Perintah Untuk Berdoa . Seorang muslim membutuhkan Allah Subhanahu wa Ta'ala setiap saat. Penghambaan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala mutlak harus dikerjakan. Berdoa merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh seorang hamba untuk membuktikan kebutuhannya kepada Allah, dan sebagai bukti ketundukan dirinya kepada Rabbul-'Alamiin (Dzat Yang Maha Menguasai alam semesta).
Melalui ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan para hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya dan beribadah dengannya [2]. Karena doa termasuk ibadah, maka wajib disertai dengan keikhlasan.
Imam Ibnu Jarîr ath-Thabari menjelaskan: , berdoalah kepada Allah saja. Murnikan doa kepada-Nya. Tidak menyeru kepada sesembahan-sesembahan selain-Nya dan berhala-berhala"[3]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya "Dialah Yang hidup kekal, tiada Ilah (yang berhak diibadahi) melainkan Dia; maka berdoalah kepada-Nya dengan memurnikan ibadah kepada-Nya". [Ghâfir/40:65].
Lebih jelas lagi larangan berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, ditunjukkan pula oleh firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya , "Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka …." [ar-Ra'd/13:14].
Adab Berdoa,
Ayat di atas juga mengajarkan cara bagi seorang muslim saat berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga doa yang dilantunkannya dikabulkan [4]. Allah Subhanahu wa Ta'ala menunjukkan cara berdoa itu, ialah dengan menyertakan dua sifat yang mengiringi perintah untuk berdoa kepada-Nya. Dua sifat itu, ialah tadharru' dan khuf-yah.
Pengertian tadharru', yaitu mengandung unsur khusyu', tadzallul (kerendahan diri dan kehinaan diri) dan istikânah (ketundukan diri) [5]. Adapun pengertian khuf-yah, ialah mengeluarkan suara dalam berdoa secara perlahan dan lirih, tidak mengeraskan. Doa itu dilakukan dengan suara lembut dan hati ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Tujuan berdoa secara perlahan dan lirih, supaya seorang yang berdoa terjauhkan dan selamat dari riya`, dan demikian ini dikatakan oleh Imam al-Qurthubi rahimahullah. Begitu pula Nabi Zakariyya, beliau dipuji lantaran dalam berdoa dengan cara demikian, perlahan, lirih dan lembut.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya, "(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tetang rahmat Rabb kamu kepada hamba-Nya, Zakariyya. Yaitu tatkala ia berdoa kepada Rabbnya dengan suara yang lembut". [Maryam/19:2-3].[6]
Oleh karena itu, ketika ada seorang yang berdoa dengan suara keras, maka Rasulullah SAW menegur sahabat yang berbuat demikian. Disebutkan dalam Shahîhain, dari sahabat yang bernama Abu Musa al-Asy'ari ra, ia berkata: Orang-orang mengangkat suara tatkala berdoa, sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya , "Wahai manusia. Tenangkanlah diri kalian. Sesungguhnya kalian tidak menyeru Dzat yang bisu atau yang tidak ada. Sesungguhnya Dzat yang kalian seru Maha Mendengar lagi Maha Dekat".[7]
Perintah berdoa dengan suara yang lembut juga termaktub dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala , yang artinya ,"Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai" [al-A'râf/7:205]
Al-Hasan al-Bashri, seorang Tabi'i, ia berkata: "Dahulu, kaum muslimin sangat tekun dalam berdoa. Tidak terdengar suara dari mereka, kecuali hanya suara lirih antara mereka dengan Rabb mereka". Selanjutnya, beliau membacakan surat al-A'râf/7 ayat 55 dan pujian terhadap Nabi Zakariyya dalam surat Maryam/19 ayat 3.
Merendahkan suara dan tidak mengeraskannya termasuk etika dalam berdoa. Etika ini mencerminkan nilai-nilai positif. Di antaranya: (1) Cara ini menunjukkan keimanan yang lebih besar, karena ia meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mendengar suara yang lirih, (2) Cara ini lebih beradab dan sopan. Jika Allah Subhanahu wa Ta'ala mendengar suara yang pelan, maka tidak sepantasnya berada di hadapan-Nya kecuali dengan suara yang rendah. (3) Sebagai pertanda sikap khusyu` dan ketundukan hati yang merupakan ruh doa, (4) Lebih mendatangkan keikhlasan. Karena doa dengan suara keras membuat orang lain merasa terganggu dan terpancing perhatiannya kepada suara-suara yang keras lagi riuh-rendah. (5) Cara ini membantu untuk konsisten dan senantiasa berdoa. Karena bibir tidak merasa bosan dan anggota tubuh tidak mengalami kelelahan. Sebagaimana orang yang membaca dan mengulang-ulangnya dengan suara keras, maka akan lebih cepat merasa penat. (6) Cara berdoa dengan suara lirih juga menunjukkan, bahwa seorang hamba meyakini kedekatannya dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.[8]
Tidak Melampaui Batas Dalam Berdoa
Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan bahwa Dia tidak menyukai orang-orang yang berbuat i'tidâ`. Al-i'tidâ`, berasal dari kata al-'udwân. Maknanya, melewati batasan syariat dan pedoman-pedoman yang semestinya harus dipatuhi. Atau menurut Imam al-Qurthubi rahimahullah, yaitu mujâwazatul-haddi (melampaui batas) wa murtakibul-hazhar (melakukan pelanggaran). [9] (7/202).
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya ,"Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim".[al-Baqarah/2:229].
Larangan berbuat melampaui batas, sebenarnya berlaku umum, mencakup seluruh perbuatan dalam semua aspek, tidak khusus hanya dalam berdoa. Namun, karena larangan itu datang setelah perintah untuk berdoa, sehingga menunjukkan dengan jelas dan secara khusus berbicara tentang perbuatan melampaui batas dalam berdoa.
Penggalan ayat di atas mengandung pengertian, bahwa doa yang memuat unsur berlebihan dan melampaui batas tidak disukai Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak diridhai-Nya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitahukan munculnya gejala melampaui batas dalam berdoa pada diri umat Islam. Pemberitaan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini, juga merupakan peringatan berkaitan perbuatan tersebut. Kaum muslimin supaya berhati-hati dan waspada, jangan sampai terjerumus ke dalam perbuatan yang dilarang tersebut. Peringatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini termasuk bagian dari kesempurnaan dan kepedulian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya, sekaligus sebagai salah satu tanda kenabian.
Dari 'Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya , "Sungguh akan muncul kaum dari umat ini yang akan berbuat melampaui batas dalam berdoa dan bersuci". [10]
Oleh karena itu, tidak ada jalan keselamatan kecuali komitmen dengan petunjuk Rasulullah SAW dalam berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kesimpulannya, ayat ini memuat dua unsur penting. Pertama, unsur yang dicintai Allah, yaitu berdoa kepada-Nya dengan penuh tadharru' dan suara yang lembut. Kedua, unsur yang dibenci dan tidak disukai Allah, dan diperingatkan supaya tidak dilakukan, yakni berbuat i'tida` dalam berdoa, dan demikian pula dengan pelakunya.[11]
Syaikh 'Abdur-Razzâq mengingatkan bahaya melampaui batas dalam berdoa. Beliau berkata: "Bagaimana mungkin doa orang yang berbuat melampui pedoman-pedoman syariat dan tidak mengindahkan batasan yang sudah ditetapkan itu bisa diharapkan untuk dikabulkan. Doa yang mengandung perbuatan melampaui batas tidak disukai Allah dan tidak diridhai-Nya. (Maka) bagaimana seseorang bisa berharap doanya dikabulkan dan diterima Allah?"[12]
beberapa contoh i'tida' dalam doa.
1. Jenis yang paling parah, yaitu berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Tidak ada i'tida' yang lebih besar dan paling parah daripada orang yang memperuntukkan doa kepada selain Allah atau mempersekutukan sesuatu dengan-Nya dalam berdoa. Fatalnya kekeliruan i'tida` ini disebutkan ,
Oleh karena itu, ketika ada seorang yang berdoa dengan suara keras, maka Rasulullah SAW menegur sahabat yang berbuat demikian. Disebutkan dalam Shahîhain, dari sahabat yang bernama Abu Musa al-Asy'ari ra, ia berkata: Orang-orang mengangkat suara tatkala berdoa, sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya , "Wahai manusia. Tenangkanlah diri kalian. Sesungguhnya kalian tidak menyeru Dzat yang bisu atau yang tidak ada. Sesungguhnya Dzat yang kalian seru Maha Mendengar lagi Maha Dekat".[7]
Perintah berdoa dengan suara yang lembut juga termaktub dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala , yang artinya ,"Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai" [al-A'râf/7:205]
Al-Hasan al-Bashri, seorang Tabi'i, ia berkata: "Dahulu, kaum muslimin sangat tekun dalam berdoa. Tidak terdengar suara dari mereka, kecuali hanya suara lirih antara mereka dengan Rabb mereka". Selanjutnya, beliau membacakan surat al-A'râf/7 ayat 55 dan pujian terhadap Nabi Zakariyya dalam surat Maryam/19 ayat 3.
Merendahkan suara dan tidak mengeraskannya termasuk etika dalam berdoa. Etika ini mencerminkan nilai-nilai positif. Di antaranya: (1) Cara ini menunjukkan keimanan yang lebih besar, karena ia meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mendengar suara yang lirih, (2) Cara ini lebih beradab dan sopan. Jika Allah Subhanahu wa Ta'ala mendengar suara yang pelan, maka tidak sepantasnya berada di hadapan-Nya kecuali dengan suara yang rendah. (3) Sebagai pertanda sikap khusyu` dan ketundukan hati yang merupakan ruh doa, (4) Lebih mendatangkan keikhlasan. Karena doa dengan suara keras membuat orang lain merasa terganggu dan terpancing perhatiannya kepada suara-suara yang keras lagi riuh-rendah. (5) Cara ini membantu untuk konsisten dan senantiasa berdoa. Karena bibir tidak merasa bosan dan anggota tubuh tidak mengalami kelelahan. Sebagaimana orang yang membaca dan mengulang-ulangnya dengan suara keras, maka akan lebih cepat merasa penat. (6) Cara berdoa dengan suara lirih juga menunjukkan, bahwa seorang hamba meyakini kedekatannya dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.[8]
Tidak Melampaui Batas Dalam Berdoa
Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan bahwa Dia tidak menyukai orang-orang yang berbuat i'tidâ`. Al-i'tidâ`, berasal dari kata al-'udwân. Maknanya, melewati batasan syariat dan pedoman-pedoman yang semestinya harus dipatuhi. Atau menurut Imam al-Qurthubi rahimahullah, yaitu mujâwazatul-haddi (melampaui batas) wa murtakibul-hazhar (melakukan pelanggaran). [9] (7/202).
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya ,"Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim".[al-Baqarah/2:229].
Larangan berbuat melampaui batas, sebenarnya berlaku umum, mencakup seluruh perbuatan dalam semua aspek, tidak khusus hanya dalam berdoa. Namun, karena larangan itu datang setelah perintah untuk berdoa, sehingga menunjukkan dengan jelas dan secara khusus berbicara tentang perbuatan melampaui batas dalam berdoa.
Penggalan ayat di atas mengandung pengertian, bahwa doa yang memuat unsur berlebihan dan melampaui batas tidak disukai Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak diridhai-Nya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitahukan munculnya gejala melampaui batas dalam berdoa pada diri umat Islam. Pemberitaan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini, juga merupakan peringatan berkaitan perbuatan tersebut. Kaum muslimin supaya berhati-hati dan waspada, jangan sampai terjerumus ke dalam perbuatan yang dilarang tersebut. Peringatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini termasuk bagian dari kesempurnaan dan kepedulian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya, sekaligus sebagai salah satu tanda kenabian.
Dari 'Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya , "Sungguh akan muncul kaum dari umat ini yang akan berbuat melampaui batas dalam berdoa dan bersuci". [10]
Oleh karena itu, tidak ada jalan keselamatan kecuali komitmen dengan petunjuk Rasulullah SAW dalam berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kesimpulannya, ayat ini memuat dua unsur penting. Pertama, unsur yang dicintai Allah, yaitu berdoa kepada-Nya dengan penuh tadharru' dan suara yang lembut. Kedua, unsur yang dibenci dan tidak disukai Allah, dan diperingatkan supaya tidak dilakukan, yakni berbuat i'tida` dalam berdoa, dan demikian pula dengan pelakunya.[11]
Syaikh 'Abdur-Razzâq mengingatkan bahaya melampaui batas dalam berdoa. Beliau berkata: "Bagaimana mungkin doa orang yang berbuat melampui pedoman-pedoman syariat dan tidak mengindahkan batasan yang sudah ditetapkan itu bisa diharapkan untuk dikabulkan. Doa yang mengandung perbuatan melampaui batas tidak disukai Allah dan tidak diridhai-Nya. (Maka) bagaimana seseorang bisa berharap doanya dikabulkan dan diterima Allah?"[12]
beberapa contoh i'tida' dalam doa.
1. Jenis yang paling parah, yaitu berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Tidak ada i'tida' yang lebih besar dan paling parah daripada orang yang memperuntukkan doa kepada selain Allah atau mempersekutukan sesuatu dengan-Nya dalam berdoa. Fatalnya kekeliruan i'tida` ini disebutkan ,
Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-Nya: "Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyeru tuhan-tuhan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doanya) sampai hari Kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka". [al Ahqâf/46:5].
2. Memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala hal-hal yang tidak diperbolehkan, seperti memohon pertolongan untuk melakukan perbuatan haram dan mengerjakan kemaksiatan.
3. Memohon kepada Allah sesuatu yang tidak dikabulkan oleh Allah karena bertentangan dengan sifat hikmah-Nya. Atau meminta sesuatu yang mestinya ditempuh dengan sebab-sebab, namun ia enggan untuk melaksanakannya. Misal, permintaan agar dapat memperoleh anak tanpa menikah, menghilangkan sifat-sifat manusia, yang membutuhkan makanan dan minuman serta oksigen, ingin tahu ilmu gaib, dan sebagainya.
4. Memohon derajat dan martabat yang tidak layak, sementara sunnatullah tidak memungkinkannya dapat meraihnya. Seperti meminta menjadi malaikat, menjadi nabi dan rasul. Atau memohon supaya menjadi muda kembali setelah memasuki usia tua.
5. Berdoa kepada Allah tidak dengan tadharru'.
6. Berdoa yang mengandung laknat bagi kaum mukminin.
Sebagian ulama Salaf menjelaskan makna orang-orang yang melampaui batas pada ayat di atas, bahwasanya mereka ialah orang-orang yang melaknat kaum mukminin pada kondisi yang tidak diperbolehkan, seraya berseru: "Ya Allah, hinakan mereka. Ya Allah, laknatlah mereka"[13]
7. Berdoa dengan meninggikan dan mengeraskan suara sehingga bertentangan dengan etika, adab dan sopan santun.
PELAJARAN DARI AYAT
- Kewajiban berdoa hanya kepada Allah, karena berdoa termasuk ibadah.
- Penjelasan mengenai adab berdoa, yaitu dengan bertadharru'.
- Adab dalam berdoa, yaitu melantunkannya dengan suara lirih.
- Larangan berbuat i'tida` (melampui batas) dalam berdoa.
- I'tida` dapat mempengaruhi doa seseorang tidak dikabulkan.
- Penetapan sifat mahabbah Allah.
Wallahu a'lam
sumber : Ustadz 'Ashim bin Musthofa , majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Marâji`:
1. Al-Qur`ân dan Terjemahannya, Cetakan Mujamma' Mâlik Fahd Madinah.
2. Aisarut-Tafâsîr fi Kalâmil-‘Aliyyil-Kabîr, Abu Bakr Jâbir al-Jazâiri, Maktabah ‘Ulum wal- Hikam, Cet. VI, Th. 1423 H – 2003 M.
3. Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur`ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu 'Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Tahqîq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-'Arabi, Cet. IV, Th. 1422 H – 2001M.
4. Fiqhul-Ad'iyah wal-Adzkâr, Prof. Dr. 'Abdur-Razzâq bin 'Abdil-Muhsin al-'Abbâd, Dar Ibni 'Affân, Cetakan I, Tahun 1422-2001.
5. Jâmi'ul-Bayân 'an Ta`wil Ay Al-Qur`ân, Abu Ja'far Muhammad bin Jarîr ath-Thabari, Dar Ibnu Hazm, Cet. I, Th. 1423 H – 2002 M.
6. Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm, al-Hafizh Abul-Fida Isma'îl bin 'Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Tahqîq: Sâmi bin Muhammad as-Salâmah, Dar Thaibah, Riyâdh, Cet. I, Th. 1422 H - 2002 M
7. Taisîrul-Karîmir-Rahmân fi Tafsîri Kalâmin Mannân, ‘Abdur-Rahmân bin Nashir as-Sa’di, Tahqîq: ‘Abdur-Rahmân al-Luwaihiq, Muassasah Risalah.
Footnote
[1]. Pembahasan ayat ini banyak mengutip keterangan dari kitab Fiqhul-Ad'iyah wal-Adzkâr, karya Syaikh Prof. Dr. 'Abdur-Razzâq bin 'Abdul-Muhsin al 'Abbâd, Volume I dan IV, beberapa tambahan dari sejumlah kitab tafsir.
[2]. Al-Jâmi'u li Ahkamil-Qur`ân, 7/199.
[3]. Jâmi'ul-Bayân 'an Ta`wil Ay Al-Qur`ân, 8/261.
[4]. Al-Aisâr, 1/388.
[5]. Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm (3/428), al-Jâmi'u li Ahkamil-Qur`ân (7/199), al-Aisâr (1/388).
[6]. Al-Jâmi'u li Ahkamil-Qur`ân, 7/199. Lihat pula at-Taisîr, hlm. 296.
[7]. HR al-Bukhâri, no. 4205 dan Muslim, no. 2704.
[8]. Fiqhu-Ad'iyah, 1/80-81.
[9]. Al-Jâmi'u li Ahkâmil-Qur`ân, 7/202.
[10]. HR Ahmad, Abu Dâwud - Ibn Majah. Dishahîhkan oleh al Albâni , Shahîh Sunan Abi Dawud, no. 87.
[11]. Lihat al-Fatâwâ, 15/23-24.
[12]. Fiqhul-Ad'iyah, 2/75.
[13]. Ma'âlimut-Tanzîl, 2/166.
2. Memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala hal-hal yang tidak diperbolehkan, seperti memohon pertolongan untuk melakukan perbuatan haram dan mengerjakan kemaksiatan.
3. Memohon kepada Allah sesuatu yang tidak dikabulkan oleh Allah karena bertentangan dengan sifat hikmah-Nya. Atau meminta sesuatu yang mestinya ditempuh dengan sebab-sebab, namun ia enggan untuk melaksanakannya. Misal, permintaan agar dapat memperoleh anak tanpa menikah, menghilangkan sifat-sifat manusia, yang membutuhkan makanan dan minuman serta oksigen, ingin tahu ilmu gaib, dan sebagainya.
4. Memohon derajat dan martabat yang tidak layak, sementara sunnatullah tidak memungkinkannya dapat meraihnya. Seperti meminta menjadi malaikat, menjadi nabi dan rasul. Atau memohon supaya menjadi muda kembali setelah memasuki usia tua.
5. Berdoa kepada Allah tidak dengan tadharru'.
6. Berdoa yang mengandung laknat bagi kaum mukminin.
Sebagian ulama Salaf menjelaskan makna orang-orang yang melampaui batas pada ayat di atas, bahwasanya mereka ialah orang-orang yang melaknat kaum mukminin pada kondisi yang tidak diperbolehkan, seraya berseru: "Ya Allah, hinakan mereka. Ya Allah, laknatlah mereka"[13]
7. Berdoa dengan meninggikan dan mengeraskan suara sehingga bertentangan dengan etika, adab dan sopan santun.
PELAJARAN DARI AYAT
- Kewajiban berdoa hanya kepada Allah, karena berdoa termasuk ibadah.
- Penjelasan mengenai adab berdoa, yaitu dengan bertadharru'.
- Adab dalam berdoa, yaitu melantunkannya dengan suara lirih.
- Larangan berbuat i'tida` (melampui batas) dalam berdoa.
- I'tida` dapat mempengaruhi doa seseorang tidak dikabulkan.
- Penetapan sifat mahabbah Allah.
Wallahu a'lam
sumber : Ustadz 'Ashim bin Musthofa , majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Marâji`:
1. Al-Qur`ân dan Terjemahannya, Cetakan Mujamma' Mâlik Fahd Madinah.
2. Aisarut-Tafâsîr fi Kalâmil-‘Aliyyil-Kabîr, Abu Bakr Jâbir al-Jazâiri, Maktabah ‘Ulum wal- Hikam, Cet. VI, Th. 1423 H – 2003 M.
3. Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur`ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu 'Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Tahqîq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-'Arabi, Cet. IV, Th. 1422 H – 2001M.
4. Fiqhul-Ad'iyah wal-Adzkâr, Prof. Dr. 'Abdur-Razzâq bin 'Abdil-Muhsin al-'Abbâd, Dar Ibni 'Affân, Cetakan I, Tahun 1422-2001.
5. Jâmi'ul-Bayân 'an Ta`wil Ay Al-Qur`ân, Abu Ja'far Muhammad bin Jarîr ath-Thabari, Dar Ibnu Hazm, Cet. I, Th. 1423 H – 2002 M.
6. Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm, al-Hafizh Abul-Fida Isma'îl bin 'Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Tahqîq: Sâmi bin Muhammad as-Salâmah, Dar Thaibah, Riyâdh, Cet. I, Th. 1422 H - 2002 M
7. Taisîrul-Karîmir-Rahmân fi Tafsîri Kalâmin Mannân, ‘Abdur-Rahmân bin Nashir as-Sa’di, Tahqîq: ‘Abdur-Rahmân al-Luwaihiq, Muassasah Risalah.
Footnote
[1]. Pembahasan ayat ini banyak mengutip keterangan dari kitab Fiqhul-Ad'iyah wal-Adzkâr, karya Syaikh Prof. Dr. 'Abdur-Razzâq bin 'Abdul-Muhsin al 'Abbâd, Volume I dan IV, beberapa tambahan dari sejumlah kitab tafsir.
[2]. Al-Jâmi'u li Ahkamil-Qur`ân, 7/199.
[3]. Jâmi'ul-Bayân 'an Ta`wil Ay Al-Qur`ân, 8/261.
[4]. Al-Aisâr, 1/388.
[5]. Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm (3/428), al-Jâmi'u li Ahkamil-Qur`ân (7/199), al-Aisâr (1/388).
[6]. Al-Jâmi'u li Ahkamil-Qur`ân, 7/199. Lihat pula at-Taisîr, hlm. 296.
[7]. HR al-Bukhâri, no. 4205 dan Muslim, no. 2704.
[8]. Fiqhu-Ad'iyah, 1/80-81.
[9]. Al-Jâmi'u li Ahkâmil-Qur`ân, 7/202.
[10]. HR Ahmad, Abu Dâwud - Ibn Majah. Dishahîhkan oleh al Albâni , Shahîh Sunan Abi Dawud, no. 87.
[11]. Lihat al-Fatâwâ, 15/23-24.
[12]. Fiqhul-Ad'iyah, 2/75.
[13]. Ma'âlimut-Tanzîl, 2/166.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar