kondisi dan situasi.
Apabila seseorang sering mengucapkan al-hamdulillah, maka dari saat ke saat ia akan selalu merasa dalam curahan rahmat dan kasih sayang Allah. Dia akan merasa bahwa Allah tidak membiarkannya sendiri. Jika kesadaran ini telah berbekas dalam jiwanya, maka seandainya mendapatkan cobaan atau merasakan kepahitan dan ujian bahkan musibah sekalipun, maka dia pun akan mengucapkan al-hamdulillah atau segala puji bagi Allah, tiada yang dipuja dan dipuji walau cobaan menimpa, kecuali Dia semata. Begitu pun sekiranya ketetapan Allah yang mungkin oleh kacamata manusia dinilai kurang baik maka harus disadari bahwa penilaian tersebut adalah akibat keterbatasan manusia dalam menetapkan tolok ukur penilaiannya.
Pasti ada sesuatu yang luput dari jangkauan pandangan manusia sehingga penilaiannya menjadi demikian. Walhasil “segala puji bagi Allah”. Kata segala ini diterjemahkan dari kata al pada al-hamdu yang oleh ahli bahasa dinamai al-lil istighraq (artikel yang memberi arti mencakup keseluruhan).
Kalimat semacam ini terlontar, karena ketika itu dia sadar bahwa seandainya apa yang dirasakan itu benar-benar merupakan malapetaka, namun limpahan karunia-Nya sudah demikian banyak, sehingga cobaan malapetaka itu tidak lagi berarti dibandingkan dengan besar dan banyaknya karunia selama ini.
Kalau kita ingin menelusuri ayat-ayat Allah, maka akan kita temukan ungkapan kata al-hamdulillah di dalam banyak ayat-ayat-Nya, sementara secara khusus, ada beberapa surat yang kata al-hamdu diletakkan di muka ayat; lima surat dalam Al-Quran yang dimulai dengan kata al-hamdu, seperti Al-Fatihah (jika kita sependapat dengan pendapat ulama yang bahwa basmalah bukan bagian dari surat al-fatihah) maka akan ditemukan makna Hamdalah yang begitu dalam menggambarkan akan anugerah Allah yang begitu luas yang dapat dinikmati oleh makhluk, khususnya manusia. Ungkapan ayatnya adalah Alhamdulillah lillah rabbil ‘alamin; pernyataan pujian yang hanya diserahkan kepada Allah yang Maha Esa dan Kuasa, karena telah begitu banyak memberikan anugerah kepada seluruh alam.
Adapun pada ayat-ayat lain dapat ditemukan kata-kata alhamdu yang menjadi permulaan ayat pada empat surat lain; masing-masing menggambarkan kelompok nikmat Allah dan merupakan perincian dari kalimat al-hamdulillah pada surat al-fatihah.
Keempat surat yang dimaksud adalah :
- QS Al-An’am yang dimulai dengan pujian kepada Allah atas nikmat yang telah dianugerahkan oleh-Nya akan potensi yang terpendam di langit dan di bumi. Allah berfirman: “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang…”
- QS Al-Kahfi yang dimulai dengan pujian kepada Allah atas nikmat yang telah dianugerahkan berupa petunjuk bagi manusia, sebagai nikmat terbesar yaitu kehadiran Al-Quran yang tidak memiliki kebengkokan dan kesalahan; Allah berfirman: “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Quran kepada hamba-Nya dan tidak membuat kebengkokan (kekurangan) di dalamnya”.
- QS Saba yang dimulai dengan kata Al-hamdu; pujian kepada Allah atas nikmat yang telah dianugerahkan yaitu berupa alam dunia dan alam akhirat sehingga manusia dapat menjadikannya sebagai keseimbangan; memperbanyak bekal di alam dunia dan memetiknya nanti di alam akhirat; Allah berfirman: “Segala puij bagi Allah yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bagi-Nya pula pujian di akhirat. Dialah yang Maha bijaksana lagi Maha Mengetahui”.
- QS Fathir yang dimulai dengan kata Al-hamdu; pujian kepada Allah atas segala nikmatnya yang telah dianugerahkan berupa keabadian sejati nanti di alam akhirat; Allah berfirman: “Segala puji bagi Allah, pencipta langit dan bumi yang menjadikan malaikat-malaikat sebagai utusan-utusan yang mengurus berbagai macam urusan (di dunia dan di akhirat) yang mempunyai sayap -sayap masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat..”
Perbedaan kata hamd (pujian) dengan kata syukur, walaupun keduanya saling memperkaya makna namun pada hakikatnya mempunyai makna yang berbeda. Hamd disampaikan secara lisan kepada yang bersangkutan walaupun ia tidak memberi apapun baik kepada si pemuja maupun kepada yang lain dan biasanya yang dipuji memiliki syarat yang patut dipuji; indah (baik) diperbuat secara sadar dan tidak karena paksaan. Dengan demikian, maka segala perbuatan Allah terpuji dan segala yang terpuji merupakan perbuatan Allah juga, sehingga segala puji tertuju kepada Allah.
Bahkan jika kita memuji seseorang karena kebaikan atau kecantikannya, maka pujian tersebut pada akhirnya harus dikembalikan kepada Allah SWT, sebab kecantikan dan itu bersumber dari Allah. Sedang syukur pada dasarnya digunakan untuk mengakui dengan tulus dan penuh penghormatan akan nikmat yang dianugerahkan oleh yang disyukuri itu, baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatan.
Pada akhirnya kata alhamdu (pujian) merupakan ungkapan rasa syukur kepada Allah atas segala nikmat yang telah dianugerahkan dan selayaknya kata ini diucapkan ketika seseorang ingin melakukan sesuatu, karena sejatinya tidak ada perbuatan yang dilakukan, ucapan yang disuarakan, nafas yang dihembuskan, gerakan dan segala apapun yang diperbuat oleh bagian anggota tubuh manusia karena rahmat dan anugerah dari Allah.
Dan kita pun dianjurkan untuk selalu mengucapkan syukur dan tahmid saat melihat orang lain mendapatkan rezki dan anugerah dari SWT.
Sebagaimana Rasulullah saw dalam do’anya : “Ya Allah, tidak ada di pagi ini dari kenikmatan yang engkau anugerahkan kepada kami dan kepada siapa pun dari hamba-hambamu hanya dari Engkau belaka, tiada sekutu bagi-Mu dan segala puji dan syukur hanya milik-Mu” []
Allahu a'lam
Sumber kutipan : Syarifuddin Mustafa, MA, http://www.dakwatuna.com
Kamis, 30 Oktober 2008
Sujud Sahwi
Sujud sahwi merupakan sujud yang dilakukan orang yang shalat sebanyak dua kali untuk menutup kekurangan yang terjadi dalam pelaksanaan shalat yang disebabkan lupa.
Ada tiga golongan besar yang menjadi sebab sujud sahwi ada tiga;
a. Sujud Sahwi Karena Kelebihan
Barangsiapa kelupaan dalam shalatnya kemudian dia menambah ruku’, atau sujud, maka dia harus sujud dua kali sesudah menyelesaikan shalatnya dan salamnya.
Riwayat hadits dari Ibnu Mas’ud ra, bahwa Nabi shallallaahu alaihi wasallam shalat Dhuhur lima rakaat, kemudian beliau ditanya, ‘Apakah shalat Dhuhur ditambah rakaatnya?’, beliau balik bertanya, ‘Apa itu?’ Para sahabat menjelaskan, ‘Anda shalat lima rakaat.’ Kemudian beliau pun sujud dua kali setelah salam. Dalam riwayat lain disebutkan, beliau melipat kedua kakinya dan menghadap kiblat kemudian sujud dua kali, kemudian salam.” (Muttafaq ‘alaih)
Salam sebelum shalat selesai , termasuk kelebihan dalam shalat, dimana ia telah menambah salam di pertengahan pelaksanaan shalat. Barangsiapa mengalami hal itu dalam keadaan lupa, lalu dia ingat beberapa saat setelahnya, maka dia harus menyempurnakan shalatnya kemudian salam, setelah itu dia sujud sahwi, kemudian salam lagi.
Hadits riwayat Abu Hurairah ra, “bahwasanya Nabi SAW shalat Dhuhur atau Ashar bersama para sahabat. Beliau salam setelah shalat dua rakaat, kemudian orang-orang yang bergegas keluar dari pintu masjid berkata, ‘Shalat telah diqashar (dikurangi)?’ Nabi pun berdiri untuk bersandar pada sebuah kayu, sepertinya beliau marah. Kemudian berdirilah seorang laki-laki dan bertanya kepadanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah Anda lupa atau memang shalat telah diqashar?.’ Nabi berkata, ‘Aku tidak lupa dan shalat pun tidak diqashar.’ Laki-laki itu kembali berkata, ‘Kalau begitu Anda memang lupa wahai Rasulullah.’
Nabi SAW bertanya kepada para sahabat, ‘Benarkah apa yang dikatakannya?’. Mereka pun mengatakan, ‘Benar.’ Maka majulah Nabi SAW, selanjutnya beliau shalat untuk melengkapi kekurangan tadi, kemudian salam, lalu sujud dua kali, dan salam lagi.” (Muttafaq ‘alaih)
b. Sujud Sahwi Karena Kekurangan
Barangsiapa kelupaan dalam shalatnya, kemudian ia meninggalkan salah satu sunnah muakkadah (yaitu yang termasuk katagori hal-hal wajib dalam shalat), maka ia harus sujud sahwi sebelum salam, seperti misalnya kelupaan melakukan tasyahhud awal dan dia tidak ingat sama sekali, atau dia ingat setelah berdiri tegak dengan sempurna, maka dia tidak perlu duduk kembali, cukup baginya sujud sahwi sebelum salam.
“Dari Abdullah bin Buhainah ra, bahwa Rasulullah SAW shalat Dhuhur bersama mereka, beliau langsung berdiri setelah dua rakaat pertama dan tidak duduk. Para jama’ah pun tetap mengikuti beliau sampai beliau selesai menyempurnakan shalat, orang-orang pun menunggu salam beliau, akan tetapi beliau malah bertakbir padahal beliau dalam keadaan duduk (tasyahhud akhir), kemu-dian beliau sujud dua kali sebelum salam, lalu salam.” (Muttafaq ‘alaih)
c. Sujud Sahwi Karena Ragu-ragu
Yaitu ragu-ragu antara dua hal, yang mana yang terjadi. Keragu-raguan terdapat dalam dua hal, yaitu antara kelebihan atau kurang. Umpamanya seseorang ragu apakah dia sudah shalat tiga rakaat atau empat rakaat.
Keraguan ini ada dua macam:
- Seseorang lebih cenderung kepada satu hal, baik kelebihan atau kurang, maka dia harus menurutkan mengambil sikap kepada yang lebih ia yakini, kemudian dia melakukan sujud sahwi setelah salam. Dalilnya hadits berikut: “Dari Abdullah Ibnu Mas’ud ra, bahwasanya Nabi SAW bersabda, ‘Apabila salah seorang dari kamu ada yang ragu-ragu dalam shalatnya, maka hendaklah lebih memilih kepada yang paling mendekati kebenaran, kemudian menyempurnakan shalatnya, lalu melakukan salam, selanjutnya sujud dua kali’.” (Muttafaq ‘alaih)
- Ragu-ragu antara dua hal, dan tidak condong pada salah satunya, tidak kepada kelebihan dalam pelaksanaan shalat dan tidak pula pada kekurangan. Maka dia harus mengambil sikap kepada hal yang sudah pasti akan kebenarannya, yaitu jumlah rakaat yang lebih sedikit. Kemudian menutupi kekurangan tersebut, lalu sujud dua kali sebelum salam, ini berdasarkan “Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra, bahwasanya Nabi SAW bersabda, ‘Apabila salah seorang di antara kamu ragu-ragu dalam shalatnya, dia tidak tahu berapa rakaat yang sudah ia lakukan, tigakah atau empat? Maka hendaknya ia meninggalkan keraguan itu dan mengambil apa yang ia yakini, kemudian ia sujud dua kali sebelum salam. Jika ia telah shalat lima rakaat, maka hal itu menggenap-kan pelaksanaan shalatnya, dan jika ia shalat sempurna empat rakaat, maka hal itu merupakan penghinaan (pengecewaan) terhadap syaitan’.” (HR. Muslim)
Kesimpuylannya , bahwa sujud sahwi itu bisajadi sebelum salam atau sesudah salam.
Sujud sahwi yang dilakukan setelah salam ialah pada dua kondisi:
- Apabila karena kelebihan (dalam pelaksanaan shalat).
- Apabila karena ragu antara dua kemungkinan, tapi ada kecondongan pada salah satunya.
Sedangkan sujud sahwi yang dilakukan sebelum salam, juga pada dua kondisi:
- Apabila dikarenakan kurang (dalam pelaksanaan shalat).
- Apabila dikarenakan ragu antara dua kemungkinan dan tidak merasa lebih berat kepada salah satunya.
Hal-hal Penting berkenaan Sujud Sahwi
Apabila seseorang meninggalkan salah satu rukun shalat, dan yang tertinggal itu adalah takbiratul ihram, maka shalatnya tidak terhitung, baik hal itu terjadi secara sengaja ataupun karena lupa, karena shalatnya tidak sah.
Dan jika yang tertinggal itu selain takbiratul ihram, dan ditinggalkan secara sengaja, maka batallah shalatnya.
Jika tertinggal secara tidak sengaja, dan dia sudah berada pada rukun yang ketinggalan tersebut pada rakaat kedua, maka rakaat yang ketinggalan rukunnya tadi itu dianggap tidak ada, dan dia ganti dengan rakaat yang berikutnya.
Dan jika ia belum sampai pada rakaat kedua, maka ia wajib kembali kepada rukun yang ketinggalan tersebut, kemudian dia kerjakan rukun itu, begitu pula apa-apa yang setelah itu. Pada kedua hal ini, wajib dia melakukan sujud sahwi setelah salam atau sebelumnya
Apabila sujud sahwi dilakukan setelah salam, maka harus pula melakukan salam sekali lagi.
Apabila seseorang yang melakukan shalat meninggalkan sunnah muakkadah (hal-hal yang wajib dalam shalat) secara sengaja, maka batallah shalatnya.
Jika ketinggalan karena lupa, kemudian dia ingat sebelum beranjak dari sunnah muakkadah tersebut, maka hendaklah dia melaksanakannya dan tidak ada konsekwensi apa-apa.
Jika ia ingat setelah melewatinya tapi belum sampai kepada rukun berikutnya, maka hendak-lah dia kembali untuk melaksanakan rukun tersebut. Kemudian dia sempurnakan shalatnya serta melakukan salam. Selanjutnya sujud sahwi kemudian salam lagi. Jika ia ingat setelah sampai kepada rukun yang berikut-nya, maka sunnah (muakkadah) itu gugur dan dia tidak perlu kembali kepadanya untuk melakukannya, akan tetapi terus melaksanakan shalatnya kemudian sujud sahwi sebelum salam seperti kami sebutkan di atas pada masalah tasyahhud awal.
Beberapa contoh kasus
[Kasus 1].
Apabila seseorang lupa dalam sholatnya, sehingga tertambah 1 kali ruku` atau 1 kali sujud atau 1 kali berdiri atau 1 kali duduk, maka orang tersebut harus meneruskan sholatnya sampai salam, untuk selanjutnya melaksanakan sujud sahwi (dua kali sujud), lalu salam kembali.
Contohnya:
Apabila seseorang melaksanakan sholat Dzuhur, kemudian dia berdiri untuk raka`at ke lima (ke-5), tiba-tiba ia ingat ataupun diingatkan orang lain, maka ia harus duduk kembali TANPA TAKBIR, lalu membaca tasyahhud akhir dan salam, kemudian ia sujud sahwi (dua kali sujud) lalu salam kembali.
# Bila orang tersebut mengetahuinya (tambahan tadi) setelah selesai sholat, maka ia tetap harus sujud sahwi dan salam kembali.
[Kasus 2].
Apabila seseorang salam sebelum sempurna sholatnya karena lupa, namun tidak lama berselang setelah salam tersebut tiba-tiba ia ingat ataupun diingatkan orang lain dengan catatan lama waktu ia teringat atau diingatkan tersebut kira-kira sama dengan lamanya dia sholat (mulai sholat sampai salam) maka ia harus menyempurnakan sholatnya yang tertinggal tadi kemudian salam dan setelah itu sujud sahwi (dua kali sujud) dan salam kembali.
Contohnya:
Apabila seseorang sholat Dzuhur, kemudian ia lupa dan langsung salam pada raka`at ke 3 (tiga), tiba-tiba ia ingat ataupun diingatkan orang lain, maka dia harus menyempurnakan raka`at ke 4 (empat) dan salam, lalu sujud sahwi (dua kali sujud) untuk seterusnya salam.
# Bila orang tersebut sadar akan kekurangan raka`atnya tersebut DALAM JANGKA WAKTU YANG LAMA, maka ia harus mengulang sholatnya dari awal.
[Kasus 3].
Apabila seseorang meninggalkaan tasyahhud awal atau kewajiban lainnya dalam sholat KARENA LUPA, maka ia harus sujud sahwi (dua kali sujud) sebelum salam. Dan hal ini menjadi tidak mengapa baginya. Namun jika ia ingat bahwa ia belum membaca tasyahhud awal tersebut atau kewajiban lainnya itu sebelum berobah posisi-nya, maka hendaklah ia tunaikan (tasyahhud awal atau kewajiban lainnya tersebut). Dan hal demikian menjadi tidak mengapa baginya.
Jika ia ingat setelah perubahan posisi tetapi sebelum sampai pada posisi yang berikutnya, hendaklah ia kembali ke posisi yang pertama untuk menunaikan tasyahhud awal atau kewajiban lainnya tersebut.
Contohnya:
Apabila seseorang lupa tasyahhud awal dan ia langsung berdiri ke raka`at ke 3 (tiga) dengan sempurna maka ia tidak boleh kembali duduk dan wajib atasnya sujud sahwi sebelum salam.
# Bila ia duduk tasyahhud tetapi lupa membaca tasyahhud, kemudian ingat sebelum berdiri, maka ia harus membaaca tasyahhud dan kemudian menyempurnakan sholatnya, TANPA SUJUD SAHWI.
# Demikian juga bila ia berdiri seblum tasyahhud kemudian ingat sebelum berdirinya sempurna, maka ia harus kembali duduk dan bertasyahhud untuk kemudian menyempurnakan sholatnya.
# catatan:
Tetapi para `Ulama menyatakan bahwa ia harus tetap sujud sahwi dikarenakan ia telah menambah satu gerakan yakni bangkit ketika hendak berdiri ke raka`at ke 3. Wallahu a`lam
[Kasus 4].
Apabila seseorang ragu dalam sholatnya apakah telah 2 raka`at atau sudah 3 raka`at dan ia TIDAK MAMPU menentukan yang paling rojih (kuat) diantara keduanya maka ia harus membangun di atas yaqin JUMLAH YANG TERKECIL kemudian sujud sahwi sebelum salam dan setelah itu ia memberi salam.
Contohnya:
Apabila ia sholat Dzuhur dan ragu pada raka`at ke 2 (dua), apakah ini masih berada di raka`at ke 2 (dua) atau sudah ke 3 (tiga) dan ia tidak mampu menentukan yang paling rojih (benar) diantara keduanya maka ia harus memilih yang 2 (dua) raka`at (jumlah terkecil). Kemudian ia sempurnakan sisanya lalu sujud sahwi (dua kali sujud) sebelum salam kemudian setelah itu memberi salam.
[Kasus 5].
Apabila seseorang ragu dalam sholatnya, apakah telah 2 (dua) raka`at atau sudah 3 (tiga) raka`at, namun walaupun demikian, ternyata ia MAMPU untuk menentukan yang paling rojih (benar), maka ia harus membangun diatas yang diyakininya itu (apakah yang 2 raka`at ataupun yang 3 raka`at) kemudian ia sempurnakan hingga salam lalu ia sujud sahwi kemudian salam kembali.
Contohnya:
Apabila seseorang sholat Dzuhur, kemudian ia ragu pada raka`at ke 2; apakah ia masih dalam raka`at ke 2 atau sudah masuk raka`at ke 3. Namun kemudian timbul keyakinan yang kuat dalam hatinya bahwa ia berada pada raka`at ke 3 maka ia harus membangun sholatnya di atas keyakinannya itu (raka`at ke 3) lalu ia sempurnakan sholatnya hingga salam, kemudian ia sujud sahwi untuk selanjutnya salam kembali.
# Apabila keraguan datang kembali setelah ia selesai dari sholatnya, maka itu tidak dianggap atau ia tidak perlu memperdulikannya kecuali ia yakin sekali.
# Apabila ia sering ragu, maka keraguannya itu tidak dianggap atau ia tidak perlu memperdulikannya, karena itu hanyalah merupakan rasa was-was (dari syaiton).
Allahu a’lam
Sumber: dikutip dari Kitab “RASAAI’IL FII AL~WUDHU’ WAL GHUSLI WA ASH~SHOLAH” ,Syaikh Muhammad Ibnu Sholih Al~’Utsaimin Rahimahullahu Ta`ala
Halaman: 36, 37, 38 , Al Akh Dzakwan (http://thullabul-ilmiy.or.id )
Iman dan Istiqomah
Beberapa pengertian penting dalam Hadits ini
Pertama:
Semangat para Sahabat dalam menanyakan hal-hal yang bermanfaat bagi mereka, dan tujuan mereka dalam menanyakan hal-hal tersebut adalah benar-benar untuk mengetahui sekaligus mengamalkannya, bukan hanya untuk pengetahuan. Allah ‘azza wa jalla berfirman:“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambahkan petunjuk kepada mereka dan menganugerahkan kepada mereka ketakwaannya” (Qs. Muhammad:17)
Imam Al Khatib Al Baghdadi berkata: Seorang penuntut ilmu hendaknya menjadikan urusan-urusan kehidupannya berbeda dengan kebiasaan orang-orang awam, dengan selalu berusaha mengamalkan hadits-hadits Rasulullah SAW (dalam setiap urusannya) semaksimal mungkin dan menerapkan sunnah-sunnah Nabi SAW dalam dirinya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” (QS. Al Ahzaab: 21)
Suatu ketika Al Khatib Al Baghdadi menyebutkan kisah Abu ‘Ishmah ‘Ashim bin ‘Isham, dia berkata: ‘Suatu malam aku menginap di rumah Imam Ahmad bin Hambal, beliau membawakan air (untuk aku gunakan ketika berwudhu) dan beliau meletakkan air itu (di dekatku), maka besok paginya dia melihat air itu (dan mendapatinya tetap) seperti semula (tidak aku pakai untuk berwudhu), maka beliau pun berkata: Subhanallah, seorang penuntut ilmu tidak punya wirid (zikir/bacaan Al Quran yang terus dilakukan oleh seseorang) pada malam hari? Al Jami’ Liakhlaqirraawi wa Adabissaami’ (1/215), lihat Ad Durarus Saniyyah (hal. 85)
Kedua:
Iman kepada Allah mencakup semua hal yang wajib diyakini dalam landasan dan pokok-pokok keimanan dari apa-apa yang Allah ‘azza wa jalla beritakan tentang diri-Nya, malaikat-Nya, kitab-kitabNya, para rasul-Nya, hari akhir dan takdir yang baik maupun yang buruk,yang disertai dengan amalan-amalan dalam hati, ketaatan dan ketundukan yang sepenuhnya lahir dan batin kepada Allah ‘azza wa jalla.
Ketiga:
Makna istiqomah adalah menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) dengan tidak berpaling darinya ke kiri maupun ke kanan, dan ini semua mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan (kepada Allah ‘azza wa jalla) lahir dan batin, dan meninggalkan semua bentuk larangan-Nya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (hal. 510).
Firman Allah yang artinya “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:”Robb kami ialah Allah” kemudian mereka beristiqomah (meneguhkan pendirian mereka), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan):”Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu” (Qs. Fushshilat: 30),
Firman Allah : “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:”Robb kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap beristiqomah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita, mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan (di dunia)” (QS. Al Ahqaaf: 13-14)
Namun tentunya seorang hamba tidak mungkin dapat konsisten sempurna dalam istiqomah, karena sebagai hamba tentu tidak akan luput dari salah dan lalai yang menyebabkan berkurangnya nilai keistiqomahannya.
Dalam situasi ini Allah ‘azza wa jalla memberikan jalan keluar bagi hamba-Nya yang bertakwa untuk mengatasi keadaan ini dan memperbaiki kekurangan tersebut, yaitu dengan beristigfar dari semua dosa dan kesalahan.
Allah berfirman: “Maka beristiqomahlah (tetaplah) pada jalan yang lurus menuju kepada Allah dan mohonlah ampun kepada-Nya” (QS. Fushshilat: 6).
Istigfar di sini mengandung pengertian bertaubat dan kembali kepada istiqamah.
Rasulullah SAW bersabda kepada Mu’adz bin Jabal ra: “Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, ikutilah perbuatan yang buruk dengan perbuatan baik, maka perbuatan baik itu akan menghapuskan (dosa) perbuatan buruk tersebut, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik” (Hadits hasan riwayat Imam Ahmad 5/153, dan At Tirmidzi no. hadits 1987) Ibid.
Keempat
Alasan untuk tetap teguh dan istiqomah dalam keimanan, sebagai berikut:
- Memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar . Allah berfirman: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat,dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki” (QS. Ibrahim: 27). Makna ‘ucapan yang teguh’ di ayat ini adalah dua kalimat syahadat yang dipahami dan diamalkan dengan benar, sebagaimana yang ditafsirkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya (jilid 4, hal. 1735): ‘ dari Baro’ bin ‘Azib ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “seorang muslim ketika dia ditanya (diuji) di dalam kuburnya (oleh malaikat Munkar dan Nakir) maka dia akan bersaksi bahwa ‘tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah’ dan ‘Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah’ , itulah makna Firman-Nya: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh dalam kehidupan di dunia dan di akhirat”.
- Membaca Al Quran , menghayati dan merenungkannya. Firman Allah: “Katakanlah: ‘Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Robb-mu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” (QS. An Nahl: 102). Allah menjelaskan dalam Al Quran bahwa tujuan diturunkannya Al Quran secara berangsur angsur adalah untuk menguatkan dan meneguhkan hati Rasulullah SAW . Firman Allah “Berkata-lah orang-orang yang kafir: mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)” (QS. Al Furqon: 32)
- Berkumpul , bergaul bersama orang-orang yang bisa membantu meneguhkan iman. Allah menyatakan dalam Al Quran bahwa di antara sebab utama yang membantu menguatkan iman para sahabat Rasulullah SAW adalah keberadaan Rasulullah SAW tengah-tengah mereka. Allah berfirman: “Bagaimana mungkin kalian menjadi kafir, sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kalian? Dan barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS. Ali ‘Imran: 101). Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur)” (QS. At Taubah: 119). Dalam sebuah hadist hasan, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya di antara manusia ada orang-orang yang keberadaan mereka sebagai pembuka (pintu) kebaikan dan penutup (pintu) kejelekan” (Hadits hasan riwayat Ibnu Majah dalam kitab “Sunan” (jilid 1, hal. 86) dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman” (jilid 1, hal. 455) dan Imam-imam lainnya, dan dihasankan oleh Syekh Al Albani)
- Berdoa kepada Allah
Dalam Al Quran Allah ‘azza wa jalla memuji orang-orang yang beriman yang selalu berdoa kepada-Nya untuk meminta keteguhan iman ketika menghadapi ujian. firman Allah :“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang sabar. Tidak ada do’a mereka selain ucapan: ‘Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan teguhkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir’. Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan” (Ali ‘Imran: 146-148) . Dalam ayat lain Allah ‘azza wa jalla berfirman:“Ya Rabb kami, limpahkanlah kesabaran atas diri kami, dan teguhkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir” (QS. Al Baqoroh: 250) - Membaca kisah-kisah para Nabi dan Rasul serta orang-orang shalih yang terdahulu untuk mengambil suri teladan.
Dalam Al Quran banyak diceritakan kisah-kisah para Nabi, rasul, dan orang-orang yang beriman yang terdahulu, yang Allah jadikan untuk meneguhkan hati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengambil teladan dari kisah-kisah tsb ketika menghadapi permusuhan orang-orang kafir. Allah berfirman: “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (Surat 11. HUD - Ayat 120)
Allahu a’lam
Sumber: http://muslim.or.id/, Makalah Dauroh Untaian Nasihat, Masjid Kampus UGM, Juli 2005) Penulis: Ustadz Abdullah Taslim
Selasa, 28 Oktober 2008
Menjaga Lisan
a. Bermakna mencerca.
b. Bermakna pengusiran dan penjauhan dari rahmat Allah.
Ucapan laknat ini mungkin sering kita dengar dari orang-orang di lingkungan kita dan sepertinya saling melaknat merupakan perkara yang biasa bagi sementara orang, padahal melaknat seorang Mukmin termasuk dosa besar
Tsabit bin Adl Dlahhak ra berkata : “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Siapa yang melaknat seorang Mukmin maka ia seperti membunuhnya.’ ” (HR. Bukhari dalam Shahihnya 10/464)
Ucapan Nabi SW: ((“Fahuwa Kaqatlihi”/Maka ia seperti membunuhnya)) dijelaskan oleh Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari : “Karena jika ia melaknat seseorang maka seakan-akan ia mendoakan kejelekan bagi orang tersebut dengan kebinasaan.”
Kadangkalai kita begitu mudah melaknat orang yang ia benci bahkan orang yang sedang berpekara dengannya, sama saja apakah itu anaknya, suaminya, hewan atau selainnya. Sangat tidak pantas bila ada seseorang yang mengaku dirinya Mukmin namun lisannya terlalu mudah untuk melaknat.
Sebenarnya perangai jelek ini bukanlah milik seorang Mukmin, sebagaimana Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Bukanlah seorang Mukmin itu seorang yang suka mencela, tidak pula seorang yang suka melaknat, bukan seorang yang keji dan kotor ucapannya.” (HR. Bukhari dalam Kitabnya Al Adabul Mufrad halaman 116 dari hadits Abdullah bin Mas’ud ra. Hadits ini disebutkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i hafidhahullah dalam Kitabnya Ash Shahih Al Musnad 2/24)
Dan melaknat itu bukan pula sifatnya orang-orang yang jujur dalam keimanannya (shiddiq), karena Nabi SAW bersabda : “Tidak pantas bagi seorang shiddiq untuk menjadi seorang yang suka melaknat.” (HR. Muslim no. 2597)
Pada hari kiamat , orang yang suka melaknat tidak akan dimasukkan dalam barisan para saksi yang memper-saksi-kan bahwa Rasul mereka telah menyampaikan risalah dan juga ia tidak dapat memberi syafaat di sisi Allah guna memintakan ampunan bagi seorang hamba. Nabi SAW bersabda : “Orang yang suka melaknat itu bukanlah orang yang dapat memberi syafaat dan tidak pula menjadi saksi pada hari kiamat.” (HR. Muslim dalam Shahihnya no. 2598 dari Abi Darda radhiallahu 'anhu)
Perangai yang buruk ini sangat besar bahayanya bagi pelakunya sendiri. Bila ia melaknat seseorang, sementara orang yang dilaknat itu tidak pantas untuk dilaknat maka laknat itu kembali kepadanya sebagai orang yang mengucapkan.
Imam Abu Daud meriwayatkan dari hadits Abu Darda ra bahwasannya Nabi SAW bersabda : “Apabila seorang hamba melaknat sesuatu maka laknat tersebut naik ke langit, lalu tertutuplah pintu-pintu langit. Kemudian laknat itu turun ke bumi lalu ia mengambil ke kanan dan ke kiri. Apabila ia tidak mendapatkan kelapangan, maka ia kembali kepada orang yang dilaknat jika memang berhak mendapatkan laknat dan jika tidak ia kembali kepada orang yang mengucapkannya.”
Ulama Al Hafidh Ibnu Hajar tentang hadits ini : “Sanadnya jayyid (bagus). Hadits ini memiliki syahid dari hadits Ibnu Mas’ud ra dengan sanad yang hasan. Juga memiliki syahid lain yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dari hadits Ibnu Abbas ra. Para perawinya adalah orang-orang kepercayaan (tsiqah), akan tetapi haditsnya mursal.”
Ada beberapa hal yang dikecualikan dalam larangan melaknat ini yakni kita boleh melaknat para pelaku maksiat dari kalangan Muslimin namun tidak secara ta’yin (menunjuk langsung dengan menyebut nama atau pelakunya). Tetapi laknat itu ditujukan secara umum, misal kita katakan : “Semoga Allah melaknat para perusuh jalanan itu… .”
Rasulullah SAW telah melaknat wanita yang menyambung rambut dan wanita yang minta disambungkan rambutnya.
Beliau juga melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki dan masih banyak lagi. Berikut ini kami sebutkan beberapa haditsnya : “Rasulullah SAW melaknat wanita yang menyambung rambutnya (dengan rambut palsu/konde) dan wanita yang minta disambungkan rambutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)
Rasulullah SAW mengabarkan : “Allah melaknat wanita yang membuat tato, wanita yang minta dibuatkan tato, wanita yang mencabut alisnya, wanita yang minta dicabutkan alisnya, dan melaknat wanita yang mengikir giginya untuk tujuan memperindahnya, wanita yang merubah ciptaan Allah Azza wa Jalla.” (HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu)
“Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari , Shahih)
Setelah kita mengetahui buruknya perangai ini dan ancaman serta bahayanya yang bakal diterima oleh pengucapnya, maka hendaklah kita bertakwa kepada Allah Ta’ala. Janganlah kita membiasakan lisan kita untuk melaknat karena kebencian dan ketidaksenangan pada seseorang. Kita bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan menjaga dan membersihkan lisan kita dari ucapan yang tidak pantas dan kita basahi selalu dengan kalimat thayyibah.
Wallahu a’lam bis shawwab.
sumber kutipan : dari MUSLIMAH Edisi 37/1421 H/2001 M Rubrik Akhlaq, MENJAGA LISAN DARI MELAKNAT Oleh : Ummu Ishaq Al Atsariyah. Terjemahan dari Kitab Nasihati lin Nisa’ karya Ummu Abdillah bintu Syaikh Muqbil Al Wadi’iyyah dengan beberapa perubahan dan tambahan , Penulis: Author MUSLIMAH Edisi 37/1421 H/2001 M Rubrik Akhlaq
Jumat, 24 Oktober 2008
Allah Maha Penyayang
Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda ,” Allah berfirman ; “ Apabila hamba-Ku bekehendak untuk beramal buruk maka jangan kamu catat sehingga ia mengamalkannya. Jika ia mengamalkannya maka catatlah serupa itu. Jika ia meninggalkannya karena Aku, maka catatlah sebagai satu kebaikan. Jika hamba-Ku mau berbuat kebaikan namun tidak mengamalkannya maka tulislah satu kebaikan baginya. Jika ia mengamalkannya maka catatlah sepuluh kalinya sampai tujuh ratus lipat. Dan dalam sebagian riwayat ada tambahan sampai kelipatan banyak “. (Hr Bukhari).
Dari riwayat Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Allah SWT ,” Sesungguhnya Allah mencatat kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan” Kemudian Beliau menjelaskan hal itu ,” Barang siapa yang bermaksud namun tidak mengamalkannya maka Allah mencatat disisi-Nya sebagai kebaikan yang sempurna untuknya. Jika ia bermaksud baik lalu mengamalkannya maka Allah mencatat disisi-Nya sepuluh kebaikan samapi tujuh ratus kali lipat sampai banyak. Barang siapa yang bermaksud buruk namun tidak mengamalkannya maka Allah mencatat disisi-Nya suatu kebaikan yang sempurna. Jika ia bermaksud buruk lalu mengamalkannya maka Allah mencatatnya sebagai satu keburukan,” (Hr Bukhari).
Dari abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Rasulullah SAW besabda ,” Allah yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman :” Apakah hamba-Ku bermaksud pada keburukan maka jangan kamu catat. Jika ia melakukannya maka catatlah satu keburukan. Apabila ia bermaksud pada kebaikan namun tidak melakukannya maka catatlah satu kebaikan. Jika ia mengamalkannya maka catatlah sepuluh kali lipat “. (Hr. Muslim).
Dari Abu Hurairah ra. Bah dari Rasulullah , berlia bersabda ,” Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman ;” Apabila hamba-Ku bermaksud pada kebaikan namun tidak mengamalkannya maka Aku catat sebagai satu kebaikan baginya sampai tujuh ratus kali. Apabila ia bermaksud pada keburukan dan tidak mengamalkannya maka Aku tidak mencatatnya. Jika ia melakukannya maka Aku catat satu keburukan. (Hr Muslim).
Sungguh , semoga kita tidak termasuk hamba yang menyia-nyiakan Kasih Sayang Allah.
Allahu a’lam.
Sumber : lembar tausiyah
Rabu, 22 Oktober 2008
Istighfar , pelepas kesempitan
Disaat kesulitan demi kesulitan datang silih berganti. Apa yang harus kita lakukan ? Kita membutuhkan pertolongan Allah. Ketika seorang hamba membutuhkan pertolongan Allah, haruslah ia mendekati Allah. Salah satu amalan yang bisa membuka pintu pertolongan Allah adalah istighfar atau memohon ampun.
Firman Allah yang artinya “, Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs : Az Zumar : 53)
Firman Allah yang artinya ,“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal shaleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” (Qs. Thaahaa : 82)
Firman Allah , yang artinya “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengadzab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (Qs. Al Anfaal : 33)
Rasulullah SAW pernah bersabda , yang artinya “Barang siapa yang membiasakan Istighfar, maka Allah akan membebaskan dari segala kesusahan, melapangkan dari segala kesempitan, dan memberikan Rezeqi dari yang tidak disangka-sangka.” (Q.S. H.R. Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah, Hakim)
Rasulullah SAW, bersabda yang artinya ,“Sesungguhnya dalam Qolbu itu ada karat seperti pada tembaga/besi, maka bersihkanlah karat itu dengan Istighfat dan taubat.” (H.R. Baihaqi)
Suatu ketika orang-orang mengadu kepada Hasan Al Basri tentang berbagai kesulitan hidup mereka, Beliau menganjurkan mereka untuk sering beristigfar. Menurutnya kesulitan yang terjadi karena banyaknya maksiat yang dilakukan dan dengan istighfar diharapkan Allah akan mengampuninya.
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata, “Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohon ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun’ maknanya: bertobatlah kamu dari kemusyrikan dan esakanlah Dia Yang Maha Tinggi. Karena barangsiapa yang bertaubat kepada Allah, maka Allah akan menerima taubatnya walaupun dosanya besar.Atau jika kalian bertaubat kepada Allah, meminta ampun kepadaNya dan kalian senantiasa mentaatiNya, niscaya Ia akan membanyakkan rizki kalian dan menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk kalian, membanyakkan harta dan anak-anak untuk kalian, menjadikan kebun-kebun yang didalamnya bermacam-macam buah-buahan untuk kalian serta mengalirkan sungai-sungai diantara kebun-kebun itu untuk kalian”
Bahwa memohon ampun kepada Allah (istighfar) dalam ayat diatas menurut para ulama tidaklah berarti bahwa mereka diperintahkan hanya dengan lisan saja akan tetapi dengan lisan dan perbuatan. Bahkan apabila seseorang memohon ampun kepada Allah hanya dengan lisan saja tanpa disertai dengan perbuatan maka itu adalah pekerjaan para pendusta. (Al-Mufradat fi ghariibil Qur’an hal:362)
Ya,Allah jadikanlah kami termasuk hamba-hambaMu yang pandai beristighfar. Dan karuniakanlah kepada kami buahnya didunia maupun akhirat . Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan. Amin.Wahai Yang Maha Hidup dan terus menerus mengurus makhluk-Nya.
Kebiasaan beristighfar juga dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dalam riwayat Imam Muslim bahwa Rasulullah senantiasa beristighfar setiap hari tidak kurang dari 70 kali. Bahkan riwayat Imam Bukhari , bahwa Rasulullah beristighfar setiap hari lebih dari 100 kali (Bukhari Muslim).
Pelajaran dan contoh Rasulullah ini adalah bahwa beristighfar tidak harus menunggu setelah melakukan kesalahan, tetapi bagaimana hendaknya aktifitas ini berlangsung senantiasa menghiasi kehidupan sehari-hari kita tanpa terkecuali.
Para malaikat, sebagai makhluk yang senantiasa taat kepada perintah Allah justru senantiasa beristighfar memohon ampunan untuk orang-orang yang beriman sebagai sebuah pelajaran yang berharga bagi setiap hamba Allah yang beriman.
Firman Allah SWT, yang artinya, “(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala”. (Qs. Al-Mu’min : 7)
Sungguh tinggi nilai istighfar sehingga selalu berdampingan dengan perintah beribadah kepadanya. Sehingga merupakan satu kewajiban sekaligus kebutuhan seorang hamba kepada Allah swt karena secara fithrah memang manusia tidak akan bisa mengelak dari melakukan dosa dan kesalahan sepanjang hidupnya. Peluang ampunan ini merupakan anugerah rahmat yang terbesar bagi hamba-hamba-Nya yang beriman
Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat”. (Hud: 3)
Terkait dengan hal ini, kebiasaan beristighfar mencerminkan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya dan pengakuan akan Ke-Maha Pengampunan Allah swt. Istighfar juga merupakan cermin dari sebuah akidah yang mantap akan kesediaan Allah membuka pintu ampunannya sepanjang siang dan malam.
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah senantiasa membuka tanganNya di siang hari untuk memberi ampunan kepada hambaNya yang melakukan dosa di malam hari, begitu pula Allah swt senatiasa membuka tangan-Nya di malam hari untuk memberi ampunan bagi hamba-Nya yang melakukan dosa di siang hari”.
istighfar sungguh dapat menolak bencana dan menjadi salah satu sarana turunnya keberkahan dan rahmat Allah swt.
Ibnu Katsir dalam tasfir surat Al-Anfal: 33 “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun”
Dari riwayat Imam Tirmidzi bahwa Rasulullah saw bersabda, “Allah telah menurunkan kepadaku dua pengaman atau penyelemat bagi umat dari azab dan bencana, yaitu keberadaanku dan istighfar. Maka ketika aku telah tiada, masih tersisa satu pengaman hingga hari kiamat, yaitu istighfar”.
Bahkan Ibnu Abbas menuturkan bahwa ungkapan istighfar meskipun keluar dari pelaku maksiat dapat mencegah dari beberapa kejahatan dan bahaya.
Istighfar juga memudahkan urusan seseorang, memudahkan jalan mencari rizki dan memelihara seseorang. Dalam konteks ini, Ibnu katsir menafsirkan suarat Hud : 52 dengan menukil hadits Rasulullah saw yang bersabda, “Barangsiapa yang mampu mulazamah atau kontinyu dalam beristighfar, maka Allah akan menganugerahkan kebahagiaan dari setiap duka dan kesedihan yang menimpanya, memberi jalan keluar dari setiap kesempitan dan memberi rizki dengan cara yang tidak disangka-sangka”. (Ibnu Majah)
Allahu A’lam.
Sumber : Istighfar, Pesan Para Nabi Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA, http://jilbab.or.id
Selasa, 21 Oktober 2008
mengapa ada Prasangka ?
Sungguh, Islam menebar damai dan kasih sayang. Kepada siapa pun.Lembut dan bersih. Tak ada keluh kesah. Tak ada marah, kecuali pada sesuatu yang dibenci Allah. Bahkan, tak secuil prasangka pun yang bisa hinggap. Semuanya terkikis dengan lantunan zikir.
Maha Benar Allah atas firmanNya dalam surah Ar-Ra’d ayat 28. “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.”
Damai dan tenteramnya hidup tanpa prasangka telah diperlihatkan di semua sisi kehidupan Rasulullah saw. Kepada siapa pun.
Prasangka dalam hati hamba Allah sebenarnya memperlihatkan kelemahan hamba itu sendiri. Karena racun prasangka bisa merusak nalar seseorang sehingga tidak mampu berpikir objektif, apa adanya. Hati dan pikirannya selalu dibayang-bayangi curiga.
Ada beberapa hal yang menjadikan seseorang terjebak dalam amarah prasangka.
Pertama,
Lemahnya pendekatan diri kepada Allah. Jauhdekatnya seorang hamba Allah sangat berpengaruh pada kesuburan dan kesegaran hati sang hamba. Kesegaran itu kian menguatkan hamba Allah dalam mawas diri. Ia akan mencermati benalu-benalu hati yang mungkin tumbuh. Dan mencabutnya dengan penuh teliti.
Jika menjauh dari Allah, hati hamba itu akan ditumbuhi noda hitam . Dan bayang-bayang cermin hatinya pun menjadi keruh. Hati tak lagi mampu memantulkan cahaya Allah yang telah bersinar ke seluruh alam. Sebaliknya, pantulan hati ini begitu redup. Suram.
Maha Suci Allah Yang telah mengajarkan hamba-hambaNya tentang penjagaan hati. “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan supaya mereka jangan seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepada mereka kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Qs. Al-Hadiid: 16)
Kedua,
Pengalaman masa lalu. Pengalaman masa lalu kadang punya bekas yang begitu kuat. Ia bisa lahir dari rutinitas kehidupan masa kecil. Anak yang dibiasakan hidup tertutup akan cenderung tumbuh sebagai manusia dewasa yang egois. Dan anak yang dibiasakan hidup di bawah tekanan akan tumbuh sebagai manusia dewasa yang mudah putus asa. Begitu pun dengan prasangka. Anak yang hidup dalam bayang-bayang ketidakpercayaan orang tua akan tumbuh menjadi manusia curiga dan penuh prasangka.
Sedemikian kuatnya pengaruh orangtua, Rasulullah saw pernah mengatakan, “Tiap bayi lahir dalam keadaan suci. Orangtuanyalah yang akan membentuk sang bayi, apakah menjadi yahudi, nasrani, atau majusi.”
Adakalanya, pengalaman besar yang tidak mengenakkan mampu melahirkan prasangka permanen. Seorang yang pernah ditipu / disakiti akan menyisakan prasangka berkelanjutan. Begitulah seterusnya.
Ketiga,
Pengaruh lingkungan. Lingkungan juga menjadi guru kedua yang efektif. Semua itu, mungkin berawal dari pola pandang yang salah dengan dunia sekitar. Semua orang berperilaku buruk, kecuali telah terbukti menghasilkan kebaikan. Dan kesalahan ini akan sangat berakibat fatal jika diberlakukan kepada Yang Maha Pencipta, Pemberi rezeki, dan Penentu takdir.
Firman Allah yang artinya , “dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang musyrik laki-laki dan perempuan yang berprasangka buruk terhadap Allah…” (Qs. Al-Fat-h: 6)
Prasangka terhadap Allah tidak tertutup kemungkinan terjadi pada seorang mukmin. Sebuah keputusan yang begitu bijaksana dari Yang Maha Bijaksana bisa disalahartikan. Kebodohan kita sering membuahkan prasangka kepada Yang Maha Bijaksana. Begitulah yang pernah terjadi di masa Rasulullah saw. Kenyataannya, ada sebagian mukmin yang enggan berperang. Mereka menilai bahwa keputusan itu kurang tepat. Karena perang identik dengan kekerasan.
Firman Allah dalam Surah Al-Anfal ayat 5, “Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, dan sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman tidak menyukainya.”
Sungguh, kebodohan menjebak manusia pada prasangka, kepada sesama mukmin atau kepada Allah. Laksana anak kecil yang buruk sangka pada obat. Karena tahu kalau obat itu pahit.
Seorang mukmin seharusnyalah selalu merawat hati. Senantiasa menyiram tanaman hati itu dengan air ruhani yang bermineral tinggi, menebar pupuk amal yang tak pernah henti. Dan, juga mencabut segala benalu prasangka dan dengki.
Seperti itulah seorang mukmin. Hatinya segar dalam zikir, seraya lidahnya memanjatkan doa, “…Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau biarkan kedengkian (bersemi) dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman: Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Qs .Al-Hasyr: 10)
Buruk sangka kepada orang lain atau su`u zhan mungkin sering hinggap di hati kita. Memang semata-mata sifat kita suka curiga dan penuh sangka kepada orang lain, lalu kita membiarkan zhan tersebut bersemayam di dalam hati. Bahkan kita membicarakan serta menyampaikannya kepada orang lain. Padahal su`u zhan kepada sesama kaum muslimin tanpa ada alasan/bukti merupakan perkara yang terlarang.
Demikian , Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari persangkaan (zhan) karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu merupakan dosa.” (Qs. Al-Hujurat: 12)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menjauhi kebanyakan dari prasangka dan tidak mengatakan agar kita menjauhi semua prasangka. Karena memang prasangka yang dibangun di atas suatu qarinah (tanda-tanda yang menunjukkan ke arah tersebut) tidaklah terlarang. Hal itu merupakan tabiat manusia. Bila ia mendapatkan qarinah yang kuat maka timbullah zhannya, apakah zhan yang baik ataupun yang tidak baik.
Inilah zhan yang diperingatkan oleh Nabi SAW dan dinyatakan oleh beliau sebagai pembicaraan yang paling dusta. (Syarhu Riyadhis Shalihin, 3/191)
Al-Hafizh Ibnu Katsir ra berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman melarang hamba-hamba-Nya dari banyak persangkaan, yaitu menuduh dan menganggap khianat kepada keluarga, kerabat dan orang lain tidak pada tempatnya. Karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa yang murni, maka jauhilah kebanyakan dari persangkaan tersebut dalam rangka kehati-hatian. Kami meriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, ‘Janganlah sekali-kali engkau berprasangka kecuali kebaikan terhadap satu kata yang keluar dari saudaramu yang mukmin, jika memang engkau dapati kemungkinan kebaikan pada kata tersebut’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/291)
Abu Hurairah ra pernah menyampaikan sebuah hadits Rasulullah SAW yang artinya :
“Hati-hati kalian dari persangkaan yang buruk (zhan) karena zhan itu adalah ucapan yang paling dusta.
- Janganlah kalian mendengarkan ucapan orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian mencari-cari aurat(cacat,cela) orang lain.
- Jangan kalian berlomba-lomba untuk menguasai sesuatu.
- Janganlah kalian saling hasad, saling benci, dan saling membelakangi.
Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang Dia perintahkan. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, maka janganlah ia menzalimi saudaranya, jangan pula tidak memberikan pertolongan/bantuan kepada saudaranya dan jangan merendahkannya. Takwa itu di sini, takwa itu di sini.” Beliau mengisyaratkan (menunjuk) ke arah dadanya. “Cukuplah seseorang dari kejelekan bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim yang lain, haram darahnya, kehormatan dan hartanya. Sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh-tubuh kalian, tidak pula ke rupa kalian akan tetapi ia melihat ke hati-hati dan amalan kalian.” (HR. ِAl-Bukhari no. 6066 dan Muslim no. 6482)
Zhan (menurut sebagian ulama ) adalah tuhmah (tuduhan). Zhan yang diperingatkan dan dilarang adalah tuhmah tanpa ada sebabnya. Seperti seseorang yang dituduh berbuat fahisyah (zina) atau dituduh minum khamr padahal tidak tampak darinya tanda-tanda yang mengharuskan dilemparkannya tuduhan tersebut kepada dirinya.
Al-Imam Al-Qurthubi ra menyebutkan dari mayoritas ulama dan menukil dari Al-Mahdawi, bahwa zhan yang buruk terhadap orang yang zahirnya baik tidak dibolehkan. Sebaliknya, tidak berdosa berzhan yang jelek kepada orang yang zahirnya jelek. (Al Jami’ li Ahkamil Qur`an, 16/218)
Sehingga, Ibnu Hubairah Al-Wazir Al-Hanbali berkata, “Demi Allah, tidak halal berbaik sangka kepada orang yang menolak kebenaran, tidak pula kepada orang yang menyelisihi syariat.” (Al-Adabus Syar’iyyah, 1/70)
Dari hadits: Al-Imam An-Nawawi ra berkata menjelaskan ucapan Al-Khaththabi tentang zhan yang dilarang dalam hadits ini, “Zhan yang diharamkan adalah zhan yang terus menetap pada diri seseorang, terus mendiami hatinya, bukan zhan yang sekadar terbetik di hati lalu hilang tanpa bersemayam di dalam hati. Karena zhan yang terakhir ini di luar kemampuan seseorang. Sebagaimana yang telah lewat dalam hadits bahwa Allah SWT memaafkan umat ini dari apa yang terlintas di hatinya selama ia tidak mengucapkannya atau ia bersengaja.” (Al-Minhaj, 16/335)
Sufyan ra berkata, “Zhan yang mendatangkan dosa adalah bila seseorang berzhan dan ia membicarakannya. Bila ia diam/menyimpannya dan tidak membicarakannya maka ia tidak berdosa.”
Al-Qadhi ‘Iyadh ra, bahwa zhan yang dilarang adalah zhan yang murni /tidak beralasan, tidak dibangun di atas asas dan tidak didukung dengan bukti. (Ikmalul Mu’lim bi Fawa`id Muslim, 8/28)
Kepada seorang muslim yang secara zahir baik agamanya serta menjaga kehormatannya, tidaklah pantas kita berzhan buruk. Bila sampai pada kita berita yang “miring” tentangnya maka tidak ada yang sepantasnya kita lakukan kecuali tetap berbaik sangka kepadanya.
Karena itu, tatkala terjadi peristiwa Ifk di masa Nubuwwah, di mana orang-orang munafik menyebarkan fitnah berupa berita dusta bahwa istri Rasulullah SAW yang mulia, shalihah, dan thahirah (suci dari perbuatan nista) Aisyah ra berbuat tidak baik, wal’iyadzubillah, dengan sahabat yang mulia Shafwan ibnu Mu’aththal ra, Allah SWT mengingatkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar tetap ber-prasangka baik dan tidak ikut-ikutan dengan munafikin menyebarkan kedustaan tersebut.
Firman Allah , yang artinya ,“Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong tersebut, orang-orang mukmin dan mukminah tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri dan mengapa mereka tidak berkata, ‘Ini adalah sebuah berita bohong yang nyata’.” (Qs .An-Nur: 12)
Wallahu a’lam bish-shawab.
sumber kutipan : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah, Muhammad Nuh , http://www.dakwatuna.com, http://majalahsyariah.com
Law Of Attraction
tahu, walaupun anda sangat tahu tentang hukum alam, dan hukum alam tidak pernah bertanya kepada anda apakah anda suka atau tidak suka terhadap berjalannya hukum itu. Setiap benda pasti terkena hukum gravitasi dan tidak pernah bertanya anda suka atau tidak kalau sampai jatuh ke tanah..hukum ini selalu berjalan sangat tepat..
Satu hal yang perlu disadari orang, adalah Hukum KETERTARIKAN " Law Of Attraction" , bahwa " Sesuatu yang sama akan menarik sesuatu yang sama di alam ini" Ini jawaban mengapa orang selalu negatif akan mengalami hidup yang negatif,
mengapa orang yang bangun pagi dengan kemarahan akan mengalami kesialan
beruntun di sepanjang hari, Mengapa orang kaya semakin kaya.
Pikiran, menjadi Kenyataan
Otak memiliki banyak frekwensi, jika anda membayangkan terus menerus (berulang-ulang) berarti secara konsisten memancarkan gelombang yang sama. Pikiran yang selalu memancarkan signal magnet tersebut, akan menarik hal-hal yang anda inginkan.
Umumnya kita selalu memikirkan apa yang tidak mereka inginkan, dan tidaklah heran apabila kenapa yang tidak diinginkan selalu menimpa .
Semua berasal dari Pikiran kita atau lebih tepatnya berasal dari Perasaan kita.
Kita terlalu sering bahkan mungkin sudah menjadi kebiasaan berfokus pada Apa Yang Tidak Saya Inginkan (Apa yang Kita Takutkan ) …bukan berfokus pada Apa Yang Saya Inginkan (Bukan berfokus pada apa yang kita senangi).
Ketika anda fokus dengan Apa Yang tidak Saya Inginkan dalam hidup ini maka hukum Ketertarikan tanpa anda sadari bekerja, ketika anda berpikir demikian anda memancarkan getaran ke alam ini dan menarik hal-hal yang sama persis dengan pikiran/perasaan anda. Maka apa yang terjadi adalah apa yang anda tidak inginkan dalam hidup ini malah menjadi kenyataan.
Hukum gaya tarik tidak memperdulikan apakah sesuatu itu Baik atau Buruk. Kalau kita merasakan sesuatu negatif justru semakin banyak yang terjadi, demikian pula sebaliknya.
Jika kita melihat sesuatu yang kita inginkan dan kita mengatakan ”ya”, berarti kita sedang memancarkan signal pikiran tersebut, dan hukum ”gaya tarik” akan menanggapi signal pikiran tersebut, dan mewujudkan untuk kita.
Kita ambil contoh mudah berikut :
Pernahkah anda mulai memikirkan sesuatu yang tidak anda sukai atau bahkan anda takuti?
semakin anda memikirkannya, tampaknya semakin memburuk ?
Ini disebabkan karena saat kita memikirkan sebuah pikiran, hukum tarik menarik segera mendatangkan lebih banyak lagi pikiran yang serupa kepada kita. Dalam hitungan menit kita sudah mendapat begitu banyak pikiran tidak menyenangkan yang serupa dan membuat situasi tampak memburuk. Semakin anda memikirkannya, semakin kesal atau takutlah anda.
Pada saat anda melihat sesuatu yang tidak anda inginkan, anda berteriak ”tidak”, anda sebenarnya tidak menolaknya menjauh, sebaliknya anda sedang mengaktifkan setiap pemikiran ttg hal yang tidak anda inginkan, dan hukum gaya tarik juga akan memberikan hal-hal yang tidak anda inginkan tersebut.
Hukum ketertarikan juga mengatakan "Apa Yang Anda Focuskan" akan menjadi realitas di kehidupan anda.
Jadi jika kita berpikir positif dalam berpikir dan tujuan hidup, maka kita cenderung “menarik” orang berpikir positif, keadaan dan kejadian yang positif juga.
Jika kita bersikap negatif, sangat pemarah, kita pasti cenderung “menarik” orang bersifat negatif dan pemarah juga dan keadaan yang serba marah dan bersifat negatif. Dan akhirnya anda “menarik” ke diri anda pikiran paling menguasai saat anda dalam keadaan sadar memikirkan hal tersebut.
Kita harus waspada dan teliti bahwa karena yang dipikirkan secara sengaja ataupun dipikirkan tanpa sengaja, itulah kunci rahasianya. “HUKUM GAYA TARIK” menyatakan : “Kami akan memberikan apa saja yang anda katakan dan anda perhatikan”. Jadi jika anda mengeluh keadaan susah ini, anda sebenarnya menciptkan lebih banyak lagi hal yang susah.
Hal ini terjadi, karena kita lebih fokus pada memikirkan apa yang tidak diinginkan (kita takuti) daripada apa yang kita inginkan, selalu memikirkan, berbicara, bertindak, dan berfokus pada apa yang “ tidak mereka inginkan “. Hukum tarik menarik ini adalah hukum alam dan hukum ini tidak memilih ( impersonal ) dan tidak memandang sesuatu sebagai sesuatu yang baik atau buruk. Ia selalu menerima pikiran kita dan memantulkannya kembali kepada kita sebagai pengalaman hidup kita. Hukum tarik menarik sekedar memberikan kepada kita hal-hal yang kita pikirkan. Hukum ini juga bersifat universal sama seperti hukum gravitasi dimana semua orang pasti mengalaminya dan tidak memilih dalam penerapannya.
Hidup kita sekarang adalah cerminan dari pikiran-pikiran dimasa lalu. Termasuk semua hal besar maupun semua hal yang kita anggap tidak terlalu besar. Ketika kita menarik apa yang paling kita pikirkan, kita akan mudah melihat apa yang telah menjadi pikiran kita yang dominan tentang segala persoalan dalam hidup kita, karena hal itulah yang telah kita alami.
“Jika anda melihatnya di dalam benak, anda menggenggamnya di tangan ” (Bob Proctor)
Cara mudah memahami “HUKUM GAYA TARIK” adalah mengandaikan diriku seperti sebuah magnet. Dan kita tahu bahwa magnet akan menarik sesuatu. Singkatnya, “HUKUM GAYA TARIK” menyatakan: “Hal yang sama / mirip” akan menarik “hal yang sama / mirip pula”.
Kita benar-benar membicarakan pada tahap pemikiran. Kita semua bekerja dengan satu kekuatan, satu “Aturan” . ini adalah “Ketertarikan” .
“Rahasia” ini adalah “Hukum KETERTARIKAN / Gaya Tarik ”. Semua yang terjadi dalam hidup anda, anda “menariknya” kedalam hidup anda. Dan ditarik kearah anda berdasarkan kekuatan imaginasi yang ada dalam pikiran anda. Berdasarkan pada apa yang anda pikirkan. Jadi, apa yang ada dalam pikiran anda, anda “menariknya” ke arah anda.
Yang seharusnya kita pahami sebagian besar orang adalah bahwa sebuah pikiran mempunyai frekwensi. Kita dapat mengukur pikiran itu. Jadi, jika anda berulang-ulang memikirkan pikiran itu, jika dalam benak anda membayangkan meniup trumpet dan memainkan lagu dengan baik, melakukan visual dengan baik, membangun kerjasama yang baik dengan sesama . Jika anda membayangkan seperti apa yang terpikirkan, maka anda memancarkan frekwensi tersebut dengan konsisten.
“Setiap pikiranmu adalah hal yang nyata-suatu daya” Prentice Mulford (1834)
Tugas kita adalah memelihara pikiran-pikiran yang kita inginkan, memperjelas apa yang kita inginkan (senangi) di dalam benak, dari situ kita mulai membangunkan salah satu hukum terbesar disemesta yaitu hukum tarik menarik. Kita tidak hanya menjadi apa yang paling anda pikirkan , tetapi kita juga meraih apa yang paling kita pikirkan
Jika kita bersikap positif dalam berpikir dan tujuan hidup, maka kita cenderung menarik orang bersikap positif, keadaan dan kejadian yang positif juga. Jika kita bersifat negatif, maka kita cenderung menarik orang bersikap negatif, keadaan dan kejadian yang negatif juga. Semuanya itu akan menariknya kepada Anda, tidak peduli apakah itu positif atau negatif. Saat Anda melihat orang selalu mengeluh sakit, dia akan selalu dalam keadaan sakit. Saat Anda melihat orang yang berbicara tentang sesuatu yang menyenangkan, dia akan selalu dalam keadaan yang menyenangkan.
Jadi kesimpulan dari hukum tarik menarik, hukum ini hanya merespon apa yang kita fikirkan dan tidak memperhitungkan kata “ jangan “ , “tidak” , atau “ bukan “, atau semua kata penolakan lain.
Ketika anda mengucapkan kata penolakan maka kata-kata inilah yang diterima oleh hukum tarik menarik.
“Saya tidak ingin terlambat ke sekolah” maka akan diterima oleh hukum ini sebagai :
“Saya ingin terlambat dan lebih terlambat lagi ke sekolah”
“Saya tidak ingin orang itu kasar pada saya” maka akan diterima oleh hukum ini sebagai :
“Saya ingin orang itu dan lebih banyak lagi orang yang kasar pada saya”
Sumber : http://juliwan-liang.blog.friendster.com , http://dawami-nasrulloh. blogspot.com, Stephen Barnabas "Financial Self-Concept : Kunci Meraih KEKAYAAN dan KESUKSESAN Sejati
Senin, 20 Oktober 2008
Beratnya Ikhlas
Bila seorang hamba menginginkan melalui ibadah-nya sesuatu yang lain, apa hukumnya ?
Ikhlas kepada Allah -subhanahu wa ta'ala- maknanya seseorang bermaksud melalui ibadahnya tersebut untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah -subhanahu wa ta'ala- dan mendapatkan keridhaanNya.
Bila seorang hamba menginginkan sesuatu yang lain melalui ibadahnya, maka di sini perlu dirinci lagi berdasarkan klasifikasi-klasifikasi berikut:
Pertama
Seorang hamba memang ingin bertaqarrub kepada selain Allah di dalam ibadahnya ini dan mendapatkan pujian semua makhluk atas perbuatannya tersebut. Maka, ini menggugurkan amalan dan termasuk syirik.
Di dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah ra- bahwasanya Rasulullah sholallaahu alaihi wa salam bersabda, "Allah -subhanahu wa ta'ala- berfirman, "Aku adalah Dzat Yang Paling tidak butuh kepada persekutuan para sekutu; barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukan-Ku dengan sesuatu selainKu, maka Aku akan meninggalkannya beserta kesyirikan yang diperbuatnya. " (Shahih Muslim, kitab az-Zuhud (2985).
Kedua
Seorang hamba bermaksud melalui ibadahnya untuk meraih tujuan duniawi seperti kepemimpinan, kehormatan dan harta, bukan untuk tujuan bertaqarrub kepada Allah; maka amalan orang seperti ini akan gugur dan tidak dapat mendekatkan dirinya kepada Allah SWT.
Dalam hal ini, Allah SWT berfirman, "Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka itu di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. " (Hud: 15-16)
Perbedaan antara klasifikasi kedua ini dan pertama; bahwa dalam :
- klasifikasi pertama, orang tadi bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah.
- Sedangkan pada klasifikasi kedua ini, dia tidak bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah bahkan dia malah tidak peduli atas pujian orang terhadap dirinya.
Ketiga,
dia bermaksud untuk bertaqarrub kepada Allah SWT, di samping tujuan duniawi yang merupakan konsekuensi logis dari adanya ibadah tersebut, seperti :
- dia memiliki niat dari thaharah yang dilakukannya -di samping niat beribadah kepada Allah- untuk menyegarkan badan dan menghilangkan kotoran yang menempel padanya;
- dia berhaji -di samping niat beribadah kepada Allah- untuk menyaksikanlokasi-lokasi syiar haji (al-Masya'ir) dan bertemu para jama'ah haji;
maka hal ini akan mengurangi pahala ikhlas akan tetapi jika yang lebih dominan adalah niat beribadahnya, berarti pahala lengkap yang seharusnya diraih akan terlewatkan. Meskipun demikian, hal ini tidak berpengaruh bila pada akhirnya melakukan dosa.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT mengenai para jamaah haji,"Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari Rabbmu. " (Qs . Al-Baqarah: 198)
Jika yang dominan adalah niat selain ibadah, maka dia tidak mendapatkan pahala akhirat, yang didapatnya hanyalah pahala apa yang dihasilkannya di dunia itu. Saya khawatir malah dia berdosa karena hal itu, sebab dia telah menjadikan ibadah yang semestinya merupakan tujuan yang paling tinggi, sebagai sarana untuk meraih kehidupan duniawi yang hina.
Maka, dia tidak ubahnya seperti orang yang dimaksud di dalam firmanNya, "Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. " (QS. At-Taubah: 58)
Di dalam Sunan Abu Daud dari Abu Hurairah ra disebutkan bahwa ada seorang laki-laki berkata, 'wahai Rasulullah, (bagaimana bila-penj.) seorang laki-laki ingin berjihad di jalan Allah sementara dia juga mencari kehidupan duniawi?"
Rasulullah SAW bersabda, "Dia tidak mendapatkan pahala."
Orang tadi mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali
dan Nabi SAW tetap menjawab sama, "Dia tidak mendapatkan pahala. " (Sunan Abu Daud, kitab al-Jihad(2516); Musnad Ahmad, Juz II, hal. 290, 366 tetapi di dalam sanadnya terdapat Yazid bin Mukriz, seorang yang tidak diketahui identitasnya (majhul); lihat juga anotasi dari Syaikh Ahmad Syakir terhadap Musnad Ahmad, no. 7887.)
Demikian pula hadits yang terdapat di dalam kitab ash-Shahihain dari Umar bin al-Khaththab ra, bahwasanya Nabi SAW bersabda, "Barangsiapa yang hijrahnya karena ingin meraih kehidupan duniawi atau untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahinya; maka hijrahnya hanya mendapatkan tujuan dari hijrahnya tersebut". (Shahih al-Bukhari, kitab Bad'u al-Wahyi (1); Shahih Muslim, kitab al-Imarah (1907).)
Jika persentasenya sama saja, tidak ada yang lebih dominan antara niat beribadah dan non ibadah; maka hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut. Akan tetapi, pendapat yang lebih persis untuk kasus seperti ini adalah sama juga; tidak mendapatkan pahala sebagaimana orang yang beramal karena Allah dan karena selainNya juga.
Perbedaan antara jenis ini dan jenis sebelumnya (jenis kedua), bahwa tujuan yang bukan untuk beribadah pada jenis sebelumnya terjadi secara otomatis. Jadi, keinginannya tercapai melalui perbuatannya tersebut secara otomatis seakan-akan yang dia inginkan adalah konsekuensi logis dari pekerjaan yang bersifat duniawi itu.
Jika ada yang mengatakan, "Apa standarisasi pada jenis ini sehingga bisa dikatakan bahwa tujuannya yang lebih dominan adalah beribadah atau bukan beribadah?"
Jawabannya, standarisasinya bahwa dia tidak memperhatikan hal selain ibadah, maka baik hal itu tercapai atau tidak tercapai, telah mengindikasikan bahwa yang lebih dominan padanya adalah niat untuk beribadah, demikian pula sebaliknya.
Yang jelas, perkara yang merupakan ucapan hati amatlah serius dan begitu urgen sekali. Indikasinya, bisa jadi hal itu dapat membuat seorang hamba mencapai tangga ash-Shiddiqin, dan sebaliknya bisa pula mengembalikannya ke derajat yang paling bawah sekali.
Sebagian ulama Salaf berkata, "Tidak pernah diriku berjuang melawan sesuatu melebihi perjuangannya melawan (perbuatan) ikhlas. "
Kita memohon kepada Allah untuk kami dan anda semua agar dianugerahi niat yang ikhlas dan lurus di dalam beramal.
Allahu A’lam
Rujukan: Syaikh Ibnu Utsaimin , Kumpulan Fatwa dan Risalah dari Syaikh Ibnu Utsaimin, Juz 1, hal. 98-100. Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, hal. 155-158, Penerbit Darul Haq, http://www.fatwa-ulama.com
Sangat sulit dilakukan
Abu Hurairah ra bertanya ,” Ya Rasulullah , sedekah manakah yang paling baik?” Rasulullah SAW menjawab ,” Sedekah yang dikeluarkan oleh seorang yang tidak mampu. Dan mulailah dari orang-orang yang menjadi tanggunganmu.” (Abu Dawud, misykat).
Seandainya ada orang yang miskin, sangat memerlukan bantuan dan tidak mempunyai apa-apa akan tetapi ia berusaha mencari nafkahnya sendiri, serta berusaha bersedekah maka sedekah itu lebih utama.
Menurut Basyar ra, ada tiga amalan yang sulit dilakukan :
1. Dermawan ketika miskin
2. taqwa dan takut kepada allah SWT ketika sendiri,
3. berkata benar dihadapan orang yang ditakuti atau diharapkan.
Firman Allah SWT, yang artinya,” ... Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka , dan mereka lebih mengutamakan (kaum muhajirin) daripada diri sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran darinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung .” (Qs al-Hasyr : 9).
Dengan sedikit saja kita ambil dari rezeki itu untuk kebaikan, dan dengan keikhlasan hati maka Allah SWT akan memberikan derajat pahala yang besar. Mengenai firman Allah ini , Rasulullah bersabda , “ Bersedekah satu dirham dapat menjadi seratus dirham dari segi pahalanya “. Jelaslah bahwa , sedekah tidak diukur hanya dari banyaknya saja , tetapi dari kesungguhan dalam bersedekah.
Ada hadits yang menyatakan bahwa ,” Sebagian orang ada yang menyedekahkan seluruh hartanya, lalu ia duduk meinta-minta kepada manusia. Sebaik-baik sedekah adalah sedekah dengan perasaan cukup “. Bersedekah tanpa perasaan cukup akan menjadi sia-sia karena tidak dapat dikatakan telah bersedekah. Perlu menjadikan perhatian kita agar apa yang kita lakukan ini menjadi kerugian.
Firman Allah SWT, yang artinya ,” Hendaklah orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya. Dan barang siapa yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari apa yang diberikan Allah SWT, kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan (sekedar kemampuan) yang diberikan Allah SWT kepadanya. Kelak, Allah SWT akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan ,”. (Qs. Ath-Thalaq : 7).
Namun , bagi kita yang lebih meyakini apa yang ada dalam genggaman Allah SWT daripada apa yang ada didalam genggamannya sendiri, maka menyedekahkan seluruh hartanya tidak menjadi masalah (diperbolehkan). Menurut ‘allamah Thabari ra, berkata ,”Inilah pendapat jumhur ulama bahwa seseorang dapat menyedekahkan seluruh hartanya dengan syarat ia tidak berutang, sanggup menahan kesusahan, dan tidak ada keluarga yang menjadi tanggungannya.Namun seandainya ada keluarga yang ditanggungnya, tetapi mereka juga memiliki kesabaran yang sama, maka men-sedekah-kan hartanya tidak menjadi masalah. Apabila salah satu dari syariat itu tidak terpenuhi, maka menyedekahkan seluruh hartanya makhruh hukumnya”. (Fathul Basri).
Hal ini dapat disimpulkan bahwa syarat mutlak dari sedekah adalah niat ikhlash dengan perasaan cukup kaya. yaitu kaya hati.
Tawakal kepada Allah SWT merupakan syarat mutlak untuk men-sedekah-kan seluruh harta. Sifat tawakah ini pernah dilakukan oleh sahabat Abu Bakar ra ketika hendak menyedekahkan seluruh hartanya di jalan Allah SWT. Sehingga Rasulullah SAW bertanya ,” Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu .”
Ia menjawab ,” Allah SWT dan Rasul-Nya”.
Sumber kutipan : Sugeng D Triswanto, Keajaiban shodaqoh.
Mencintai Allah
Cinta yang paling bermanfat, yang paling tinggi, dan yang paling mulia adalah cinta kepada Dzat yang telah menjadikan hati cinta kepada-Nya dan yang menjadikan seluruh makhluk memiliki fitrah untuk meng-esakan-Nya. Illah adalah Dzat yang dicenderungi oleh hati dengan klecintaan, pengagungan, pemuliaan , penghinaan diri sendiri dihadapan-Nya, ketundukan dan peribadatan. Ibadah tidak benar kecuali hanya kepada-Nya saja. Ibadah adalah kesempurnaan cinta, ketundukan dan penghinaan diri.
Allah SWT dicintai bukan karena sesuatu yang lain. Allah SWT dicintai dari berbagai sisi. Segala sesuatu selain-Nya dicintai dalam rangka cinta kepada-Nya. Keharusan mencintai-Nya telah ditunjukkan oleh seluruh kitab yang diturunkan dan rasul yang diutus. Juga oleh fitrah, akal manusia dan nikmat yang Dia anugerahkan.
Seluruh hati diciptakan dengan tabiat cinta kepada siapa saja yang memberinya nikmat dan bersikap baik kepadanya. Maka bagaimana dengan Dzat , yang seluruh kebaikan berasal dari-Nya ? tidak ada satu nikmat pun yang dirasakan oleh makhluk kecuali berasal dari-Nya. Dia Yang Maha Tunggal. Tiada sekutu bagi-Nya.
Firman Allah SWT, yang artinya , “ Segala nikmat yang ada pada kalian berasal dari Allah. Kemudian jika kalian ditimpa kemudharatan kepada-Nya-lah kalian memohon pertolongan ,” (Qs. An-Nahl : 53).
Nama-nama-Nya yang indah, sifat-sifat-Nya yang tinggi mulia dan segala ciptaan-Nya. Semuanya menunjukkan kesempurnaan, kemuliaan dan keagungan.
Firman Allah SWT, yang artinya ,” Dan diantara manusia ada yang menjadikan makhluk sebagai saingan disamping Allah, yang mereka cintai seperti cinta mereka kepada Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah ,” (Qs. Al-Baqarah : 165)
Firman Allah SWT yang artinya, “ Hai orang-orang yang beriman, barang siapa diantara kalian murtad dari agamanya, niscaya Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan merekapun mencintai-Nya. Mereka lemah lembut kepada orang-orang yang beriman, keras tegas kepada orang-orang kafir, berjihad dijalan Allah dan tidak takut pada celaan orang yang mencela “. (Qs. Al-Ma’idah : 54).
Rasulullah SAW telah bersumpah bahwa seorang hamba tidak akan sempurna (dalam kesempurnaan yang wajib) keimanannya sampai mencintai beliau melebihi cintanya kepada anak, orangtua dan manusia seutuhnya. (Hr Bukhary , dalam Al-Iman I/58 dan Muslim II/15). Apabila Rasululllah SAW lebih utama kita cintai dan kita penuhi konsekuensi cinta itu daripada diri kita sendiri, tentunya Allah lebih utama lagi untuk kita cintai dan kita ibadahi.
Semua yang Allah SWT berikan kepada hamba-Nya menyeru sang hamba kepada kecintaan kepada-Nya. Anugerah, pencegahan, kesejahteraan, cobaan, keadilan, keutamaan, kebaikan, kasih sayang, maaf , kesabaran, pengabulan doa, penyingkapan kesulitan, pertolongan serta jalan keluar dari berbagai kesulitan yang Allah SWT berikan, semuanya menyeru hati untuk hanya mencintai dan beribadah kepada-Nya. Lalu bagaimana seorang hamba tidak mencintai Allah SWT, yang senantiasa berbuat baik kepadanya, meski hamba bermaksiat kepada-Nya?
Kebaikan Allah terus-menerus turun kepada hamba-Nya. Sementara hamba terus menerus melakukan kemaksiatan. Allah SWT senantiasa mengusahakan kecintaan hamba kepada-Nya, padahal Dia tidak membutuhkannya sedikitpun.
Sementara sang hamba terus-menerus mengusahakan kemurkaan Allah SWT , padahal ia sangat membutuhkan-Nya. Kebaikan Allah SWT dan limpahan rahmat-Nya tidak menghentikannya dari permbuatan maksiat. Walaupun demikian , allah SWT tidak menghentikan kebaikan-Nya kepada hamba yang bermaksiat.
Tidak ada satu makhlukpun yang saling mencintai kecuali karena salah satunya membutuhkan yang lain, atau kedua-duanya salingmembutuhkan. Sedangkan Allah SWT, Dia menuntut kecintaanmu kepada-Nya semata-mata untuk kebaikan hamba itu sendiri . Allah SWT mengajak hamba untuk bergaul dengan-Nya agar hamba itu selalu beruntung, bahkan untung yang tiada terhingga. Satu dirham dibals dengan sepuluh hingga tujuh ratus dirham atau bahkan lebih. Satu keburukan dibalas dengan satu keburukan juga, itupun merupakan sesuatu yang paling gampang untuk dihapus.
Seluruh kebutuhan hamba, bahkan seluruh kebutuhan makhluk dibumi dan di langit , ada pada-Nya.
- Dan Dialah yang paling derma, yang paling pemurah
- Dia memberi sebelum diminta, melebihi apa yang terbayangkan
- Dia mensyukuri amal yang sedikit dan menumbuhkannya
- Dia mengampuni dan menghapuskan banyak dosa,
- Semua yang ada dilangit dan dibumi memohon kepada-Nya.
- Setiap hari Dia dalam urusan. Meski begitu , mendengarkan jutaan tak terhingga permohonan tidaklah menyibukkan-Nya, juga tidak membuat-Nya keliru.
- Dia tidak risih dengan rintihan, bahkan Dia mencintai orang yang merintih dalam berdoa.
- Dia cinta jika diminta, dan murka jika tidak.
- Dia malu kepada hamba-Nya yang tidak malu kepada-Nya
- Dia menutupi dosa hamba-Nya ketika sang hamba tidak menutupinya dihadapan-Nya.
- Dia mengasihi hamba-Nya yang tidak mengasihani dirinya sendiri.
- Dia menyeru hamba-Nya dengan nikmat, kebaikan, da dukungan-Nya,kepada kemuliaan dan keridhaan-Nya.
- Ketika mereka enggan, Dia utus para rasul untukmengingatkan mereka
Dari hadits Abu Hurairah riwayat Muslim , dalam Al-Musafirin wa Qasrhruha VI/36 , Rasulullah bersabda yang artinya ,” Rab kita (Tabaraka wa Ta’ala) pada akhir setiap malam turun ke langit dunia yaitu di pertiga malam terakhir. Dia berfirman ,” Siapa yang berdoa kepada-Ku maka Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku maka Aku beri. Siapa yang memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku ampuni”.
Lalu , siapa lagi yang lebih pantas dari-Nya untuk diusahakan kecintaan kepada-Nya dengan segala upaya, untuk digapai keridhaan-Nya dengan segala upaya. Bagaimana mungkin hati tidak cinta kepada yang hanya Dia yang membawa kebaikan, mengabulkan doa, memudahkan kesulitan, mengampuni kesalahan, menutupi aib, menghapuskan kesedihan, menyelamatkan yang teraniaya, dan menerima segala permintaan.
Mencintai Allah SWT adalah kehidupan bagi hati dan nutrisi bagi ruh. Tanpanya, hati tidak akan merasakan kelezatan, kenikmatan, kemenangan dan bahkan kehidupan. Bila hati kehilangan cinta ini, deritanya melebihi derita mata dikala kehilangan daya penglihatan.
Dialah yang paling berhak untuk diingat, disyukuri, diibadahi dan dipuji. Kasih sayang-Nya , melebihi kasih sayang ibu kepada anaknya. Ia lebih gembira dengan taubat seorang hamba, daripada kegembiraan seorang musafir di pada yang tandus yang kehilangan unta tunggangannya, padahal seluruh perbekalannya ada pada unta itu, sehingga ia merasakan segera binasa, namun tiba-tiba unta itu ia temukan kembali.
Dialah Raja tanpa sekutu dan Yang Esa tanpa saingan.
Sumber kutipan: Ibn Rajab Al-Hambali, Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, Imam Al-Ghazali dalam Taskiyatun Nafs, alih bahasa Imtihan As-Syafi’i