Bila berkaca pd masa silam kita. Adakah kita menghabiskan begitu banyak waktu-energi dgn berharap bhw kelak suatu ketika kita meraih bahagia yg kita impikan ? Saya harus belajar keras, lebih keras , abaikan acara liburan, bersantai, abaikan dulu kesibukan ini-itu , fokus kerja keras. Nanti jk naik kelas/lulus, akan mudah melanjutkan ke jenjang sekolah-kampus favorit , hingga peluang mendapat pekerjaan idaman bisa diraih. Saat lulus dari kampus, ternyata bahagia makin menjauh. Saat itu kita berpikir bhw kebahagiaan bisa diraih jk pekerjaan diperoleh. Begitu pekerjaan impian diraih , bahagia berlari lagi. Oke kita mengira bhw kebahagiaan terwujud bila kita bisa beli mobil. Bila ini bisa diraih, ternyata kita masih harus berjuang lebih keras lagi, untuk mendapatkan kebahagiaan yg selalu berlari lebih dulu.
Bila
sudah menikah dan punya keluarga lengkap, kita masih juga mengejar
kebahagiaan , karena mengira bhw bila
sudah mempunyai rumah sendiri mk
bahagia akan diraih. Ternyata tahap ini , kita masih mempunyai kehawatiran dan
mengira bahagia akan kita raih bila kita bisa membiayai keperluan pendidikan
anak-anak hingga mereka mandiri.
Saat
anak-anak sudah mandiri, kita masih menunda rasa kebahagiaan . Kita harus kerja
lebih keras lagi untuk bisa menabung menghadapi masa pensiun nanti. Begitu
seterusnya.
Kadang
kita beranggapan , bila saya sudah mendapatkan ini itu, maka saya akan meraih
kebahagiaan. Kebahagiaan dirasa selalu hanya menjadi impian dimasa depan.
Seperti pelangi yang indah yang selalu terlihat jauh didepan kita, namun
selamanya kita tidak pernah bisa menyentuh, menggapai pelangi itu. Akankah kita
seperti itu, selalu memandang bahagia sebagai suatu hal yang dapat dicapai
dengan syarat-syarat yang tidak pernah
kita penuhi.
Mengapa
kita selalu mengejar hal yang selalu berlari lebih laju didepan kita. Bukankah sebenarnya kebahagiaan itu selalu
datang menghampiri kita setiap saat, setiap hari. Jadi selama ini sebenarnya
kita hanya mengejar kebahagiaan palsu (semu). Kebahagiaan sejati sebenarnya
selalu datang kepada kita, hanya saja kita selalu mengabaikannya bahkan
berpikir untuk mencari hal lain, yang sebenarnya hanya ilusi atau fatamorgana.
Saudaraku , bila direnungkan , ketika Allah
mengundang kita melalui muadzin saat mengumandangkan adzan. Bukankah itu adalah panggilan menuju
kebahagiaan hakiki yg telah Allah sediakan kepada kita karena Allah Maha Pengasih dan Penyayang . Kebahagiaan telah datang mulai dari mengambil
air wudhu, berjalan menuju Kasih-Nya di
rumah-Nya . Selanjutnya kita tenggelam dalam jamuan dan dialog dengan-Nya di istana-Nya . Begitu khusyu’ kita menikmati
shalat sampai hingga usai . Dan setelah usai, kita masing-masing kembali pada
aktifitasnya, sambil menunggu undangan berikutnya.
Saudaraku, ingatlah bahwa Allah juga membuka
pintu-Nya kapanpun hamba-Nya ingin bertemu bermunajat, berdialog dengan-Nya.
Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya di bab Shalat 'Atamah, bahwa : Suatu hari ‘Abdullah bin Muhammad
al-Hanafiyah pergi bersama bapaknya menjenguk saudara mereka dari kalangan
Anshar. Kemudian datanglah waktu shalat. Dia pun memanggil pelayannya,”Wahai
pelayan, ambillah air wudhu! Semoga dengan shalat aku bisa beristirahat,” kami
pun mengingkari perkataannya. Dia berkata: “Aku mendengar Nabi Muhammad
bersabda,’Berdirilah ya Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat!’.
Sahabat Hudzaifah Radhiyallahu anhu pernah
menceritakan tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى. رواه أبو داود
Dahulu, jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertimpa suatu urusan, maka beliau melaksanakan shalat. [HR Abu Dawud, Bab: Waqtu Qiyamin-Nabi ]
Saudaraku , dalam shalat akan diraih ketenangan jiwa dan
kesucian hati para pelakunya. Ketika menegakkan shalat dengan sebenarnya, maka
diraihlah puncak kebahagiaan hati dan sumber segala ketenangan jiwa.
Generasi ,
orang-orang shalih dahulu, mendapatkan ketenangan dan pelepas segala
permasalahan ketika mereka tenggelam dalam kekhusyu’kan shalat.
Shalat, selain
sebagai sebuah kewajiban juga merupakan sebuah kebutuhan bagi jiwa dan hati
yang lurus. Betapa bagi orang yang pernah merasakan nikmatnya sebuah shalat
akan selalu rindu untuk bisa tenang, khusyu bahkan menangis saat ber-muwajahah
dengan Sang Sesembahan Yang Agung.
Saat terindah dan terbaik bagi seseorang adalah saat
berjumpa dan bercengkerama dengan sang Maha Raja dan Juga Maha Kekasih.
Perasaan itu harus ditanamkan betul saat
shalat. Shalat adalah sebuah “pertemuan” dengan Dzat yang sudah semestinya
dicintai sepenuh hati.
Peran shalat sebagai
sumber ketenteraman dan kebahagiaan inilah yang disebutkan dalam firman Allah
Swt, “… dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku” (QS Tha Ha [20]: 13-14) ...
”(karena), bukankah
dengan mengingat-Ku, hati menjadi tenteram?” (QS Al-Ra‘d [13]: 28).
Yaa Bilal, arihna bi shalaah.” Demikian kata
Rasulullah kepada Bilal, muadzin pertama umat Muslim.
Ucapan itu diriwayatkan dalam hadits Abu Daud
dan Ahmad, artinya: ‘Wahai Bilal, Istirahatkan kami dengan sholat.’
Rasulullah mengistirahatkan diri dengan shalatnya.
Hidangan mewah ini yang merupakan peninggi bangunan jiwa seperti yang
diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam hadits no 2616 yang demikian, Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya
adalah sholat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.
Rasulullah SAW juga menggambarkan sholat
sebagai kesejukan dan kesenangan hatinya seperti yang terdapat dalam hadits
riwayat Ahmad, An Nasa’I dari Anas bin Malik ra berikut: “Dan Allah menjadikan qurratul ‘ain (sesuatu yang
menyejukkan dan menyenangkan hati) bagiku pada (waktu aku melaksanakan)
sholat.”
Hudzaifah r.a. berkata, bahwa “Apabila
Rasulullah SAW mengalami kesulitan maka beliau segera melaksanakan sholat.”
Abu Darda ra pun berkata, bahwa ”Jika terjadi
angin topan, maka Rasulullah SAW segera masuk ke masjid dan tidak akan keluar
sehingga angin itu berhenti. Begitu juga jika terjadi gerhana matahari dan
bulan, maka Rasulullah SAW segera melaksanakan sholat.”
Marilah
kita mengintrospeksi diri, memperbaiki terus – menerus shalat kita , karena
inilah puncak kebahagiaan kita. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim, dari sahabat Abu Mâlik al-'Asy'ari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: والصلاة نور (dan
shalat itu adalah cahaya). Oleh karena itu, marilah menengok diri kita,
sudahkah cahaya ini menerangi kehidupan kita? Dan sungguh sangat mudah jika
kita ingin mengetahui apakah shalat telah mendatangkan cahaya bagi kita? Yakni
dapat lihat, apakah shalat membawa ketaatan kepada Allah dan menjauhkan kita
dari bermaksiat kepada-Nya? Jika sudah, berarti shalat itu telah menjadi sumber
cahaya bagi kehidupan kita.
Allahu a’lam
Sumber : manhaj or.id. , Valens
Daki-Soo- nagekeopos.blogspot.com , dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar