Saudaraku, dari kata-kata yang keluar dari mulut (lisan) bisa menimbulkan kehancuran, pertikaian atau bahkan tumbuhnya peradaban baru. Lisan merupakan saluran keluaran produk hati yang berupa hasil pikiran-pikiran atau ide-ide. Para ulama salaf menyatakan bahwa hati laksana wadah makanan, sedangkan lisan adalah sendoknya.
Meskipun kecil ukurannya, lisan sangat besar pengaruh dan akibatnya, sebagaimana sebuah hadits, yang artinya ,” Iman seorang hamba tidak akan lurus sampai hatinya lurus, sedang-kan hati tidak akan lurus sampai lisannya lurus ,” (HR Ahmad). Banyak sekali manfaat yang ditimbulkan dari lisan, namun bahayanya juga luar biasa besarnya. Sesungguhnya cobaan itu banyak bersumber dari ucapan lisan. Kebahagiaan seorang hamba banyak bergantung pada selamatnya lisan dari penyakit-penyakit lisan.
Saudaraku, untuk menghindari besarnya cobaan lisan, para ulama lebih menyarankan untuk diam. Dimana dalam diam itu akan lebih mudah ditemukan keagungan, terhimpun tekad, ketekunan beribadah, selamat dari fitnah. Sekali lagi , sesungguhnya cobaan itu banyak bersumber dari ucapan lisan.
Penyakit-penyakit lisan itu antara lain :
1. Berbicara yang tidak bermanfaat,
Hal ini bisa jadi memang tidak berdosa atau menimbulkan pahala, hanya membuang-buang waktu, membuat hati menjadi keras. Para ulama ada yang menyatakan ini sebagai bagian dari tindakan yang makruh. Dalam hadits riwayat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda, yang artinya ,” Diantara tanda baiknya keislaman seorang muslim adalah dia meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya , “ (Hr Timidzi).
2. Al-Fudhuul,
Yaitu berlebihan dalam pembicaraan yang tidak bermanfaat. Jika sesuatu yang dibicara-kan sebenarnya hanya dibutuhkan satu kalimat , namun kita memperpanjang menjadi dua kalimat, maka ini dinamakan fudhuul.
Sebagaimana Rasulullah saw,bersabda , yang artinya , “Beruntunglah orang yang bisa menahan kelebihan dalam ucapannya dan orang yang menginfaqkan kelebihan hartanya ,” (Hr Baghawi dan Baihaqi).
3. Berbicara dalam kebatilan
Seperti memperbincangkan kehebatan seseorang, kenikmatan kekayaan, atau keindahan penampilan seseorang dst. Ini adalah penyakit ilmu yang tidak bermanfaat dan merasa senang dalam pembicaraan yang hanya bertujuan untuk bersenang-senang dan mengisi waktu luang.
4. Al-Miraa’,
Yaitu meremehkan orang lain dalam ucapan dengan memperlihatkan kecacatan atau kedzaliman. Syaikh Mu’min Fathi al-Haddad dalam Jaddid Shalataka (Kaifa takhsya’u fi shalatika wa tadfa’u min wasawisika),menyatakan sebagai tindakan yang haram.
Dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah saw bersabda, yang artinya ,” Aku adalah pemimpin rumah di pinggir surga bagi orang yang meningalkan al-miraa’ meskipun ia benar, aku adalah pemimpin rumah di tengan surga bagi orang yang meninggalkan dusta dan aku adalah pemimpin rumah di tingkat tertinggi surga bagi orang yang baik akhlaknya ,” (HR Abu Dawud).
5. Al-jidaal ,
Yaitu sikap meremehkan orang lain ketika berbantahan (berdebat) disertai dengan me-nonjolkan dasar argumennya (mazhabnya). Saudaraku, ini adalah palu pemecah terbesar dalam perpecahan umat.
Al-jidaal ada dua macam, yang terpuji dan yang tercela.
Yang terpuji, jika argument didukung oleh kebenaran atau mengantarkan kebenaran dengan niat yang ikhlas dan cara yang benar.
Sebagaimana Allah berfirman ,yang artinya ,” Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhan-mu Dia-lah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat di jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk ,” (Qs. An-Nahl : 125).
Berdebat dengan cara yang baik adalah berdasarkan ilmu pengetahuan, akhlak mulia, menolak kebatilan dan menjelaskan dengan cara yang baik serta ikhlas.
Apabila tidak dibarengi dengan hal-halitu,maka tujuannya akan melenceng menjadi saling mengalahkan , bukan lagi mencari kebenaran.
Adapun jidaal yang tercela , adalah berdebat dengan tujuan kebatilan untuk mengalahkan lawan tanpa disertai ilmu pengetahuan.
Sebagaimana firman-Nya , yang artinya ,” Dan diantara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya. Dengan memalingkan lambungnya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Ia mendapat kehinaan di dunia dan di hari kiamat , Kami merasakan kepadanya azab neraka yang membakar, “ (Qs. Al-Hajj : 8-9).
Tanda utama jidaal yang tercela adalah tidak senang lawan bicaranya dalam pihak kebenaran, menginginkan lawannya dalam kesalahan, dan ingin menampakkan kelebihan dirinya.
6. Al-Khushumah ,
Yaitu kasar dalam berbicara untuk mempertahankan hak, baik ketika berbicara atau menyanggah pembicaraan orang lain.
Hadits riwayat Aisyah, bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya ,” Sesungguhnya orang yang paling dibenci Allah adalah penantang yang paling keras ,” (Hr Bukhari-Muslim).
Perbuatan ini jelas dilarang, kecuali bagi hamba yang dizalimi dengan mempertahankan hujjahnya dengan jalan yang dibenarkan dan seperlunya . Namun lebih utama adalah meninggalkannya, karena sangat sulit untuk mengontrol lisan ketika kemarahan menimpa.
7. Al-Mizah,
Bergurau (yang tidak seperlunya),karena hal ini akan menimbulkan dosa dan aib, menjatuhkan kehormatan orang lain dst.
8. Al-Kadzib,
Adalah dusta dengan menceritakan sesuatu yang berbeda dengan realitas sebenarnya baik dengan sengaja atau tanpa pengetahuannya. Saudaraku, ketahuilah bahwa dusta adalah pangkal kemunafikan.
9. Al-Ghibah,
Atau menggunjing, membicarakan keburukana orang lain. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah dalam sabdanya , yang artinya ,” Ghibah adalah engkau menyebutkan saudaramu sesuatu yang dia tidak menyenanginya ,” (Hr Abu Hurairah).
10. An-Namimah,
Yaitu menyebar fitnah ,ini adalah perbuatan yang dilarang Allah , sebagaimana dalam firman-Nya, yang artinya ,” Dan janganlah kamu ikuti orang yang bersumpah lagi hina yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah ,” (Qs. Al-Qalam : 10-11).
Saudaraku, semoga kita mendapat hidayah Allah, sehingga bisa mengarahkan lisan kita ke hal-hal yang bermanfaat dalam kebaikan yang diridhai-Nya.
Allahu a’lam
Sumber : Syaikh Mu’min Fathi al-Haddad dalam Jaddid Shalataka (Kaifa takhsya’u fi shalatika wa tadfa’u min wasawisika,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar