Shalat Sunnat atau shalat nawafil (jamak : nafilah) adalah shalat yang dianjurkan untuk dilaksanakan namun tidak diwajibkan dengan kata lain apabila dilakukan dengan baik dan benar serta penuh ke ikhlasan akan tampak hikmah dan rahmat dari Allah taala yang begitu indah . Melaksanakan sunnah adalah salah satu realisasi cinta kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Meniru dan meneladani sebagai bukti cinta, di antaranya diukur dengan kesungguhan meneladani ucapan dan tindakan beliau.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, menyatakan shalat sunnah Rawatib , sebagai shalat yang terus dilakukan secara kontinyu mendampingi shalat fardhu.Jadi : “Faidah Rawatib ini, ialah menutupi (melengkapi) kekurangan yang terdapat pada shalat fardhu”.
Syaikh ‘Abdullah Al-Basam mengatakan dalam Ta’udhihul Ahkam (II/383-384) bahwa shalat sunnah Rawatib memiliki manfaat dan keuntungan yang besar. Yaitu berupa tambahan kebaikan, menghapus kejelekan, meninggikan derajat, menutupi kekurangan dalam shalat fardhu. Sehingga Syaikh al-Basam mengingatkan, menjadi keharusan bagi kita untuk memperhatikan dan menjaga kesinambungannya.
Saudaraku , begitu pentingnya, maka Rasulullah tidak pernah meninggalkan shalat sunnah ini kecuali ketika beliau dalam perjalanan. Kalaupun tertinggal karena lupa, sakit atau tertidur, beliau meng-qadha’nya. Keistimewaan shalat sunnah rawatib adalah merupakan penambal kekurangan dan kesalahan seseorang ketika melaksanakan shalat fardlu. Karena manusia tidak terlepas dari kesalahan, maka ia membutuhkan sesuatu yang dapat menutupi kesalahannya tersebut.
Dr. Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani , menyebutkan keutamaan-keutamaan shalat sunnah (rawatib) dalam “Himpunan dan Tata Cara Shalat Sunnah” karya yang diterbitkan oleh Pustaka At-Tibyan.
Dari Ummu Habibah -Radhiyallahu ‘anha-, Istri Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّى لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلاَّ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ أَوْ إِلاَّ بُنِىَ لَهُ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ. قَالَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ فَمَا بَرِحْتُ أُصَلِّيهِنَّ بَعْدُ
“Setiap hamba muslim yang shalat sunnah setiap harinya duabelas rakaat, selain shalat wajib, pasti Allah bangunkan untuknya rumah di dalam surga, atau dibangunkan untuknya satu rumah di dalam surga.” (Kemudian) Ummu Habibah -Radhiyallahu ‘anha- berkata, “Setelah aku mendengar hadits ini aku tidak pernah meninggalkan shalat-shalat tersebut.” (HR. Muslim, no. 728).
Shalat sunnah Rawâtib , yang, baik sebelum maupun sesudah shalat wajib . Ada yang mendefinisikannya dengan shalat sunnah yang ikut shalat wajib.[1]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin mengatakan, yaitu shalat yang terus dilakukan secara kontinyu yang mendampingi shalat fardhu.[2]
Rasulullah SAW bersabda, yang artinya ,“Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Apabila bagus maka ia telah beruntung dan sukses, dan bila rusak maka ia telah rugi dan menyesal. Apabila kurang sedikit dari shalat wajibnya maka Rabb 'Azza wa jalla berfirman: "Lihatlah, apakah hamba-Ku itu memiliki shalat tathawwu' (shalat sunnah)?" Lalu shalat wajibnya yang kurang tersebut disempurnakan dengannya, kemudian seluruh amalannya diberlakukan demikian” [HR At-Tirmidzi] [3]
Saudaraku , fungsi utama shalat sunnah Rawâtib adalah untuk menutupi kekurang-sempurnaan yang melanda shalat wajib seseorang. Karena sangat sulit mendapatkan kesempurnaan dari shalat wajib saja ,
Sebagaimana Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya ,“Sesungguh-nya seseorang selesai shalat dan tidak ditulis kecuali hanya sepersepuluh shalat, seper-sembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempat-nya sepertiganya, setengahnya” [HR Abu Dawud dan Ahmad] [4]
Hadits riwayat Ummu Habîbah, yang artinya ,"Tidaklah seorang muslim shalat karena Allah setiap hari dua belas raka'at shalat sunnah, bukan wajib, kecuali akan Allah membangun untuknya sebuah rumah di surga” [5]
Jumlah raka'at ini ditafsirkan dalam riwayat at-Tirmidzi dan an-Nasâ-i, dari hadits Ummu Habibah sendiri, bahwa “Ummu Habibah berkata,"Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda :'Barang siapa yang shalat dua belas raka'at maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga; empat raka'at sebelum Zhuhur dan dua raka'at setelahnya, dua raka'at setalah Maghrib, dua raka'at sesudah 'Isya`, dan dua raka'at sebelum shalat Subuh."
Dalam riwayat lain dengan lafazh : “Barang siapa yang terus-menerus melakukan shalat dua belas raka'at, maka Allah membangunkan baginya sebuah rumah di surga” [HR An-Nasâ-i] [6]
Saudaraku, sunguh indah bila kita membiasakan dan secara rutin agar kita mengerjakan shalat dua belas raka'at tersebut setiap hari. Sehingga, siapapun yang membiasakan diri melakukan sunnah-sunnah Rawâtib ini, ia termasuk dalam keutamaan tersebut.
Sebagaimana tersebut dalam hadits Ibnu 'Umar berikut ini,” “Aku hafal dari Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam sepuluh raka'at: dua raka'at sebelum Zhuhur dan dua raka'at sesudahnya, dua raka'at setelah Maghrib, dua raka'at setelah 'Isya, dan dua raka'at sebelum shalat Subuh. Dan ada waktu tidak dapat menemui Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam . Hafshah menceritakan kepadaku, bila muadzin beradzan dan terbit fajar, beliau shollallahu 'alaihi wa sallam shalat dua raka'at.” [7]
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim terdapat tambahan lafazh.“Dan dua raka'at setelah Jum'at. Adapun (shalat sunnah Rawatib) Maghrib dan 'Isya dilakukan di rumahnya” [8]
Hadits riwayat Muslim berbunyi. “Adapun (shalat sunnah Rawâtib) Maghrib, Isya dan Jum'at, aku lakukan bersama Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam di rumahnya” [9]
Adapun hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan-keutamaan shalat sunnah rawatib antara lain:
- Hadits Ummu Habibah ra, berkata “Aku pernah mendengar Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:“Barangsiapa menjaga empat rakaat sebelum Zhuhur dan empat rakaat sesudah Zhuhur, akan Allah haramkan dirinya dari Neraka.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya (VI/326))
- Hadits Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :“Semoga Allah memberi rahmat kepada seseorang yang shalat sunnah sebelum Ashar empat rakaat.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya (II/117).
- Diriwayatkan ‘Aisyah ra, bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda:“Dua rakaat sunnah Fajar (Shubuh) lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Muslim dalam kitab Shalatul Musafirin, bab: Dianjurkanya shalat dua rakaat sebelum Shubuh, no. 725).
JUMLAH RAKA'AT SUNNAH RAWÂTIB
Dalam masalah jumlah raka'at sunnah Rawatib ini, di kalangan para ulama ada perbedaan pendapat, yang terbagai dalam dua pendapat.
- Ada yang menyatakan jumlah raka'atnya adalah sepuluh dengan dasar hadits Ibnu 'Umar ra, dan ini pendapat para ulama madzhab Hambaliyah dan Syafi'iyyah.[10]
- Ada yang menyatakan jumlah raka'atnya ialah dua belas, berdasarkan hadits Ummu Habibah di atas, dan inilah pendapat madzhab Hanafiyyah dan Ibnu Taimiyyah.[11]
- Ada yang menyatakan tidak ada batasan jumlah raka'at, bahkan cukup dengan melakukan dua raka'at dalam setiap waktu untuk mendapatkan keutamaan shalat sunnah Rawatib, dan ini pendapat madzhab Malikiyyah.
- Ada yang menyatakan jumlah raka'atnya delapan belas, ini pendapat Imam asy-Syairazi dan disetujui Imam an-Nawawi dalam al-Majmû' Syarhul-Muhadzdzab. Pendapat ini berdalil dengan hadits Ummu Habibah di atas, serta hadits Ummu Habibah lainnya yang berbunyi:“Aku mendengar Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Barang siapa yang menjaga empat raka'at sebelum Zhuhur dan empat raka'at setelahnya maka Allah mengharamkannya dari neraka." [12]
- Dari Ibnu 'Umar ra,bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda: "Semoga Allah merahmati seseorang yang shalat sebelum 'Ashar empat raka'at".[13]
- Menurut Imam Nawâwi, yang paling sempurna dalam Rawatib yang mendampingi shalat fardhu selain witir, adalah delapan belas raka'at, dan paling sedikit adalah sepuluh, sebagaimana yang beliau sebutkan.
- Di antara ulama ada yang berpendapat delapan raka'at dengan menghapus sunnah Isya'; (demikian) ini pendapat al-Khudari.
- Dan ada yang menyatakan bahwa jumlahnya dua belas, (yaitu) dengan menambah dua raka'at lain sebelum Zhuhur, dan
- ada yang menambah dua raka'at sebelum shalat 'Ashar. Semua ini sunnah, namun perbedaan pendapat ada pada yang muakkad (yang lebih ditekankan) darinya.[14]
Saudaraku, sungguh sayang bila kita melewatkan shalat ini . Semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua sehingga istiqomah melaksanakan shalat sunnah rowatib.
Allahu a'lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183.telp.0271-5891016], Izzudin Karimi, Rujukan utama Sunan Majhulah Abdul Ilah Abdurrahman Salamah. Oleh Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia sumber file al_islam.chm
Catatan :
[1]. Shahîh Fiqhis-Sunnah, Abu Mâlik Kamâl bin as-Sayyid Sâlim, al-Maktabah at-Taufiqiyyah, Mesir, tanpa cetakan dan tahun (1/372).
[2]. Syarhul-Mumti' 'ala Zâdil-Mustaqni', Syaikh Muhammad bin Shalih al- 'Utsaimin, Tahqîq: Dr. Khâlid al-Musyaiqih dan Sulaimân Abu Khail, Muassasah Âsâm, Cetakan Kedua, Tahun 1414 H (3/93).
[3]. HR At-Tirmidzi no. 413 dan Ibnu Majah no. 1425. Dishahihkan Al-Albani dalam shahih Al-Jami Ash-Shaghir no. 2020
[4]. HR Abu Daud no. 796 dan dihasankan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud dan Shahih at-Targhib Wa at-Tarhib no. 537
[5]. HR Muslim, kitab Shalat al-Musâfir wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah Qablal-Farâ-idh wa Ba'daha, no. 1199.
[6]. HR An-Nasa’i no. 1804 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa’i. (Lihat no. 1804 no. 1804, 261 dan 1696)
[7]. HR al-Bukhari, kitab Tahajjud, Bab: ar-Rak'atain Qablal-Zhuhur (no. 1180), dan Muslim, kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah (no. 729).
[8] HR al-Bukhari, kitab Jum'at, Bab: Tathawwu' Ba'dal-Maktubah (no. 1120), dan Muslim, kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah (no. 1200).
[9]. HR Muslim kitab Shalat al-Musafirîn wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah (no. 1200).
[10]. Syarhul-Mumti' (3/93) dan Shahih Fiqhis-Sunnah (1/372).
[11]. Ibid.
[12]. HR at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat (no. 428), Ibnu Majah, kitab ash-Shalat (no. 428), Abu Dawud, kitab ash-Shalat, Bab: al-Arba' Qablal-Zhuhri wa Ba'daha (no. 1269) dan Ibnu Majah, kitab ash-Shalat was-Sunnah fiha, Bab: Mâ Jâ-a fiman Shalla Qablal-Zhuhri `Arba'an wa Ba'daha `Arba'an (no. 1160). Dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan Ibni Majah (1/191).
[13]. HR Ahmad dalam Musnad-nya (4/203), at-Tirmidzi dalam kitab ash-Shalat, Bab: Mâ Jâ-a fil-Arba' Qablal-'Ashr (no. 430), Abu Dawud dalam kitab ash-Shalat, Bab ash-Shalat Qablal-'Ashr (no. 1271), dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Dawud (1/237).
[14]. Al- Majmu' Syarhul-Muhadzab, Imam an-Nawawi dengan penyempurnaan oleh muhammad Najîb al-Muthi'i, Dar Ihyâ-ut-Turats al-'Arabi, Beirut, Cetakan Tahun 1419H (3/502).
[15]. Syarhul-Mumti' (4/96).
[16]. HR al-Bukhari dalam kitab al-Jum'at, Bab: ar-Rak'ata-in Qablal-Zhuhri (no. 1110).
[17]. Zâdul-Ma'âd, Ibnul-Qayyim, Tahqiq: Syu'aib al-Arnauth, Mu-assasah ar-Risalah, Cetakan Kedua, Tahun 1418 H (1/298).
[18]. Ta-udhihul-Ahkâm min Bulughul-Maram, Syaikh 'Abdullah bin 'Abdur-Rahman al-Basâm, Maktabah al-Asadi, Mekkah, Cetakan Kelima, Tahun 1423 H (2/382-383).
[19]. Syarhul-Mumti' (4/96).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar