عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللّه عَنْهُمَا قَالَتْ لَمْ يَكُنْ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ
أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ أخرجه الشيخان
Dari 'Aisyah Ra , ia
berkata, "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan satu pun
shalat Sunnah yg dilakukan secara terus-menerus melebihi dua rakaat (shalat
Rawatib) Subuh".[ HR al-Bukhari dan Muslim ].
Mengapa Rasulullah sangat disiplin dlm menjaga shalat sunnah ini, tentu
ada rahasia besar dari keutamaan shalat ini .
Ibnul-Qayyim dlm Zadul-Ma'ad (1/305) berkata bhw ,’Kesinambungan dan penjagaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam thd sunnah Rawatib Subuh melebihi seluruh shalat sunnah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan sunnah Rawâtib Subuh dan shalat Witir dlm safarnya maupun saat muqim. Dalam safar pun , beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam disiplin menegakkan sunah Rawatib Subuh dan Witir melebihi seluruh shalat-shalat sunnah dan Rawatib lainnya. Tidak ada diriwayatkan dari beliau dlm safarnya melakukan shalat Rawatib selain Rawatib Subuh.
Ibnul-Qayyim dlm Zadul-Ma'ad (1/305) berkata bhw ,’Kesinambungan dan penjagaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam thd sunnah Rawatib Subuh melebihi seluruh shalat sunnah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan sunnah Rawâtib Subuh dan shalat Witir dlm safarnya maupun saat muqim. Dalam safar pun , beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam disiplin menegakkan sunah Rawatib Subuh dan Witir melebihi seluruh shalat-shalat sunnah dan Rawatib lainnya. Tidak ada diriwayatkan dari beliau dlm safarnya melakukan shalat Rawatib selain Rawatib Subuh.
sehinga , Ibnu 'Umar tidak menambah
dari dua raka'at, dan ia berkata,'Saya telah bepergian bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Bakar dan 'Umar. Mereka semua dalam
safarnya tidak melebihi dua raka'at'.
Saudaraku , shalat sunnah Rawatib Subuh termasuk
shalat sunnah yg paling ditekankan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
senantiasa melakukannya dan tidak pernah meninggalkannya, baik saat bepergian
ataupun tidak.
Rihayat dari Abu Maryam
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَأَسْرَيْنَا لَيْلَةً فَلَمَّا كَانَ فِي وَجْهِ الصُّبْحِ نَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَامَ وَنَامَ النَّاسُ فَلَمْ يَسْتَيْقِظْ إِلَّا بِالشَّمْسِ قَدْ طَلَعَتْ عَلَيْنَا فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤَذِّنَ فَأَذَّنَ ثُمَّ صَلَّى الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ فَصَلَّى بِالنَّاسِ
Kami dahulu pernah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan, lalu kami berjalan saat malam hari. Ketika menjelang waktu Subuh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti dan tidur, dan orang-orang pun ikut tidur. Beliau tidak bangun kecuali matahari telah terbit.
Rihayat dari Abu Maryam
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَأَسْرَيْنَا لَيْلَةً فَلَمَّا كَانَ فِي وَجْهِ الصُّبْحِ نَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَامَ وَنَامَ النَّاسُ فَلَمْ يَسْتَيْقِظْ إِلَّا بِالشَّمْسِ قَدْ طَلَعَتْ عَلَيْنَا فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤَذِّنَ فَأَذَّنَ ثُمَّ صَلَّى الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ فَصَلَّى بِالنَّاسِ
Kami dahulu pernah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan, lalu kami berjalan saat malam hari. Ketika menjelang waktu Subuh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti dan tidur, dan orang-orang pun ikut tidur. Beliau tidak bangun kecuali matahari telah terbit.
Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan muadzin (untuk beradzan), lalu ia pun mengumandangkan adzan.
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua raka`at sebelum shalat
Subuh, kemudian memerintahkan sang muadzin beriqamah, lalu beliau mengimami orang-orang
(shalat Subuh). [HR an-Nasa-i, kitab al-Mawaqif, Bab: Kaifa Yaqdhi al-Fait
minash-Shalat, no. 605. Dishahihkan Syaikh al-Albâni dalam Shahih Sunan an-Nasa-i.
Syaikh berkata,"Shahîh dengan hadits Abu Hurairah berikutnya, dan selainnya.
]
Riwayat dari Imam al-Bukhari dala Shahih dalam kitab
al-Jum'at menyebutkan bahwa :
بَاب مَنْ تَطَوَّعَ فِي السَّفَرِ فِي غَيْرِ دُبُرِ الصَّلَوَاتِ وَقَبْلَهَا وَرَكَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فِي السَّفَرِ
[Bab orang yang melakukan shalat tathawu' (sunnah) dalam perjalanan pada selain waktu sesudah dan sebelum shalat fardhu (Rawâtib), dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat dua rakaat al-Fajr dalam safarnya (bepergiannya)].
Ibnul-Qayyim berkata,bahwa ‘Di antara petunjuk yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safarnya, yaitu (beliau) mencukupkan diri dengan melaksanakan shalat yang fardhu, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui melakukan shalat Sunnah Rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu kecuali shalat witir dan Sunnah Rawatib Subuh, karena beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat itu, baik saat muqim (tidak sedang bepergian) maupun saat bepergian .[ Zâdul-Ma'ad (1/456)]
بَاب مَنْ تَطَوَّعَ فِي السَّفَرِ فِي غَيْرِ دُبُرِ الصَّلَوَاتِ وَقَبْلَهَا وَرَكَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فِي السَّفَرِ
[Bab orang yang melakukan shalat tathawu' (sunnah) dalam perjalanan pada selain waktu sesudah dan sebelum shalat fardhu (Rawâtib), dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat dua rakaat al-Fajr dalam safarnya (bepergiannya)].
Ibnul-Qayyim berkata,bahwa ‘Di antara petunjuk yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safarnya, yaitu (beliau) mencukupkan diri dengan melaksanakan shalat yang fardhu, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui melakukan shalat Sunnah Rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu kecuali shalat witir dan Sunnah Rawatib Subuh, karena beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat itu, baik saat muqim (tidak sedang bepergian) maupun saat bepergian .[ Zâdul-Ma'ad (1/456)]
Dengan
demikian jelaslah, bahwasanya hukum sunnah Rawatib Subuh adalah sunnah
muakkadad, dan termasuk Rawatib yang sangat sangat dianjurkan, dimana Rasulullah tidak pernah
sekalipun meningalkan ibadah yang amat mulia ini.
KEUTAMAAN
KEUTAMAAN
Keutamaan
shalat Sunnah Rawatib Subuh, secara umum dapat dilihat dalam hadits-hadits
tentang keutamaan shalat Sunnah Rawatib, namun ada juga beberapa hadits yang
secara khusus menunjukkan keutamaan shalat Rawâtib Subuh ini.
Di
antaranya:
1. Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا. أخرجه مسلم.
Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda,"Dua raka'at fajar (Subuh) lebih baik dari dunia dan seisinya." [HR Muslim, kitab Shalatil Musâfirin wa Qashriha, Bab: Istihbab Rak'atai Sunnatil-Fajr wal-Hatstsu 'alaihima wa Takhfîfuhuma 'alaihima wa Bayan ma Yustahab 'an Yaqra`a fîhima, no. 7256]
2. Dari 'Aisyah Radhyallahu anhuma lainnya yang berbunyi:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللّه عَنْهُمَا قَالَتْ لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ أخرجه الشيخان
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma , ia berkata, "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan satu pun shalat Sunnah yang dilakukan secara terus-menerus melebihi dua raka'at (shalat Rawâtib) Subuh"[ HR al-Bukhari, kitab Tahajjud, Bab: Ta`âhud Rak'atai al-Fajri waman Sammâha Tathawwu'an, no. 1169: Muslim, kitab Shalat al-Musâfirin wa Qashruha, Bab: Istihbâb Rak'atai Sunnah al-Fajr wal-Hatsu 'alaihima wa Takhfîfuhuma 'alaihima wa Bayân maa Yustahab 'an Yaqra`a fî hima, no. 724].
3. Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma berbunyi:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللّه عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَدَعُ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ أخرجه البخاري
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, sesungguhnya dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat raka'at sebelum Zhuhur dan dua rakaat sebelum Subuh.[ HR al-Bukhari, kitab al-Tahajjud, Bab: ar-Rak'atain Qabla Dzuhur, no. 1182]
Tata cara Shalat Rawatib Subuh
1. Shalat Rawatib Subuh dua raka'at, dilakukan sebelum shalat fardhu Subuh sebagaimana shalat dua rakaat lainnya dengan satu salam.
2. Shalat Rawatib Subuh dilakukan dengan meringankannya/agak cepat.
Di antara petunjuk dan contoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melakukan dua raka'at Rawâtib Subuh, ialah dengan meringankannya, tidak memanjangkan bacaannya, dan dengan syarat tidak melanggar hal-hal yang wajib dalam shalat.
Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hadits berikut ini.
• Hadits Ummul-Mukminin Hafshah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ حَفْصَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ الْأَذَانِ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ وَبَدَا الصُّبْحُ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تُقَامَ الصَّلَاةُ أخرجه الشيخان
Dari Ibnu 'Umar, beliau berkata, bahwasanya Hafshah Ummul-Mukminin telah menceritakan kepadanya, sesungguhnya dahulu, bila muadzin selesai dari mengumandangkan adzan shalat Subuh dan waktu Subuh sudah nampak, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua raka'at yang ringan sebelum iqamat shalat.[ . HR al-Bukhari, kitab al-Adzân, Bab: al-Adzan ba'dal-Fajr, no. 618. Muslim, kitab Shalatil-Musâfirîn wa Qashruha, Bab: Istihbâb Rak'atai Sunnah al-Fajr wal-Hatsu 'alaihima wa Takhfîfuhuma 'alaihima wa Bayân mâ Yustahab 'an Yaqra`a fî hima, no. 723]
• Hadits Ummul-Mukminin 'Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:
عَنْ عَائِشَةَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالْإِقَامَةِ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ
Dari 'Aisyah, beliau berkata: "Dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua raka'at yang ringan antara adzan dan iqamat shalat Subuh".[ HR al-Bukhari, kitab al-Adzan, Bab: al-Adzan ba'dal-Fajr, no 584]
• 'Aisyah Radhiyallahu anhuma menjelaskan ringannya shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disini dengan perkataanya:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَفِّفُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتىَّ إِنِّيْ لأَقُوْلُ : هَلْ قَرَأَ بِأُمِّ الْكِتَابِ؟". أخرجه الشيخان
Dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meringankan dua raka'at yang ada sebelum shalat fardhu Subuh, hingga aku bertanya: "Apakah beliau membaca al-Fatihah?"[ HR al-Bukhari, kitab at-Tahajjud, Bab: Ma Yaqra' fî Rak'atai al-Fajr, no. 1171. Muslim, kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Istihbab Rak'atai Sunnah al-Fajr wal-Hatsu 'alaihima wa Takhfîfuhuma 'alaihima wa Bayan ma Yustahab 'an Yaqra`a fî hima, no. 724. Lafadz ini milik al-Bukhari. ]
Hadits-hadits di atas menunjukkan sunnahnya memperingan shalat dua raka'at sebelum shalat fardhu Subuh.[ Shahah Fiqhus-Sunnah (1/373]
3. Bacaan setelah membaca surat al-Fatihah.
Sebagian orang berdalih dengan riwayat 'Aisyah di atas, yang menunjukkan tidak disunnahkannya membaca surat atau ayat setelah al-Fatihah. Anggapan ini tidak benar, karena adanya beberapa riwayat yang menjelaskan bacaan surat atau ayat setelah membaca al-Fatihah dalam shalat dua raka'at sebelum shalat fardhu Subuh ini. Berikut beberapa hadits yang menunjukkan adanya bacaan ayat sesudah membaca al-Fatihah.
• Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhuma, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat al-Kafirun dan al- Ikhlash dalam dua raka'at al-Fajr (dua raka'at Rawatib Subuh).[ HR Muslim, kitab Shalat al-Musâfirin wa Qashruha, Bab: Istihbâb Rak'atai Sunnah al-Fajr wal-Hatsu 'alaihima wa Takhfîfuhuma 'alaihima wa Bayân mâ Yustahab 'an Yaqra`a fî hima, no. 726.]
• Hadits Ibnu 'Abbas yang berbunyi:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فِي الْأُولَى مِنْهُمَا قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا الْآيَةَ الَّتِي فِي الْبَقَرَةِ وَفِي الْآخِرَةِ مِنْهُمَا آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Dari Sa'id bin Yasaar, bahwasanya Ibnu 'Abbas mengabarkan kepadanya, sesungguhnya dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dalam dua raka'at al-Fajr; pada rakaat pertama membaca ayat:
قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا yang terdapat dalam al-Baqarah/2 (ayat 136), dan pada raka'at kedua آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (Ali 'Imran/3 ayat 52). [).[ HR Muslim, kitab Shalat al-Musâfirin wa Qashruha, Bab: Istihbâb Rak'atai Sunnah al-Fajr wal-Hatsu 'alaihima wa Takhfîfuhuma 'alaihima wa Bayân mâ Yustahab 'an Yaqra`a fî hima, no. 727]
• Hadits Ibnu Abas yang berbunyi:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَالَّتِي فِي آلِ عِمْرَانَ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ
Dari Ibnu 'Abbas, ia berkata, "Dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dalam dua raka'at al-Fajr firman Allah: قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا (al-Baqarah/2 ayat 136), dan yang terdapat dalam Ali 'Imran/3 (ayat 64): (HR Muslim, kitab Shalat al-Musâfirin wa Qashruha, Bab: Istihbâb Rak'atai Sunnah al-Fajr wal-Hatsu 'alaihima wa Takhfîfuhuma 'alaihima wa Bayân mâ Yustahab 'an Yaqra`a fî hima, no. 728]تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ).
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,"Sunnah (Rawatib) Subuh diberlakukan sebagai awal perbuatan dan witir sebagai penutupnya.
1. Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا. أخرجه مسلم.
Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda,"Dua raka'at fajar (Subuh) lebih baik dari dunia dan seisinya." [HR Muslim, kitab Shalatil Musâfirin wa Qashriha, Bab: Istihbab Rak'atai Sunnatil-Fajr wal-Hatstsu 'alaihima wa Takhfîfuhuma 'alaihima wa Bayan ma Yustahab 'an Yaqra`a fîhima, no. 7256]
2. Dari 'Aisyah Radhyallahu anhuma lainnya yang berbunyi:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللّه عَنْهُمَا قَالَتْ لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ أخرجه الشيخان
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma , ia berkata, "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan satu pun shalat Sunnah yang dilakukan secara terus-menerus melebihi dua raka'at (shalat Rawâtib) Subuh"[ HR al-Bukhari, kitab Tahajjud, Bab: Ta`âhud Rak'atai al-Fajri waman Sammâha Tathawwu'an, no. 1169: Muslim, kitab Shalat al-Musâfirin wa Qashruha, Bab: Istihbâb Rak'atai Sunnah al-Fajr wal-Hatsu 'alaihima wa Takhfîfuhuma 'alaihima wa Bayân maa Yustahab 'an Yaqra`a fî hima, no. 724].
3. Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma berbunyi:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللّه عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَدَعُ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ أخرجه البخاري
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, sesungguhnya dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat raka'at sebelum Zhuhur dan dua rakaat sebelum Subuh.[ HR al-Bukhari, kitab al-Tahajjud, Bab: ar-Rak'atain Qabla Dzuhur, no. 1182]
Tata cara Shalat Rawatib Subuh
1. Shalat Rawatib Subuh dua raka'at, dilakukan sebelum shalat fardhu Subuh sebagaimana shalat dua rakaat lainnya dengan satu salam.
2. Shalat Rawatib Subuh dilakukan dengan meringankannya/agak cepat.
Di antara petunjuk dan contoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melakukan dua raka'at Rawâtib Subuh, ialah dengan meringankannya, tidak memanjangkan bacaannya, dan dengan syarat tidak melanggar hal-hal yang wajib dalam shalat.
Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hadits berikut ini.
• Hadits Ummul-Mukminin Hafshah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ حَفْصَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ الْأَذَانِ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ وَبَدَا الصُّبْحُ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تُقَامَ الصَّلَاةُ أخرجه الشيخان
Dari Ibnu 'Umar, beliau berkata, bahwasanya Hafshah Ummul-Mukminin telah menceritakan kepadanya, sesungguhnya dahulu, bila muadzin selesai dari mengumandangkan adzan shalat Subuh dan waktu Subuh sudah nampak, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua raka'at yang ringan sebelum iqamat shalat.[ . HR al-Bukhari, kitab al-Adzân, Bab: al-Adzan ba'dal-Fajr, no. 618. Muslim, kitab Shalatil-Musâfirîn wa Qashruha, Bab: Istihbâb Rak'atai Sunnah al-Fajr wal-Hatsu 'alaihima wa Takhfîfuhuma 'alaihima wa Bayân mâ Yustahab 'an Yaqra`a fî hima, no. 723]
• Hadits Ummul-Mukminin 'Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:
عَنْ عَائِشَةَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالْإِقَامَةِ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ
Dari 'Aisyah, beliau berkata: "Dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua raka'at yang ringan antara adzan dan iqamat shalat Subuh".[ HR al-Bukhari, kitab al-Adzan, Bab: al-Adzan ba'dal-Fajr, no 584]
• 'Aisyah Radhiyallahu anhuma menjelaskan ringannya shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disini dengan perkataanya:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَفِّفُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتىَّ إِنِّيْ لأَقُوْلُ : هَلْ قَرَأَ بِأُمِّ الْكِتَابِ؟". أخرجه الشيخان
Dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meringankan dua raka'at yang ada sebelum shalat fardhu Subuh, hingga aku bertanya: "Apakah beliau membaca al-Fatihah?"[ HR al-Bukhari, kitab at-Tahajjud, Bab: Ma Yaqra' fî Rak'atai al-Fajr, no. 1171. Muslim, kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Istihbab Rak'atai Sunnah al-Fajr wal-Hatsu 'alaihima wa Takhfîfuhuma 'alaihima wa Bayan ma Yustahab 'an Yaqra`a fî hima, no. 724. Lafadz ini milik al-Bukhari. ]
Hadits-hadits di atas menunjukkan sunnahnya memperingan shalat dua raka'at sebelum shalat fardhu Subuh.[ Shahah Fiqhus-Sunnah (1/373]
3. Bacaan setelah membaca surat al-Fatihah.
Sebagian orang berdalih dengan riwayat 'Aisyah di atas, yang menunjukkan tidak disunnahkannya membaca surat atau ayat setelah al-Fatihah. Anggapan ini tidak benar, karena adanya beberapa riwayat yang menjelaskan bacaan surat atau ayat setelah membaca al-Fatihah dalam shalat dua raka'at sebelum shalat fardhu Subuh ini. Berikut beberapa hadits yang menunjukkan adanya bacaan ayat sesudah membaca al-Fatihah.
• Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhuma, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat al-Kafirun dan al- Ikhlash dalam dua raka'at al-Fajr (dua raka'at Rawatib Subuh).[ HR Muslim, kitab Shalat al-Musâfirin wa Qashruha, Bab: Istihbâb Rak'atai Sunnah al-Fajr wal-Hatsu 'alaihima wa Takhfîfuhuma 'alaihima wa Bayân mâ Yustahab 'an Yaqra`a fî hima, no. 726.]
• Hadits Ibnu 'Abbas yang berbunyi:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فِي الْأُولَى مِنْهُمَا قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا الْآيَةَ الَّتِي فِي الْبَقَرَةِ وَفِي الْآخِرَةِ مِنْهُمَا آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Dari Sa'id bin Yasaar, bahwasanya Ibnu 'Abbas mengabarkan kepadanya, sesungguhnya dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dalam dua raka'at al-Fajr; pada rakaat pertama membaca ayat:
قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا yang terdapat dalam al-Baqarah/2 (ayat 136), dan pada raka'at kedua آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (Ali 'Imran/3 ayat 52). [).[ HR Muslim, kitab Shalat al-Musâfirin wa Qashruha, Bab: Istihbâb Rak'atai Sunnah al-Fajr wal-Hatsu 'alaihima wa Takhfîfuhuma 'alaihima wa Bayân mâ Yustahab 'an Yaqra`a fî hima, no. 727]
• Hadits Ibnu Abas yang berbunyi:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَالَّتِي فِي آلِ عِمْرَانَ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ
Dari Ibnu 'Abbas, ia berkata, "Dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dalam dua raka'at al-Fajr firman Allah: قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا (al-Baqarah/2 ayat 136), dan yang terdapat dalam Ali 'Imran/3 (ayat 64): (HR Muslim, kitab Shalat al-Musâfirin wa Qashruha, Bab: Istihbâb Rak'atai Sunnah al-Fajr wal-Hatsu 'alaihima wa Takhfîfuhuma 'alaihima wa Bayân mâ Yustahab 'an Yaqra`a fî hima, no. 728]تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ).
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,"Sunnah (Rawatib) Subuh diberlakukan sebagai awal perbuatan dan witir sebagai penutupnya.
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melakukan shalat Sunnah (Rawatib) Subuh dan witir dengan membaca surat
al-Kaafirun dan al-Ikhlas. Kedua surat ini mengandung tauhid al-Ilmi wal-'Amal
(tauhid Rububiyah), tauhid al-Ma'rifah (tauhid al-Asma wash-Shifat) dan tauhid
al-I'tiqaad wal-Qashdu (tauhid al-Uluhiyah)".[ Ibnul-Qayyim dalam
Zâdul-Ma'ad (1/306)]
4. Berbaring Setelah Shalat Rawatib Subuh.
Di antara yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu setelah shalat Rawatib Subuh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring miring di atas bagian kanan tubuh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana hal ini diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ رَكْعَتَي الْفَجْرِ، فَلْيَضْطَجِعْ عَلَى شَقِّهِ الأَيْمَنِ. أخرجه الترمذي.
Dari Abu Hurairah ra , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Apabila salah seorang kalian mengerjakan dua rak'at al-Fajr, maka berbaringlah miring di atas bagian kanannya".[ HR at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat, Bab: Mâ Ja`a fil-Idh-thijâ` ba'da Rak'atai al-Fajri, no. 420. Hadits ini dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi dan Shahîh Sunan Abu Dawud no. 1146.]
Dalam masalah berbaring ini, terdapat perbedaan pandangan dikalangan para ulama. Mereka terbagi dalam enam pendapat. [ Pembahasan ini diambil dari beberapa maraji`, di antaranya: Syarhul-Mumti' 'ala Zâdul-Mustaqni' karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, Nailul-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar karya asy-Syaukani, Zâdul-Ma'ad karya Ibnul-Qayyim dan Shahih Fiqhus-Sunnah karya Abu Malik.]
a. Berbaring ini disyari'atkan secara sunnah.
Demikian ini pendapat Abu Musa al-Asy'ari, Râfi' bin Khadîj, Anas bin Mâlik, Abu Hurairah, Muhammad bin Sirîn, Sa'id bin al-Musayyib, al-Qâsim bin Muhammad bin Abu Bakar, 'Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin Abdur-Rahman bin 'Auf, Khârijah bin Zaid bin Tsâbit, 'Ubaidillah bin 'Abdillah bin 'Utbah, Sulaiman bin Yasâr, dan begitu pula di kalangan madzhab Syâfi'i dan Hambali. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah tersebut, dan membawa makna perintah dalam riwayat tersebut kepada sunnah (istihbab) dengan didukung hadits 'Aisyah yang berbunyi :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا صَلَّى سُنَّةَ الْفَجْرِ ، فَإِنْ كُنْتُ مُسْتَيْقِظَةً ؛ حَدَّثَنِيْ ، وَ إِلاَّ ؛ اضْطَجَعَ حَتىَّ يُؤَذَّنَ بِالصَّلاَةِ. أخرجه البخاري
Sesungguhnya dahulu, jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah selesai melakukan shalat sunnah Subuh, apabila aku terjaga (tidak tidur-red) maka beliau mengajakku berbicara, dan bila (aku) tidak (sedang terjaga) maka beliau berbaring hingga shalat diiqamati.[ . HR al-Bukhari, kitab at-Tahajjud, Bab: Man Tahadatsa ba'da ar-Rak'atain wa Lam Yadh-thaji' no. 1161]
Dalam hadits ini dapat diketahui bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berbaring apabila 'Aisyah telah bangun, sehingga hadits ini bisa merubah makna perintah yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari bermakna wajib berubah menjadi sunnah.
4. Berbaring Setelah Shalat Rawatib Subuh.
Di antara yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu setelah shalat Rawatib Subuh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring miring di atas bagian kanan tubuh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana hal ini diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ رَكْعَتَي الْفَجْرِ، فَلْيَضْطَجِعْ عَلَى شَقِّهِ الأَيْمَنِ. أخرجه الترمذي.
Dari Abu Hurairah ra , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Apabila salah seorang kalian mengerjakan dua rak'at al-Fajr, maka berbaringlah miring di atas bagian kanannya".[ HR at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat, Bab: Mâ Ja`a fil-Idh-thijâ` ba'da Rak'atai al-Fajri, no. 420. Hadits ini dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi dan Shahîh Sunan Abu Dawud no. 1146.]
Dalam masalah berbaring ini, terdapat perbedaan pandangan dikalangan para ulama. Mereka terbagi dalam enam pendapat. [ Pembahasan ini diambil dari beberapa maraji`, di antaranya: Syarhul-Mumti' 'ala Zâdul-Mustaqni' karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, Nailul-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar karya asy-Syaukani, Zâdul-Ma'ad karya Ibnul-Qayyim dan Shahih Fiqhus-Sunnah karya Abu Malik.]
a. Berbaring ini disyari'atkan secara sunnah.
Demikian ini pendapat Abu Musa al-Asy'ari, Râfi' bin Khadîj, Anas bin Mâlik, Abu Hurairah, Muhammad bin Sirîn, Sa'id bin al-Musayyib, al-Qâsim bin Muhammad bin Abu Bakar, 'Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin Abdur-Rahman bin 'Auf, Khârijah bin Zaid bin Tsâbit, 'Ubaidillah bin 'Abdillah bin 'Utbah, Sulaiman bin Yasâr, dan begitu pula di kalangan madzhab Syâfi'i dan Hambali. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah tersebut, dan membawa makna perintah dalam riwayat tersebut kepada sunnah (istihbab) dengan didukung hadits 'Aisyah yang berbunyi :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا صَلَّى سُنَّةَ الْفَجْرِ ، فَإِنْ كُنْتُ مُسْتَيْقِظَةً ؛ حَدَّثَنِيْ ، وَ إِلاَّ ؛ اضْطَجَعَ حَتىَّ يُؤَذَّنَ بِالصَّلاَةِ. أخرجه البخاري
Sesungguhnya dahulu, jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah selesai melakukan shalat sunnah Subuh, apabila aku terjaga (tidak tidur-red) maka beliau mengajakku berbicara, dan bila (aku) tidak (sedang terjaga) maka beliau berbaring hingga shalat diiqamati.[ . HR al-Bukhari, kitab at-Tahajjud, Bab: Man Tahadatsa ba'da ar-Rak'atain wa Lam Yadh-thaji' no. 1161]
Dalam hadits ini dapat diketahui bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berbaring apabila 'Aisyah telah bangun, sehingga hadits ini bisa merubah makna perintah yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari bermakna wajib berubah menjadi sunnah.
Demikian
juga, hadits 'Aisyah ini menunjukkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
terkadang tidak berbaring setelah melakukan Rawâtib Subuh. Seandainya wajib,
tentu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan meninggalkannya.
b. Berbaring itu wajib dan harus dilakukan, bahkan beranggapan berbaring itu sebagai syarat sah shalat Subuh.
Inilah pendapat Abu Muhammad bin Hazm. Beliau berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu diatas yang berisi perintah dan sifat perintah menunjukkan makna wajib.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah mengomentari pendapat Ibnu Hazm ini. Syaikhul-Islam berkata : "Ini merupakan pendapat beliau seorang diri yang menyelisihi umat".[ Pernyataan ini dinukil langsung oleh Ibnul-Qayyim dari beliau. Lihat Zadul-Ma'ad (1/308).]
c. Makruh dan bid'ah.
Ini pendapat Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Umar sebagaimana terdapat dalam satu riwayat, dan al-Aswad bin Yazîd, serta Ibrahim am-Nakhâ-i. Mereka berdalil, bahwa berbaring itu tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid. Seandainya pernah dilakukan, tentu akan dinukil secara mutawâtir.
d. Menyelisihi yang lebih utama.
Demikian yang riwayat yang datang dari al-Hasan al-Bashri.
e. Berbaring ini disunnahkan bagi yang telah melakukan shalat malam pada hari itu, agar ia dapat beristirahat, dan tidak disyari'atkan pada selainnya.
Demikian yang dirajihkan Ibnul-'Arabi dan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, juha Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn.
Syaikh al-'Utsaimin berkata,"Pendapat yang râjih dalam masalah ini, ialah yang dirâjihkan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah. Yaitu yang dirinci, sehingga menjadi sunnah bagi orang yang menegakkan malamnya, karena ia membutuhkan istirahat.
b. Berbaring itu wajib dan harus dilakukan, bahkan beranggapan berbaring itu sebagai syarat sah shalat Subuh.
Inilah pendapat Abu Muhammad bin Hazm. Beliau berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu diatas yang berisi perintah dan sifat perintah menunjukkan makna wajib.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah mengomentari pendapat Ibnu Hazm ini. Syaikhul-Islam berkata : "Ini merupakan pendapat beliau seorang diri yang menyelisihi umat".[ Pernyataan ini dinukil langsung oleh Ibnul-Qayyim dari beliau. Lihat Zadul-Ma'ad (1/308).]
c. Makruh dan bid'ah.
Ini pendapat Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Umar sebagaimana terdapat dalam satu riwayat, dan al-Aswad bin Yazîd, serta Ibrahim am-Nakhâ-i. Mereka berdalil, bahwa berbaring itu tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid. Seandainya pernah dilakukan, tentu akan dinukil secara mutawâtir.
d. Menyelisihi yang lebih utama.
Demikian yang riwayat yang datang dari al-Hasan al-Bashri.
e. Berbaring ini disunnahkan bagi yang telah melakukan shalat malam pada hari itu, agar ia dapat beristirahat, dan tidak disyari'atkan pada selainnya.
Demikian yang dirajihkan Ibnul-'Arabi dan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, juha Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn.
Syaikh al-'Utsaimin berkata,"Pendapat yang râjih dalam masalah ini, ialah yang dirâjihkan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah. Yaitu yang dirinci, sehingga menjadi sunnah bagi orang yang menegakkan malamnya, karena ia membutuhkan istirahat.
Namun,
bila termasuk orang yang bila berbaring di tanah dapat tidur dan tidak bangun
kecuali setelah waktu yang lama, maka ini tidak disunnahkan baginya, karena
dapat menyebabkannya meninggalkan kewajiban".[ Syarhul-Mumti' (4/100).]
f. Berbaring bukanlah inti yang dimaksud. Akan tetapi, yang dimaksud ialah memisahkan antara shalat Rawatib dengan shalat Fardhu.
Demikian yang diriwayatkan dari pendapat asy-Syâfi'i. Tetapi, pendapat ini terlalu lemah, sebab pemisahan waktu dapat dilakukan dengan selain berbaring.
Menurut Ustadz Kholid Syamhudi Lc (alManhaj.or.id), dari keenam pendapat di atas, yang rajih ialah yang dirajihkan oleh Imam an-Nawawi, sebagaimana beliau t telah berkata: "Yang terpilih adalah berbaring dengan dasar zhahir hadits Abu Hurairah".[ Dinukil dari Nailul-Authar (3/25)]
Demikian juga keumuman hadits ini mencakup umat Islam, apalagi didukung dengan keabsahan hadits Abu Hurairah sebagaimana dinilai shahih oleh Imam asy-Syaukani, dan juga Syaikh al-Albâni.
JIKA SESEORANG TIDAK SEMPAT SHALAT RAWATIB SUBUH PADA WAKTUNYA
Jika keadaanya seperti di atas, maka disyari'atkan bagi yang tidak sempat melakukan shalat Rawatib qabliyah Subuh, untuk melaksanakannya setelah selesai shalat fardhu Subuh, atau setelah terbit matahari.
Hal ini didasarkan kepada dalil berikut ini.
• Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِي اللّه عَنْهُ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" مَنْ لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَي الْفَجْرِ ؛ فَلْيُصَلِّهُمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ". أخرجه الترمذي.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,"Barang siapa yang belum shalat dua rakaat qabliyah Subuh maka hendaknya melakukannya setelah terbit matahari".[ HR at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat, Bab: Mâ Ja`a fî I'âdatihima ba'da Thulu'usy-Syamsi, no. 424, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi (1/133)]
Perintah dalam hadits ini dialihkan maknanya kepada makna istihbaab dengan hadits lainnya yang berbunyi:
عَنْ قَيْسِ بْنِ قَهْدٍ رَضِي اللّه عَنْهُ ؛ أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصُّبْحَ ، وَلَمْ يَكُنْ رَكَعَ رَكْعَتَي الْفَجْرِ ، فَلَمَّا سَلَّمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؛ سَلَّمَ مَعَهُ ، ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَي الْفَجْرِ ، وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ ، فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيْهِ ". أخرجه الترمذي
Dari Qais bin Qah-din ra, sesungguhnya ia shalat Subuh bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan belum melakukan shalat dua raka'at qabliyah Subuh. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah salam maka iapun salam bersama beliau, kemudian ia bangkit dan melakukan shalat dua rakaat qabiyah Subuh. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya dan tidak mengingkarinya.[ HR at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat, Bab Maa Ja`a fî man Tafututhu ar-Rakâtân Qablal-Fajr Yushalihuma ba'da Shalat ash-Shubhu no. 422, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi (1/133).]
Dari hadits ini ditafsirkan boleh mengqadha dua raka'at qabliyah Subuh setelah shalat fardhu.
Semoga bermanfaat.
Allahu a’lam
Washalallahu 'ala Nabiyina Muhammad, wa 'ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Sumber kutipan : Ustadz Kholid Syamhudi Lc (alManhaj.or.id), majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XI/1428/2007M.
f. Berbaring bukanlah inti yang dimaksud. Akan tetapi, yang dimaksud ialah memisahkan antara shalat Rawatib dengan shalat Fardhu.
Demikian yang diriwayatkan dari pendapat asy-Syâfi'i. Tetapi, pendapat ini terlalu lemah, sebab pemisahan waktu dapat dilakukan dengan selain berbaring.
Menurut Ustadz Kholid Syamhudi Lc (alManhaj.or.id), dari keenam pendapat di atas, yang rajih ialah yang dirajihkan oleh Imam an-Nawawi, sebagaimana beliau t telah berkata: "Yang terpilih adalah berbaring dengan dasar zhahir hadits Abu Hurairah".[ Dinukil dari Nailul-Authar (3/25)]
Demikian juga keumuman hadits ini mencakup umat Islam, apalagi didukung dengan keabsahan hadits Abu Hurairah sebagaimana dinilai shahih oleh Imam asy-Syaukani, dan juga Syaikh al-Albâni.
JIKA SESEORANG TIDAK SEMPAT SHALAT RAWATIB SUBUH PADA WAKTUNYA
Jika keadaanya seperti di atas, maka disyari'atkan bagi yang tidak sempat melakukan shalat Rawatib qabliyah Subuh, untuk melaksanakannya setelah selesai shalat fardhu Subuh, atau setelah terbit matahari.
Hal ini didasarkan kepada dalil berikut ini.
• Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِي اللّه عَنْهُ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" مَنْ لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَي الْفَجْرِ ؛ فَلْيُصَلِّهُمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ". أخرجه الترمذي.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,"Barang siapa yang belum shalat dua rakaat qabliyah Subuh maka hendaknya melakukannya setelah terbit matahari".[ HR at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat, Bab: Mâ Ja`a fî I'âdatihima ba'da Thulu'usy-Syamsi, no. 424, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi (1/133)]
Perintah dalam hadits ini dialihkan maknanya kepada makna istihbaab dengan hadits lainnya yang berbunyi:
عَنْ قَيْسِ بْنِ قَهْدٍ رَضِي اللّه عَنْهُ ؛ أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصُّبْحَ ، وَلَمْ يَكُنْ رَكَعَ رَكْعَتَي الْفَجْرِ ، فَلَمَّا سَلَّمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؛ سَلَّمَ مَعَهُ ، ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَي الْفَجْرِ ، وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ ، فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيْهِ ". أخرجه الترمذي
Dari Qais bin Qah-din ra, sesungguhnya ia shalat Subuh bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan belum melakukan shalat dua raka'at qabliyah Subuh. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah salam maka iapun salam bersama beliau, kemudian ia bangkit dan melakukan shalat dua rakaat qabiyah Subuh. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya dan tidak mengingkarinya.[ HR at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat, Bab Maa Ja`a fî man Tafututhu ar-Rakâtân Qablal-Fajr Yushalihuma ba'da Shalat ash-Shubhu no. 422, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi (1/133).]
Dari hadits ini ditafsirkan boleh mengqadha dua raka'at qabliyah Subuh setelah shalat fardhu.
Semoga bermanfaat.
Allahu a’lam
Washalallahu 'ala Nabiyina Muhammad, wa 'ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Sumber kutipan : Ustadz Kholid Syamhudi Lc (alManhaj.or.id), majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XI/1428/2007M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar