Minggu, 30 Oktober 2011
Keagungan Dhuha
Shalat Dhuha adalah shalat sunnah yang dikerjakan ketika matahari baru naik. Jumlah rakaatnya miimal 2 maksimal 12. Dari Anas berkata Rasulullah.Barang siapa shalat Dhuha 12 rakaat, Allah akan membuatkan untuknya istana disurga. (H.R. Tarmiji dan Abu Majah). Mengenai keutamaan shalat Dhuha, banyak riwayat hadits yang menceritakan keutamaan shalat ini. Didalam Surah Adh-Dhuha Allah swt bersumpah dengan waktu dhuha dan waktu malam: “Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi.” (QS. 93:1-2). Pernahkah terlintas dalam benak kita mengapa Allah swt sampai bersumpah pada kedua waktu itu? Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Shalat dhuha itu (shalatul awwabin) shalat orang yang kembali kepada Allah, setelah orang-orang mulai lupa dan sibuk bekerja, yaitu pada waktu anak-anak unta bangun karena mulai panas tempat berbaringnya.” (HR Muslim)
Dari Abu Dzar ra, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda “Bagi masing-masing ruas [1] dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian harus dikeluarkan sedekah. Setiap tasbih (Subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahtil (Laa Ilaaha Illallaah) adalah sedekah, menyuruh untuk berbuat baik pun juga sedekah, dan mencegah kemunkaran juga sedekah. Dan semua itu bisa disetarakan ganjarannya dengan dua rakaat shalat Dhuha”. Diriwayatkan oleh Muslim[2]
Kamis, 27 Oktober 2011
Pencuci Dosa
Suatu ketika Rasullullah bersabda ,” Bagaimana pendapat kalian seandainya di depan pintu salah seorang dari kalian terdapat sebuah sungai. Setiap hari ia mandi lima kali didalamnya. Apakah masih ada kotoran yang melekat ditubuhnya?”
Mereka menjawab,”Tidak ada “.
Rasulullah berkata,”Itulah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus semua kesalahan.” (Muttafaq ‘Alaih).
Shalat adalah penebus dan pelenyap bagi dosa-dosa yang dilakukan seorang hamba. Ia menjadi pencuci dan pembersih. Shalat dhuhur menghapus dosa seorang sejak pagi hingga siang. Shalat ashar menghapus dosa seorang sejak siang hingga menjelang sore. Begitu seterusnya.
Mereka menjawab,”Tidak ada “.
Rasulullah berkata,”Itulah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus semua kesalahan.” (Muttafaq ‘Alaih).
Shalat adalah penebus dan pelenyap bagi dosa-dosa yang dilakukan seorang hamba. Ia menjadi pencuci dan pembersih. Shalat dhuhur menghapus dosa seorang sejak pagi hingga siang. Shalat ashar menghapus dosa seorang sejak siang hingga menjelang sore. Begitu seterusnya.
Selasa, 11 Oktober 2011
Kita adalah hasil dari apa yg kita pikirkan
Jika anda percaya sesuatu itu tidak mungkin, pikiran anda akan bekerja bagi anda untuk membuktikan mengapa hal itu tidak mungkin.Akan tetapi jika anda percaya , benar-benar percaya, sesuatu dapat dilakukan, pikiran anda akan bekerja bagi anda dan membantu anda mencari jalan untuk melaksanakannya. Percaya sesuatu dapat memuluskan jalan untuk solusi yang kreatif. Percaya bahwa sesuatu tidak dapat dilakukan adalah cara berpikir yang destruktif. Apa yang kita pikirkan itulah yang kita dapatkan. Tuhan menciptakan manusia memiliki dengan kemampuan untuk berpikir. Segala kreasi manusia berasal dari kemampuan untuk mau berpikir. Kekuatan pikiran seringkali kita lupakan. Apabila kita berpikir kita telah kalah maka kita akan kalah sebelum melakukan sesuatu, terkadang kita berpikir tidak mampu maka hal itu yang membuat kita jadi malas berusaha.Hal ini berlaku dalam segala situasi
• Anda dapat menemukan cara-cara untuk mendekati seseorang jika anda percaya anda dpt melakukannya.
• Anda dapat menemukan cara untuk membeli rumah baru , jika anda percaya anda dapat melakukannya.
• Anda dapat berangkat ibadah haji, jika anda percaya (yakin) , anda dapat melaksanakannya.
Kepercayaan melepaskan kekuatan kreatif. Ketidak percayaan menjadi rem bagi berpikir kreatif. Percayalah , dan anda pun akan mulai berpikir secara konstruktif.
• Anda dapat menemukan cara-cara untuk mendekati seseorang jika anda percaya anda dpt melakukannya.
• Anda dapat menemukan cara untuk membeli rumah baru , jika anda percaya anda dapat melakukannya.
• Anda dapat berangkat ibadah haji, jika anda percaya (yakin) , anda dapat melaksanakannya.
Kepercayaan melepaskan kekuatan kreatif. Ketidak percayaan menjadi rem bagi berpikir kreatif. Percayalah , dan anda pun akan mulai berpikir secara konstruktif.
Senin, 10 Oktober 2011
Pengakuan iblis
Segala puji hanya milik ALLAH SWT, Pencipta semesta alam. Shalawat dan salam sejahtera semoga senantiasa dilimpahkan kepada Rasullullah Muhammad saw dan kepada keluarga dan pengikutnya hingga akhir zaman. Kali ini, dikaji pengakuan iblis laknatullah ketika berdialog dengan Rasulullah saw. Semoga menjadikan pelajaran bagi kita . Riwayat dari Mu'adz bin Jabal r.a, dari Ibnu Abbas r.a. , bahwa: Kami bersama Rasulullah saw. di rumah salah seorang sahabat Anshar, dimana saat itu kami di tengah-tengah jamaah. Lalu terdengar suara memanggil dari luar, "Wahai para penghuni rumah, apakah kalian mengizinkanku masuk, sementara kalian butuh kepadaku."
Rasulullah bertanya kepada kami, “Apakah kalian tahu, siapa yang memanggil dari luar itu?" Kami menjawab, "Tentu Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Lalu Rasulullah saw. bersabda, "Ini adalah iblis yang terkutuk semoga Allah senantiasa melaknatnya."
Rasulullah bertanya kepada kami, “Apakah kalian tahu, siapa yang memanggil dari luar itu?" Kami menjawab, "Tentu Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Lalu Rasulullah saw. bersabda, "Ini adalah iblis yang terkutuk semoga Allah senantiasa melaknatnya."
Minggu, 09 Oktober 2011
Kekuatan kata-kata (lisan)
Saudaraku, dari kata-kata yang keluar dari mulut (lisan) bisa menimbulkan kehancuran, pertikaian atau bahkan tumbuhnya peradaban baru. Lisan merupakan saluran keluaran produk hati yang berupa hasil pikiran-pikiran atau ide-ide. Para ulama salaf menyatakan bahwa hati laksana wadah makanan, sedangkan lisan adalah sendoknya.
Meskipun kecil ukurannya, lisan sangat besar pengaruh dan akibatnya, sebagaimana sebuah hadits, yang artinya ,” Iman seorang hamba tidak akan lurus sampai hatinya lurus, sedang-kan hati tidak akan lurus sampai lisannya lurus ,” (HR Ahmad). Banyak sekali manfaat yang ditimbulkan dari lisan, namun bahayanya juga luar biasa besarnya. Sesungguhnya cobaan itu banyak bersumber dari ucapan lisan. Kebahagiaan seorang hamba banyak bergantung pada selamatnya lisan dari penyakit-penyakit lisan.
Saudaraku, untuk menghindari besarnya cobaan lisan, para ulama lebih menyarankan untuk diam. Dimana dalam diam itu akan lebih mudah ditemukan keagungan, terhimpun tekad, ketekunan beribadah, selamat dari fitnah. Sekali lagi , sesungguhnya cobaan itu banyak bersumber dari ucapan lisan.
Penyakit-penyakit lisan itu antara lain :
1. Berbicara yang tidak bermanfaat,
Hal ini bisa jadi memang tidak berdosa atau menimbulkan pahala, hanya membuang-buang waktu, membuat hati menjadi keras. Para ulama ada yang menyatakan ini sebagai bagian dari tindakan yang makruh. Dalam hadits riwayat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda, yang artinya ,” Diantara tanda baiknya keislaman seorang muslim adalah dia meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya , “ (Hr Timidzi).
2. Al-Fudhuul,
Yaitu berlebihan dalam pembicaraan yang tidak bermanfaat. Jika sesuatu yang dibicara-kan sebenarnya hanya dibutuhkan satu kalimat , namun kita memperpanjang menjadi dua kalimat, maka ini dinamakan fudhuul.
Sebagaimana Rasulullah saw,bersabda , yang artinya , “Beruntunglah orang yang bisa menahan kelebihan dalam ucapannya dan orang yang menginfaqkan kelebihan hartanya ,” (Hr Baghawi dan Baihaqi).
3. Berbicara dalam kebatilan
Seperti memperbincangkan kehebatan seseorang, kenikmatan kekayaan, atau keindahan penampilan seseorang dst. Ini adalah penyakit ilmu yang tidak bermanfaat dan merasa senang dalam pembicaraan yang hanya bertujuan untuk bersenang-senang dan mengisi waktu luang.
4. Al-Miraa’,
Yaitu meremehkan orang lain dalam ucapan dengan memperlihatkan kecacatan atau kedzaliman. Syaikh Mu’min Fathi al-Haddad dalam Jaddid Shalataka (Kaifa takhsya’u fi shalatika wa tadfa’u min wasawisika),menyatakan sebagai tindakan yang haram.
Dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah saw bersabda, yang artinya ,” Aku adalah pemimpin rumah di pinggir surga bagi orang yang meningalkan al-miraa’ meskipun ia benar, aku adalah pemimpin rumah di tengan surga bagi orang yang meninggalkan dusta dan aku adalah pemimpin rumah di tingkat tertinggi surga bagi orang yang baik akhlaknya ,” (HR Abu Dawud).
5. Al-jidaal ,
Yaitu sikap meremehkan orang lain ketika berbantahan (berdebat) disertai dengan me-nonjolkan dasar argumennya (mazhabnya). Saudaraku, ini adalah palu pemecah terbesar dalam perpecahan umat.
Al-jidaal ada dua macam, yang terpuji dan yang tercela.
Yang terpuji, jika argument didukung oleh kebenaran atau mengantarkan kebenaran dengan niat yang ikhlas dan cara yang benar.
Sebagaimana Allah berfirman ,yang artinya ,” Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhan-mu Dia-lah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat di jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk ,” (Qs. An-Nahl : 125).
Berdebat dengan cara yang baik adalah berdasarkan ilmu pengetahuan, akhlak mulia, menolak kebatilan dan menjelaskan dengan cara yang baik serta ikhlas.
Apabila tidak dibarengi dengan hal-halitu,maka tujuannya akan melenceng menjadi saling mengalahkan , bukan lagi mencari kebenaran.
Adapun jidaal yang tercela , adalah berdebat dengan tujuan kebatilan untuk mengalahkan lawan tanpa disertai ilmu pengetahuan.
Sebagaimana firman-Nya , yang artinya ,” Dan diantara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya. Dengan memalingkan lambungnya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Ia mendapat kehinaan di dunia dan di hari kiamat , Kami merasakan kepadanya azab neraka yang membakar, “ (Qs. Al-Hajj : 8-9).
Tanda utama jidaal yang tercela adalah tidak senang lawan bicaranya dalam pihak kebenaran, menginginkan lawannya dalam kesalahan, dan ingin menampakkan kelebihan dirinya.
6. Al-Khushumah ,
Yaitu kasar dalam berbicara untuk mempertahankan hak, baik ketika berbicara atau menyanggah pembicaraan orang lain.
Hadits riwayat Aisyah, bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya ,” Sesungguhnya orang yang paling dibenci Allah adalah penantang yang paling keras ,” (Hr Bukhari-Muslim).
Perbuatan ini jelas dilarang, kecuali bagi hamba yang dizalimi dengan mempertahankan hujjahnya dengan jalan yang dibenarkan dan seperlunya . Namun lebih utama adalah meninggalkannya, karena sangat sulit untuk mengontrol lisan ketika kemarahan menimpa.
7. Al-Mizah,
Bergurau (yang tidak seperlunya),karena hal ini akan menimbulkan dosa dan aib, menjatuhkan kehormatan orang lain dst.
8. Al-Kadzib,
Adalah dusta dengan menceritakan sesuatu yang berbeda dengan realitas sebenarnya baik dengan sengaja atau tanpa pengetahuannya. Saudaraku, ketahuilah bahwa dusta adalah pangkal kemunafikan.
9. Al-Ghibah,
Atau menggunjing, membicarakan keburukana orang lain. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah dalam sabdanya , yang artinya ,” Ghibah adalah engkau menyebutkan saudaramu sesuatu yang dia tidak menyenanginya ,” (Hr Abu Hurairah).
10. An-Namimah,
Yaitu menyebar fitnah ,ini adalah perbuatan yang dilarang Allah , sebagaimana dalam firman-Nya, yang artinya ,” Dan janganlah kamu ikuti orang yang bersumpah lagi hina yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah ,” (Qs. Al-Qalam : 10-11).
Saudaraku, semoga kita mendapat hidayah Allah, sehingga bisa mengarahkan lisan kita ke hal-hal yang bermanfaat dalam kebaikan yang diridhai-Nya.
Allahu a’lam
Sumber : Syaikh Mu’min Fathi al-Haddad dalam Jaddid Shalataka (Kaifa takhsya’u fi shalatika wa tadfa’u min wasawisika,
Meskipun kecil ukurannya, lisan sangat besar pengaruh dan akibatnya, sebagaimana sebuah hadits, yang artinya ,” Iman seorang hamba tidak akan lurus sampai hatinya lurus, sedang-kan hati tidak akan lurus sampai lisannya lurus ,” (HR Ahmad). Banyak sekali manfaat yang ditimbulkan dari lisan, namun bahayanya juga luar biasa besarnya. Sesungguhnya cobaan itu banyak bersumber dari ucapan lisan. Kebahagiaan seorang hamba banyak bergantung pada selamatnya lisan dari penyakit-penyakit lisan.
Saudaraku, untuk menghindari besarnya cobaan lisan, para ulama lebih menyarankan untuk diam. Dimana dalam diam itu akan lebih mudah ditemukan keagungan, terhimpun tekad, ketekunan beribadah, selamat dari fitnah. Sekali lagi , sesungguhnya cobaan itu banyak bersumber dari ucapan lisan.
Penyakit-penyakit lisan itu antara lain :
1. Berbicara yang tidak bermanfaat,
Hal ini bisa jadi memang tidak berdosa atau menimbulkan pahala, hanya membuang-buang waktu, membuat hati menjadi keras. Para ulama ada yang menyatakan ini sebagai bagian dari tindakan yang makruh. Dalam hadits riwayat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda, yang artinya ,” Diantara tanda baiknya keislaman seorang muslim adalah dia meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya , “ (Hr Timidzi).
2. Al-Fudhuul,
Yaitu berlebihan dalam pembicaraan yang tidak bermanfaat. Jika sesuatu yang dibicara-kan sebenarnya hanya dibutuhkan satu kalimat , namun kita memperpanjang menjadi dua kalimat, maka ini dinamakan fudhuul.
Sebagaimana Rasulullah saw,bersabda , yang artinya , “Beruntunglah orang yang bisa menahan kelebihan dalam ucapannya dan orang yang menginfaqkan kelebihan hartanya ,” (Hr Baghawi dan Baihaqi).
3. Berbicara dalam kebatilan
Seperti memperbincangkan kehebatan seseorang, kenikmatan kekayaan, atau keindahan penampilan seseorang dst. Ini adalah penyakit ilmu yang tidak bermanfaat dan merasa senang dalam pembicaraan yang hanya bertujuan untuk bersenang-senang dan mengisi waktu luang.
4. Al-Miraa’,
Yaitu meremehkan orang lain dalam ucapan dengan memperlihatkan kecacatan atau kedzaliman. Syaikh Mu’min Fathi al-Haddad dalam Jaddid Shalataka (Kaifa takhsya’u fi shalatika wa tadfa’u min wasawisika),menyatakan sebagai tindakan yang haram.
Dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah saw bersabda, yang artinya ,” Aku adalah pemimpin rumah di pinggir surga bagi orang yang meningalkan al-miraa’ meskipun ia benar, aku adalah pemimpin rumah di tengan surga bagi orang yang meninggalkan dusta dan aku adalah pemimpin rumah di tingkat tertinggi surga bagi orang yang baik akhlaknya ,” (HR Abu Dawud).
5. Al-jidaal ,
Yaitu sikap meremehkan orang lain ketika berbantahan (berdebat) disertai dengan me-nonjolkan dasar argumennya (mazhabnya). Saudaraku, ini adalah palu pemecah terbesar dalam perpecahan umat.
Al-jidaal ada dua macam, yang terpuji dan yang tercela.
Yang terpuji, jika argument didukung oleh kebenaran atau mengantarkan kebenaran dengan niat yang ikhlas dan cara yang benar.
Sebagaimana Allah berfirman ,yang artinya ,” Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhan-mu Dia-lah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat di jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk ,” (Qs. An-Nahl : 125).
Berdebat dengan cara yang baik adalah berdasarkan ilmu pengetahuan, akhlak mulia, menolak kebatilan dan menjelaskan dengan cara yang baik serta ikhlas.
Apabila tidak dibarengi dengan hal-halitu,maka tujuannya akan melenceng menjadi saling mengalahkan , bukan lagi mencari kebenaran.
Adapun jidaal yang tercela , adalah berdebat dengan tujuan kebatilan untuk mengalahkan lawan tanpa disertai ilmu pengetahuan.
Sebagaimana firman-Nya , yang artinya ,” Dan diantara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya. Dengan memalingkan lambungnya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Ia mendapat kehinaan di dunia dan di hari kiamat , Kami merasakan kepadanya azab neraka yang membakar, “ (Qs. Al-Hajj : 8-9).
Tanda utama jidaal yang tercela adalah tidak senang lawan bicaranya dalam pihak kebenaran, menginginkan lawannya dalam kesalahan, dan ingin menampakkan kelebihan dirinya.
6. Al-Khushumah ,
Yaitu kasar dalam berbicara untuk mempertahankan hak, baik ketika berbicara atau menyanggah pembicaraan orang lain.
Hadits riwayat Aisyah, bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya ,” Sesungguhnya orang yang paling dibenci Allah adalah penantang yang paling keras ,” (Hr Bukhari-Muslim).
Perbuatan ini jelas dilarang, kecuali bagi hamba yang dizalimi dengan mempertahankan hujjahnya dengan jalan yang dibenarkan dan seperlunya . Namun lebih utama adalah meninggalkannya, karena sangat sulit untuk mengontrol lisan ketika kemarahan menimpa.
7. Al-Mizah,
Bergurau (yang tidak seperlunya),karena hal ini akan menimbulkan dosa dan aib, menjatuhkan kehormatan orang lain dst.
8. Al-Kadzib,
Adalah dusta dengan menceritakan sesuatu yang berbeda dengan realitas sebenarnya baik dengan sengaja atau tanpa pengetahuannya. Saudaraku, ketahuilah bahwa dusta adalah pangkal kemunafikan.
9. Al-Ghibah,
Atau menggunjing, membicarakan keburukana orang lain. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah dalam sabdanya , yang artinya ,” Ghibah adalah engkau menyebutkan saudaramu sesuatu yang dia tidak menyenanginya ,” (Hr Abu Hurairah).
10. An-Namimah,
Yaitu menyebar fitnah ,ini adalah perbuatan yang dilarang Allah , sebagaimana dalam firman-Nya, yang artinya ,” Dan janganlah kamu ikuti orang yang bersumpah lagi hina yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah ,” (Qs. Al-Qalam : 10-11).
Saudaraku, semoga kita mendapat hidayah Allah, sehingga bisa mengarahkan lisan kita ke hal-hal yang bermanfaat dalam kebaikan yang diridhai-Nya.
Allahu a’lam
Sumber : Syaikh Mu’min Fathi al-Haddad dalam Jaddid Shalataka (Kaifa takhsya’u fi shalatika wa tadfa’u min wasawisika,
Investasi
Firman Allah, “ Siapakah yang mau memberikan pinjaman kepada Allah , pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya dijalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan,” (QS Al-Baqarah 245).
Anda yang bersedekah di jalan Allah pada hakikatnya, anda sedang memberikan pinjaman kepada Allah SWT , sebagaimana orang memberikan piutang, maka anda yang bersedekah pasti akan mendapat kembalian (return of investment).
Kemudian peminjam (Allah) akan mengembalikan pinjaman anda ini, dengan membawa pembayaran dan kembalian yang sangat banyak, pada saat anda yang bersedekah ini dalam keadaan sangat memerlukan. Allah juga memberikan ampunan, kemudahan, kesehatan maupun pahala yang berlipat-lipat .
Dari firman Allah ini, jelas bahwa siapa pun pelaku sedekah maka Allah akan memberikan kembalian kepada pelaku sedekah ini. Kembalian Allah bisa berupa ampunan, hidayah, kesehatan, pahala atau pun juga diberikan kemudahan jalan ketika menemui kesulitan.
Sempit atau lapangnya rezeki itu datangnya dari Allah SWT. Lapangnya rezeki terjadi bukan karena kita tidak membelanjakan harta atau sempitnya rezeki bukan karena kita banyak membelanjakan harta. Bahkan harta apa saja yang dibelanjakan di jalan Allah SWT pasti akan diperoleh di akhirat, atau didunia sekaligus di akhirat.
Dalam sebuah hadits, disebutkan bahwa malaikat Jibril meriwayatkan firman Allah,” Wahai hamba-hamba-Ku, Aku telah memberimu kenikmatan dengan karunia-Ku, dan aku meminta pinjaman dari kalian. Maka barang siapa yang mau memberi kepada-Ku dengan sukarela dan dengan semangat. Aku akan mempercepat balasannya di dunia. Dan di akhirat akan aku simpan pahala itu untuknya. Dan barang siapa memberi dengan tidak senang, tetapi dengan terpaksa, Aku akan mengambil darinya apa yang telah Aku berikan kepadanya. Tetapi jika kemudian ia bersabar atasnya dan mengharap pahala, Aku mewajibkan rahmat-Ku kearah atasnya. Dan Aku akan memasukannya kedalam orang-orang yang mendapat hidayah, dan Aku mengizinkan kepada-Nya untuk melihat-Ku “.(Kanzul ‘ummal)
Sungguh besar karunia Allah SWT bahkan ketika seseorang memberi dengan tidak senang, tetapi kemudian ia bersabar ketika harta itu diambil dengan paksaan, maka Allah SWT akan memberikan pahala kepadanya. Padahal jika ia memberikannya dengan kerelaan hati, Allah tidak akan mengambil kembali kenikmatan yang telah diberikan kepadanya.
Firman Allah ,” Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) lebih banyak ,” (Qs Al-Muddatsir 6).
Firman ini perlu menjadi perhatian kita semua, mengenai larangan bagi pelaku sedekah untuk mengharapkan balasan terhadap apa yang telah diberikan.
Barang siapa yang memberikan sedekah, zakat, atau pemberian lainnya dengan harapan orang yang diberi itu akan berbuat baik kepadanya, berarti, ia telah mengurangi sendiri pahalanya akibat menurunnya keikhlasan itu.
Ka’ad Qurzhi ra, berkata bahwa apabila ada seseorang yang memberi sesuatu dengan niat agar orang yang diberi akan membalas kepadanya sesuatu yang lebih baik dan lebih banyak, maka ia tidak akan mendapatkan suatu tambahan apapun dari sisi Allah SWT.
Dan barang siapa, yang memberi sesuatu semata-mata karena Allah SWT dan tidak mengharap orang lain membalasnya dengan pemberian yang lebih baik atau lebih banyak atau sama dengan pemberian yang telah diberikan olehnya, maka ia akan mendapat tambahan yang terus-menerus dari Allah SWT. (Darrul Mantsur).
Alangkah indahnya bila kita bersedekah lalu kita melupakan sedekah tersebut .
Allah berfirman,” Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir , pada tiap-tiap bulirseratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa saja yang Dia kehendaki . Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS : 261).
Memberikan pinjaman kepada Allah merupakan suatu investasi yang amat sangat menguntungkan. Ini merupakan ibdah sosial yang membawa dampak secara horizontal kepada sesama kita.
Sumber: Keajaiban Shodaqoh, the real stories, Sugeng D T
Anda yang bersedekah di jalan Allah pada hakikatnya, anda sedang memberikan pinjaman kepada Allah SWT , sebagaimana orang memberikan piutang, maka anda yang bersedekah pasti akan mendapat kembalian (return of investment).
Kemudian peminjam (Allah) akan mengembalikan pinjaman anda ini, dengan membawa pembayaran dan kembalian yang sangat banyak, pada saat anda yang bersedekah ini dalam keadaan sangat memerlukan. Allah juga memberikan ampunan, kemudahan, kesehatan maupun pahala yang berlipat-lipat .
Dari firman Allah ini, jelas bahwa siapa pun pelaku sedekah maka Allah akan memberikan kembalian kepada pelaku sedekah ini. Kembalian Allah bisa berupa ampunan, hidayah, kesehatan, pahala atau pun juga diberikan kemudahan jalan ketika menemui kesulitan.
Sempit atau lapangnya rezeki itu datangnya dari Allah SWT. Lapangnya rezeki terjadi bukan karena kita tidak membelanjakan harta atau sempitnya rezeki bukan karena kita banyak membelanjakan harta. Bahkan harta apa saja yang dibelanjakan di jalan Allah SWT pasti akan diperoleh di akhirat, atau didunia sekaligus di akhirat.
Dalam sebuah hadits, disebutkan bahwa malaikat Jibril meriwayatkan firman Allah,” Wahai hamba-hamba-Ku, Aku telah memberimu kenikmatan dengan karunia-Ku, dan aku meminta pinjaman dari kalian. Maka barang siapa yang mau memberi kepada-Ku dengan sukarela dan dengan semangat. Aku akan mempercepat balasannya di dunia. Dan di akhirat akan aku simpan pahala itu untuknya. Dan barang siapa memberi dengan tidak senang, tetapi dengan terpaksa, Aku akan mengambil darinya apa yang telah Aku berikan kepadanya. Tetapi jika kemudian ia bersabar atasnya dan mengharap pahala, Aku mewajibkan rahmat-Ku kearah atasnya. Dan Aku akan memasukannya kedalam orang-orang yang mendapat hidayah, dan Aku mengizinkan kepada-Nya untuk melihat-Ku “.(Kanzul ‘ummal)
Sungguh besar karunia Allah SWT bahkan ketika seseorang memberi dengan tidak senang, tetapi kemudian ia bersabar ketika harta itu diambil dengan paksaan, maka Allah SWT akan memberikan pahala kepadanya. Padahal jika ia memberikannya dengan kerelaan hati, Allah tidak akan mengambil kembali kenikmatan yang telah diberikan kepadanya.
Firman Allah ,” Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) lebih banyak ,” (Qs Al-Muddatsir 6).
Firman ini perlu menjadi perhatian kita semua, mengenai larangan bagi pelaku sedekah untuk mengharapkan balasan terhadap apa yang telah diberikan.
Barang siapa yang memberikan sedekah, zakat, atau pemberian lainnya dengan harapan orang yang diberi itu akan berbuat baik kepadanya, berarti, ia telah mengurangi sendiri pahalanya akibat menurunnya keikhlasan itu.
Ka’ad Qurzhi ra, berkata bahwa apabila ada seseorang yang memberi sesuatu dengan niat agar orang yang diberi akan membalas kepadanya sesuatu yang lebih baik dan lebih banyak, maka ia tidak akan mendapatkan suatu tambahan apapun dari sisi Allah SWT.
Dan barang siapa, yang memberi sesuatu semata-mata karena Allah SWT dan tidak mengharap orang lain membalasnya dengan pemberian yang lebih baik atau lebih banyak atau sama dengan pemberian yang telah diberikan olehnya, maka ia akan mendapat tambahan yang terus-menerus dari Allah SWT. (Darrul Mantsur).
Alangkah indahnya bila kita bersedekah lalu kita melupakan sedekah tersebut .
Allah berfirman,” Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir , pada tiap-tiap bulirseratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa saja yang Dia kehendaki . Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS : 261).
Memberikan pinjaman kepada Allah merupakan suatu investasi yang amat sangat menguntungkan. Ini merupakan ibdah sosial yang membawa dampak secara horizontal kepada sesama kita.
Sumber: Keajaiban Shodaqoh, the real stories, Sugeng D T
Kamis, 06 Oktober 2011
Antara Zuhud dan Wara' (4 dr 4)
Rasulullah telah menghimpun keseluruhan wara’ dalam satu kalimat, yg artinya,” Diantara tanda kebaikan islam adalah meninggalkan apa yg tidak bermanfaat baginya,”.
Ibrahim bin Adham berkata bahwa wara’ adalah meninggalkan setiap yang syubhat, sedangkan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat adalah meninggalkan hal-hal yg berlebihan. Abdullah bin Mubarok berkata, “Sungguh mengembalikan satu dirham yg berasal dari harta yang syubhat lebih baik bagiku daripada bersedekah dengan seratus ribu dirham”. Dan Umar bin Abdul Aziz dinyalakan baginya sebuah lilin utk menunaikan tugas menyelesaikan perkara kaum muslimin, jika dia telah selesai maka diapun memadamkan lampu lilin tersebut lalu dia menyalakan lampunya miliknya sendiri.
Suatu hari, dia pernah berkata kepada istrinya: Apakah engkau memiliki satu dirham untuk membeli anggur ?.
Istrinya menjawab: Aku tidak memiliki uang.
Dia bertanya kembali: Apakah engkau memiliki satu keeping uang?.
Istrinya menjawab: Aku tidak punya, dan engkau sebagai amirul mu’minin apakah engkau tidak memiliki uang satu dirham saja?.
Dia menjawab: Perkara ini lebih mudah daripada melepaskan diri dari ikatan rantai di dalam neraka jahanam.
Telah disebutkan sebelumnya tentang perkataan syekh Utsaimin bahwa kesamaran tersebut bisa terjadi dalam beberapa hal, yaitu kesamaran dalam hukum, dan seorang mu’min tidak mengetahui apakah dia termasuk di dalam perkara halal dengan jelas atau di dalam perkara yang haram dengan jelas. Perkara ini memiliki contoh yang sangat banyak,
sebab perbedaannya didasarkan pada perbedaan pemahaman para ulama, di antara mereka ada yang menganggap halal dan sebagian yang lain berkata haram, hal ini terlihat dalam sebagian aqad transaksi dan cara jual beli yang banyak berkembang di masa sekarang ini”.( Musnad Imam Ahmad: 5/363 dan Al-Hutsaimi berkata dalam: Majma’uz Zawa’id: 10/296 riwayat Ahmad dengan sanad-sanadnya dan rijalnya yang merawikannya adalah rijal dalam kategori shahih. Dan Al Bani berkata di dalam di dalam silsilah Al-Dahifah: 1/62 dan sanadnya shahih dengan syarat muslim).
Jadi ketenangan hidup di dunia adalah dambaan setiap orang. Akan tetapi betapa banyak manusia yang hidupnya penuh dengan kegelisahan, gundah gulana, kecemasan, ketakutan, adanya kebencian dengan orang lain, dan keadaan lainnya yang tidak diinginkannya.
Dan hal yang perlu diingatkan bagi orang yang meninggalkan dan menjauhi perkara syubhat bahwa Allah SWT akan memberikan ganti baginya dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang telah terlewat.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam musnadnya dari Abi Qotadah dan Abi Dahma’ bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah SWT kecuali Dia akan memberikan ganti bagimu dengan yang lebih baik darinya”.
Diriwayatkan Imam an-Nawawi rahimahullah tinggal di negeri Syam (Irak), beliau hidup dan wafat disana, begitu lama beliau tinggal di negeri syam tapi belum pernah beliau mencicipi buah-buahan disana, ketika ditanya penyebabnya beliau menjawab :" di negeri ini banyak sekali perkebunan berstatus wakaf kaum muslimin, maka aku takut memakan harta wakaf". karena sifat wara` inilah maka Allah memuliakan beliau dan menjadikan beliau sebagai rujukan ilmu keislaman bagi kaum muslimin.
Suatu hari, zhahir bybras -penguasa saat itu- memintanya berfatwa untuk memobilisasi harta kaum muslimin untuk keperluan membeli senjata, para ulama syam mengeluarkan fatwa kecuali imam an-nawawi, maka zhahir mencercanya dengan mengatakan :" saya ingin menghalangi musuh Allah dan menjaga kehormatan islam sementara anda tidak mau memberi fatwa agar rakyat mengumpulkan harta mereka buat membeli senjata".
Imam an-nawawi berkata :" anda telah menjadikan kami hamba yang yang tidak memiliki dunia sedikitpun, sementara aku melihat kamu memiliki pelayan baik laki atau perempuan, istana dan harta melimpah dan itu semua adalah bukan milikmu, jika anda menjual semuanya dan ternyata itu masih belum cukup untuk membeli senjata maka saya akan memberi fatwa padamu untuk mengumpulkan harta kaum muslimin".
Marahlah zhahir sambil berkata : "keluarlah kamu dari negeri ini.." . maka pergilah beliau keluar dari negeri syam menuju ke kampung nawa`. setelah itu datanglah ulama-ulama syam kepada zhahir dan berkata :" kita sangat membutuhkan ilmunya muhyiddin ibn syaraf an-nawawi". maka zhahir berkata :" kalau begitu, suruhlah ia kembali..". maka merekapun pergi ke nawa` dan berkata padanya : " kembalilah ya ustadz, zhahir telah mengizinkanmu menetap kembali di negri syam".
Imam an-nawawi berkata :" demi Allah saya tidak akan kembali selama zhahir masih hidup". Lihatlah harga dirinya, ketinggian martabatnya, kemuliaannya sebagai ulama yang benar dan jujur serta prinsipnya yang kokoh sebagai panutan ummat, apa yang menyebabkan beliau mampu menegakkan kehormatan sebagai ulama? sungguh wara` yang Allah berikan kepada beliau itulah yang menjadi sebabnya.
Sikap wara` melahirkan keberanian, kekuatan, tangguh dan istiqamah diatas kebenaran adapun ulama atau pemimpin yang mengikuti dan terjangkiti penyakit syahwat dan syubhat maka hatinya akan lemah, sakit, takut kehilanagan rizki, takut dapur tidak berasap, cinta kepada dunia, terhijab dari jalan yang benar dan sudah pasti jauh dari pertolongan Allah Ta`ala, bagaimana orang yang bermaksiat dan berbuat dosa akan memiliki hati atau azam yang kuat dan penuh keberanian?
Wara' merupakan bentuk penghindaran dan ketidaksukaan atas obyek wara' . Sedangkan Zuhud merupakan ketiadaan harapan atau keinginan terhadap obyek zuhud Jadi jika ada sesuata yang tidak ada manfaatnya atau ada mudharatnya , bahkan atau kemanfaatannya dan akibat buruk nya adalah seimbang disetiap sisinya , maka perkara itu tidak layak diharap maupun dibenci, dan yang layak adalah zuhud bukan wara'. Sehingga dapat dikatakan bahwa apa yang layak untuk di-wara'-I maka layak pula untuk di-zuhud-i. tetapi tidak untuk sebaliknya. Wara’ membuahkan zuhud.
Saudaraku, perasaan takut membuahkan wara’ dimana permohonan pertolgan dan harapan yang tidak muluk-muluk. Kekuatan iman kepada perjumpaan dengan allah membuahkan zuhud. Ma’rifat membuahkan cinta, takut dan harapan. Rasa cukup membuahkan ridha. Dzikir membuahkan kehidupan hati, iman kepada takdir membuahkan tawakal.
Sesuatu yang dibenci atau dihindari untuk tidak menjadi keinginan atau diharap. Ketidakinginan ini lebih utama dari adanya kebencian. Adanya kebencian akan melazimkan tidak aadnya keinginan, tetapi tidak sebaliknya. Tidak setiap yang tidak diingini layak untuk dibenci. Namun kadangkala ada perkara yang tidak layak untuk diharap, dibensi atau disukai, dimurkai, diperintahkan atau dilarang dalam waktu.
Dengan ini menjadi jelas bahwa, perkara yang wajib atau mustahabaat (disukai) tidak layak untuk di-zuhud-i dan tidak pula di –wara’-i. Sedangkan makruhat (peerkara yang dibenci) layak untuk di-wara'-I dan di-zuhud-i. Untuk mubahaat (perkara yang boleh) yang layak adalah di-zuhud-i bukan di-wara'-i.
Dalam Manazilus Sa’irin , wara’ merupakan kesudahan zuhud nya orang-orang awam, dan merupakan permulaan zuhud orang khusus yang berjalan menuju Allah. Menurut Imam al-Ahmad, zuhudnya orang-orang awam adalah meninggalkan perkara-perkara yang haram. Sedangkan tingkatan diatasnya adalah zuhudnya orang-orang yang khusus, yaitu meninggalkan berlebih-lebihan dalam perkara yang halal. Selanjutnya zuhudnya orang-orang yang memiliki makrifat, yaitu orang-orang yang meninggalkan kesibukan selain dari Allah, atau ia selalu menyibukkan diri dengan hal-hal yang berkaitan dengan ridha Allah. Hamba ini adalah hamba yang memenuhi hatinya dengan kecintaan kepada Allah dan pengagungan-Nya. Dan hamba yang memiliki makrifat ini tidak melihat bahwa perbuatan zuhudnya itu sebagai sesuatu prestasi yang besar, ia malu jika hatinya mempersaksikan kezuhudan dirinya. Ia tidak berpikir untuk mendapatkan derajat disisi Allah dari perbuatan zuhudnya itu, sebab ia merasa terlalu hina menuntutnya dihadapan Allah.
Semoga bermanfaat , Allahu a'lam
Sumber: Ahmad bin Ali Soleh, Amin bin Abdullah asy‐Syaqawi dalam Al-Wara'
fatawaa syaikhul islam, al-Qaamuus, asaasul-balagaah , minhajul qaasidin, qitabul zuhud ,Qawaa'id wa Fawaa`id minal Arba'iin An-Nawawiyyah , At-Ta'liiqaat 'alal Arba'iin An-Nawawiyyah , Ibn Qayyim al-Jauzi dalam Madarijus Salikin.
Ibrahim bin Adham berkata bahwa wara’ adalah meninggalkan setiap yang syubhat, sedangkan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat adalah meninggalkan hal-hal yg berlebihan. Abdullah bin Mubarok berkata, “Sungguh mengembalikan satu dirham yg berasal dari harta yang syubhat lebih baik bagiku daripada bersedekah dengan seratus ribu dirham”. Dan Umar bin Abdul Aziz dinyalakan baginya sebuah lilin utk menunaikan tugas menyelesaikan perkara kaum muslimin, jika dia telah selesai maka diapun memadamkan lampu lilin tersebut lalu dia menyalakan lampunya miliknya sendiri.
Suatu hari, dia pernah berkata kepada istrinya: Apakah engkau memiliki satu dirham untuk membeli anggur ?.
Istrinya menjawab: Aku tidak memiliki uang.
Dia bertanya kembali: Apakah engkau memiliki satu keeping uang?.
Istrinya menjawab: Aku tidak punya, dan engkau sebagai amirul mu’minin apakah engkau tidak memiliki uang satu dirham saja?.
Dia menjawab: Perkara ini lebih mudah daripada melepaskan diri dari ikatan rantai di dalam neraka jahanam.
Telah disebutkan sebelumnya tentang perkataan syekh Utsaimin bahwa kesamaran tersebut bisa terjadi dalam beberapa hal, yaitu kesamaran dalam hukum, dan seorang mu’min tidak mengetahui apakah dia termasuk di dalam perkara halal dengan jelas atau di dalam perkara yang haram dengan jelas. Perkara ini memiliki contoh yang sangat banyak,
sebab perbedaannya didasarkan pada perbedaan pemahaman para ulama, di antara mereka ada yang menganggap halal dan sebagian yang lain berkata haram, hal ini terlihat dalam sebagian aqad transaksi dan cara jual beli yang banyak berkembang di masa sekarang ini”.( Musnad Imam Ahmad: 5/363 dan Al-Hutsaimi berkata dalam: Majma’uz Zawa’id: 10/296 riwayat Ahmad dengan sanad-sanadnya dan rijalnya yang merawikannya adalah rijal dalam kategori shahih. Dan Al Bani berkata di dalam di dalam silsilah Al-Dahifah: 1/62 dan sanadnya shahih dengan syarat muslim).
Jadi ketenangan hidup di dunia adalah dambaan setiap orang. Akan tetapi betapa banyak manusia yang hidupnya penuh dengan kegelisahan, gundah gulana, kecemasan, ketakutan, adanya kebencian dengan orang lain, dan keadaan lainnya yang tidak diinginkannya.
Dan hal yang perlu diingatkan bagi orang yang meninggalkan dan menjauhi perkara syubhat bahwa Allah SWT akan memberikan ganti baginya dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang telah terlewat.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam musnadnya dari Abi Qotadah dan Abi Dahma’ bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah SWT kecuali Dia akan memberikan ganti bagimu dengan yang lebih baik darinya”.
Diriwayatkan Imam an-Nawawi rahimahullah tinggal di negeri Syam (Irak), beliau hidup dan wafat disana, begitu lama beliau tinggal di negeri syam tapi belum pernah beliau mencicipi buah-buahan disana, ketika ditanya penyebabnya beliau menjawab :" di negeri ini banyak sekali perkebunan berstatus wakaf kaum muslimin, maka aku takut memakan harta wakaf". karena sifat wara` inilah maka Allah memuliakan beliau dan menjadikan beliau sebagai rujukan ilmu keislaman bagi kaum muslimin.
Suatu hari, zhahir bybras -penguasa saat itu- memintanya berfatwa untuk memobilisasi harta kaum muslimin untuk keperluan membeli senjata, para ulama syam mengeluarkan fatwa kecuali imam an-nawawi, maka zhahir mencercanya dengan mengatakan :" saya ingin menghalangi musuh Allah dan menjaga kehormatan islam sementara anda tidak mau memberi fatwa agar rakyat mengumpulkan harta mereka buat membeli senjata".
Imam an-nawawi berkata :" anda telah menjadikan kami hamba yang yang tidak memiliki dunia sedikitpun, sementara aku melihat kamu memiliki pelayan baik laki atau perempuan, istana dan harta melimpah dan itu semua adalah bukan milikmu, jika anda menjual semuanya dan ternyata itu masih belum cukup untuk membeli senjata maka saya akan memberi fatwa padamu untuk mengumpulkan harta kaum muslimin".
Marahlah zhahir sambil berkata : "keluarlah kamu dari negeri ini.." . maka pergilah beliau keluar dari negeri syam menuju ke kampung nawa`. setelah itu datanglah ulama-ulama syam kepada zhahir dan berkata :" kita sangat membutuhkan ilmunya muhyiddin ibn syaraf an-nawawi". maka zhahir berkata :" kalau begitu, suruhlah ia kembali..". maka merekapun pergi ke nawa` dan berkata padanya : " kembalilah ya ustadz, zhahir telah mengizinkanmu menetap kembali di negri syam".
Imam an-nawawi berkata :" demi Allah saya tidak akan kembali selama zhahir masih hidup". Lihatlah harga dirinya, ketinggian martabatnya, kemuliaannya sebagai ulama yang benar dan jujur serta prinsipnya yang kokoh sebagai panutan ummat, apa yang menyebabkan beliau mampu menegakkan kehormatan sebagai ulama? sungguh wara` yang Allah berikan kepada beliau itulah yang menjadi sebabnya.
Sikap wara` melahirkan keberanian, kekuatan, tangguh dan istiqamah diatas kebenaran adapun ulama atau pemimpin yang mengikuti dan terjangkiti penyakit syahwat dan syubhat maka hatinya akan lemah, sakit, takut kehilanagan rizki, takut dapur tidak berasap, cinta kepada dunia, terhijab dari jalan yang benar dan sudah pasti jauh dari pertolongan Allah Ta`ala, bagaimana orang yang bermaksiat dan berbuat dosa akan memiliki hati atau azam yang kuat dan penuh keberanian?
Wara' merupakan bentuk penghindaran dan ketidaksukaan atas obyek wara' . Sedangkan Zuhud merupakan ketiadaan harapan atau keinginan terhadap obyek zuhud Jadi jika ada sesuata yang tidak ada manfaatnya atau ada mudharatnya , bahkan atau kemanfaatannya dan akibat buruk nya adalah seimbang disetiap sisinya , maka perkara itu tidak layak diharap maupun dibenci, dan yang layak adalah zuhud bukan wara'. Sehingga dapat dikatakan bahwa apa yang layak untuk di-wara'-I maka layak pula untuk di-zuhud-i. tetapi tidak untuk sebaliknya. Wara’ membuahkan zuhud.
Saudaraku, perasaan takut membuahkan wara’ dimana permohonan pertolgan dan harapan yang tidak muluk-muluk. Kekuatan iman kepada perjumpaan dengan allah membuahkan zuhud. Ma’rifat membuahkan cinta, takut dan harapan. Rasa cukup membuahkan ridha. Dzikir membuahkan kehidupan hati, iman kepada takdir membuahkan tawakal.
Sesuatu yang dibenci atau dihindari untuk tidak menjadi keinginan atau diharap. Ketidakinginan ini lebih utama dari adanya kebencian. Adanya kebencian akan melazimkan tidak aadnya keinginan, tetapi tidak sebaliknya. Tidak setiap yang tidak diingini layak untuk dibenci. Namun kadangkala ada perkara yang tidak layak untuk diharap, dibensi atau disukai, dimurkai, diperintahkan atau dilarang dalam waktu.
Dengan ini menjadi jelas bahwa, perkara yang wajib atau mustahabaat (disukai) tidak layak untuk di-zuhud-i dan tidak pula di –wara’-i. Sedangkan makruhat (peerkara yang dibenci) layak untuk di-wara'-I dan di-zuhud-i. Untuk mubahaat (perkara yang boleh) yang layak adalah di-zuhud-i bukan di-wara'-i.
Dalam Manazilus Sa’irin , wara’ merupakan kesudahan zuhud nya orang-orang awam, dan merupakan permulaan zuhud orang khusus yang berjalan menuju Allah. Menurut Imam al-Ahmad, zuhudnya orang-orang awam adalah meninggalkan perkara-perkara yang haram. Sedangkan tingkatan diatasnya adalah zuhudnya orang-orang yang khusus, yaitu meninggalkan berlebih-lebihan dalam perkara yang halal. Selanjutnya zuhudnya orang-orang yang memiliki makrifat, yaitu orang-orang yang meninggalkan kesibukan selain dari Allah, atau ia selalu menyibukkan diri dengan hal-hal yang berkaitan dengan ridha Allah. Hamba ini adalah hamba yang memenuhi hatinya dengan kecintaan kepada Allah dan pengagungan-Nya. Dan hamba yang memiliki makrifat ini tidak melihat bahwa perbuatan zuhudnya itu sebagai sesuatu prestasi yang besar, ia malu jika hatinya mempersaksikan kezuhudan dirinya. Ia tidak berpikir untuk mendapatkan derajat disisi Allah dari perbuatan zuhudnya itu, sebab ia merasa terlalu hina menuntutnya dihadapan Allah.
Semoga bermanfaat , Allahu a'lam
Sumber: Ahmad bin Ali Soleh, Amin bin Abdullah asy‐Syaqawi dalam Al-Wara'
fatawaa syaikhul islam, al-Qaamuus, asaasul-balagaah , minhajul qaasidin, qitabul zuhud ,Qawaa'id wa Fawaa`id minal Arba'iin An-Nawawiyyah , At-Ta'liiqaat 'alal Arba'iin An-Nawawiyyah , Ibn Qayyim al-Jauzi dalam Madarijus Salikin.
Rabu, 05 Oktober 2011
beruntunglah orang yg didoakan Malaikat
Allah berfirman yang artinya " Dan milik-Nya siapa yang dilangit dan di bumi. Dan (malaikat-malaikat) yang ada di sisi-Nya, mereka tidak angkuh untuk menyembah-Nya dan tidak (pula) merasa letih. Mereka (malaikat-malaikat) selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya." (Qs. Al Anbiyaa: 19-20). Malaikat , makhluk yg selalu menurut , selalu patuh thd perintah Allah dan selalu bertasbih memuji-Nya setiap waktu. Mereka tidak diciptakan untuk membangkang kepada Allah. Malaikat adalah alam gaib, makhluk, dan hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala. Malaikat tidak memiliki keistimewaan rububiyah dan uluhiyah. Allah menciptakan dari cahaya serta memberikan ketaatan yg sempurna serta kekuatan untuk melaksanakan ketaatan itu. (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin , Syarhu Ushulil Iman). Dengan ketaatan yg sempurna, maka tentu doa-doa malaikat dikabulkan Allah. Dan sungguh beruntung manusia yg mendapat kesempatan didoakan oleh para malaikat. Lalu siapakah hamba yg beruntung itu?
Allah berfirman, yang artinya ,”Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu ; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan “, (Qs. At-Tahrim : 6).
Allah berfirman, yang artinya ," dan mereka berkata “Tuhan Yang Maha Pengasih telah menjadikan (malaikat) sebagi anak”, Maha Suci ALLAH. Sebenarnya mereka (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang dimuliakan, mereka itu tidak berbicara mendahului-NYA dan mereka mengerjakan perintah-perintah-NYA. ALLAH mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai ALLAH, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada NYA. (QS. Al-Anbiyya’ : 26-28)
Malaikat adalah makhluk yang tidak pernah berhenti bertasbih memuji Allah di siang dan malam. Saudaraku ,sungguh jangan kita menyia-nyiakan kesempatan berharga ini. Semoga Allah memberi hidayah-Nya kepada kita agar kita bisa termasuk orang-orang yang didoakan malaikat. Dan sesungguhnya, makhluk yang mulia ini juga selalu beristighfar untuk memohon ampunan kepada ALLAH untuk hamba-hamba-Nya yang beriman. Agar Allah mengampuni kesalahan–kesalahan dan dosa-dosa manusia.
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ,"(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-NYA serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu yang ada pada-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan (agmam) -Mu dan peliharalah mereka dari azab neraka , ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam syurga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka, dan orang-orang yang saleh di antara nenek moyang mereka, istri-istri, dan keturunan mereka . Sungguh, Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari (bencana) kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (bencana) kejahatan pada hari itu , maka sungguh telah, Engkau telah menganugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang agung.” (QS. Al-Mu’min : 7-9)
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ," Hampir saja langit itu pecah dari sebelah atas (karena kebesaran Tuhan) dan malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhan-nya dan memohonkan ampunan untuk orang-orang yang ada di bumi. Ingatlah, sesungguhnya Alaah Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Penyayang." (QS. Asy-Syuraa : 5).
Saudaraku, sungguh beruntung hamba-hamba-Nya yang mendapat kesempatan untuk didoakan para makhluk yang dimuliakan Allah itu, semoga kita termasuk didalamnya. Adapun orang-orang yang didoakan para malaikat itu antara lain;
1. Orang yang tidur dalam keadaan bersuci.
Rasulullah SAW bersabda, yang artinya ,"Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa 'Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci". (Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra., dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/37)
Subhnallah. Suatu amalan yang seharusnya mudah dilakukan oleh setiap hamba beriman akan tetapi hikmahnya sungguh luar biasa. Semoga kita bisa istiqomah mengamalkannya? Biasanya kalau sudah mengantuk kita akan langsung tidur tidak ingat akan wudhu. Mulai dari sekarang, marilah kita membiasakan amalan ini, semoga Allah meringankan kita semua untuk dapat melaksanakannya. Sungguh kita sangat rugi tidak ikut didoakan oleh para malaikat, hamba yang disucikan Allah.
2. Orang yang sedang duduk menunggu waktu shalat.
Rasulullah SAW bersabda,yang artinya , "Tidaklah salah seorang diantara kalian yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya 'Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia'" (Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Muslim no. 469).
Saudaraku marilah kita membiasakan untuk bergegas segera ke masjid menjelang saat shalat wajib , sehingga saat adzan berkumandang kita sudah ada di masjid. Seringkali kita terbiasa datang ke masjid setelah adzan dikumandangkan, atau bahkan setelah iqomah dilantunkan.
Maka kita kehilangan kesempatan berharga untuk menunggu shalat wajib dilaksanakan di masjid. Padahal subhanallah, kita akan termasuk orang yang didoakan oleh para malaikat seandainya kita dapat menunggu datangnya shalat itu , kita sudah berada di masjid. Bahkan doa di antara adzan dan iqomah merupakan waktu yang sangat ijabah untuk berdoa, mari kita gunakan kesempatan emas ini untuk memperbanyak berdoa.
3. Orang-orang yang berada di shaf barisan depan di dalam shalat berjamaah.
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang - orang) yang berada pada shaf - shaf terdepan" (Imam Abu Dawud (dan Ibnu Khuzaimah) dari Barra' bin 'Azib ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud I/130).
Bahkan Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah mengatakan bahwa sungguh Rasulullah bersabda, yang artinya ," Seandainya manusia mengetahui (pahala) yang terdapat pada adzan dan shaff yang pertama, lalu mereka takkan mendapatkannya melainkan dengan mengundi, tentu mereka akan melakukannya."
Subhanallah sungguhn beruntung seorang hamba yang mendapatkan kesempatan shalat di shaff pertama jika mengetahui. Mengapa setiap waktu kita tidak merebutnya kesempatan tersebut?
Kita sering terbiasa shalat sendiri, atau datang ke masjid terlambat sehingga terlewatkan untuk mendapatkan shaff terdepan.
4. Orang-orang yang menyambung shaf pada sholat berjamaah (tidak membiarkan sebuah kekosongan di dalam shaf).
Rasulullah SAW bersabda, yang artinya "Sesungguhnya Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada orang-orang yang menyambung shaf-shaf" (Para Imam yaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim meriwayatkan dari Aisyah ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/272).
Kita sebagai makmum seringkali masbuk dan tidak mencermati tepi-tepi shaff, langsung membuat shaff baru padahal shaff pertama masih dapat diisi. Pada hal kalau mau menyambung shaff pertama termasuk golongan orang yang didoakan oleh para malaikat.
5. Para malaikat mengucapkan 'Amin' ketika seorang Imam selesai membaca Al Fatihah.
Rasulullah SAW bersabda, "Jika seorang Imam membaca 'ghairil maghdhuubi 'alaihim waladh dhaalinn', maka ucapkanlah oleh kalian 'aamiin', karena barangsiapa ucapannya itu bertepatan dengan ucapan malaikat, maka ia akan diampuni dosanya yang masa lalu". (Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Bukhari no. 782)
Karena ketika dalam shalat berjamaah makmum mengucapkan aamiin, maka para malaikat langit pun mengucapkan aamiin. Kalau ucapan aamiin tersebut bertepatan dengan ucapan aamiin para malaikat, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Subhanallah.
6. Orang yang duduk di tempat shalatnya setelah melakukan shalat.
Rasulullah SAW bersabda, "Para malaikat akan selalu bershalawat ( berdoa ) kepada salah satu diantara kalian selama ia ada di dalam tempat shalat dimana ia melakukan shalat, selama ia belum batal wudhunya, (para malaikat) berkata, 'Ya Allah ampunilah dan sayangilah ia'" (Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, Al Musnad no. 8106, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkan hadits ini).
Karena itu apabila sudah selesai shalat , sebaiknya kita jangan segera pergi meninggalkan tempat shalat,atau mengobrol dengan kawan didekatnya. Mari kita isi dengan berdzikir kepada Allah yang banyak , serta memnafaatkan waktu untuk berdoa , dan para malaikat pun akan mendoakan juga. Subhanallah.
7. Orang-orang yang melakukan shalat shubuh dan 'ashar secara berjama'ah.
Rasulullah SAW bersabda, "Para malaikat berkumpul pada saat shalat shubuh lalu para malaikat ( yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga shubuh) naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal. Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat 'ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat 'ashar) naik (ke langit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka, 'Bagaimana kalian meninggalkan hambaku?', mereka menjawab, 'Kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat'" (Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Al Musnad no. 9140, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir).
Saudaraku, betapa bahagianya apabila kita termasuk dalam barisan orang-orang yang disebutkan malaikat tadi.
8. Orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan.
Rasulullah SAW bersabda, "Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata 'aamiin dan engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan'" (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummud Darda' ra., Shahih Muslim no. 2733).
Dari Abu Darda' bahwa dia berkata bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
yang artinya," Tidaklah seorang muslim berdoa untuk saudaranya yang tidak di hadapannya , maka malaikat yang ditugaskan kepadanya berkata : "Amin, dan bagimu seperti yang kau doakan". [Shahih Muslim, kitab Doa wa Dzikir bab Fadli Doa fi Dahril Ghalib].
Imam An-Nawawi berkata bahwa hadits di atas menjelaskan tentang keutamaan seorang muslim mendoakan saudaranya dari tempat yang jauh, jika seandainya dia mendoakan sejumlah atau sekelompok umat Islam, maka tetap mendapatkan keutamaan tersebut. Oleh sebab itu sebagian ulama salaf tatkala berdoa untuk diri sendiri dia menyertakan saudaranya dalam doa tersebut, karena disamping terkabul dia akan mendapatkan sesuatu semisalnya. [Syarh Shahih Muslim karya Imam An-Nawawi 17/49].
Saudaraku, tidak ada kerugian sedikitkpun bila kita mendoakan kebaikan bagi saudara kita, atau orang lain. Bahkan justru kita sendiri yang lebih beruntung daripada orang yang kita doakan itu. Logikanya adalah orang lain (saudara kita) didoakan oleh kita yang notabene adalah makhluk yang selalu dilumuri dosa. Sedangkan kita mendapatkan balasan didoakan oleh malaikat yang notabene adalah makhluk mulia yang selalu mentaati perintah Allah. Bila kita pikir lebih berbobot mana doa yang kita panjatkan kepada orang lain tersebut, dengan balasan doa yang kita terima dari makhlu mulia malaikat. Jadi mari kita biasakan unetuk selalu mendoakan kebaikan pada orang lain.
Dari Shafwan bin Abdullah bahwa dia berkata : Saya tiba di negeri Syam lalu saya menemui Abu Darda' di rumahnya, tetapi saya hanya bertemu dengan Ummu Darda' dan dia berkata : Apakah kamu ingin menunaikan haji tahun ini ?
Saya menjawab : Ya. Dia berkata : Doakanlah kebaikan untuk kami karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda , yang artinya ," Doa seorang muslim untuk saudaranya yang tidak ada di hadapannya terkabulkan dan disaksikan oleh malaikat yang ditugaskan kepadanya, tatkala dia berdoa untuk saudaranya, maka malaikat yang di tugaskan kepadanya mengucapkan : Amiin da bagimu seperti yang kau doakan". Shafwan berkata : "Lalu saya keluar menuju pasar dan bertemu dengan Abu Darda', beliau juga mengutarakan seperti itu dan dia meriwayatkannya dari Nabi. [Shahih Muslim, kitab Dzikir wa Doa bab Fadlud Doa Lil Muslimin fi Dahril Ghaib 8/86-87]
Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa jika seorang muslim mendoakan saudaranya kebaikan dari tempat yang jauh dan tanpa diketahui oleh saudara tersebut, maka doa tersebut akan dikabulkan, sebab doa seperti itu lebih berbobot dan ikhlas karena jauh dari riya dan sum'ah serta berharap imbalan sehingga lebih diterima oleh Allah. [Mir'atul Mafatih 7/349-350]
9. Orang-orang yang berinfak.
Rasulullah SAW bersabda, "Tidak satu hari pun dimana pagi harinya seorang hamba ada padanya kecuali 2 (dua) malaikat turun kepadanya, salah satu diantara keduanya berkata, 'Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak'. Dan lainnya berkata, 'Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang pelit'" (Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Bukhari no. 1442 dan Shahih Muslim no. 1010).
Saudaraku, marilah kita biasakan dir untuk dapat berinfak setiap hari , betapapun kecilnya infak itu. Semoga kebiasaan baik ini menjadi keberkahan yang besar buat kita.
Sesungguhnya pihak yang paling banyak mendapat manfaat dari sedekah , infak dst adalah orang itu sendiri.
Sebagaimana allah berfirman, yang artinya ," Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya dijalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. (Qs. Al-Baqarah : 261)
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ," Dan perimpamaan orang yang menginfakkan hartanya untuk mencari ridha Allah dan untuk mempertehuh jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buah-buahan dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka embun (pun memadai) . Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. " (Qs. Al-Baqarah : 265).
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ," Orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Qs. Al-Baqarah : 274).
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ," Jika kamu meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, niscaya Dia melipat-gandakan (balasan) untukmu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Mensyukuri , Maha Penyantun. (Qs. At-Tagabun : 17)
Dan masih banyak firman Allah yang menyebutkan tentang kemuliaan bersedekah di jalan Allah.
10. Orang yang sedang makan sahur.
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat (berdoa ) kepada orang-orang yang sedang makan sahur" Insya Allah termasuk disaat sahur untuk puasa "sunnah" (Imam Ibnu Hibban dan Imam Ath Thabrani, meriwayaatkan dari Abdullah bin Umar ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhiib wat Tarhiib I/519).
11. Orang yang sedang menjenguk orang sakit.
Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah seorang mukmin menjenguk saudaranya kecuali Allah akan mengutus 70.000 malaikat untuknya yang akan bershalawat kepadanya di waktu siang kapan saja hingga sore dan di waktu malam kapan saja hingga shubuh" (Imam Ahmad meriwayatkan dari 'Ali bin Abi Thalib ra., Al Musnad no. 754, Syaikh Ahmad Syakir berkata bahwa sanadnya shahih)
Syaikh Ahmad Abdurrahman al Banna dalam syarahnya menjelaskan, bahwa Shalawat malaikat bagi anak adam ialah dengan mendoakan agar mereka diberi rahmat dan maghfirah. Sedang yang dimaksud dengan ‘kapanpun di siang hari’ yakni waktu ia menjenguk. Jika ia menjenguknya di siang hari, maka malaikat mendoakannya hingga sore hari dan bila ia menjenguknya di malam hari, maka malaikat mendoakannya hingga pagi. Oleh karena itu, orang yang berniat hendaknya berangkat sepagi mungkin di awal siang, atau bersegera begitu malam menjelang, agar semakin banyak didoakan malaikat.
Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, yang artinya ,“Sesungguhnya pada hari kiamat Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, "‘Hai Anak Adam, Aku Sakit, tetapi kamu tidak menjenguk-Ku." iaDia berkata. ‘Wahai Rabb-ku, bagaimana saya menjenguk-Mu, padahal Engkau adalah Rabb semesta alam?!’ Dia berfirman, yang artinya , "Tidak tahukah kamu bahwa hamba-Ku, fulan, sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya. Tidak tahukah kamu jika kamu menjenguknya, kamu akan mendapati Aku berada di sisi-Nya." (diriwayatkan oleh Muslim, no. 2569).
Sungguh luar biasa hikmah kita menjenguk orang yang sedang menderita sakit. Dimana Allah mengutus 70.000 malaikat untuk mendoakan kita.
12. Seseorang yang sedang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.
Rasulullah SAW bersabda, "Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas seorang yang paling rendah diantara kalian. Sesungguhnya penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang di dalam lubangnya dan bahkan ikan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain" (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahily ra., dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Kitab Shahih At Tirmidzi II/343).
Saudaraku , mari kita selalu menularkan atau mengajarkan kebaikan-kebaikan kepada orang-orang di sekitar kita , sungguh Allah tidak menyia-nyiakan kepada hamba-Nya yang berbuat kebaikan .
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ," Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka mendapat pahala yang tiada putus-putusnya.(Qs. Fussilat : 8).
Sungguh betapa beruntungnya kita (manusia) jika termasuk ke dalam golongan orang-orang yang di doakan oleh para malaikat. Semoga ikhtiar kita dapat membawa diri kita masuk ke dalam golongan orang-orang yang didoakan oleh para malaikat. Amin yaa ALLAH..
Allahu a'lam
Sumber : Syaikh Dr. Fadhl Ilahi,
Allah berfirman, yang artinya ,”Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu ; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan “, (Qs. At-Tahrim : 6).
Allah berfirman, yang artinya ," dan mereka berkata “Tuhan Yang Maha Pengasih telah menjadikan (malaikat) sebagi anak”, Maha Suci ALLAH. Sebenarnya mereka (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang dimuliakan, mereka itu tidak berbicara mendahului-NYA dan mereka mengerjakan perintah-perintah-NYA. ALLAH mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai ALLAH, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada NYA. (QS. Al-Anbiyya’ : 26-28)
Malaikat adalah makhluk yang tidak pernah berhenti bertasbih memuji Allah di siang dan malam. Saudaraku ,sungguh jangan kita menyia-nyiakan kesempatan berharga ini. Semoga Allah memberi hidayah-Nya kepada kita agar kita bisa termasuk orang-orang yang didoakan malaikat. Dan sesungguhnya, makhluk yang mulia ini juga selalu beristighfar untuk memohon ampunan kepada ALLAH untuk hamba-hamba-Nya yang beriman. Agar Allah mengampuni kesalahan–kesalahan dan dosa-dosa manusia.
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ,"(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-NYA serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu yang ada pada-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan (agmam) -Mu dan peliharalah mereka dari azab neraka , ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam syurga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka, dan orang-orang yang saleh di antara nenek moyang mereka, istri-istri, dan keturunan mereka . Sungguh, Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari (bencana) kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (bencana) kejahatan pada hari itu , maka sungguh telah, Engkau telah menganugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang agung.” (QS. Al-Mu’min : 7-9)
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ," Hampir saja langit itu pecah dari sebelah atas (karena kebesaran Tuhan) dan malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhan-nya dan memohonkan ampunan untuk orang-orang yang ada di bumi. Ingatlah, sesungguhnya Alaah Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Penyayang." (QS. Asy-Syuraa : 5).
Saudaraku, sungguh beruntung hamba-hamba-Nya yang mendapat kesempatan untuk didoakan para makhluk yang dimuliakan Allah itu, semoga kita termasuk didalamnya. Adapun orang-orang yang didoakan para malaikat itu antara lain;
1. Orang yang tidur dalam keadaan bersuci.
Rasulullah SAW bersabda, yang artinya ,"Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa 'Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci". (Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra., dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/37)
Subhnallah. Suatu amalan yang seharusnya mudah dilakukan oleh setiap hamba beriman akan tetapi hikmahnya sungguh luar biasa. Semoga kita bisa istiqomah mengamalkannya? Biasanya kalau sudah mengantuk kita akan langsung tidur tidak ingat akan wudhu. Mulai dari sekarang, marilah kita membiasakan amalan ini, semoga Allah meringankan kita semua untuk dapat melaksanakannya. Sungguh kita sangat rugi tidak ikut didoakan oleh para malaikat, hamba yang disucikan Allah.
2. Orang yang sedang duduk menunggu waktu shalat.
Rasulullah SAW bersabda,yang artinya , "Tidaklah salah seorang diantara kalian yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya 'Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia'" (Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Muslim no. 469).
Saudaraku marilah kita membiasakan untuk bergegas segera ke masjid menjelang saat shalat wajib , sehingga saat adzan berkumandang kita sudah ada di masjid. Seringkali kita terbiasa datang ke masjid setelah adzan dikumandangkan, atau bahkan setelah iqomah dilantunkan.
Maka kita kehilangan kesempatan berharga untuk menunggu shalat wajib dilaksanakan di masjid. Padahal subhanallah, kita akan termasuk orang yang didoakan oleh para malaikat seandainya kita dapat menunggu datangnya shalat itu , kita sudah berada di masjid. Bahkan doa di antara adzan dan iqomah merupakan waktu yang sangat ijabah untuk berdoa, mari kita gunakan kesempatan emas ini untuk memperbanyak berdoa.
3. Orang-orang yang berada di shaf barisan depan di dalam shalat berjamaah.
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang - orang) yang berada pada shaf - shaf terdepan" (Imam Abu Dawud (dan Ibnu Khuzaimah) dari Barra' bin 'Azib ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud I/130).
Bahkan Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah mengatakan bahwa sungguh Rasulullah bersabda, yang artinya ," Seandainya manusia mengetahui (pahala) yang terdapat pada adzan dan shaff yang pertama, lalu mereka takkan mendapatkannya melainkan dengan mengundi, tentu mereka akan melakukannya."
Subhanallah sungguhn beruntung seorang hamba yang mendapatkan kesempatan shalat di shaff pertama jika mengetahui. Mengapa setiap waktu kita tidak merebutnya kesempatan tersebut?
Kita sering terbiasa shalat sendiri, atau datang ke masjid terlambat sehingga terlewatkan untuk mendapatkan shaff terdepan.
4. Orang-orang yang menyambung shaf pada sholat berjamaah (tidak membiarkan sebuah kekosongan di dalam shaf).
Rasulullah SAW bersabda, yang artinya "Sesungguhnya Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada orang-orang yang menyambung shaf-shaf" (Para Imam yaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim meriwayatkan dari Aisyah ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/272).
Kita sebagai makmum seringkali masbuk dan tidak mencermati tepi-tepi shaff, langsung membuat shaff baru padahal shaff pertama masih dapat diisi. Pada hal kalau mau menyambung shaff pertama termasuk golongan orang yang didoakan oleh para malaikat.
5. Para malaikat mengucapkan 'Amin' ketika seorang Imam selesai membaca Al Fatihah.
Rasulullah SAW bersabda, "Jika seorang Imam membaca 'ghairil maghdhuubi 'alaihim waladh dhaalinn', maka ucapkanlah oleh kalian 'aamiin', karena barangsiapa ucapannya itu bertepatan dengan ucapan malaikat, maka ia akan diampuni dosanya yang masa lalu". (Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Bukhari no. 782)
Karena ketika dalam shalat berjamaah makmum mengucapkan aamiin, maka para malaikat langit pun mengucapkan aamiin. Kalau ucapan aamiin tersebut bertepatan dengan ucapan aamiin para malaikat, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Subhanallah.
6. Orang yang duduk di tempat shalatnya setelah melakukan shalat.
Rasulullah SAW bersabda, "Para malaikat akan selalu bershalawat ( berdoa ) kepada salah satu diantara kalian selama ia ada di dalam tempat shalat dimana ia melakukan shalat, selama ia belum batal wudhunya, (para malaikat) berkata, 'Ya Allah ampunilah dan sayangilah ia'" (Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, Al Musnad no. 8106, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkan hadits ini).
Karena itu apabila sudah selesai shalat , sebaiknya kita jangan segera pergi meninggalkan tempat shalat,atau mengobrol dengan kawan didekatnya. Mari kita isi dengan berdzikir kepada Allah yang banyak , serta memnafaatkan waktu untuk berdoa , dan para malaikat pun akan mendoakan juga. Subhanallah.
7. Orang-orang yang melakukan shalat shubuh dan 'ashar secara berjama'ah.
Rasulullah SAW bersabda, "Para malaikat berkumpul pada saat shalat shubuh lalu para malaikat ( yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga shubuh) naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal. Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat 'ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat 'ashar) naik (ke langit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka, 'Bagaimana kalian meninggalkan hambaku?', mereka menjawab, 'Kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat'" (Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Al Musnad no. 9140, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir).
Saudaraku, betapa bahagianya apabila kita termasuk dalam barisan orang-orang yang disebutkan malaikat tadi.
8. Orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan.
Rasulullah SAW bersabda, "Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata 'aamiin dan engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan'" (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummud Darda' ra., Shahih Muslim no. 2733).
Dari Abu Darda' bahwa dia berkata bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
yang artinya," Tidaklah seorang muslim berdoa untuk saudaranya yang tidak di hadapannya , maka malaikat yang ditugaskan kepadanya berkata : "Amin, dan bagimu seperti yang kau doakan". [Shahih Muslim, kitab Doa wa Dzikir bab Fadli Doa fi Dahril Ghalib].
Imam An-Nawawi berkata bahwa hadits di atas menjelaskan tentang keutamaan seorang muslim mendoakan saudaranya dari tempat yang jauh, jika seandainya dia mendoakan sejumlah atau sekelompok umat Islam, maka tetap mendapatkan keutamaan tersebut. Oleh sebab itu sebagian ulama salaf tatkala berdoa untuk diri sendiri dia menyertakan saudaranya dalam doa tersebut, karena disamping terkabul dia akan mendapatkan sesuatu semisalnya. [Syarh Shahih Muslim karya Imam An-Nawawi 17/49].
Saudaraku, tidak ada kerugian sedikitkpun bila kita mendoakan kebaikan bagi saudara kita, atau orang lain. Bahkan justru kita sendiri yang lebih beruntung daripada orang yang kita doakan itu. Logikanya adalah orang lain (saudara kita) didoakan oleh kita yang notabene adalah makhluk yang selalu dilumuri dosa. Sedangkan kita mendapatkan balasan didoakan oleh malaikat yang notabene adalah makhluk mulia yang selalu mentaati perintah Allah. Bila kita pikir lebih berbobot mana doa yang kita panjatkan kepada orang lain tersebut, dengan balasan doa yang kita terima dari makhlu mulia malaikat. Jadi mari kita biasakan unetuk selalu mendoakan kebaikan pada orang lain.
Dari Shafwan bin Abdullah bahwa dia berkata : Saya tiba di negeri Syam lalu saya menemui Abu Darda' di rumahnya, tetapi saya hanya bertemu dengan Ummu Darda' dan dia berkata : Apakah kamu ingin menunaikan haji tahun ini ?
Saya menjawab : Ya. Dia berkata : Doakanlah kebaikan untuk kami karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda , yang artinya ," Doa seorang muslim untuk saudaranya yang tidak ada di hadapannya terkabulkan dan disaksikan oleh malaikat yang ditugaskan kepadanya, tatkala dia berdoa untuk saudaranya, maka malaikat yang di tugaskan kepadanya mengucapkan : Amiin da bagimu seperti yang kau doakan". Shafwan berkata : "Lalu saya keluar menuju pasar dan bertemu dengan Abu Darda', beliau juga mengutarakan seperti itu dan dia meriwayatkannya dari Nabi. [Shahih Muslim, kitab Dzikir wa Doa bab Fadlud Doa Lil Muslimin fi Dahril Ghaib 8/86-87]
Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa jika seorang muslim mendoakan saudaranya kebaikan dari tempat yang jauh dan tanpa diketahui oleh saudara tersebut, maka doa tersebut akan dikabulkan, sebab doa seperti itu lebih berbobot dan ikhlas karena jauh dari riya dan sum'ah serta berharap imbalan sehingga lebih diterima oleh Allah. [Mir'atul Mafatih 7/349-350]
9. Orang-orang yang berinfak.
Rasulullah SAW bersabda, "Tidak satu hari pun dimana pagi harinya seorang hamba ada padanya kecuali 2 (dua) malaikat turun kepadanya, salah satu diantara keduanya berkata, 'Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak'. Dan lainnya berkata, 'Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang pelit'" (Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Bukhari no. 1442 dan Shahih Muslim no. 1010).
Saudaraku, marilah kita biasakan dir untuk dapat berinfak setiap hari , betapapun kecilnya infak itu. Semoga kebiasaan baik ini menjadi keberkahan yang besar buat kita.
Sesungguhnya pihak yang paling banyak mendapat manfaat dari sedekah , infak dst adalah orang itu sendiri.
Sebagaimana allah berfirman, yang artinya ," Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya dijalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. (Qs. Al-Baqarah : 261)
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ," Dan perimpamaan orang yang menginfakkan hartanya untuk mencari ridha Allah dan untuk mempertehuh jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buah-buahan dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka embun (pun memadai) . Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. " (Qs. Al-Baqarah : 265).
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ," Orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Qs. Al-Baqarah : 274).
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ," Jika kamu meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, niscaya Dia melipat-gandakan (balasan) untukmu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Mensyukuri , Maha Penyantun. (Qs. At-Tagabun : 17)
Dan masih banyak firman Allah yang menyebutkan tentang kemuliaan bersedekah di jalan Allah.
10. Orang yang sedang makan sahur.
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat (berdoa ) kepada orang-orang yang sedang makan sahur" Insya Allah termasuk disaat sahur untuk puasa "sunnah" (Imam Ibnu Hibban dan Imam Ath Thabrani, meriwayaatkan dari Abdullah bin Umar ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhiib wat Tarhiib I/519).
11. Orang yang sedang menjenguk orang sakit.
Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah seorang mukmin menjenguk saudaranya kecuali Allah akan mengutus 70.000 malaikat untuknya yang akan bershalawat kepadanya di waktu siang kapan saja hingga sore dan di waktu malam kapan saja hingga shubuh" (Imam Ahmad meriwayatkan dari 'Ali bin Abi Thalib ra., Al Musnad no. 754, Syaikh Ahmad Syakir berkata bahwa sanadnya shahih)
Syaikh Ahmad Abdurrahman al Banna dalam syarahnya menjelaskan, bahwa Shalawat malaikat bagi anak adam ialah dengan mendoakan agar mereka diberi rahmat dan maghfirah. Sedang yang dimaksud dengan ‘kapanpun di siang hari’ yakni waktu ia menjenguk. Jika ia menjenguknya di siang hari, maka malaikat mendoakannya hingga sore hari dan bila ia menjenguknya di malam hari, maka malaikat mendoakannya hingga pagi. Oleh karena itu, orang yang berniat hendaknya berangkat sepagi mungkin di awal siang, atau bersegera begitu malam menjelang, agar semakin banyak didoakan malaikat.
Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, yang artinya ,“Sesungguhnya pada hari kiamat Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, "‘Hai Anak Adam, Aku Sakit, tetapi kamu tidak menjenguk-Ku." iaDia berkata. ‘Wahai Rabb-ku, bagaimana saya menjenguk-Mu, padahal Engkau adalah Rabb semesta alam?!’ Dia berfirman, yang artinya , "Tidak tahukah kamu bahwa hamba-Ku, fulan, sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya. Tidak tahukah kamu jika kamu menjenguknya, kamu akan mendapati Aku berada di sisi-Nya." (diriwayatkan oleh Muslim, no. 2569).
Sungguh luar biasa hikmah kita menjenguk orang yang sedang menderita sakit. Dimana Allah mengutus 70.000 malaikat untuk mendoakan kita.
12. Seseorang yang sedang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.
Rasulullah SAW bersabda, "Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas seorang yang paling rendah diantara kalian. Sesungguhnya penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang di dalam lubangnya dan bahkan ikan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain" (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahily ra., dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Kitab Shahih At Tirmidzi II/343).
Saudaraku , mari kita selalu menularkan atau mengajarkan kebaikan-kebaikan kepada orang-orang di sekitar kita , sungguh Allah tidak menyia-nyiakan kepada hamba-Nya yang berbuat kebaikan .
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ," Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka mendapat pahala yang tiada putus-putusnya.(Qs. Fussilat : 8).
Sungguh betapa beruntungnya kita (manusia) jika termasuk ke dalam golongan orang-orang yang di doakan oleh para malaikat. Semoga ikhtiar kita dapat membawa diri kita masuk ke dalam golongan orang-orang yang didoakan oleh para malaikat. Amin yaa ALLAH..
Allahu a'lam
Sumber : Syaikh Dr. Fadhl Ilahi,
Seputar keimanan
Dalam pondasi keimanan dibangun kebahagiaan serta kehidupan umat manusia di dunia. Jadi iman bukan sekedar amalan akhirat, namun merupakan modal dasar yang akan memberikan rasa cinta, persaudaraan, kesetiaan , kesejahteraan , cahaya , kelapangan dan kemenangan. Dari terminologi bahasa kata iman merupakan Musytaq (pecahan) kata dari kalimat Al-Aman (tenteram, aman) yg merupakan lawan dari Al-Khauf (ketakutan). Iman menjadikan pemiliknya merasakan keamanan dan ketenteraman. Diantara nama-nama Allah adalah Al-Mu'minu (Yang Maha Mengamankan),dimana Allah memberikan rasa keamanan kepada para hamba-Nya yang beriman dari hal-hal yg menzaliminya.Sebagaimana firman-Nya yang artinya," Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik) , mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunujuk," (Qs. Al-An'am : 82).
Sebagaimana firman-Nya , yang artinya," Barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah-pun niscaya ia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiap yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya ia akan melihat (balasan)-Nya", (Qs. Az-Zalzalah : 7-8).
Sebagaimana Rasul bersabda dalam suatu hadits qudsi , bahwa Allah berfirman yang artinya," Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezqaliman atas diri-Ku, dan Aku jadikan kezaliman tersebut diantara kalian sebagai suatu yang haram. Maka janganlah kalian saling menzalimi," (Hr. Muslim).
Iman juga dapat diartikan sebagai At-Tashdiq (pembenaran).
Sebagaimana Allah telah berfiman dalam mengisahkan saudara-saudara Yusuf ketika mereka melakukan perbuatan terhadap saudara mereka, yang artinya," … wahai ayah kami sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan yusuf di dekat barang-baranag kami, lalu dia dimakan srigala ; dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepda kami, sekalipunkami adalah orang-orang yang benar ", (Qs. Yusuf ; 17). Artinya , dan kamu sekali-kali tidak akan membenarkan kami.
Kemudian kita membahas tentang pemahaman keimanan dalam istilah syar'i. Keimanan yang hakiki akan menyelamatkan pemiliknya pada hari kiamat dari api nerka dimana bahan bakarnya adalah batu dan manusia. Keimanan yang hakiki juga akan menyelamatkannya dari Az-Zaqqum wa al-gislin (nanah dan darah), dari Al-Hamim (air yang sangat panas) serta As-Salasil (rantai-rantai yang membara).
Dalam Halawatul Iman, Abdul 'athi ali Salim, menyatakan bahwa iman adalah keyakinan dengan hati, ditegaskan dalam lisan serta dipraktekkan dengan anggota badan. Iman tidak cukup dengan sekedar At-Tashdiq (pembenaran) dengan hati. Keimanan harus mencakup tiga hal yang saling berkaitan, yakni
a. amalan dengan hati (Al-I'tiqad biljanan, At-Tassdiq al-Qalbi),
b. amalan dengan lisan, (Al Iqrar bil lisan) dan
c. amalan dengan anggota badan.
Allah juga telah menjelaskan tentang amalan-amalan anggota badan, sebagaimana dalam firman-Nya , yang artinya ," Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan ) yang tidak berguna, dan orang yang menunaikan zakat, dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Tetapi siapa yang mencari di balik itu (zina dan sebagainya), maka mereka itulah orang-orang yang melampui batas. Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya, serta orang yang memelihara shalatnya." (Qs. Al-Mukminun : 1-9).
Sebahgaimana Allah berfirman, yang artinya," Alif laam miin. Kitab (Al-Qur'an) ini tidaka da keraguan padanya ; petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) mereka yangberiman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka beriman kepada kitab (Al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat ", (Qs. Al-Baqarah : 1-4).
Selanjutnya kita melihat adanya makna Al-I'tiqad biljanan (keyakinan dalam hati) yang merupakan At Tasdiq (pembenaran hati). Yaitu apa yang diyakini oleh hati dan tidak tercemari unsur keraguan. Sehingga Allah disifati dengan seluruh kesempurnaan dan bebas dari segala kekurangan. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya. Dia Mahasuci lagi Mahatinggi, yang pantas ada, azali dan abadi.Tidakada sekutu bagi_Nya, baik dalam dzat maupun sifat-sifat-Nya.
Diriwayatkan Jibril pernah bertanya kepad aRasulullah, mengenai makna keimanan, maka Rasulullah bersabda, yang artinya," Yaitu kita beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya..dst". Barangsiapa yang beriman dengan itu , kemudian tidak ragu-ragu, tidak bimbang , maka ia telah meraih bagian pertama dari pengertian iman. Yaitu , keyakinan dengan hati.
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya," Sesunggunya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepda Allah dan rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar," (Qs. Al-Hujurat : 15).
Selanjutnya kita teruskan dengan makna Al-Iqrar bil lisan (ditegaskan dengan lisan)., diman seorang hamba memproklamirkan aqidah yang akan memenuhi hatinya dengan kedamaian dan ketenangan). Yaitu dengan cara mengucapkan kalimat syahadat Laa Ilaaha Illallah wa anna Muhammadar Rasulullah . Siapa yang belum mengucapkan kalimah ini , maka ia belum termasuk sebagai orang mukmin.
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya," Katakanlah (hai orang-orang mukmin) ;" kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Yaqub adan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Rabbnya. Kami tidak membda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya", (Qs. Al-Baqarah : 136)
Salanjutnya adalah amalan anggota badan yaitu mengerjakan ibadah-ibdah amaliah ; sepert shalat, puasa, sedekah, haji , jihad fi sabilillah.
Sebagaiman Allah berfirman, yang artinya"… Barangsiapa mengharap berjumpa dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabbnya," (Qs. Al-Kahfi : 110).
Dan amal shalih yang bagaimana yang harus dilakukan? Tentu saja yang sesuai dengan syariat Allah dan sunnah Rasul-Nya. Dan tidak ada tempat bagi perbuatan bid'ah. Dan barangsiapa yang menambah-namabah pada apa yang telah disyariatkan , lalu beribadah dengan sesuatu yang tidak disyariatkan , maka amalan tersebut telah bertentangan dengan kesempurnaan syariat dan nikmat.
Sebagaimana Allah berfirman , yang artinya,"… pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agama bagimu.." (Qs. Al-Maidah : 3)
Saudaraku, bila ketiga unsur diatas harus merupakan satu kesatuan yang utuh, sehingga terwujud pula sebuah pemahaman yang benar tentang makna keimanan. Tidak boleh ada yang rusak diantara ketika pilar tersebut.
Saudaraku, bahwa keimanan itu mempunyai kelezatan. Dan barangsiapa yang telah merasakan, maka ia telah mengetahuinya, dan barangsiapa yang terhalang, maka ia akan mengingkarinya. Sesungguhnya orang yang hidungnya tersumbat , tidak dapat merasakan wangi dan harumnya bunga.
Hadits riwayat Al-Bukhari dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya," Ada tiga sifat yang apabila ketiga sifat tersebut ada pada diri seseorang, maka ia akan mendapatkan lezatnya keimanan. Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya, hendaknya ia tidak mencintai seseorang karena Allah dan hendaknya ia benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci jika dilemparkan ke dalam api".
Semoga Allah memudahkan dan meringankan kita untuk memahami intisari dan esensi sebuah keimanan, agar kita dapat merasakan manis dan lezatnya keimanan.
Allau a'lam
Sumber : Halawatul Iman , Abdul 'athi' Ali Salim.
Sebagaimana firman-Nya , yang artinya," Barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah-pun niscaya ia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiap yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya ia akan melihat (balasan)-Nya", (Qs. Az-Zalzalah : 7-8).
Sebagaimana Rasul bersabda dalam suatu hadits qudsi , bahwa Allah berfirman yang artinya," Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezqaliman atas diri-Ku, dan Aku jadikan kezaliman tersebut diantara kalian sebagai suatu yang haram. Maka janganlah kalian saling menzalimi," (Hr. Muslim).
Iman juga dapat diartikan sebagai At-Tashdiq (pembenaran).
Sebagaimana Allah telah berfiman dalam mengisahkan saudara-saudara Yusuf ketika mereka melakukan perbuatan terhadap saudara mereka, yang artinya," … wahai ayah kami sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan yusuf di dekat barang-baranag kami, lalu dia dimakan srigala ; dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepda kami, sekalipunkami adalah orang-orang yang benar ", (Qs. Yusuf ; 17). Artinya , dan kamu sekali-kali tidak akan membenarkan kami.
Kemudian kita membahas tentang pemahaman keimanan dalam istilah syar'i. Keimanan yang hakiki akan menyelamatkan pemiliknya pada hari kiamat dari api nerka dimana bahan bakarnya adalah batu dan manusia. Keimanan yang hakiki juga akan menyelamatkannya dari Az-Zaqqum wa al-gislin (nanah dan darah), dari Al-Hamim (air yang sangat panas) serta As-Salasil (rantai-rantai yang membara).
Dalam Halawatul Iman, Abdul 'athi ali Salim, menyatakan bahwa iman adalah keyakinan dengan hati, ditegaskan dalam lisan serta dipraktekkan dengan anggota badan. Iman tidak cukup dengan sekedar At-Tashdiq (pembenaran) dengan hati. Keimanan harus mencakup tiga hal yang saling berkaitan, yakni
a. amalan dengan hati (Al-I'tiqad biljanan, At-Tassdiq al-Qalbi),
b. amalan dengan lisan, (Al Iqrar bil lisan) dan
c. amalan dengan anggota badan.
Allah juga telah menjelaskan tentang amalan-amalan anggota badan, sebagaimana dalam firman-Nya , yang artinya ," Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan ) yang tidak berguna, dan orang yang menunaikan zakat, dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Tetapi siapa yang mencari di balik itu (zina dan sebagainya), maka mereka itulah orang-orang yang melampui batas. Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya, serta orang yang memelihara shalatnya." (Qs. Al-Mukminun : 1-9).
Sebahgaimana Allah berfirman, yang artinya," Alif laam miin. Kitab (Al-Qur'an) ini tidaka da keraguan padanya ; petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) mereka yangberiman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka beriman kepada kitab (Al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat ", (Qs. Al-Baqarah : 1-4).
Selanjutnya kita melihat adanya makna Al-I'tiqad biljanan (keyakinan dalam hati) yang merupakan At Tasdiq (pembenaran hati). Yaitu apa yang diyakini oleh hati dan tidak tercemari unsur keraguan. Sehingga Allah disifati dengan seluruh kesempurnaan dan bebas dari segala kekurangan. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya. Dia Mahasuci lagi Mahatinggi, yang pantas ada, azali dan abadi.Tidakada sekutu bagi_Nya, baik dalam dzat maupun sifat-sifat-Nya.
Diriwayatkan Jibril pernah bertanya kepad aRasulullah, mengenai makna keimanan, maka Rasulullah bersabda, yang artinya," Yaitu kita beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya..dst". Barangsiapa yang beriman dengan itu , kemudian tidak ragu-ragu, tidak bimbang , maka ia telah meraih bagian pertama dari pengertian iman. Yaitu , keyakinan dengan hati.
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya," Sesunggunya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepda Allah dan rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar," (Qs. Al-Hujurat : 15).
Selanjutnya kita teruskan dengan makna Al-Iqrar bil lisan (ditegaskan dengan lisan)., diman seorang hamba memproklamirkan aqidah yang akan memenuhi hatinya dengan kedamaian dan ketenangan). Yaitu dengan cara mengucapkan kalimat syahadat Laa Ilaaha Illallah wa anna Muhammadar Rasulullah . Siapa yang belum mengucapkan kalimah ini , maka ia belum termasuk sebagai orang mukmin.
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya," Katakanlah (hai orang-orang mukmin) ;" kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Yaqub adan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Rabbnya. Kami tidak membda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya", (Qs. Al-Baqarah : 136)
Salanjutnya adalah amalan anggota badan yaitu mengerjakan ibadah-ibdah amaliah ; sepert shalat, puasa, sedekah, haji , jihad fi sabilillah.
Sebagaiman Allah berfirman, yang artinya"… Barangsiapa mengharap berjumpa dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabbnya," (Qs. Al-Kahfi : 110).
Dan amal shalih yang bagaimana yang harus dilakukan? Tentu saja yang sesuai dengan syariat Allah dan sunnah Rasul-Nya. Dan tidak ada tempat bagi perbuatan bid'ah. Dan barangsiapa yang menambah-namabah pada apa yang telah disyariatkan , lalu beribadah dengan sesuatu yang tidak disyariatkan , maka amalan tersebut telah bertentangan dengan kesempurnaan syariat dan nikmat.
Sebagaimana Allah berfirman , yang artinya,"… pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agama bagimu.." (Qs. Al-Maidah : 3)
Saudaraku, bila ketiga unsur diatas harus merupakan satu kesatuan yang utuh, sehingga terwujud pula sebuah pemahaman yang benar tentang makna keimanan. Tidak boleh ada yang rusak diantara ketika pilar tersebut.
Saudaraku, bahwa keimanan itu mempunyai kelezatan. Dan barangsiapa yang telah merasakan, maka ia telah mengetahuinya, dan barangsiapa yang terhalang, maka ia akan mengingkarinya. Sesungguhnya orang yang hidungnya tersumbat , tidak dapat merasakan wangi dan harumnya bunga.
Hadits riwayat Al-Bukhari dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya," Ada tiga sifat yang apabila ketiga sifat tersebut ada pada diri seseorang, maka ia akan mendapatkan lezatnya keimanan. Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya, hendaknya ia tidak mencintai seseorang karena Allah dan hendaknya ia benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci jika dilemparkan ke dalam api".
Semoga Allah memudahkan dan meringankan kita untuk memahami intisari dan esensi sebuah keimanan, agar kita dapat merasakan manis dan lezatnya keimanan.
Allau a'lam
Sumber : Halawatul Iman , Abdul 'athi' Ali Salim.
Senin, 03 Oktober 2011
Antara Zuhud dan Wara' (3 dr 4)
Riwayat Al-Bukhari-Muslim dari Nu’man bin Basyir ra berkata: Aku telah mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya perkara yg halal itu telah jelas dan perkara yg haram itu telah jelas dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yg masih samar yg tidak diketahui oleh sebagian besar orang, maka barangsiapa yg menjaga dirinya dari perkara-perkara yg syubhat maka dia telah menjaga agama dan kehormatan dirinya dan barangsiapa yg terjatuh dalam perkara yg syubhat maka sungguh dia telah terjatuh dalam perkara yg haram, sama seperti penggembala yg menggembala di sekitar perbatasan yg hampir saja memasuki ladang orang lain dan ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batas-batas dan batasan-batasan Allah adalah segala perkara yg diharamkannya” (Shahih Muslim:1599 dan shahih Muslim: 52 ).
Diriwayatkan Al-Bazzar dari Hudzaifah bin Al-Yaman bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Keutamaan ilmu itu lebih baik dari keutamaan ibadah dan cara terbaik untuk menjaga agamamu adalah bersikap wara’”. (Kasyful Astar: 1/85 no: 139 dan dishahihkan oleh Albani pada kitab shahihul Jami’ : 4214 )
Diriwayatkan Al-Nasa’I dari hadits Hasan bin Ali, dia berkata, “Aku telah mendengar dari Nabi Muhammad SAW, “Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukannmu”.( An-Nasa’i: 5711)
Di dalam shahih Muslim dari Nawwas bin Sam’an berkata: Aku telah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang kebaikan dan dosa, maka beliau bersabda, “Kebaikan itu adalah akhlak yang baik dan dosa adalah apa yang telah merasuk ke dalam hati namun engkau tidak suka jika orang lain melihat hal tersebut”. (Shahih Muslim: 2553).
Syekh Ibnu Utsaimin berkata, “Wara adalah meninggalkan apa-apa yang membahayakan, hal itu terwujud dengan meninggalkan segala sesuatu yang hukumnya belum jelas dan belum jelas pula hakekatnya. Pertama: sesuatu yang belum jelas hukumnya apakah dia halal atau haram. Dan yang kedua adalah samar dalam keadaannya”. (Syarah riyadhus Shalihin: 6/168).
Sikap wara’ ini memiliki jangkauan yang cukup luas, yaitu meliputi pandangan, pendengaran, lisan, perut, kemaluan, jual beli dan yang lain-lain. Banyak orang yang terjebak ke dalam perkara-perkara yang diharamkan dan syubhat karena meremehkan tiga perkara ini, yaitu bersikap wara’ dalam menjaga lisan, perut dan pandangan. Allah SWT berfirman, yang artinya ," Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (Qs . Al-Isro’: 36).
Nabi Muhammad SAW adalah tauladan dalam bersikap wara’, diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab shahihnya dari Anas bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Aku pergi kepada keluargaku, lalu mendapatkan sebiji buah yang terbuang di atas ranjangku, maka aku mengambilnya untuk memakannya, kemudian aku khawatir kalau dia berasal dari buah yang disedekahkan maka akupun membuangnya”. (Al-Bukhari: 2432 dan Muslim: 1070). Sebab sedekah tersebut diharamkan bagi diri beliau dan keluarga beliau Muhammad SAW. Para shahabat mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW ini, mengikuti sunnah beliau.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam kitab shahihnya dari Aisyah RA berkata, “Abu Bakar memiliki seorang pembantu yang yang selalu memberikannya makanan dari pajak, dan pada suatu hari pembantunya datang memberinya makanan dan Abu Bakr pun memakannya, lalu pembantunya berkata kepadanya: Tahukan anda apakah ini?.
Maka Abu Bakar bertanya: Dari manakah asal makanan ini?.
Pembantunya berkata: Aku, di masa jahiliyah telah meramal seseorang, padahal diriku bukan peramal yang baik, hanya saja aku telah menipunya, lalu dia memberikan upah bagiku dengan makanan ini, dan makanan yang kamu makan ini adalah bagian darinya, maka Abu Bakr pun memasukkan tangannya ke dalam mulutnya sehingga dia memuntahkan apa-apa yang ada di dalam perutnya”. (Al-Bukhari: 3842).
Umar ra berkata, “Kami meninggalkan sembilan persepuluh yang halal karena khawatir terhadap riba”. (Mushannaf Abdur Razzaq: 8/152 :14683).
Yunus bin ubaid, berkata bahwa wara’ artinya keluardari setiap yang subhat dan menghisap diri sendiri setiap saat. Dalam Manazilus Sa’irin, dikatakan wara’ adalah menjaga diri dari hal-hal yangharam dan syubhatserta hal-hal yang membahayakan semaksimal mungkin untuk dijaga. Menjaga diri dan waspada merupakan dua makna yang berkaitan , dimana menjagha diri merupakan perbuatan anggota tubuh, sedangkan waspada merupakan amalan hati.
(bersambung …..)
Sumber: Ahmad bin Ali Soleh, Amin bin Abdullah asy‐Syaqawi dalam Al-Wara'
fatawaa syaikhul islam, al-Qaamuus, asaasul-balagaah , minhajul qaasidin, qitabul zuhud ,Qawaa'id wa Fawaa`id minal Arba'iin An-Nawawiyyah , At-Ta'liiqaat 'alal Arba'iin An-Nawawiyyah , Ibn Qayyim al-Jauzi dalam Madarijus Salikin
Diriwayatkan Al-Bazzar dari Hudzaifah bin Al-Yaman bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Keutamaan ilmu itu lebih baik dari keutamaan ibadah dan cara terbaik untuk menjaga agamamu adalah bersikap wara’”. (Kasyful Astar: 1/85 no: 139 dan dishahihkan oleh Albani pada kitab shahihul Jami’ : 4214 )
Diriwayatkan Al-Nasa’I dari hadits Hasan bin Ali, dia berkata, “Aku telah mendengar dari Nabi Muhammad SAW, “Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukannmu”.( An-Nasa’i: 5711)
Di dalam shahih Muslim dari Nawwas bin Sam’an berkata: Aku telah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang kebaikan dan dosa, maka beliau bersabda, “Kebaikan itu adalah akhlak yang baik dan dosa adalah apa yang telah merasuk ke dalam hati namun engkau tidak suka jika orang lain melihat hal tersebut”. (Shahih Muslim: 2553).
Syekh Ibnu Utsaimin berkata, “Wara adalah meninggalkan apa-apa yang membahayakan, hal itu terwujud dengan meninggalkan segala sesuatu yang hukumnya belum jelas dan belum jelas pula hakekatnya. Pertama: sesuatu yang belum jelas hukumnya apakah dia halal atau haram. Dan yang kedua adalah samar dalam keadaannya”. (Syarah riyadhus Shalihin: 6/168).
Sikap wara’ ini memiliki jangkauan yang cukup luas, yaitu meliputi pandangan, pendengaran, lisan, perut, kemaluan, jual beli dan yang lain-lain. Banyak orang yang terjebak ke dalam perkara-perkara yang diharamkan dan syubhat karena meremehkan tiga perkara ini, yaitu bersikap wara’ dalam menjaga lisan, perut dan pandangan. Allah SWT berfirman, yang artinya ," Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (Qs . Al-Isro’: 36).
Nabi Muhammad SAW adalah tauladan dalam bersikap wara’, diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab shahihnya dari Anas bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Aku pergi kepada keluargaku, lalu mendapatkan sebiji buah yang terbuang di atas ranjangku, maka aku mengambilnya untuk memakannya, kemudian aku khawatir kalau dia berasal dari buah yang disedekahkan maka akupun membuangnya”. (Al-Bukhari: 2432 dan Muslim: 1070). Sebab sedekah tersebut diharamkan bagi diri beliau dan keluarga beliau Muhammad SAW. Para shahabat mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW ini, mengikuti sunnah beliau.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam kitab shahihnya dari Aisyah RA berkata, “Abu Bakar memiliki seorang pembantu yang yang selalu memberikannya makanan dari pajak, dan pada suatu hari pembantunya datang memberinya makanan dan Abu Bakr pun memakannya, lalu pembantunya berkata kepadanya: Tahukan anda apakah ini?.
Maka Abu Bakar bertanya: Dari manakah asal makanan ini?.
Pembantunya berkata: Aku, di masa jahiliyah telah meramal seseorang, padahal diriku bukan peramal yang baik, hanya saja aku telah menipunya, lalu dia memberikan upah bagiku dengan makanan ini, dan makanan yang kamu makan ini adalah bagian darinya, maka Abu Bakr pun memasukkan tangannya ke dalam mulutnya sehingga dia memuntahkan apa-apa yang ada di dalam perutnya”. (Al-Bukhari: 3842).
Umar ra berkata, “Kami meninggalkan sembilan persepuluh yang halal karena khawatir terhadap riba”. (Mushannaf Abdur Razzaq: 8/152 :14683).
Yunus bin ubaid, berkata bahwa wara’ artinya keluardari setiap yang subhat dan menghisap diri sendiri setiap saat. Dalam Manazilus Sa’irin, dikatakan wara’ adalah menjaga diri dari hal-hal yangharam dan syubhatserta hal-hal yang membahayakan semaksimal mungkin untuk dijaga. Menjaga diri dan waspada merupakan dua makna yang berkaitan , dimana menjagha diri merupakan perbuatan anggota tubuh, sedangkan waspada merupakan amalan hati.
(bersambung …..)
Sumber: Ahmad bin Ali Soleh, Amin bin Abdullah asy‐Syaqawi dalam Al-Wara'
fatawaa syaikhul islam, al-Qaamuus, asaasul-balagaah , minhajul qaasidin, qitabul zuhud ,Qawaa'id wa Fawaa`id minal Arba'iin An-Nawawiyyah , At-Ta'liiqaat 'alal Arba'iin An-Nawawiyyah , Ibn Qayyim al-Jauzi dalam Madarijus Salikin
ISRA' dan MI'RAJ
Isra' dan Mi'raj merupakan salah satu mukjizat yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagai wujud penghormatan dan pelipur lara setelah banyaknya ujian yang menimpa Rasul-Nya. Peristiwa ini juga sebagai penghibur setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mendapatkan perlakuan yang buruk penduduk Thaif. Isra', diartikan sebagai perjalanan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dimulai dari al-Masjidil-Haram sampai ke al-Masjidil-Aqsha. Sedangkan Mi'raj, merupakan perjalanan Nabi Muhammad saw naik dari al-Masjidil-Aqsha menuju Sidratul-Muntaha (langit tertinggi). Peristiwa Isra dan Mi'raj terjadi pada tahun kesepuluh kenabian. Namun para ulama ada yang berbeda pendapat tentang waktu kejadiannya. Yang tidak ada perseselisihan yaitu tentang kebenaran peristiwa ini, karena kejadian ini diabadikan dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits. Allah Azza wa Jalla menyebutkan peristiwa ini di dua tempat dalam Al- Qur`an, yaitu al-Isra'/17 ayat 1 dan an-Najm/53 ayat 13-18.
kita mengimani bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah di-isra’-kan oleh Allah dari Makkah ke Baitul Maqdis lalu di-mi’rajkan (naik) ke langit dengan ruh dan jasadnya dalam keadaan sadar [dasar Qs al-Israa’ ayat 1.1] sampai ke langit yang ke tujuh, ke Sidratul Muntaha.
Kemudian (beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam) memasuki Surga, melihat Neraka, melihat para Malaikat, mendengar pembicaraan Allah, bertemu dengan para Nabi, dan beliau mendapat perintah shalat yang lima waktu sehari semalam. Dan beliau kembali ke Makkah pada malam itu juga. [Syarhus Sunnah lil Imaam al-Barbahari (no. 72) tahqiq Khalid bin Qasim ar-Raddadi, Syarhul 'Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 223, 226) takhrij Syaikh al-Albani, Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah (IV/328).]
Peristiwa ini terjadi di Makkah sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadits. Imam al-Bukhari memiliki 20 riwayat dari enam sahabat Radhiyallahu 'anhum. Imam Muslim rahimahullah memiliki 18 riwayat dari tujuh sahabat Radhiyallahu 'anhu,m. Di antara hadits-hadits ini, tidak ada satupun yang menjelaskan secara lengkap semua kejadian Isra` dan Mi'raj ini dari awal sampai akhir, tetapi masing-masing menceritakan bagian per bagian.
Berdasarkan kandungan hadits dari riwayat-riwayat yang ada, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Adanya Pembelahan Dada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam.
Usai melaksanakan shalat 'Isya` pada malam penuh barakah itu, Malaikat Jibril Alaihissalam mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membedah dada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu ia mencucinya menggunakan air Zam-am. Kemudian dibawakan bejana emas penuh dengan hikmah dan iman lalu dituangkan ke dada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Setelah itu Malaikat Jibril menutup kembali dada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dibawanya naik ke langit [ Imam al-Bukhâri/al-Fath, 17/284, no. 4709, 4710 dan 15-43-70, no. 3886, 3888, juga 18/242, no. 4856, 4858. Imam Muslim, 1/148, no. 163, 1/151, no. 164. Ibnu Asâkir dalam Tahdzîb Târîkh Dimasq, 1/386-387. Adz-Dzahabi mengatakan dalam kitab as-Sîrah: "Hadits ini adalah hadits yang hasan gharîb".].
2. Isra`.
Dari Anas ra, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Aku diberi Buraq, yaitu seekor hewan putih yang lebih besar dari himar dan lebih kecil dari keledai. Aku mengendarainya. Dia membawaku hingga sampai ke Baitul-Maqdis. Lalu aku mengikatnya di tempat para nabi menambatkan. Aku masuk ke Baitul-Maqdis dan shalat dua raka'at. Setelah itu aku keluar. Malaikat Jibril menghampiriku dengan membawa satu wadah berisi khamr dan satu wadah berisi susu. Aku memilih susu. Malaikat Jibril Alaihissalam berkata: 'Engkau telah (memilih) sesuai dengan fithrah,' setelah itu, ia membawaku naik ke langit"[ HR Imam Ahmad dalam al-Fathur-Rabbâni, 20/251-252 dan sanadnya shahîh. Imam al-Bukhâri dalam al-Fath, 21/176, no. 5576. Imam Muslim, 1/145 no. 162. Lihat juga Imam al-Bukhâri dalam al-Fath, 21/176, no. 5610.].
Dan dalam riwayat lain dikisahkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat bersama para nabi sebelum naik ke langit [Diriwayatkan oleh al-Baihaqî dalam ad-Dalâil, 2/388. Doktor Qal'ah Jay dalam Khâsyiyah berkata: "Riwayat-riwayat tentang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat bersama para nabi sebelum mi'râj saling menguatkan". Ibnu Hajar berkata: "Itulah yang lebih jelas". Beliau rahimahullah juga berkata: "Jumhûr sahabat menetapkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di Baitul-Maqdis". Lihat hadits tentang bab ini dalam al-Fathur-Rabbâni, karya Imam Ahmad 20/244-264, beberapa bab tentang kisah Isrâ' dan Mi'râj Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.].
3. Mi'raj.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dibawa naik melewati beberapa langit. Pada setiap langit, Malaikat Jibril minta agar dibukakan pintu langit lalu ia ditanya: "Siapakah yang bersamamu?" Jibril menjawab,"Muhammad," penghuni langit itupun menyambutnya.
• Di langit dunia, Rasulullah berjumpa Nabi Adam AS,
• di langit kedua berjumpa Nabi Isâ AS dan Nabi Yahya AS,
• di langit ketiga berjumpa Nabi Yûsuf AS,
• di langit keempat Nabi Idris AS,
• di langit kelima Nabi Hârûn AS,
• di langit keenam Nabi Musâ AS, dan
• di langit ketujuh berjumpa Nabi Ibrâhîm AS yang sedang bersandar pada Baitul-Ma'mur.
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melanjutkan perjalanan sampai ke Shidratul-Muntaha (langit tertinggi). Di sinilah, Allah Azza wa Jalla mewajibkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan umatnya untuk menegakkan shalat 50 kali sehari semalam.
Akan tetapi dalam perjalanan kembali dari mi'raj ini, ketika sampai di tempat Nabi Musâ Alaihissallam, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya: "Apa yang telah diwajibkan Rabbmu atas umatmu?"
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab pertanyaan ini, sehingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Musâ Alaihissallam meminta kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk kembali menghadap Allah dan minta keringanan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan saran itu, dan Allah Azza wa Jalla pun berkenan memberi keringanan. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hendak kembali dan berjumpa dengan Nabi Musâ Alaihissallam, beliau Alaihissallam meminta Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam agar meminta keringanan lagi, dan saran itu pun dilaksanakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai Allah Azza wa Jalla berkenan memberi keringanan. Hingga akhirnya, kewajiban shalat itu hanya lima kali sehari semalam. Setelah itu, ketika Nabi Musâ Alaihissallam meminta
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam memohon keringanan lagi, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Aku sudah memohon kepada Rabbku sehingga aku merasa malu," lalu terdengar suara: "Aku telah menetapkan yang Aku fardhukan, dan Aku telah memberikan keringanan kepada para hamba-Ku" [Al-Bukhâri dalam al-Fath, 13/24, no. 3207. Muslim, 1/149, no. 163. Ahmad dalam al-Fathur-Rabbâni, 20/247-248 dari hadits Anas bin Mâlik bin Sha'sha'ah Radhiyallahu 'anhu, dan sanadnya shahîh. Imam an-Nasâ'i, 1/217. ].
4. Perjalanan Kembali Dari Mi'raj.
Berdasarkan riwayat-riwayat yang ada menunjukkan bahwa perjalanan kembali Rasulullah menempuh rute dari langit tertinggi menuju Baitul-Maqdis lalu ke Makkah . Adapun sarana yang dipakai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saat Isrâ' ialah Buraq. (Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam ad-Dalâil, 2/355-357 dari riwayat at-Tirmidzi t dengan sanad beliau yang bersambung sampai ke Syadâd bin Aus. Al-Baihaqi berkata: "Ini adalah sanad yang shahih".)
Dari riwayat-riwayat tentang Mi'raj ini juga diketahui, bahwa riwayat yang menceritakan peristiwa ini menggunakan fi'il majhul (kata kerja pasif), sehingga sarana yang digunakan tidak diketahui dengan jelas. Dalam sebagian riwayat disebutkan: "Aku dipasangkan mi'raj". Sehingga Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan perihal itu dengan perkataannya : "Mi'raj, ialah tangga. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam naik menuju langit melalui tangga itu, bukan dengan Buraq sebagaimana persangkaan sebagian orang". (Al-Bidayatu wan-Nihâyah, 3/122).
Pada pagi hari setelah peristiwa ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam nampak merasa susah karena khawatir dianggap berdusta oleh kaumnya. Dalam keadaan seperti ini, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dihampiri oleh Abu Jahl yang menanyakan keadaannya. Rasulullah pun memberitahukan tentang Isrâ`.
Mendengar penuturan Rasulullah itu, maka spontan Abu Jahl meyakini jika Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berdusta. Namun penolakan Abu Jahl ini tidak ia ucapkan saat itu. Abu Jahl hanya berkata: "Bagaimana pendapatmu jika aku memanggil kaummu? Apakah engkau akan memberitahukan kepada mereka peristiwa yang baru engkau sampaikan kepadaku?"
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,"Ya,"
maka Abu Jahl bergegas memanggil kaum Quraisy. Setelah mereka datang, Abu Jahl meminta kepada Rasulullah n agar menceritakan yang telah ia alami. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakannya.
Orang-orang Quraisy pun terheran mendengar cerita beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antara mereka ada yang pernah melihat Masjid al-Aqshâ, maka orang-orang ini pun meminta Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan sifat Masjidil-Aqshâ. Lalu Allah Azza wa Jalla mengangkat masjid itu, sehingga seolah bisa dilihat oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan sifat-sifatnya.
Mendengar penjelasan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka pun berseru:"Demi Allah, keterangannya benar".[ Al-Bukhâri dalam al-Fath, 17/284, no. 4710. Muslim, 1/156, no. 170. Ahmad, al-Fathur-Rabbâni, 20/262-263 dari hadits Abbâs dengan sanad shahih. Lafazh ini merupakan riwayat Imam Ahmad.]
Dalam sebuah riwayat diceritakan, orang-orang Quraisy mengingkari kepergian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ke Syam lalu kembali lagi ke Makkah yang hanya dalam waktu satu malam saja. Karena perjalanan itu biasa ditempuh jarak waktu dua bulan. Sehingga ada sebagian orang yang kemudian murtad saat itu.
[ Ibnu Hisyâm, 2/45 dari riwayat Ibnu Ishâq secara mu'allaq. Kabar tentang murtadnya sebagian orang terdapat dalam hadits-hadits shahîh, di antaranya hadits yang diriwayatkan al-Hakim dalam al Mustadrak (3/62-63), dan beliau rahimahullah menyatakan hadits ini shahîh. Ini disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.]
Berbeda dengan Sahabat Abu Bakr Radhiyallahu 'anhu. Begitu diberitahu peristiwa itu, beliau Radhiyallahu 'anhu langsung mempercayainya tanpa ragu sedikit pun, seraya berkata: "Demi Allah, jika benar ia mengatakannya, maka ia benar. Apa yang membuat kalian heran? Demi Allah, sesungguhnya ia memberitahukan kepadaku bahwa wahyu telah turun kepadanya dari langit ke bumi saat malam atau siang hari. Ini lebih besar dari masalah yang membuat kalian terheran itu!"
Abu Bakr Radhiyallahu 'anhu pun kemudian mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menanyakan peristiwa yang telah didengarnya. Dan demikianlah keadaan Sahabat Abu Bakr Radhiyallahu 'anhu, setiap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan sesuatu, maka beliau Radhiyallahu 'anhu berkata: "Engkau benar, aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah…," lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Wahai Abu Bakr, engkau adalah shiddiq," dan mulai saat itulah beliau Radhiyallahu 'anhu dinamai ash-Shiddiq. Artinya orang yang selalu percaya.[ Diriwayatkan al Hakim dalam al-Mustadrak, 3/62-63. Beliau berkata: "Hadits ini sanadnya shahîh, namun tidak dibawakan oleh Imam al-Bukhâri dan Muslim". Ini disepakati oleh adz-Dzahabi dalam Talkhîs al-Mustadrak.]
ISRA' - MI'RAJ dengan RUH dan JASAD
Masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagaimana dikatakan oleh al-Qâdhi 'Iyâdh, bahwa para ulama berbeda pendapat tentang Isrâ' dan Mi'râj Rasulullah. Ada yang mengatakan, semua itu hanya terjadi dalam mimpi. Adapun pendapat yang benar yang dipegangi oleh umat dan sebagian besar ulama salaf serta mayoritas muta'akhhirîn baik ahli fiqih, ahli hadits maupun ahli ilmu kalam, bahwa Isrâ' yang dialami Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah dengan jasadnya.
Ibnu Hajar berkata: "Sesungguhnya Isrâ' dan Mi'râj terjadi dalam waktu satu malam dengan jasad dan fisik Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan beliau tersadar, terjadi setelah diangkat menjadi nabi. Pendapat inilah yang dipegangi mayoritas ulama ahli hadits, ahli fiqih dan ahli ilmu kalam. Zhahir hadist yang shahih menunjukkan hal itu. Dan tidak sepatutnya kita berpaling darinya, karena akal tidak memiliki alasan untuk mengatakan persitiwa itu mustahil sehingga perlu dita'wil …." [Al-Bukhâri dalam al-Fath, 15/44, Kitab: al-Mab'ats, Bab: Hadîtsul Isrâ'.]
Jika peristiwa Isrâ' dan Mi'râj itu terjadi hanya dalam mimpi, maka sudah tentu orang-orang kafir Quraisy tidak akan mengingkarinya. Begitu pula, tentu sebagian orang yang sudah beriman tidak akan murtad. Jika hanya dengan mimpi, maka peristiwa Isrâ' dan Mi'râj itu, sama sekali tidak memiliki nilai mu'jizat. Pendapat yang mengatakan peristiwa Isrâ' dan Mi'râj hanya dalam mimpi, juga menyelisihi firman Allah Azza wa Jalla : yang artinya: "Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil-Aqshâ yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (Qs. al Isrâ`:1).
Permulaan ayat dengan tasbih menunjukkan adanya perhatikan kepada sesuatu yang penting. Begitu juga kalimat "bi 'abdihi", memiliki makna gabungan antara ruh dan jasad, sebagaimana dijelaskan oleh 'Urjûn [Muhammad Rasulullah , 2/342-350], dan yang lainnya.
Riwayat Isrâ' dan Mi'râj telah disepakati keshahihannya oleh ulama ahli hadits dan sirah. Juga telah ditetapkan sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur`aan, hadits-hadits shahih, dan Ijma' kaum muslimin. Peristiwa ini termasuk salah satu mu'jizat yang diterima Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Barang siapa mengingkari peristiwa ini, berarti ia telah mengingkari sesuatu yang ma'lûm bid-dharûrah (diketahui secara pasti).
Peristiwa yang terjadi setelah beberapa ujian menimpa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini, bertujuan untuk memperteguh semangat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Juga sebagai isyarat bahwa penderitaan yang beliau n alami bukan karena Allah Azza wa Jalla meninggalkannya, akan tetapi sebagai sunnatullah bagi orang-orang yang dicintai-Nya.
Penyebutan antara Masjidil-Harâm, Masjidil-Aqshâ dan Mi'raj secara berurutan merupakan bukti yang menunjukkan tingginya kedudukan Masjidil-Aqshâ.
Ketika dibawakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berupa khamr dan susu, beliau memilih susu. Ini menunjukkan bahwa Islam itu din (agama) yang sesuai fithrah.
Allah Azza wa Jalla mengumpulkan para rasul pembawa risalah untuk menyambut kedatangan pembawa risalah terakhir. Ini menunjukkan bahwa para nabi itu saling membenarkan, dan Nabi Muhammad n merupakan rasul terakhir, serta menunjukkan tingginya kedudukan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam di sisi Rabbnya.
Menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Allah yang besar di langit dan bumi memberikan pengaruh dan motivasi yang kuat, sehingga tidak khawatir terhadap tipu daya kaum kuffar yang hakikatnya sangat lemah.
Diwajibkan shalat fardhu pada malam Mi'raj merupakan bukti betapa sangat penting rukun Islam ini. Oleh karena itu, semestinya shalat bisa membebaskan manusia dari perbuatan keji dan mungkar.
Allahu a'lam
sumber : Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad , as-Siratun Nabawiyah fi Dhau-il Mashadiril ashliyah, majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428H
kita mengimani bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah di-isra’-kan oleh Allah dari Makkah ke Baitul Maqdis lalu di-mi’rajkan (naik) ke langit dengan ruh dan jasadnya dalam keadaan sadar [dasar Qs al-Israa’ ayat 1.1] sampai ke langit yang ke tujuh, ke Sidratul Muntaha.
Kemudian (beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam) memasuki Surga, melihat Neraka, melihat para Malaikat, mendengar pembicaraan Allah, bertemu dengan para Nabi, dan beliau mendapat perintah shalat yang lima waktu sehari semalam. Dan beliau kembali ke Makkah pada malam itu juga. [Syarhus Sunnah lil Imaam al-Barbahari (no. 72) tahqiq Khalid bin Qasim ar-Raddadi, Syarhul 'Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 223, 226) takhrij Syaikh al-Albani, Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah (IV/328).]
Peristiwa ini terjadi di Makkah sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadits. Imam al-Bukhari memiliki 20 riwayat dari enam sahabat Radhiyallahu 'anhum. Imam Muslim rahimahullah memiliki 18 riwayat dari tujuh sahabat Radhiyallahu 'anhu,m. Di antara hadits-hadits ini, tidak ada satupun yang menjelaskan secara lengkap semua kejadian Isra` dan Mi'raj ini dari awal sampai akhir, tetapi masing-masing menceritakan bagian per bagian.
Berdasarkan kandungan hadits dari riwayat-riwayat yang ada, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Adanya Pembelahan Dada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam.
Usai melaksanakan shalat 'Isya` pada malam penuh barakah itu, Malaikat Jibril Alaihissalam mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membedah dada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu ia mencucinya menggunakan air Zam-am. Kemudian dibawakan bejana emas penuh dengan hikmah dan iman lalu dituangkan ke dada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Setelah itu Malaikat Jibril menutup kembali dada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dibawanya naik ke langit [ Imam al-Bukhâri/al-Fath, 17/284, no. 4709, 4710 dan 15-43-70, no. 3886, 3888, juga 18/242, no. 4856, 4858. Imam Muslim, 1/148, no. 163, 1/151, no. 164. Ibnu Asâkir dalam Tahdzîb Târîkh Dimasq, 1/386-387. Adz-Dzahabi mengatakan dalam kitab as-Sîrah: "Hadits ini adalah hadits yang hasan gharîb".].
2. Isra`.
Dari Anas ra, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Aku diberi Buraq, yaitu seekor hewan putih yang lebih besar dari himar dan lebih kecil dari keledai. Aku mengendarainya. Dia membawaku hingga sampai ke Baitul-Maqdis. Lalu aku mengikatnya di tempat para nabi menambatkan. Aku masuk ke Baitul-Maqdis dan shalat dua raka'at. Setelah itu aku keluar. Malaikat Jibril menghampiriku dengan membawa satu wadah berisi khamr dan satu wadah berisi susu. Aku memilih susu. Malaikat Jibril Alaihissalam berkata: 'Engkau telah (memilih) sesuai dengan fithrah,' setelah itu, ia membawaku naik ke langit"[ HR Imam Ahmad dalam al-Fathur-Rabbâni, 20/251-252 dan sanadnya shahîh. Imam al-Bukhâri dalam al-Fath, 21/176, no. 5576. Imam Muslim, 1/145 no. 162. Lihat juga Imam al-Bukhâri dalam al-Fath, 21/176, no. 5610.].
Dan dalam riwayat lain dikisahkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat bersama para nabi sebelum naik ke langit [Diriwayatkan oleh al-Baihaqî dalam ad-Dalâil, 2/388. Doktor Qal'ah Jay dalam Khâsyiyah berkata: "Riwayat-riwayat tentang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat bersama para nabi sebelum mi'râj saling menguatkan". Ibnu Hajar berkata: "Itulah yang lebih jelas". Beliau rahimahullah juga berkata: "Jumhûr sahabat menetapkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di Baitul-Maqdis". Lihat hadits tentang bab ini dalam al-Fathur-Rabbâni, karya Imam Ahmad 20/244-264, beberapa bab tentang kisah Isrâ' dan Mi'râj Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.].
3. Mi'raj.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dibawa naik melewati beberapa langit. Pada setiap langit, Malaikat Jibril minta agar dibukakan pintu langit lalu ia ditanya: "Siapakah yang bersamamu?" Jibril menjawab,"Muhammad," penghuni langit itupun menyambutnya.
• Di langit dunia, Rasulullah berjumpa Nabi Adam AS,
• di langit kedua berjumpa Nabi Isâ AS dan Nabi Yahya AS,
• di langit ketiga berjumpa Nabi Yûsuf AS,
• di langit keempat Nabi Idris AS,
• di langit kelima Nabi Hârûn AS,
• di langit keenam Nabi Musâ AS, dan
• di langit ketujuh berjumpa Nabi Ibrâhîm AS yang sedang bersandar pada Baitul-Ma'mur.
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melanjutkan perjalanan sampai ke Shidratul-Muntaha (langit tertinggi). Di sinilah, Allah Azza wa Jalla mewajibkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan umatnya untuk menegakkan shalat 50 kali sehari semalam.
Akan tetapi dalam perjalanan kembali dari mi'raj ini, ketika sampai di tempat Nabi Musâ Alaihissallam, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya: "Apa yang telah diwajibkan Rabbmu atas umatmu?"
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab pertanyaan ini, sehingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Musâ Alaihissallam meminta kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk kembali menghadap Allah dan minta keringanan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan saran itu, dan Allah Azza wa Jalla pun berkenan memberi keringanan. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hendak kembali dan berjumpa dengan Nabi Musâ Alaihissallam, beliau Alaihissallam meminta Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam agar meminta keringanan lagi, dan saran itu pun dilaksanakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai Allah Azza wa Jalla berkenan memberi keringanan. Hingga akhirnya, kewajiban shalat itu hanya lima kali sehari semalam. Setelah itu, ketika Nabi Musâ Alaihissallam meminta
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam memohon keringanan lagi, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Aku sudah memohon kepada Rabbku sehingga aku merasa malu," lalu terdengar suara: "Aku telah menetapkan yang Aku fardhukan, dan Aku telah memberikan keringanan kepada para hamba-Ku" [Al-Bukhâri dalam al-Fath, 13/24, no. 3207. Muslim, 1/149, no. 163. Ahmad dalam al-Fathur-Rabbâni, 20/247-248 dari hadits Anas bin Mâlik bin Sha'sha'ah Radhiyallahu 'anhu, dan sanadnya shahîh. Imam an-Nasâ'i, 1/217. ].
4. Perjalanan Kembali Dari Mi'raj.
Berdasarkan riwayat-riwayat yang ada menunjukkan bahwa perjalanan kembali Rasulullah menempuh rute dari langit tertinggi menuju Baitul-Maqdis lalu ke Makkah . Adapun sarana yang dipakai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saat Isrâ' ialah Buraq. (Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam ad-Dalâil, 2/355-357 dari riwayat at-Tirmidzi t dengan sanad beliau yang bersambung sampai ke Syadâd bin Aus. Al-Baihaqi berkata: "Ini adalah sanad yang shahih".)
Dari riwayat-riwayat tentang Mi'raj ini juga diketahui, bahwa riwayat yang menceritakan peristiwa ini menggunakan fi'il majhul (kata kerja pasif), sehingga sarana yang digunakan tidak diketahui dengan jelas. Dalam sebagian riwayat disebutkan: "Aku dipasangkan mi'raj". Sehingga Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan perihal itu dengan perkataannya : "Mi'raj, ialah tangga. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam naik menuju langit melalui tangga itu, bukan dengan Buraq sebagaimana persangkaan sebagian orang". (Al-Bidayatu wan-Nihâyah, 3/122).
Pada pagi hari setelah peristiwa ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam nampak merasa susah karena khawatir dianggap berdusta oleh kaumnya. Dalam keadaan seperti ini, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dihampiri oleh Abu Jahl yang menanyakan keadaannya. Rasulullah pun memberitahukan tentang Isrâ`.
Mendengar penuturan Rasulullah itu, maka spontan Abu Jahl meyakini jika Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berdusta. Namun penolakan Abu Jahl ini tidak ia ucapkan saat itu. Abu Jahl hanya berkata: "Bagaimana pendapatmu jika aku memanggil kaummu? Apakah engkau akan memberitahukan kepada mereka peristiwa yang baru engkau sampaikan kepadaku?"
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,"Ya,"
maka Abu Jahl bergegas memanggil kaum Quraisy. Setelah mereka datang, Abu Jahl meminta kepada Rasulullah n agar menceritakan yang telah ia alami. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakannya.
Orang-orang Quraisy pun terheran mendengar cerita beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antara mereka ada yang pernah melihat Masjid al-Aqshâ, maka orang-orang ini pun meminta Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan sifat Masjidil-Aqshâ. Lalu Allah Azza wa Jalla mengangkat masjid itu, sehingga seolah bisa dilihat oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan sifat-sifatnya.
Mendengar penjelasan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka pun berseru:"Demi Allah, keterangannya benar".[ Al-Bukhâri dalam al-Fath, 17/284, no. 4710. Muslim, 1/156, no. 170. Ahmad, al-Fathur-Rabbâni, 20/262-263 dari hadits Abbâs dengan sanad shahih. Lafazh ini merupakan riwayat Imam Ahmad.]
Dalam sebuah riwayat diceritakan, orang-orang Quraisy mengingkari kepergian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ke Syam lalu kembali lagi ke Makkah yang hanya dalam waktu satu malam saja. Karena perjalanan itu biasa ditempuh jarak waktu dua bulan. Sehingga ada sebagian orang yang kemudian murtad saat itu.
[ Ibnu Hisyâm, 2/45 dari riwayat Ibnu Ishâq secara mu'allaq. Kabar tentang murtadnya sebagian orang terdapat dalam hadits-hadits shahîh, di antaranya hadits yang diriwayatkan al-Hakim dalam al Mustadrak (3/62-63), dan beliau rahimahullah menyatakan hadits ini shahîh. Ini disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.]
Berbeda dengan Sahabat Abu Bakr Radhiyallahu 'anhu. Begitu diberitahu peristiwa itu, beliau Radhiyallahu 'anhu langsung mempercayainya tanpa ragu sedikit pun, seraya berkata: "Demi Allah, jika benar ia mengatakannya, maka ia benar. Apa yang membuat kalian heran? Demi Allah, sesungguhnya ia memberitahukan kepadaku bahwa wahyu telah turun kepadanya dari langit ke bumi saat malam atau siang hari. Ini lebih besar dari masalah yang membuat kalian terheran itu!"
Abu Bakr Radhiyallahu 'anhu pun kemudian mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menanyakan peristiwa yang telah didengarnya. Dan demikianlah keadaan Sahabat Abu Bakr Radhiyallahu 'anhu, setiap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan sesuatu, maka beliau Radhiyallahu 'anhu berkata: "Engkau benar, aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah…," lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Wahai Abu Bakr, engkau adalah shiddiq," dan mulai saat itulah beliau Radhiyallahu 'anhu dinamai ash-Shiddiq. Artinya orang yang selalu percaya.[ Diriwayatkan al Hakim dalam al-Mustadrak, 3/62-63. Beliau berkata: "Hadits ini sanadnya shahîh, namun tidak dibawakan oleh Imam al-Bukhâri dan Muslim". Ini disepakati oleh adz-Dzahabi dalam Talkhîs al-Mustadrak.]
ISRA' - MI'RAJ dengan RUH dan JASAD
Masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagaimana dikatakan oleh al-Qâdhi 'Iyâdh, bahwa para ulama berbeda pendapat tentang Isrâ' dan Mi'râj Rasulullah. Ada yang mengatakan, semua itu hanya terjadi dalam mimpi. Adapun pendapat yang benar yang dipegangi oleh umat dan sebagian besar ulama salaf serta mayoritas muta'akhhirîn baik ahli fiqih, ahli hadits maupun ahli ilmu kalam, bahwa Isrâ' yang dialami Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah dengan jasadnya.
Ibnu Hajar berkata: "Sesungguhnya Isrâ' dan Mi'râj terjadi dalam waktu satu malam dengan jasad dan fisik Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan beliau tersadar, terjadi setelah diangkat menjadi nabi. Pendapat inilah yang dipegangi mayoritas ulama ahli hadits, ahli fiqih dan ahli ilmu kalam. Zhahir hadist yang shahih menunjukkan hal itu. Dan tidak sepatutnya kita berpaling darinya, karena akal tidak memiliki alasan untuk mengatakan persitiwa itu mustahil sehingga perlu dita'wil …." [Al-Bukhâri dalam al-Fath, 15/44, Kitab: al-Mab'ats, Bab: Hadîtsul Isrâ'.]
Jika peristiwa Isrâ' dan Mi'râj itu terjadi hanya dalam mimpi, maka sudah tentu orang-orang kafir Quraisy tidak akan mengingkarinya. Begitu pula, tentu sebagian orang yang sudah beriman tidak akan murtad. Jika hanya dengan mimpi, maka peristiwa Isrâ' dan Mi'râj itu, sama sekali tidak memiliki nilai mu'jizat. Pendapat yang mengatakan peristiwa Isrâ' dan Mi'râj hanya dalam mimpi, juga menyelisihi firman Allah Azza wa Jalla : yang artinya: "Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil-Aqshâ yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (Qs. al Isrâ`:1).
Permulaan ayat dengan tasbih menunjukkan adanya perhatikan kepada sesuatu yang penting. Begitu juga kalimat "bi 'abdihi", memiliki makna gabungan antara ruh dan jasad, sebagaimana dijelaskan oleh 'Urjûn [Muhammad Rasulullah , 2/342-350], dan yang lainnya.
Riwayat Isrâ' dan Mi'râj telah disepakati keshahihannya oleh ulama ahli hadits dan sirah. Juga telah ditetapkan sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur`aan, hadits-hadits shahih, dan Ijma' kaum muslimin. Peristiwa ini termasuk salah satu mu'jizat yang diterima Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Barang siapa mengingkari peristiwa ini, berarti ia telah mengingkari sesuatu yang ma'lûm bid-dharûrah (diketahui secara pasti).
Peristiwa yang terjadi setelah beberapa ujian menimpa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini, bertujuan untuk memperteguh semangat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Juga sebagai isyarat bahwa penderitaan yang beliau n alami bukan karena Allah Azza wa Jalla meninggalkannya, akan tetapi sebagai sunnatullah bagi orang-orang yang dicintai-Nya.
Penyebutan antara Masjidil-Harâm, Masjidil-Aqshâ dan Mi'raj secara berurutan merupakan bukti yang menunjukkan tingginya kedudukan Masjidil-Aqshâ.
Ketika dibawakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berupa khamr dan susu, beliau memilih susu. Ini menunjukkan bahwa Islam itu din (agama) yang sesuai fithrah.
Allah Azza wa Jalla mengumpulkan para rasul pembawa risalah untuk menyambut kedatangan pembawa risalah terakhir. Ini menunjukkan bahwa para nabi itu saling membenarkan, dan Nabi Muhammad n merupakan rasul terakhir, serta menunjukkan tingginya kedudukan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam di sisi Rabbnya.
Menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Allah yang besar di langit dan bumi memberikan pengaruh dan motivasi yang kuat, sehingga tidak khawatir terhadap tipu daya kaum kuffar yang hakikatnya sangat lemah.
Diwajibkan shalat fardhu pada malam Mi'raj merupakan bukti betapa sangat penting rukun Islam ini. Oleh karena itu, semestinya shalat bisa membebaskan manusia dari perbuatan keji dan mungkar.
Allahu a'lam
sumber : Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad , as-Siratun Nabawiyah fi Dhau-il Mashadiril ashliyah, majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428H
Minggu, 02 Oktober 2011
Magnet kebaikan
Salah satu upaya untuk menjadikan kita magnet kebaikan adalah bersyukur. Bersyukur memang bukan perkara yang mudah, kecuali bagi hamba yang beriman dan mengendalikan hawa nafsunya. Syukur menjadikan seorang hamba menjadi orang yang kaya dan bahagia. Ada banyak kebaikan yang didapatkan dari perilaku bersyukur, sehingga syukur dapat dikatakan sebagai magnetkebaikan. Dengan bersyukur , yakinlah , ada banyak kebaikan yang akan menghampiri hidup kita. Allah menjanjikan kebahagiaan bagi hamba-Nya yang bersyukur, sebagaimana firman-Nya, yang artinya ,” Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah Maha Mensyukuri lagi Maha Megetahui”, (Qs. An-Nisa’ : 147). Bersyukur merupakan suatu amalan yang sangat mulia. Bersyukur menjadi penyebab mengalirnya nikmat, sehingga nikmat tersebut justru akan semakin bertambah. Bersyukur juga menghadirkan sikap merasa cukup.
Jika seorang hamba menjadi magnet kebaikan, maka orang-orang akan datang mencarinya. Pribadi-pribadi yang menyimpan magnet kebaikan didalam hatinya , akan sanggup mempengaruhi orang lain untuk turut berbuat kebajikan.
Dalam suatu riwayat , dikisahkan ada seorang lelaki datang mengunjungi Rasulullah saw. Dan ia berkata, ‘Ya Rasulullah, ajarilah aku suatu amalan yang membuatku dicintai allah dan para makhluk . Dengan amalan itu pun allah akan memperbanyak hartaku, menyehatkan badanku, memanjangkan umurku dan membangkitkan aku di padang Mahsyar bersamamu’.
Rasulullah menjawabnya, dengan bersabda, yang artinya,” Permintaanmu yang nema perkara itu memerlukan enam perkara lainnya , yaitu ;
1.Bila engkau ingin dicintai Allah, takutlah kepada-Nya dan bertaqwalah.
2.Jika engkau ingin dicintai makhluk, berbuatbaiklah kepada mereka, dan jangan berharap sesuatu dari yang merreka miliki.
3.Andai engkau ingin diperkaya dalam harta, maka berzakatlah atas harta bendamu.
4.Kalau engkau ingin disehatkan badanmu, maka perbanyaklah sedekah.
5.Apabila engkau ingin diperpanjang umurmu, maka bersilaturahimlah dengan kaum kerabatmu.
6.Jika engkau ingin dikumpulkan bersamaku di padang Mahsyar , maka perpanjanglah sujudmu kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa.”
Perbanyaklah sedekah dan sedekah itu luas, tidak hanya berujud emas atau materi. Seorang alim berkata , bahawa letak kebahagiaan hakiki adalah membahagiakan orang lain. Mari kita membiasakan diri untuk mendoakan orang lain.
Seorang laim , Ali ath Thantawi, menyampaikan suatu ungkapan bahawa bila anda membahagiakan saudara anda dengan pemberian, maka Allah akan membahagiakan anda dengan pemberian-Nya yang tak terduga dan tak pernah anda nantikan .
Dr. H Hamzah Ya’qub dalam Tasawuf dan Taqarrub, menyatakan bahwa salah satu kebaikan sedekah yakni orang yang melakukannya akan dilapangkan keadaanya. Dimudahkan urusannya.
Ibn Qayyim , menyatakan bahwa sesungguhnya sedekah itu dapat membebaskan kita dari azab-Nya. Seseorang yang melakukan dosa dan kesalahan, maka ia pantas untuk celaka. Tetapi, jika ia segera mengiringinya deng bersedekah (yang halal), niscaya oa alam terbebas dan terlepas dari azab.
Seringkali ketika kita berbuat baik selalu ada tantangan atau ujian yang mengiringi yaitu rasa pamrih. Kita sering terjebak dalam godaan , sering terbersit keinginan atau berharap bahwa kebaikan kita akan dibalas oleh orang yang kita tolong atau palin tidak ada pengakuan dari orang lain atas kebaikan kita. Dan hasilnya sudah bisa ditebak , kita menjadi kecewa sendiri karena apa yang kita harapkan tidak terjadi.
Ingatlah selalu firman-Nya yang artinya ,” Barang siapa yang mengerjakan kebajikan , dan dia beriman, maka usahanya tidak akan diingkari (disia-siakan) , dan sungguh, Kamilah yang mencatat untuknya. “ (Qs. Al-Anbiya’ : 94).
Maka dari itu, berhentilah mulai sekarang. Berhentilah memikirkan apa balasan yang akan kita terima ketika berbuat baik. Lakukan saja tanpa berpikir macem-macem , percayalah, Allah sendiri yang akan turun tangan membalas segala kebaikan yang kita lakukan.
Barang siapa berbuat kebaikan walaupun hanya sebesar biji zarah (atom), niscaya dia akan melihat balasannya, Dan barang siapa yang berbuat kejahatan walaupun hanya seberat biji zarah(atom), niscaya dia akan melihat balasannya pula.
Sebagaimana firman-Nya , yang artinya ,” Sungguh, Allah tidak akan menzalimi seseorang walaupun seberat zarrah, dan jika ada kebaikan (sekecil zarrah), niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan pahala yang besar disisi-Nya. “(Qs. An-Nisa’ : 4).
Allah tidak akan pernah menzalimi makhluk-Nya, justru kita sendirilah yang menzalimi diri sendiri. Barang siapa tidak bersyukur maka sesungguhnya ia telah membuka jalan hilangnya nikmat dari dirinya. Kita sering menginginkan nikmat , padahal rahasia untuk mengundang nikmat adalah bersykur atas nikmat yang ada. Dan salah satu cara bersyukur adalah berbuat kebaikan sebagaimana yang telah Allah contohkan melalui para Rasul dan Nabi-Nya.
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ,” Dan Allah memberi mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Qs. Ali – ‘Imran : 148). Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya , “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka mendapat pahala yang tiada putus-putusnya “ (Qs. Fussilat : 8)
kebahagiaan itu sebenarnya hal sangat sederhana . Tetapi kenapa ya...tidak semua orang merasakannya...? karena tidak setiap orang mampu mensyukurinya. YA..bersyukur adalah kata kunci bila seseorang ingin merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Syukurilah apa-apa yang sudah anda capai dan anda akan merasakan kebahagiaan yang tiada terhingga.
Allahu a’lam.
Sumber : Rusdin s Rauf dalam inilah Rahasia bersyukur
Jika seorang hamba menjadi magnet kebaikan, maka orang-orang akan datang mencarinya. Pribadi-pribadi yang menyimpan magnet kebaikan didalam hatinya , akan sanggup mempengaruhi orang lain untuk turut berbuat kebajikan.
Dalam suatu riwayat , dikisahkan ada seorang lelaki datang mengunjungi Rasulullah saw. Dan ia berkata, ‘Ya Rasulullah, ajarilah aku suatu amalan yang membuatku dicintai allah dan para makhluk . Dengan amalan itu pun allah akan memperbanyak hartaku, menyehatkan badanku, memanjangkan umurku dan membangkitkan aku di padang Mahsyar bersamamu’.
Rasulullah menjawabnya, dengan bersabda, yang artinya,” Permintaanmu yang nema perkara itu memerlukan enam perkara lainnya , yaitu ;
1.Bila engkau ingin dicintai Allah, takutlah kepada-Nya dan bertaqwalah.
2.Jika engkau ingin dicintai makhluk, berbuatbaiklah kepada mereka, dan jangan berharap sesuatu dari yang merreka miliki.
3.Andai engkau ingin diperkaya dalam harta, maka berzakatlah atas harta bendamu.
4.Kalau engkau ingin disehatkan badanmu, maka perbanyaklah sedekah.
5.Apabila engkau ingin diperpanjang umurmu, maka bersilaturahimlah dengan kaum kerabatmu.
6.Jika engkau ingin dikumpulkan bersamaku di padang Mahsyar , maka perpanjanglah sujudmu kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa.”
Perbanyaklah sedekah dan sedekah itu luas, tidak hanya berujud emas atau materi. Seorang alim berkata , bahawa letak kebahagiaan hakiki adalah membahagiakan orang lain. Mari kita membiasakan diri untuk mendoakan orang lain.
Seorang laim , Ali ath Thantawi, menyampaikan suatu ungkapan bahawa bila anda membahagiakan saudara anda dengan pemberian, maka Allah akan membahagiakan anda dengan pemberian-Nya yang tak terduga dan tak pernah anda nantikan .
Dr. H Hamzah Ya’qub dalam Tasawuf dan Taqarrub, menyatakan bahwa salah satu kebaikan sedekah yakni orang yang melakukannya akan dilapangkan keadaanya. Dimudahkan urusannya.
Ibn Qayyim , menyatakan bahwa sesungguhnya sedekah itu dapat membebaskan kita dari azab-Nya. Seseorang yang melakukan dosa dan kesalahan, maka ia pantas untuk celaka. Tetapi, jika ia segera mengiringinya deng bersedekah (yang halal), niscaya oa alam terbebas dan terlepas dari azab.
Seringkali ketika kita berbuat baik selalu ada tantangan atau ujian yang mengiringi yaitu rasa pamrih. Kita sering terjebak dalam godaan , sering terbersit keinginan atau berharap bahwa kebaikan kita akan dibalas oleh orang yang kita tolong atau palin tidak ada pengakuan dari orang lain atas kebaikan kita. Dan hasilnya sudah bisa ditebak , kita menjadi kecewa sendiri karena apa yang kita harapkan tidak terjadi.
Ingatlah selalu firman-Nya yang artinya ,” Barang siapa yang mengerjakan kebajikan , dan dia beriman, maka usahanya tidak akan diingkari (disia-siakan) , dan sungguh, Kamilah yang mencatat untuknya. “ (Qs. Al-Anbiya’ : 94).
Maka dari itu, berhentilah mulai sekarang. Berhentilah memikirkan apa balasan yang akan kita terima ketika berbuat baik. Lakukan saja tanpa berpikir macem-macem , percayalah, Allah sendiri yang akan turun tangan membalas segala kebaikan yang kita lakukan.
Barang siapa berbuat kebaikan walaupun hanya sebesar biji zarah (atom), niscaya dia akan melihat balasannya, Dan barang siapa yang berbuat kejahatan walaupun hanya seberat biji zarah(atom), niscaya dia akan melihat balasannya pula.
Sebagaimana firman-Nya , yang artinya ,” Sungguh, Allah tidak akan menzalimi seseorang walaupun seberat zarrah, dan jika ada kebaikan (sekecil zarrah), niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan pahala yang besar disisi-Nya. “(Qs. An-Nisa’ : 4).
Allah tidak akan pernah menzalimi makhluk-Nya, justru kita sendirilah yang menzalimi diri sendiri. Barang siapa tidak bersyukur maka sesungguhnya ia telah membuka jalan hilangnya nikmat dari dirinya. Kita sering menginginkan nikmat , padahal rahasia untuk mengundang nikmat adalah bersykur atas nikmat yang ada. Dan salah satu cara bersyukur adalah berbuat kebaikan sebagaimana yang telah Allah contohkan melalui para Rasul dan Nabi-Nya.
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ,” Dan Allah memberi mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Qs. Ali – ‘Imran : 148). Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya , “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka mendapat pahala yang tiada putus-putusnya “ (Qs. Fussilat : 8)
kebahagiaan itu sebenarnya hal sangat sederhana . Tetapi kenapa ya...tidak semua orang merasakannya...? karena tidak setiap orang mampu mensyukurinya. YA..bersyukur adalah kata kunci bila seseorang ingin merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Syukurilah apa-apa yang sudah anda capai dan anda akan merasakan kebahagiaan yang tiada terhingga.
Allahu a’lam.
Sumber : Rusdin s Rauf dalam inilah Rahasia bersyukur
Antara Zuhud dan Wara' (2 dr 4)
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah,
Menyatakan bahwa az-Zuhd adalah menghindari sesuatu yang tidak bermanfaat, apakah karena memang tidak ada manfaatnya, atau memang karena keadaannya yang tidak diutamakan, karena ia dapat menghilangkan sesuatu yang lebih bermanfaat, atau dapat mengancam manfaatnya, entah manfaat yang sudah pasti maupun manfaat yang diprediksi. Jadi diartikan meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat,sedangkan wara’ diartikan sebagai meninggalkan apa-apa yang mendatangkan mudharat untuk kepentingan akhirat. Ibnul Qayyim, bahwa Zuhud secara bahasa diartikan sebagai lawan dari cinta dan semangat terhadap dunia. Dimana beliau berkata bahwa Zuhud terhadap sesuatu di dalam bahasa Arab yang merupakan juga bahasa Islam, mengandung arti berpaling darinya dengan meremehkan dan merendahkan keadaannya karena sudah merasa cukup dengan sesuatu yang lebih baik darinya.
Dari Abul 'Abbas Sahl bin Sa'd As-Sa'idiy ra, bahwa , 'Datang seseorang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu dia berkata, 'Ya Rasulullah, tunjukkan kepadaku akan suatu amalan yang apabila aku mengerjakannya niscaya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia?'
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya "Zuhudlah terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa-apa yang dimiliki oleh manusia niscaya manusia mencintaimu." (Shahih, HR. Ibnu Majah dan selainnya, Shahiihul Jaami' 935 dan Ash-Shahiihah 942)
Sufyan Ats-Tsauriy,
Berkata, bahwa ,Zuhud terhadap dunia adalah pendek angan-angan, tidak mengumbar harapan dan bukanlah yang dimaksud zuhud itu dengan memakan makanan yang keras dan memakai karung.
Al Junaid berkata bahwa orang yang zuhud tidak gembira karena mendapatkan dunia dan tidak sedih karena kehilangan dunia.
Az-Zuhriy,
Berkata bahwa Zuhud adalah hendaklah seseorang tidaklah lemah dan mengurangi syukurnya terhadap rizki yang halal yang telah Allah berikan kepadanya dan janganlah dia mengurangi kesabarannya dalam meninggalkan yang haram.
Al-Hasan,
Berkata bahwa zuhud terhadap dunia itu bukan berarti dengan mengharamkan yang halal dan tidak pula dengan menyia-nyiakan dan membuang harta, akan tetapi hendaklah engkau lebih tsiqah (mempercayai) terhadap apa-apa yang ada di sisi Allah daripada apa-apa yang ada di sisimu, dan hendaklah engkau apabila ditimpa musibah, engkau lebih mencintai pahala dari musibah tersebut daripada engkau tidak tertimpa musibah.
Yahya bin Mu’adz,
Bahwa zuhud menimbulkan kedermawanan dalam masalah hak milik.
Kesimpulannya bahwasanya hakikat zuhud yang ada di dalam hati adalah dengan mengeluarkan kecintaan dan semangat terhadap dunia dari hati seorang hamba, sehingga jadilah dunia itu hanya di tangannya sedangkan kecintaan Allah dan negeri akhirat ada di dalam hatinya. Disini sifat zuhud dipahami bahwa dunia/harta yang dimilikinya hanya sekedar lewat di tangannya tidak sampai ke hatinya (hatinya tidak terikat dengannya), dia salurkan harta tersebut di jalan Allah, dia infaqkan kepada orang yang membutuhkannya. Ibaratnya kran yang mengalirkan air untuk orang lain. Sedangkan hatinya tetap terikat dengan kecintaan kepada Allah dan akhirat. Banyak sedikitnya tidak menjadikannya bangga dan senang, akan tetapi ketaatan kepada Allah-lah yang menjadi tolak ukurnya. Banyak sedikitnya harta bagi orang yang zuhud sama saja.
Ketika ada seseorang bertanya kepada Al-Imam Ahmad, "Apakah orang kaya bisa menjadi orang yang zuhud?"
Beliau menjawab, "Ya, dengan syarat ketika banyak hartanya tidak menjadikannya bangga dan ketika luput darinya dunia dia tidak bersedih hati."
Karena zuhud itu adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat di akhirat, adapun hal-hal yang bermanfaat seperti menikah, mencari nafkah dan lainnya maka ini semua tidaklah mengurangi zuhudnya selama hatinya tetap terikat dengan akhirat.
Beliau juga membagi zuhud menjadi tiga tingkatan:
1. Meninggalkan yang haram, yang merupakan zuhudnya orang-orang 'awwam, dan ini adalah fardhu 'ain.
2. Meninggalkan kelebihan-kelebihan dari yang halal, dan ini zuhudnya orang-orang yang khusus.
3. Meninggalkan apa-apa yang dapat menyibukkannya dari (mengingat) Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang Allah.
Imam Ahmad juga menafsirkan tentang sifat zuhud yaitu tidak panjang angan-angan dalam kehidupan dunia. Beliau melanjutkan orang yg zuhud ialah orang yg bila dia berada di pagi hari dia berkata Aku khawatir tidak bisa menjumpai waktu sore. Maka dia segera memanfaatkan waktunya untuk beramal & beribadah sebaik-baiknya. Zuhud diartikan juga sebagai tidak mengumbar harapan di dunia, tidak gembira jika mendapatkan keduniaan, dan tidak sedih jika kehilangan keduniaan.
Definisi al-wara'
Dalam kaitannya dengan pemahaman wara’, Allah berfirman yang artinya,” Hai rasul-rasul,makanlah dari makanan yang baik-baik,dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan,” (Qs. Al-Mukminun : 51)
Secara bahasa dikatakan, sebagai
1. wara'a yara'u war'an wa wara'an wa wari'atan." artinya menjaga dan menghindari dari hal-hal yang diahromkan kemudian digunakan juga untuk perbuatan menahan diri dari hal halal yang mubah. pelakunya disebut wari'un wa mutawarri'un.
2. lafazh wari'a yaura'u wa yauri'u artinya menjadi orang yang wara'.
3. tawarra'a minal-amri artinya menjauhinya. al-wara' dapat menggerakkan ketakwaan.
Secara erminologis, al-wara' artinya menahan diri dari hal-hal yang dapat menimbulkan mudharat lalu menyeretnya kepada hal-hal yang haram dan syubhat, karena subhat ini dapat menimbulkan mudharat. Sesungguhnya, siapa yang takut kepada syubhat maka dia telah membebaskan kehormatan dan agamanya, dan siapa yang berada dalam syubhat berarti dia berada dalam hal yang haram, seperti penggembala di sekitar tanaman yang dijaga, yang begitu cepat dia masuk ke dalamnya.
Wara’ juga mengandung pengertian menjaga diri atau sikap hati-hati dari hal yg syubhat dan meninggalkan yg haram. Lawan dari Waro adalah subhat yg berarti tidak jelas apakah hal tsb halal atau haram.
Sebagaimana Rasulullah bersabda, yang artinya ," Sesungguhnya yg halal itu jelas dan yg haram itu jelas. Di antara keduanya ada yg syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yg menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama & kehormatannya. Dan siapa yg jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yg haram." (HR Bukhari & Muslim).
sebagaimana contoh, Seseorang meninggalkan kesenangan mendengarkan atau memainkan musik karena dia tahu bahwa bermusik atau mendengarkan musik itu ada yg mengatakan halal dan ada yg mengatakan haram.
Dalam riwayat At-tirmidzi disebutkan secara marfu’ kepada Rasulullah, bahwa beliau bersabda, yang artinya ,” Wahai Abu Hurairah , jadilah engkau orang yang wara’, niscaya engkau akan menjadi orang yang paling banyak melakukan ibadah “.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu’ Fatawa, bahwa wara’ adalah menahan diri dari perkara yang terkadang bisa memudharatkan, termasuk di dalam perkara ini adalah perkara-perkara yang diharamkan dan yang syubhat, sebab bisa berdampak negatif, dan orang yang menjaga perkara yang syubhat maka dia telah menjaga agama dan kehormatan dirinya dan orang yang terjebak ke dalam perkara yang syubhat maka dia telah terjatuh pada perkara yang diharamkan, sama seperti seorang penggembala yang menggembalakan gembalaannya di sekitar perbatasan, hampir saja dia melewati batasnya.
Wara’ juga dimaksudkan sebagai membersihkan kotoran hati dan najisnya sebagaimana air membersihkan kotoran pakaian dan najisnya.
Rasulullah telah menghimpun keseluruhan wara’ dalam sabdanya, yang artinya ,” Di antara tanda kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya”.
Meninggalkan apa yang tidak bermanfaat ini mencakup keseluruhan tindakan lahir maupun batin.
Ibrahim bin Adham , bahwa Wara’ diartikan meninggalkan setiap, sedangkan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagimu artinya meninggalkan hal-hal yang berlebih.
Menurut Sufyan Ats-Tsauri, bahwa aku tidak melihat sesuatu yang lebih mudah daripada wara’ , yaitu jika ada sesuatu yang meragukan di dalam jiwamu, maka tinggalkanlah.
Asy-Syibli,
Wara’ diartikan sebagai menjauhi segala sesuatu selain Allah
(bersambung …..)
Sumber: Ahmad bin Ali Soleh, Amin bin Abdullah asy‐Syaqawi dalam Al-Wara'
fatawaa syaikhul islam, al-Qaamuus, asaasul-balagaah , minhajul qaasidin, qitabul zuhud ,Qawaa'id wa Fawaa`id minal Arba'iin An-Nawawiyyah , At-Ta'liiqaat 'alal Arba'iin An-Nawawiyyah , Ibn Qayyim al-Jauzi dalam Madarijus Salikin
Menyatakan bahwa az-Zuhd adalah menghindari sesuatu yang tidak bermanfaat, apakah karena memang tidak ada manfaatnya, atau memang karena keadaannya yang tidak diutamakan, karena ia dapat menghilangkan sesuatu yang lebih bermanfaat, atau dapat mengancam manfaatnya, entah manfaat yang sudah pasti maupun manfaat yang diprediksi. Jadi diartikan meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat,sedangkan wara’ diartikan sebagai meninggalkan apa-apa yang mendatangkan mudharat untuk kepentingan akhirat. Ibnul Qayyim, bahwa Zuhud secara bahasa diartikan sebagai lawan dari cinta dan semangat terhadap dunia. Dimana beliau berkata bahwa Zuhud terhadap sesuatu di dalam bahasa Arab yang merupakan juga bahasa Islam, mengandung arti berpaling darinya dengan meremehkan dan merendahkan keadaannya karena sudah merasa cukup dengan sesuatu yang lebih baik darinya.
Dari Abul 'Abbas Sahl bin Sa'd As-Sa'idiy ra, bahwa , 'Datang seseorang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu dia berkata, 'Ya Rasulullah, tunjukkan kepadaku akan suatu amalan yang apabila aku mengerjakannya niscaya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia?'
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya "Zuhudlah terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa-apa yang dimiliki oleh manusia niscaya manusia mencintaimu." (Shahih, HR. Ibnu Majah dan selainnya, Shahiihul Jaami' 935 dan Ash-Shahiihah 942)
Sufyan Ats-Tsauriy,
Berkata, bahwa ,Zuhud terhadap dunia adalah pendek angan-angan, tidak mengumbar harapan dan bukanlah yang dimaksud zuhud itu dengan memakan makanan yang keras dan memakai karung.
Al Junaid berkata bahwa orang yang zuhud tidak gembira karena mendapatkan dunia dan tidak sedih karena kehilangan dunia.
Az-Zuhriy,
Berkata bahwa Zuhud adalah hendaklah seseorang tidaklah lemah dan mengurangi syukurnya terhadap rizki yang halal yang telah Allah berikan kepadanya dan janganlah dia mengurangi kesabarannya dalam meninggalkan yang haram.
Al-Hasan,
Berkata bahwa zuhud terhadap dunia itu bukan berarti dengan mengharamkan yang halal dan tidak pula dengan menyia-nyiakan dan membuang harta, akan tetapi hendaklah engkau lebih tsiqah (mempercayai) terhadap apa-apa yang ada di sisi Allah daripada apa-apa yang ada di sisimu, dan hendaklah engkau apabila ditimpa musibah, engkau lebih mencintai pahala dari musibah tersebut daripada engkau tidak tertimpa musibah.
Yahya bin Mu’adz,
Bahwa zuhud menimbulkan kedermawanan dalam masalah hak milik.
Kesimpulannya bahwasanya hakikat zuhud yang ada di dalam hati adalah dengan mengeluarkan kecintaan dan semangat terhadap dunia dari hati seorang hamba, sehingga jadilah dunia itu hanya di tangannya sedangkan kecintaan Allah dan negeri akhirat ada di dalam hatinya. Disini sifat zuhud dipahami bahwa dunia/harta yang dimilikinya hanya sekedar lewat di tangannya tidak sampai ke hatinya (hatinya tidak terikat dengannya), dia salurkan harta tersebut di jalan Allah, dia infaqkan kepada orang yang membutuhkannya. Ibaratnya kran yang mengalirkan air untuk orang lain. Sedangkan hatinya tetap terikat dengan kecintaan kepada Allah dan akhirat. Banyak sedikitnya tidak menjadikannya bangga dan senang, akan tetapi ketaatan kepada Allah-lah yang menjadi tolak ukurnya. Banyak sedikitnya harta bagi orang yang zuhud sama saja.
Ketika ada seseorang bertanya kepada Al-Imam Ahmad, "Apakah orang kaya bisa menjadi orang yang zuhud?"
Beliau menjawab, "Ya, dengan syarat ketika banyak hartanya tidak menjadikannya bangga dan ketika luput darinya dunia dia tidak bersedih hati."
Karena zuhud itu adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat di akhirat, adapun hal-hal yang bermanfaat seperti menikah, mencari nafkah dan lainnya maka ini semua tidaklah mengurangi zuhudnya selama hatinya tetap terikat dengan akhirat.
Beliau juga membagi zuhud menjadi tiga tingkatan:
1. Meninggalkan yang haram, yang merupakan zuhudnya orang-orang 'awwam, dan ini adalah fardhu 'ain.
2. Meninggalkan kelebihan-kelebihan dari yang halal, dan ini zuhudnya orang-orang yang khusus.
3. Meninggalkan apa-apa yang dapat menyibukkannya dari (mengingat) Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang Allah.
Imam Ahmad juga menafsirkan tentang sifat zuhud yaitu tidak panjang angan-angan dalam kehidupan dunia. Beliau melanjutkan orang yg zuhud ialah orang yg bila dia berada di pagi hari dia berkata Aku khawatir tidak bisa menjumpai waktu sore. Maka dia segera memanfaatkan waktunya untuk beramal & beribadah sebaik-baiknya. Zuhud diartikan juga sebagai tidak mengumbar harapan di dunia, tidak gembira jika mendapatkan keduniaan, dan tidak sedih jika kehilangan keduniaan.
Definisi al-wara'
Dalam kaitannya dengan pemahaman wara’, Allah berfirman yang artinya,” Hai rasul-rasul,makanlah dari makanan yang baik-baik,dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan,” (Qs. Al-Mukminun : 51)
Secara bahasa dikatakan, sebagai
1. wara'a yara'u war'an wa wara'an wa wari'atan." artinya menjaga dan menghindari dari hal-hal yang diahromkan kemudian digunakan juga untuk perbuatan menahan diri dari hal halal yang mubah. pelakunya disebut wari'un wa mutawarri'un.
2. lafazh wari'a yaura'u wa yauri'u artinya menjadi orang yang wara'.
3. tawarra'a minal-amri artinya menjauhinya. al-wara' dapat menggerakkan ketakwaan.
Secara erminologis, al-wara' artinya menahan diri dari hal-hal yang dapat menimbulkan mudharat lalu menyeretnya kepada hal-hal yang haram dan syubhat, karena subhat ini dapat menimbulkan mudharat. Sesungguhnya, siapa yang takut kepada syubhat maka dia telah membebaskan kehormatan dan agamanya, dan siapa yang berada dalam syubhat berarti dia berada dalam hal yang haram, seperti penggembala di sekitar tanaman yang dijaga, yang begitu cepat dia masuk ke dalamnya.
Wara’ juga mengandung pengertian menjaga diri atau sikap hati-hati dari hal yg syubhat dan meninggalkan yg haram. Lawan dari Waro adalah subhat yg berarti tidak jelas apakah hal tsb halal atau haram.
Sebagaimana Rasulullah bersabda, yang artinya ," Sesungguhnya yg halal itu jelas dan yg haram itu jelas. Di antara keduanya ada yg syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yg menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama & kehormatannya. Dan siapa yg jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yg haram." (HR Bukhari & Muslim).
sebagaimana contoh, Seseorang meninggalkan kesenangan mendengarkan atau memainkan musik karena dia tahu bahwa bermusik atau mendengarkan musik itu ada yg mengatakan halal dan ada yg mengatakan haram.
Dalam riwayat At-tirmidzi disebutkan secara marfu’ kepada Rasulullah, bahwa beliau bersabda, yang artinya ,” Wahai Abu Hurairah , jadilah engkau orang yang wara’, niscaya engkau akan menjadi orang yang paling banyak melakukan ibadah “.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu’ Fatawa, bahwa wara’ adalah menahan diri dari perkara yang terkadang bisa memudharatkan, termasuk di dalam perkara ini adalah perkara-perkara yang diharamkan dan yang syubhat, sebab bisa berdampak negatif, dan orang yang menjaga perkara yang syubhat maka dia telah menjaga agama dan kehormatan dirinya dan orang yang terjebak ke dalam perkara yang syubhat maka dia telah terjatuh pada perkara yang diharamkan, sama seperti seorang penggembala yang menggembalakan gembalaannya di sekitar perbatasan, hampir saja dia melewati batasnya.
Wara’ juga dimaksudkan sebagai membersihkan kotoran hati dan najisnya sebagaimana air membersihkan kotoran pakaian dan najisnya.
Rasulullah telah menghimpun keseluruhan wara’ dalam sabdanya, yang artinya ,” Di antara tanda kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya”.
Meninggalkan apa yang tidak bermanfaat ini mencakup keseluruhan tindakan lahir maupun batin.
Ibrahim bin Adham , bahwa Wara’ diartikan meninggalkan setiap, sedangkan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagimu artinya meninggalkan hal-hal yang berlebih.
Menurut Sufyan Ats-Tsauri, bahwa aku tidak melihat sesuatu yang lebih mudah daripada wara’ , yaitu jika ada sesuatu yang meragukan di dalam jiwamu, maka tinggalkanlah.
Asy-Syibli,
Wara’ diartikan sebagai menjauhi segala sesuatu selain Allah
(bersambung …..)
Sumber: Ahmad bin Ali Soleh, Amin bin Abdullah asy‐Syaqawi dalam Al-Wara'
fatawaa syaikhul islam, al-Qaamuus, asaasul-balagaah , minhajul qaasidin, qitabul zuhud ,Qawaa'id wa Fawaa`id minal Arba'iin An-Nawawiyyah , At-Ta'liiqaat 'alal Arba'iin An-Nawawiyyah , Ibn Qayyim al-Jauzi dalam Madarijus Salikin
Antara Zuhud dan Wara' (1 dr 4)
Ibnu Qoyyim Al Jauziyah (Al Fawaid) bahwa zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu yg tidak bermanfaat di akhirat, adapun wara adalah meninggalkan apa-apa yang ditakuti akan bahayanya di akhirat. Adapun hati yg tertambat dengan syahwat, tidak akan bisa melakukan zuhud ataupun wara'. Ini adalah definisinya terhadap makna zuhud dan wara'. Dalam ulasan ini kite mencoba pemahaman antara meninggalkan segala sesuatu yg tidak bermanfaat (zuhud) dan meninggalkan sesuatu yg membahayakan bagi kepentingan akhirat (wara') . Adapun keduanya adalah perjuangan untuk membersihkan hati. Sebagaimana firman Allah, "Dan kehidupan akhirat itu lebih baik dan kekal," (Qs. Al A'la: 17).Dalam Mukhtashar Minhaj al-Qashidiin disebutkan bahwa Wara' memiliki empat tingkatan:Pertama, Menarik diri dari setiap hal yang oleh fatwa diindikasikan haram ,Wara' dari setiap syubhat yang tidak wajib menjauhinya tetapi dianjurkan , Wara' dari sebagian yang halal karena khawatir terjerumus ke dalam hal yang haram dan ke empat, Wara' dari semua hal yang bukan karena Allah Ta'ala. Inilah Wara' ash-Shiddiqin.
Ibnu Qoyyim, menyatakan zuhud yang paling utama adalah bila kita menyembunyikan zuhud itu sendiri. Zuhud yang paling berat adalah menerima nasib. Kecintaan pada akhirat tidak akan sempurna kecuali dengan berzuhud di dunia. Dan tidak tulus zuhud seseorang di dunia kecuali setelah melihat dua hal : yaitu
pertama, melihat dunia lalu cepat-cepat menghilangkan, menghancurkan, melenyapkan, mengurangi dan membuangnya. Semua itu sama sekali tidak menyebabkannya menyesal atau menderita.
kedua, melihat akhirat, menerima, menyambut kedatangannya, keabadian dan kekekalannya , serta kemuliaan yang ada di dalamnya dari kebaikan dan kelezatan.
Dalam sikap Wara' pun sebenarnya memiliki pengertian yang sejalan. Ibnu Qoyyim dalam Madarij as-Salikin, menyatakan bahwa wara' dapat menyucikan kotoran dan najis yang menempel di hati sebagaimana air menyucikan kotoran dan najis yang ada pada pakaian. Hal ini termasuk juga pengertian seperti meninggalkan hal-hal seperti berbicara, melihat, mendengar, bertindak keras (dengan tangan), berjalan, berfikir dan seluruh gerakan yang kelihatan secara fisik atau pun abstrak. Kalimat tersebut sudah cukup ketika berbicara tentang Wara.
Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam menghimpun makna Wara' dalam sabda beliau yang artinya , "Termasuk baiknya keislaman seseorang, meninggalkan hal yang tidak menjadi kepentingannya (yang tidak perlu)." (HR.at-Turmudzi dan Ibn Majah).
zuhud dalam bahasa arab diartikan sebagai berpaling darinya karena menganggapnya hina dan remeh serta leboh baik tidak membutuhkannya.
Jika kedua pandangan itu telah padu, maka akal akan mengutamakan mana yang seharusnya diutamakan. Dan kezuhudan lah yang akan menjadi pilihan. Setiap orang tidak akan meninggalkan manfaat dan kenikmatan pada waktu dekat untuk manfaat dan kenikmatan pada masa yang akan datang, kecuali jika jelas baginya keutamaan masa mendatang itu di atas masa sekarang dan keinginannya yang kuat untuk mendapat yang lebih baik. Jika seseorang lebih mengutamakan sesuatu yang rusak dan tidak sempurna, hal itu bisa jadi disebabkan karena ia tidak mengetahui sesuatu yang utama atau karena ia memang tidak menyukai sesuatu yang lebih utama.
Definisi zuhud:
Di dalam Al-Qur`an banyak ayat yang menerangkan akan hakikat dunia, kerendahannya, kefanaannya, dan hinanya, sedangkan akhirat itu kekal dan jauh lebih baik daripada dunia.
Sebagaimana Allah berfirman yang artinya, "Apa yang di sisi kalian akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal." [Qs. An-Nahl:96]
Sebagaimana Allah berfirman yang artinya, "Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kalian serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada 'adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." [Qs. Al-Hadiid:20]
Kita kembali ke pengertian Zuhud lainnya ,
1. menurut bahasa, lafahz zahidha fiihi wa 'anhu, zuhdan wa zahaadatan artinya berpaling dari sesuatu, meninggalkan sesuatu itu karena kehinaannnya atau karena kekesalan kepadanya atau untuk membunuhnya.
2. zahuda fi asy-syai'i artinya tidak membutuhkannya,
3. zahida fi ad-dunyaa artinya meninggalkan hal-hal yang haram, dari dunia, karena takut hisabnya (di akherat kelak ) dan meninggalkan yang haram dari dunia itu karena takut siksaan-Nya.
4. Tazahhada artinya pun menjadi orang zuhud dan ahli ibadah.
5. Jika dari sudut makna kata zahaadah, az-Zahid adalah ahli ibadah. bentuk jama'nya adalah zuhad wa zuhaad . lafazh az-Zhaadah fi asy-syai'i kebalikan dari kesenangan kepadanya, ridho kepada yang sedikit dan yang jelas kehalalannya, meninggalkan yang lebih dari itu karena Alloh semata.
Jadi pemahaman arti zuhud mengacu kepada Al-Qur`an , yaitu merendahkan dan menghinakan dunia dan kenikmatannya. Bahwa dunia itu sesuatu yang menipu, batil, permainan dan sesuatu yang melalaikan. Dan Allah telah mencela orang yang lebih mengutamakan dunia di atas akhirat. Sehingga menjadikan seorang mukmin meremehkan dunia, dan hanya terikat dengan yang kekal yaitu akhirat.
Dari Jabir bin 'Abdillah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketiak masuk suatu pasar , lalu beliau melewati seekor bangkai kambing kacang yang kecil kedua telinganya, kemudian beliau pun mengambilnya dan memegang telinganya seraya bersabda, yang artinya "Siapakah di antara kalian yang mau membelinya dengan satu dirham?"
Maka mereka pun menjawab, "Demi Allah, seandainya hidup, kambing itu pun mempunyai cacat karena kedua telinganya kecil, maka bagaimana (kami mau membelinya) dalam keadaan kambing itu sudah menjadi bangkai?!
Maka Rasulullah pun bersabda, yang artinya "Demi Allah, sungguh dunia itu lebih hina dan rendah di sisi Allah daripada bangkai ini atas kalian." (HR. Muslim dalam Kitaabuz Zuhd, lihat Syarhnya 5/814)
Rasulullah juga bersabda, yang artinya "Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali seperti jari salah seorang dari kalian yang dicelupkan ke laut, maka lihatlah apa yang dibawa jari tersebut!" (Lihat Shahiihul Jaami' , 5423)
Adapun makna zuhud secara terminologis menurut beberapa ulama sbb,
Ibnul Jauziy , mengatakan bahwa
azzuhud merupakan ungkapan tentang pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu yang lain yang lebih baik darinya. Syarat sesuatu yang tidak disukai haruslah berupa sesuatu yang memang tidak disukai dengan pertimbangan tertentu.
Siapa yang tidak menyukai sesuatu yang bukan termasuk hal yang disenangi dan dicari jiwanya, tidak harus disebut orang zuhud, seperti orang yang tidak makan tanah, yang tidak dapat disebut orang yang zuhud.
Jadi zuhud itu tidak sekedar meninggalkan harta dan mengeluarkannya dengan suka rela, ketika badan kuat dan kecenderungan hati kepadanya, tapi zuhud itu ialah meninggalkan dunia karena didasarkan pengetahuan tentang kehinaan dunia itu jika dibandingkan nilai akhirat. ( bersambung ….. )
Sumber: Ahmad bin Ali Soleh, Amin bin Abdullah asy‐Syaqawi dalam Al-Wara' fatawaa syaikhul islam, al-Qaamuus, asaasul-balagaah , minhajul qaasidin, qitabul zuhud ,Qawaa'id wa Fawaa`id minal Arba'iin An-Nawawiyyah , At-Ta'liiqaat 'alal Arba'iin An-Nawawiyyah , Ibn Qayyim al-Jauzi dalam Madarijus Salikin
Ibnu Qoyyim, menyatakan zuhud yang paling utama adalah bila kita menyembunyikan zuhud itu sendiri. Zuhud yang paling berat adalah menerima nasib. Kecintaan pada akhirat tidak akan sempurna kecuali dengan berzuhud di dunia. Dan tidak tulus zuhud seseorang di dunia kecuali setelah melihat dua hal : yaitu
pertama, melihat dunia lalu cepat-cepat menghilangkan, menghancurkan, melenyapkan, mengurangi dan membuangnya. Semua itu sama sekali tidak menyebabkannya menyesal atau menderita.
kedua, melihat akhirat, menerima, menyambut kedatangannya, keabadian dan kekekalannya , serta kemuliaan yang ada di dalamnya dari kebaikan dan kelezatan.
Dalam sikap Wara' pun sebenarnya memiliki pengertian yang sejalan. Ibnu Qoyyim dalam Madarij as-Salikin, menyatakan bahwa wara' dapat menyucikan kotoran dan najis yang menempel di hati sebagaimana air menyucikan kotoran dan najis yang ada pada pakaian. Hal ini termasuk juga pengertian seperti meninggalkan hal-hal seperti berbicara, melihat, mendengar, bertindak keras (dengan tangan), berjalan, berfikir dan seluruh gerakan yang kelihatan secara fisik atau pun abstrak. Kalimat tersebut sudah cukup ketika berbicara tentang Wara.
Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam menghimpun makna Wara' dalam sabda beliau yang artinya , "Termasuk baiknya keislaman seseorang, meninggalkan hal yang tidak menjadi kepentingannya (yang tidak perlu)." (HR.at-Turmudzi dan Ibn Majah).
zuhud dalam bahasa arab diartikan sebagai berpaling darinya karena menganggapnya hina dan remeh serta leboh baik tidak membutuhkannya.
Jika kedua pandangan itu telah padu, maka akal akan mengutamakan mana yang seharusnya diutamakan. Dan kezuhudan lah yang akan menjadi pilihan. Setiap orang tidak akan meninggalkan manfaat dan kenikmatan pada waktu dekat untuk manfaat dan kenikmatan pada masa yang akan datang, kecuali jika jelas baginya keutamaan masa mendatang itu di atas masa sekarang dan keinginannya yang kuat untuk mendapat yang lebih baik. Jika seseorang lebih mengutamakan sesuatu yang rusak dan tidak sempurna, hal itu bisa jadi disebabkan karena ia tidak mengetahui sesuatu yang utama atau karena ia memang tidak menyukai sesuatu yang lebih utama.
Definisi zuhud:
Di dalam Al-Qur`an banyak ayat yang menerangkan akan hakikat dunia, kerendahannya, kefanaannya, dan hinanya, sedangkan akhirat itu kekal dan jauh lebih baik daripada dunia.
Sebagaimana Allah berfirman yang artinya, "Apa yang di sisi kalian akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal." [Qs. An-Nahl:96]
Sebagaimana Allah berfirman yang artinya, "Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kalian serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada 'adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." [Qs. Al-Hadiid:20]
Kita kembali ke pengertian Zuhud lainnya ,
1. menurut bahasa, lafahz zahidha fiihi wa 'anhu, zuhdan wa zahaadatan artinya berpaling dari sesuatu, meninggalkan sesuatu itu karena kehinaannnya atau karena kekesalan kepadanya atau untuk membunuhnya.
2. zahuda fi asy-syai'i artinya tidak membutuhkannya,
3. zahida fi ad-dunyaa artinya meninggalkan hal-hal yang haram, dari dunia, karena takut hisabnya (di akherat kelak ) dan meninggalkan yang haram dari dunia itu karena takut siksaan-Nya.
4. Tazahhada artinya pun menjadi orang zuhud dan ahli ibadah.
5. Jika dari sudut makna kata zahaadah, az-Zahid adalah ahli ibadah. bentuk jama'nya adalah zuhad wa zuhaad . lafazh az-Zhaadah fi asy-syai'i kebalikan dari kesenangan kepadanya, ridho kepada yang sedikit dan yang jelas kehalalannya, meninggalkan yang lebih dari itu karena Alloh semata.
Jadi pemahaman arti zuhud mengacu kepada Al-Qur`an , yaitu merendahkan dan menghinakan dunia dan kenikmatannya. Bahwa dunia itu sesuatu yang menipu, batil, permainan dan sesuatu yang melalaikan. Dan Allah telah mencela orang yang lebih mengutamakan dunia di atas akhirat. Sehingga menjadikan seorang mukmin meremehkan dunia, dan hanya terikat dengan yang kekal yaitu akhirat.
Dari Jabir bin 'Abdillah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketiak masuk suatu pasar , lalu beliau melewati seekor bangkai kambing kacang yang kecil kedua telinganya, kemudian beliau pun mengambilnya dan memegang telinganya seraya bersabda, yang artinya "Siapakah di antara kalian yang mau membelinya dengan satu dirham?"
Maka mereka pun menjawab, "Demi Allah, seandainya hidup, kambing itu pun mempunyai cacat karena kedua telinganya kecil, maka bagaimana (kami mau membelinya) dalam keadaan kambing itu sudah menjadi bangkai?!
Maka Rasulullah pun bersabda, yang artinya "Demi Allah, sungguh dunia itu lebih hina dan rendah di sisi Allah daripada bangkai ini atas kalian." (HR. Muslim dalam Kitaabuz Zuhd, lihat Syarhnya 5/814)
Rasulullah juga bersabda, yang artinya "Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali seperti jari salah seorang dari kalian yang dicelupkan ke laut, maka lihatlah apa yang dibawa jari tersebut!" (Lihat Shahiihul Jaami' , 5423)
Adapun makna zuhud secara terminologis menurut beberapa ulama sbb,
Ibnul Jauziy , mengatakan bahwa
azzuhud merupakan ungkapan tentang pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu yang lain yang lebih baik darinya. Syarat sesuatu yang tidak disukai haruslah berupa sesuatu yang memang tidak disukai dengan pertimbangan tertentu.
Siapa yang tidak menyukai sesuatu yang bukan termasuk hal yang disenangi dan dicari jiwanya, tidak harus disebut orang zuhud, seperti orang yang tidak makan tanah, yang tidak dapat disebut orang yang zuhud.
Jadi zuhud itu tidak sekedar meninggalkan harta dan mengeluarkannya dengan suka rela, ketika badan kuat dan kecenderungan hati kepadanya, tapi zuhud itu ialah meninggalkan dunia karena didasarkan pengetahuan tentang kehinaan dunia itu jika dibandingkan nilai akhirat. ( bersambung ….. )
Sumber: Ahmad bin Ali Soleh, Amin bin Abdullah asy‐Syaqawi dalam Al-Wara' fatawaa syaikhul islam, al-Qaamuus, asaasul-balagaah , minhajul qaasidin, qitabul zuhud ,Qawaa'id wa Fawaa`id minal Arba'iin An-Nawawiyyah , At-Ta'liiqaat 'alal Arba'iin An-Nawawiyyah , Ibn Qayyim al-Jauzi dalam Madarijus Salikin
Langganan:
Postingan (Atom)