Syaikhul islam Ibnu Taimiyah,
Menyatakan bahwa az-Zuhd adalah menghindari sesuatu yang tidak bermanfaat, apakah karena memang tidak ada manfaatnya, atau memang karena keadaannya yang tidak diutamakan, karena ia dapat menghilangkan sesuatu yang lebih bermanfaat, atau dapat mengancam manfaatnya, entah manfaat yang sudah pasti maupun manfaat yang diprediksi. Jadi diartikan meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat,sedangkan wara’ diartikan sebagai meninggalkan apa-apa yang mendatangkan mudharat untuk kepentingan akhirat. Ibnul Qayyim, bahwa Zuhud secara bahasa diartikan sebagai lawan dari cinta dan semangat terhadap dunia. Dimana beliau berkata bahwa Zuhud terhadap sesuatu di dalam bahasa Arab yang merupakan juga bahasa Islam, mengandung arti berpaling darinya dengan meremehkan dan merendahkan keadaannya karena sudah merasa cukup dengan sesuatu yang lebih baik darinya.
Dari Abul 'Abbas Sahl bin Sa'd As-Sa'idiy ra, bahwa , 'Datang seseorang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu dia berkata, 'Ya Rasulullah, tunjukkan kepadaku akan suatu amalan yang apabila aku mengerjakannya niscaya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia?'
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya "Zuhudlah terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa-apa yang dimiliki oleh manusia niscaya manusia mencintaimu." (Shahih, HR. Ibnu Majah dan selainnya, Shahiihul Jaami' 935 dan Ash-Shahiihah 942)
Sufyan Ats-Tsauriy,
Berkata, bahwa ,Zuhud terhadap dunia adalah pendek angan-angan, tidak mengumbar harapan dan bukanlah yang dimaksud zuhud itu dengan memakan makanan yang keras dan memakai karung.
Al Junaid berkata bahwa orang yang zuhud tidak gembira karena mendapatkan dunia dan tidak sedih karena kehilangan dunia.
Az-Zuhriy,
Berkata bahwa Zuhud adalah hendaklah seseorang tidaklah lemah dan mengurangi syukurnya terhadap rizki yang halal yang telah Allah berikan kepadanya dan janganlah dia mengurangi kesabarannya dalam meninggalkan yang haram.
Al-Hasan,
Berkata bahwa zuhud terhadap dunia itu bukan berarti dengan mengharamkan yang halal dan tidak pula dengan menyia-nyiakan dan membuang harta, akan tetapi hendaklah engkau lebih tsiqah (mempercayai) terhadap apa-apa yang ada di sisi Allah daripada apa-apa yang ada di sisimu, dan hendaklah engkau apabila ditimpa musibah, engkau lebih mencintai pahala dari musibah tersebut daripada engkau tidak tertimpa musibah.
Yahya bin Mu’adz,
Bahwa zuhud menimbulkan kedermawanan dalam masalah hak milik.
Kesimpulannya bahwasanya hakikat zuhud yang ada di dalam hati adalah dengan mengeluarkan kecintaan dan semangat terhadap dunia dari hati seorang hamba, sehingga jadilah dunia itu hanya di tangannya sedangkan kecintaan Allah dan negeri akhirat ada di dalam hatinya. Disini sifat zuhud dipahami bahwa dunia/harta yang dimilikinya hanya sekedar lewat di tangannya tidak sampai ke hatinya (hatinya tidak terikat dengannya), dia salurkan harta tersebut di jalan Allah, dia infaqkan kepada orang yang membutuhkannya. Ibaratnya kran yang mengalirkan air untuk orang lain. Sedangkan hatinya tetap terikat dengan kecintaan kepada Allah dan akhirat. Banyak sedikitnya tidak menjadikannya bangga dan senang, akan tetapi ketaatan kepada Allah-lah yang menjadi tolak ukurnya. Banyak sedikitnya harta bagi orang yang zuhud sama saja.
Ketika ada seseorang bertanya kepada Al-Imam Ahmad, "Apakah orang kaya bisa menjadi orang yang zuhud?"
Beliau menjawab, "Ya, dengan syarat ketika banyak hartanya tidak menjadikannya bangga dan ketika luput darinya dunia dia tidak bersedih hati."
Karena zuhud itu adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat di akhirat, adapun hal-hal yang bermanfaat seperti menikah, mencari nafkah dan lainnya maka ini semua tidaklah mengurangi zuhudnya selama hatinya tetap terikat dengan akhirat.
Beliau juga membagi zuhud menjadi tiga tingkatan:
1. Meninggalkan yang haram, yang merupakan zuhudnya orang-orang 'awwam, dan ini adalah fardhu 'ain.
2. Meninggalkan kelebihan-kelebihan dari yang halal, dan ini zuhudnya orang-orang yang khusus.
3. Meninggalkan apa-apa yang dapat menyibukkannya dari (mengingat) Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang Allah.
Imam Ahmad juga menafsirkan tentang sifat zuhud yaitu tidak panjang angan-angan dalam kehidupan dunia. Beliau melanjutkan orang yg zuhud ialah orang yg bila dia berada di pagi hari dia berkata Aku khawatir tidak bisa menjumpai waktu sore. Maka dia segera memanfaatkan waktunya untuk beramal & beribadah sebaik-baiknya. Zuhud diartikan juga sebagai tidak mengumbar harapan di dunia, tidak gembira jika mendapatkan keduniaan, dan tidak sedih jika kehilangan keduniaan.
Definisi al-wara'
Dalam kaitannya dengan pemahaman wara’, Allah berfirman yang artinya,” Hai rasul-rasul,makanlah dari makanan yang baik-baik,dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan,” (Qs. Al-Mukminun : 51)
Secara bahasa dikatakan, sebagai
1. wara'a yara'u war'an wa wara'an wa wari'atan." artinya menjaga dan menghindari dari hal-hal yang diahromkan kemudian digunakan juga untuk perbuatan menahan diri dari hal halal yang mubah. pelakunya disebut wari'un wa mutawarri'un.
2. lafazh wari'a yaura'u wa yauri'u artinya menjadi orang yang wara'.
3. tawarra'a minal-amri artinya menjauhinya. al-wara' dapat menggerakkan ketakwaan.
Secara erminologis, al-wara' artinya menahan diri dari hal-hal yang dapat menimbulkan mudharat lalu menyeretnya kepada hal-hal yang haram dan syubhat, karena subhat ini dapat menimbulkan mudharat. Sesungguhnya, siapa yang takut kepada syubhat maka dia telah membebaskan kehormatan dan agamanya, dan siapa yang berada dalam syubhat berarti dia berada dalam hal yang haram, seperti penggembala di sekitar tanaman yang dijaga, yang begitu cepat dia masuk ke dalamnya.
Wara’ juga mengandung pengertian menjaga diri atau sikap hati-hati dari hal yg syubhat dan meninggalkan yg haram. Lawan dari Waro adalah subhat yg berarti tidak jelas apakah hal tsb halal atau haram.
Sebagaimana Rasulullah bersabda, yang artinya ," Sesungguhnya yg halal itu jelas dan yg haram itu jelas. Di antara keduanya ada yg syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yg menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama & kehormatannya. Dan siapa yg jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yg haram." (HR Bukhari & Muslim).
sebagaimana contoh, Seseorang meninggalkan kesenangan mendengarkan atau memainkan musik karena dia tahu bahwa bermusik atau mendengarkan musik itu ada yg mengatakan halal dan ada yg mengatakan haram.
Dalam riwayat At-tirmidzi disebutkan secara marfu’ kepada Rasulullah, bahwa beliau bersabda, yang artinya ,” Wahai Abu Hurairah , jadilah engkau orang yang wara’, niscaya engkau akan menjadi orang yang paling banyak melakukan ibadah “.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu’ Fatawa, bahwa wara’ adalah menahan diri dari perkara yang terkadang bisa memudharatkan, termasuk di dalam perkara ini adalah perkara-perkara yang diharamkan dan yang syubhat, sebab bisa berdampak negatif, dan orang yang menjaga perkara yang syubhat maka dia telah menjaga agama dan kehormatan dirinya dan orang yang terjebak ke dalam perkara yang syubhat maka dia telah terjatuh pada perkara yang diharamkan, sama seperti seorang penggembala yang menggembalakan gembalaannya di sekitar perbatasan, hampir saja dia melewati batasnya.
Wara’ juga dimaksudkan sebagai membersihkan kotoran hati dan najisnya sebagaimana air membersihkan kotoran pakaian dan najisnya.
Rasulullah telah menghimpun keseluruhan wara’ dalam sabdanya, yang artinya ,” Di antara tanda kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya”.
Meninggalkan apa yang tidak bermanfaat ini mencakup keseluruhan tindakan lahir maupun batin.
Ibrahim bin Adham , bahwa Wara’ diartikan meninggalkan setiap, sedangkan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagimu artinya meninggalkan hal-hal yang berlebih.
Menurut Sufyan Ats-Tsauri, bahwa aku tidak melihat sesuatu yang lebih mudah daripada wara’ , yaitu jika ada sesuatu yang meragukan di dalam jiwamu, maka tinggalkanlah.
Asy-Syibli,
Wara’ diartikan sebagai menjauhi segala sesuatu selain Allah
(bersambung …..)
Sumber: Ahmad bin Ali Soleh, Amin bin Abdullah asy‐Syaqawi dalam Al-Wara'
fatawaa syaikhul islam, al-Qaamuus, asaasul-balagaah , minhajul qaasidin, qitabul zuhud ,Qawaa'id wa Fawaa`id minal Arba'iin An-Nawawiyyah , At-Ta'liiqaat 'alal Arba'iin An-Nawawiyyah , Ibn Qayyim al-Jauzi dalam Madarijus Salikin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar