Umumnya orang dewasa menghabiskan waktunya dgn kesibukan pekerjaannya. Sebagian besar perhatian dan konsentrasinya tercurah dalam tanggung jawab seputar pekerjaaanya. Namun sebagai hamba beriman, tetap berkeyakinan bahwa betapa penting urusannya di hari itu, melakukan pengabdian dan ketaatan kepada Allah adalah lebih penting daripada apa pun.
Sebagaimana Allah menerangkan sifat orang ini dalam firman-Nya, yang artinya, " Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dalam mengingat Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari kiamat). " (Qs An Nur :37)
. Orang beriman menyadari hal ini, dan tidak ada pekerjaan atau kesibukan apapun yg mencegahnya dari mengingat (beribadah) kepada-Nya.
Ia tidak akan mengabaikan atau menunda kewajiban agama walaupun sedang dalam kesibukan perniagaannya, karena ia meyakini firman Allah yang artinya ,"Katakanlah, "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan," dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki." (QS Al Jumu'ah :11.)
Hamba beriman akan berupaya sekuat tenaga untuk selalu mengingat Allah bagaiamanapun kesibukan yang sedang ia jalani.
Sebagaimana contoh dalam Tahdziibut Tahdziib, bahwa imam Ibrahim bin Maimun Ash-Sha-igh, seorang generasi Atba’ut Tabi’in. Beliau adalah tukang menempa logam. Apabila beliau telah terdengar seruan azan shalat, maka ia segera meninggalkan pekerjaannya untuk melaksanakan shalat , meskipun saat itu ia sedang mengangkat palu.
Seorang yang dalam kegiatan kehidupannya yang sesuai dengan ajaran Al Qur'an pun akan mencoba memandang kegiatan kegiatan atau kesibukannya sebagai bagian dari kesempatan untuk mencukupi dirinya dan keluarganya, dan kegiatan itu tidak menjauhkannya dari melakukan kewajibannya kepada Allah.
Sebagaimana Allah memerintahkan orang beriman di dalam Al Qur'an, yang artinya ," Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap ridha-Nya; dan
janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan
perhiasan kehidupan dunia ; dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya; dan adalah keadaan (mereka itu) sedah melewati batas. (Qs. Al Kahfi :28)
Sebagaiman dikisahkan dalam kitab Siyaru A’laamin Nubalaa’ (4/610) dikatakan bahwa Imam adz-Dzahabi menukil dari Abu ‘Awanah Al-Yasykuri, beliau berkata, “Aku melihat Muhammad bin sirin di pasar, tidaklah seorangpun melihat beliau kecuali orang itu akan mengingat Allah.
Betapa keberuntungan telah diraih oleh seorang hamba yang tetap nenegakkan beribadah dan berzikir kepada Allah , walaupun berada ditengah kesibukan di pasar atau dalam kegiatan sedang berjual-beli. Seorang yang sedang berjual-beli di pasar dengan segala kesibukannya, namun sikap dan tingkah lakunya masih sanggup untuk tetap berzikir dan beribadah kepada-Nya dalam semua keadaan.
Sungguh besar ketakutan dan pengagungan mereka terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di dalam hati orang-orang yang bertakwa sehingga kesibukan apapun yang mereka kerjakan sama sekali tidak melalaikan mereka dari memenuhi panggilan untuk beribadah kepada-Nya. Orang mukmin yang bertakwa adalah orang yang tidak disibukkan dengan urusan dan kesibukan dunia dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala, inilah yang dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya, yang artinya “Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dalam mengingat Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari kiamat" (Qs An Nur :37)
Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, bersabda, yang artinya “Wali-wali (kekasih) Allah adalah orang-orang yang jika mereka dipandang maka akan mengingatkan kepada Allah. ([HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabiir (no. 12325), Dhiya’uddin Al-Maqdisi dalam Al-Ahaaditsul Mukhtaarah (2/212) dan lain-lain, hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahiihah (no. 1733) karena diriwayatkan dari berbagai jalur yang saling menguatkan.)
Imam Ibnu Katsir berkata, dalam Tafsir Ibnu Katsir , bahwa “Mereka adalah orang-orang yang tidak disibukkan (dilalaikan) oleh harta benda dan perhiasan dunia, serta kesenangan berjual-beli dan meraih keuntungan (besar) dari mengingat (beribadah) kepada Rabb mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala) Yang Maha Menciptakan dan Melimpahkan rezeki kepada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang mengetahui (meyakini) bahwa (balasan kebaikan) di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah lebih baik dan lebih utama daripada harta benda yang ada di tangan mereka, karena apa yang ada di tangan mereka akan habis/musnah sedangkan balasan di sisi Allah adalah kekal abadi.
Janganlah kita tenggelam dalam keasyikan perhatian pada perniagaan. Sesunggunya keinginan yang besar akan keuntungan materi (dunia, pangkat, jabatan, karier) merupakan salah satu kelemahan terbesar pada manusia. Sebagian orang rela mengabaikan ajaran agama demi mendapatkan yang lebih banyak, memperoleh harta lebih banyak, dan meraih kekuasaan lebih besar. Sehingga terlalaikan dengan semua itu . Sesungguhnya Tempat bekerja dan berjual-beli sangat berpotensi untuk melalaikan manusia dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka menyebut dan mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala di tempat-tempat tersebut sangat besar keutamaannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah telah memperingatkan kita dengan firman-Nya , yang artinya " Katakanlah, "Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu,keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatikan kerugiannya, dan rumah-rumah tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya,
maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (Qs.at Taubah :24).
Sebagaimana Allah memperingatkan kita dalam firman-Nya yang artinya ," “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi“. (Qs. Al-Munafiqqun : 9).
Harta , pekerjaan, jabatan , kesibukan , anak-anak , dapat melalaikan manusia dari melakukan ketaatan pada Allah SWT. Betapa banyak yang sebelumnya adalah hamba yang taat namun setelah dikaruniai jabatan, pangkat dst justru menjadikannya jauh dari Allah.
Dalam sebuah syair , dikatakan “Kamu itu budaknya harta kalau engkau tahan harta itu, dan harta itu menjadi budakmu kalau engkau nafkahkan“.
Al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi, (9/273) berkata bahwa Imam Ath-Thiibi berkata, “Barangsiapa yang berzikir kepada Allah (ketika berada) di pasar maka dia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang keutamaan mereka (dalam ayat di atas).
Sungguh beruntung, orang-orang yang mengetahui prioritas utama hidupnya, dan berpendirian kuat dengan prioritas tujuan hidupnya tersebut, sehingga ia konsisten dan konsekuen dalam menjalankannya, tidak mudah dan tidak lemah terbawa arus, tidak terlenakan oleh prioritas pilihan yang lebih rendah , dan berusaha berkonsentrasi pada tujuan utama hidupnya.
Sebagaimana Allah berfirman, tentang makna diciptakannya manusia, yang artinya ," Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (Qs. Adz-Dzaariyat: 56)
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di , dalam tafsirnya Al Qoulus Sadiid Syarh Kitab At Tauhid, , menyatakan bahwa , Inilah tujuan Allah menciptakan jin dan manusia dan Allah mengutus seluruh para rasul untuk menyeru menuju tujuan ini yaitu ibadah yang mencakup di dalamnya pengetahuan tentang Allah dan mencintai-Nya, bertaubat kepada-Nya, menghadap dengan segala yang dimilikinya kepada-Nya dan berpaling dari selain-Nya.
Setelah mengetahui tujuan hidup kita, yang diberitahukan Allah Yang Menciptakan kita, maka marilah kita jadikan tujuan hidup tersebut (yakni mengibadahi-Nya) sebagai prioritas yang tidak dinomorduakan dengan urusan yang lain.
Allah juga telah memperingatkan kita agar tetap focus dalam tujuan kita diciptakan-Nya, sebagaimana firman-Nya yang artinya ," “Siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna), dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat, kecuali neraka dan sia-sialah disana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) , dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. Hud : 15-16)
Sedangkan janji Allah kepada hamba-hamba-Nya yang tetap fokus mengingat (beribadah) kepada Allah walaupun ditengah dalam kesibukannya , sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia beriman, maka mereka itulah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al Israa’: 19)
Saudaraku, mengambil contoh teladan dari kisah-kisah para Rasul, para Nabi dan orang-orang shalih termasuk sebaik-baik cara untuk memotivasi diri sendiri guna meningkatkan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini disebabkan jiwa manusia itu lebih mudah mengambil teladan dari contoh yang berupa kisah nyata, dan menjadikannya lebih semangat dalam beramal serta bersegera dalam kebaikan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam, yang artinya “Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Huud: 120).
Imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan sanadnya dalam Jaami’u Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi , menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah pernah berkata, “Kisah-kisah (keteladanan) para ulama dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai dari pada kebanyakan (masalah-masalah) fikih, karena kisah-kisah tersebut (berisi) adab dan tingkah laku mereka (untuk diteladani).
Semoga kita mendapat hidayah dan kemudahan dari Allah, untuk selalu mengingat Allah dalam setiap kesibukan kita.
Allahu a'lam
Sumber ; Abdullah bin Taslim Al-Buthani, M.A. l , www.Pengusahamuslim.com, www. ibnuabbaskendari. wordpress.com dll
Pustaka :
[1] Tahdzibul Kamal (25/344) dan Siyaru A’laamin Nubala’ (4/606).
[2] Kitab Siyaru A’laamin Nubalaa’ (4/610).
[3] HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabiir (no. 12325), Dhiya’uddin Al-Maqdisi dalam Al-Ahaaditsul Mukhtaarah (2/212) dan lain-lain, hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahiihah (no. 1733) karena diriwayatkan dari berbagai jalur yang saling menguatkan.
[4] kitab Tahdziibut Tahdziib (1/150).
[5] Kitab Tafsir Ibnu Katsir, (3/390).
[6] Al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi, (9/273).
[7] Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 271).
[8] Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitab Jaami’u Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (no. 595).
[9] I’aanatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan
[10] dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar