Rasulullah telah menghimpun keseluruhan wara’ dalam satu kalimat, yg artinya,” Diantara tanda kebaikan islam adalah meninggalkan apa yg tidak bermanfaat baginya,”.
Ibrahim bin Adham berkata bahwa wara’ adalah meninggalkan setiap yang syubhat, sedangkan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat adalah meninggalkan hal-hal yg berlebihan. Abdullah bin Mubarok berkata, “Sungguh mengembalikan satu dirham yg berasal dari harta yang syubhat lebih baik bagiku daripada bersedekah dengan seratus ribu dirham”. Dan Umar bin Abdul Aziz dinyalakan baginya sebuah lilin utk menunaikan tugas menyelesaikan perkara kaum muslimin, jika dia telah selesai maka diapun memadamkan lampu lilin tersebut lalu dia menyalakan lampunya miliknya sendiri.
Suatu hari, dia pernah berkata kepada istrinya: Apakah engkau memiliki satu dirham untuk membeli anggur ?.
Istrinya menjawab: Aku tidak memiliki uang.
Dia bertanya kembali: Apakah engkau memiliki satu keeping uang?.
Istrinya menjawab: Aku tidak punya, dan engkau sebagai amirul mu’minin apakah engkau tidak memiliki uang satu dirham saja?.
Dia menjawab: Perkara ini lebih mudah daripada melepaskan diri dari ikatan rantai di dalam neraka jahanam.
Telah disebutkan sebelumnya tentang perkataan syekh Utsaimin bahwa kesamaran tersebut bisa terjadi dalam beberapa hal, yaitu kesamaran dalam hukum, dan seorang mu’min tidak mengetahui apakah dia termasuk di dalam perkara halal dengan jelas atau di dalam perkara yang haram dengan jelas. Perkara ini memiliki contoh yang sangat banyak,
sebab perbedaannya didasarkan pada perbedaan pemahaman para ulama, di antara mereka ada yang menganggap halal dan sebagian yang lain berkata haram, hal ini terlihat dalam sebagian aqad transaksi dan cara jual beli yang banyak berkembang di masa sekarang ini”.( Musnad Imam Ahmad: 5/363 dan Al-Hutsaimi berkata dalam: Majma’uz Zawa’id: 10/296 riwayat Ahmad dengan sanad-sanadnya dan rijalnya yang merawikannya adalah rijal dalam kategori shahih. Dan Al Bani berkata di dalam di dalam silsilah Al-Dahifah: 1/62 dan sanadnya shahih dengan syarat muslim).
Jadi ketenangan hidup di dunia adalah dambaan setiap orang. Akan tetapi betapa banyak manusia yang hidupnya penuh dengan kegelisahan, gundah gulana, kecemasan, ketakutan, adanya kebencian dengan orang lain, dan keadaan lainnya yang tidak diinginkannya.
Dan hal yang perlu diingatkan bagi orang yang meninggalkan dan menjauhi perkara syubhat bahwa Allah SWT akan memberikan ganti baginya dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang telah terlewat.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam musnadnya dari Abi Qotadah dan Abi Dahma’ bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah SWT kecuali Dia akan memberikan ganti bagimu dengan yang lebih baik darinya”.
Diriwayatkan Imam an-Nawawi rahimahullah tinggal di negeri Syam (Irak), beliau hidup dan wafat disana, begitu lama beliau tinggal di negeri syam tapi belum pernah beliau mencicipi buah-buahan disana, ketika ditanya penyebabnya beliau menjawab :" di negeri ini banyak sekali perkebunan berstatus wakaf kaum muslimin, maka aku takut memakan harta wakaf". karena sifat wara` inilah maka Allah memuliakan beliau dan menjadikan beliau sebagai rujukan ilmu keislaman bagi kaum muslimin.
Suatu hari, zhahir bybras -penguasa saat itu- memintanya berfatwa untuk memobilisasi harta kaum muslimin untuk keperluan membeli senjata, para ulama syam mengeluarkan fatwa kecuali imam an-nawawi, maka zhahir mencercanya dengan mengatakan :" saya ingin menghalangi musuh Allah dan menjaga kehormatan islam sementara anda tidak mau memberi fatwa agar rakyat mengumpulkan harta mereka buat membeli senjata".
Imam an-nawawi berkata :" anda telah menjadikan kami hamba yang yang tidak memiliki dunia sedikitpun, sementara aku melihat kamu memiliki pelayan baik laki atau perempuan, istana dan harta melimpah dan itu semua adalah bukan milikmu, jika anda menjual semuanya dan ternyata itu masih belum cukup untuk membeli senjata maka saya akan memberi fatwa padamu untuk mengumpulkan harta kaum muslimin".
Marahlah zhahir sambil berkata : "keluarlah kamu dari negeri ini.." . maka pergilah beliau keluar dari negeri syam menuju ke kampung nawa`. setelah itu datanglah ulama-ulama syam kepada zhahir dan berkata :" kita sangat membutuhkan ilmunya muhyiddin ibn syaraf an-nawawi". maka zhahir berkata :" kalau begitu, suruhlah ia kembali..". maka merekapun pergi ke nawa` dan berkata padanya : " kembalilah ya ustadz, zhahir telah mengizinkanmu menetap kembali di negri syam".
Imam an-nawawi berkata :" demi Allah saya tidak akan kembali selama zhahir masih hidup". Lihatlah harga dirinya, ketinggian martabatnya, kemuliaannya sebagai ulama yang benar dan jujur serta prinsipnya yang kokoh sebagai panutan ummat, apa yang menyebabkan beliau mampu menegakkan kehormatan sebagai ulama? sungguh wara` yang Allah berikan kepada beliau itulah yang menjadi sebabnya.
Sikap wara` melahirkan keberanian, kekuatan, tangguh dan istiqamah diatas kebenaran adapun ulama atau pemimpin yang mengikuti dan terjangkiti penyakit syahwat dan syubhat maka hatinya akan lemah, sakit, takut kehilanagan rizki, takut dapur tidak berasap, cinta kepada dunia, terhijab dari jalan yang benar dan sudah pasti jauh dari pertolongan Allah Ta`ala, bagaimana orang yang bermaksiat dan berbuat dosa akan memiliki hati atau azam yang kuat dan penuh keberanian?
Wara' merupakan bentuk penghindaran dan ketidaksukaan atas obyek wara' . Sedangkan Zuhud merupakan ketiadaan harapan atau keinginan terhadap obyek zuhud Jadi jika ada sesuata yang tidak ada manfaatnya atau ada mudharatnya , bahkan atau kemanfaatannya dan akibat buruk nya adalah seimbang disetiap sisinya , maka perkara itu tidak layak diharap maupun dibenci, dan yang layak adalah zuhud bukan wara'. Sehingga dapat dikatakan bahwa apa yang layak untuk di-wara'-I maka layak pula untuk di-zuhud-i. tetapi tidak untuk sebaliknya. Wara’ membuahkan zuhud.
Saudaraku, perasaan takut membuahkan wara’ dimana permohonan pertolgan dan harapan yang tidak muluk-muluk. Kekuatan iman kepada perjumpaan dengan allah membuahkan zuhud. Ma’rifat membuahkan cinta, takut dan harapan. Rasa cukup membuahkan ridha. Dzikir membuahkan kehidupan hati, iman kepada takdir membuahkan tawakal.
Sesuatu yang dibenci atau dihindari untuk tidak menjadi keinginan atau diharap. Ketidakinginan ini lebih utama dari adanya kebencian. Adanya kebencian akan melazimkan tidak aadnya keinginan, tetapi tidak sebaliknya. Tidak setiap yang tidak diingini layak untuk dibenci. Namun kadangkala ada perkara yang tidak layak untuk diharap, dibensi atau disukai, dimurkai, diperintahkan atau dilarang dalam waktu.
Dengan ini menjadi jelas bahwa, perkara yang wajib atau mustahabaat (disukai) tidak layak untuk di-zuhud-i dan tidak pula di –wara’-i. Sedangkan makruhat (peerkara yang dibenci) layak untuk di-wara'-I dan di-zuhud-i. Untuk mubahaat (perkara yang boleh) yang layak adalah di-zuhud-i bukan di-wara'-i.
Dalam Manazilus Sa’irin , wara’ merupakan kesudahan zuhud nya orang-orang awam, dan merupakan permulaan zuhud orang khusus yang berjalan menuju Allah. Menurut Imam al-Ahmad, zuhudnya orang-orang awam adalah meninggalkan perkara-perkara yang haram. Sedangkan tingkatan diatasnya adalah zuhudnya orang-orang yang khusus, yaitu meninggalkan berlebih-lebihan dalam perkara yang halal. Selanjutnya zuhudnya orang-orang yang memiliki makrifat, yaitu orang-orang yang meninggalkan kesibukan selain dari Allah, atau ia selalu menyibukkan diri dengan hal-hal yang berkaitan dengan ridha Allah. Hamba ini adalah hamba yang memenuhi hatinya dengan kecintaan kepada Allah dan pengagungan-Nya. Dan hamba yang memiliki makrifat ini tidak melihat bahwa perbuatan zuhudnya itu sebagai sesuatu prestasi yang besar, ia malu jika hatinya mempersaksikan kezuhudan dirinya. Ia tidak berpikir untuk mendapatkan derajat disisi Allah dari perbuatan zuhudnya itu, sebab ia merasa terlalu hina menuntutnya dihadapan Allah.
Semoga bermanfaat , Allahu a'lam
Sumber: Ahmad bin Ali Soleh, Amin bin Abdullah asy‐Syaqawi dalam Al-Wara'
fatawaa syaikhul islam, al-Qaamuus, asaasul-balagaah , minhajul qaasidin, qitabul zuhud ,Qawaa'id wa Fawaa`id minal Arba'iin An-Nawawiyyah , At-Ta'liiqaat 'alal Arba'iin An-Nawawiyyah , Ibn Qayyim al-Jauzi dalam Madarijus Salikin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar