*****Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yg sabar.(Qs.Al-Baqarah 2 : 155).*****Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga , padahal (cobaan) belum datang kepadamu seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yg beriman bersamanya , berkata, 'kapankah datang pertolongan Allah?' Ingatlah , sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.(Qs.Al-Baqarah 2 : 214). *****Dan sungguh, Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat sebelum engkau, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kemelaratan dan kesengsaraan , agar mereka memohon (kepada Allah) dengan kerendahan hati.(Qs.Al-An'am 6 : 42). *****Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yg baik-baik dan (bencana) yg buruk-buruk, agar mereka kembali (kepda kebenaran). (Qs. Al-A'raf 7 : 168). *****Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yg apabila disebut nama Allah gemetar hatinya , dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yg melaksanakan shalat dan yg menginfakkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yg benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rizki (nikmat) yg mulia. (Qs.An-anfal 8 : 2-4). *****Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), padahal Allah belum mengetahui orang-orang yg berjihad diantara kamu dan tidak mengambil teman yg setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Allah Mahateliti terhadap apa yg kamu kerjakan. (Qs. At-Taubah 9 : 16) *****Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yg sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan. (Qs. Al-Anbiya 21 : 35). *****Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sungguh , Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yg dusta. (Qs. Al-'Ankabut 29 : 2-3)

Senin, 19 September 2011

Perjuangan meredam riya'

Riya' mrp satu bagian dari syirik, seringkali sangat samar dan membuat kita terlena didalamnya. Sungguh riya itu samar sehingga sering menimpa seseorang padahal ia menyangka bahwa ia telah melakukan yg sebaik-baiknya. Alkisah ada seorang yg selalu sholat berjama’ah di shaf pertama, namun pada suatu hari ia terlambat sehingga sholat di saf kedua, ia pun merasa malu kepada jama’ah lain yang melihatnya sholat di shaf yang kedua. Maka tatkala itu ia sadar bahwasanya selama ini nyaman hatinya, tenangnya hatinya tatkala sholat di shaf pertama adalah karena pandangan manusia. Bukan semata-mata karena Allah. (Tazkiyatun Nufus). Riya' meskipun sekecil apapun , merupakan penggugur amal, dan bentuknya sangatlah banyak. Demikian juga amalan yg tidak dibangun diatas ittibaa' sunnah juga merupakan penggugur amalan. Sikap al-mann dalam hati terhadap Allah (yaitu merasa telah berbuat baik kepada Allah dengan mengungkit-ngungkit dan menyebut-nyebut kebaikan tersebut ) juga menghancurkan amalan.
Rasulullah pernah bersabda, yg artinya :“Kesyirikan itu lebih samar dari langkah kaki semut.” Abu Bakar bertanya, ”Wahai Rasulullah, bukankah kesyirikan itu ialah menyembah selain Allah atau berdoa kepada selain Allah disamping berdoa kepada selain Allah?”
Beliau bersabda, yg artinya .”Bagaimana engkau ini. Kesyirikan pada kalian lebih samar dari langkah kaki semut.” (Hr Abu Ya’la Al Maushili dlm Musnad-nya, tahqiq Irsya Al Haq Al Atsari 1/61-62. dishahihkan Al Albani dlm Shahih Al Targhib 1/91)
Rasulullah mengkhawatirkan bahaya riya’ atas umatnya melebihi kekhawatiran beliau terhadap bahaya Dajjal.

Sebagaimana dalam sabda beliau: “Maukah kalian aku beritahu sesuatu yang lebih aku takutkan menimpa kalian daripada Dajjal.” Kami menyatakan, “Tentu!” beliau bersabda “Syirik khafi (syirik yang tersembunyi). Yaitu seseorang mengerjakan shalat, lalu ia baguskan shalatnya karena ia melihat ada seseorang yang memandangnya.”

Secara bahasa, riya’ dari kata ru’yah (الرّؤية), maknanya penglihatan. Sehingga menurut bahasa hakikat riya’ adalah orang lain melihatnya tidak sesuai dengan hakikat sebenarnya. Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan, 'Riya’ ialah menampakkan ibadah dengan tujuan agar dilihat manusia, lalu mereka memuji pelaku amal tersebut.' Riya' berbeda dengan sum’ah.
Jika riya’ adalah menginginkan agar amal kita dilihat orang lain, maka sum’ah berarti kita ingin ibadah kita didengar orang lain.
Ibnu Hajar menyatakan: “Adapun sum’ah sama dengan riya’. Akan tetapi ia berhubungan dengan indera pendengaran (telinga) sedangkan riya’ berkaitan dengan indera penglihatan (mata).”
Jadi, jika seorang beramal dengan tujuan ingin dilihat orang lain, maka inilah yg dinamakan riya’. Adapun jika beramal karena ingin didengar orang lain, seperti seseorang memperindah bacaan Al Qur’annya karena ingin disebut qari’, maka ini disebut sebagai sum’ah

Nabi Isa as, bersabda ."Jika orang berpuasa, maka hendaknya meminyaki rambutnya dan membasahi biirnya, supaya jika dilihat orang disangka tidak berpuasa, begitujuga ketika bersedekah hendaknya memberi dengan tangan kanan dan disembunyikan dari tangan kiri, dan jika sembahyang harus menutup tabir rumahnya, sebab Allah membagi pujian itu sebagaimana membagi rezeki,"

Rasulullah bersabda, yang artinya "Yang paling aku takutkan dari apa yang aku takutkan atas kamu ialah syirik ashghor, ditanya oleh para sahabat, apa maksudnya ya Rasulullah ? Beliau bersabda: riya' " ( al Hadits)

Secara fitrah manusia, pastilah senang jika dipuji apalagi saat pujian datang dari seseorang yang istimewa dalam pandangannya. Disamping itu , manusia juga memiliki kecenderungan takut dicela. Hal ini menyebabkan riya’ menjadi sangat samar dan tersembunyi. Terkadang, seorang merasa telah beramal ikhlas karena Allah, namun ternyata secara tak sadar ia telah terjerumus kedalam penyakit riya’.

Niat yang ikhlas amatlah diperlukan dalam setiap amal ibadah karena ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya suatu amal di sisi Allah. Sebuah niat dapat mengubah amalan kecil menjadi bernilai besar di sisi Allah dan sebaliknya, niatpun mampu mengubah amalan besar menjadi tidak bernilai sama sekali.

Ikhlas merupakan perkara yang sangat mulia, yang menjadikan pelakunya menjadi mulia di sisi Allah. Orang yang ikhlas hatinya hanya sibuk mengaharapkan keridhoan Allah dan tidak peduli dengan komentar dan penilaian manusia yang tidak memberi manfaat dan tidak memudharatkan. Yang paling penting adalah penilaian Allah terhadap amalannya.


Hudzaifah Ibnu Yaman pernah berkata, bahwa “Orang-orang bertanya pada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal-hal yang baik sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang hal-hal jelek agar aku terhindar dari kejelekan tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim)

Para ulama menganalogikan riya' seperti semut hitam yang merayap di atas batu hitam di malam gelap gulita. Tak terlihat. Ia menyelusup , merayap, perlahan, lalu akhirnya mencairkan ikhlash dan memusnahkan pahala. Dia datang seperti waswaasil khannas, syaithan yang datang secara rahasia, tersembunyi di dasar hati, menyusup, dan menunggu kesempatan baik lalu akhirnya mendorong kejurang kesesatan.

Riya', sangat licin dan berbahaya. Dia akan terus mengelabui hati , sehingga ibadah yang semestinya hanya diniatkan untuk Allah semata menjadi membias, kabur, bahkan niat yang semula ikhlash tercemar sedikti demi sekikit tumbuhlah harapan agar manusia melihat ibadahnya.

Saudaraku, ada kisah salaf yang menunjukkan betapa mereka berjuang keras menjaga diri dari riya’ dan sum’ah. Mereka menghindari ketenaran dan popularitas. Mereka memelihara keikhlasan, mereka takut jika hati mereka terkontaminasi ujub (bangga diri).

Abu Zar’ah yahya bin Abu ‘Amr bercerita: Pernah Adh-Dhahhak bin Qais keluar untuk memohon hujan bersama-sama dengan orang-orang, tapi ternyata hujan tidak turun dan beliau juga tidak melihat awan.
Beliau berkata: “Dimana gerangan Yazid bin Al Aswad?” (dalam satu riwayat: tidak seorang pun yang menjawab pertanyaan beliau. Beliau pun bertanya lagi: “Dimana Yazid bin Al Aswad Al Jurasyi? Jika beliau mendengar, saya sangat berharap beliau berdiri.”)
“Ini saya”, seru Yazid.
“Berdirilah dan tolonglah kami ini di hadapan Allah. Jadilah kamu perantara(*) kami agar Allah menurunkan hujan kepada kami.”, kata Adh-Dhahhak bin Qais.
Kemudian Yazid pun berdiri seraya menundukkan kepala sebatas bahu serta menyingsing-kan lengan baju beliau kemudian berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya hamba-hamba-Mu ini memohon syafaatku kepada-Mu.” Beliau berdoa tiga kali dan seketika itu pula turunlah hujan yang sangat deras sehingga hampir terjadi banjir.
Kemudian beliau pun berkata: “Sesungguhnya kejadian ini membuat saya dikenal banyak orang. Bebaskanlah saya dari keadaan seperti ini.” Kemudian hanya berselang satu hari, yaitu Jum’at setelah peristiwa itu beliau pun wafat. (Riwayat Ibnu Sa’ad (7/248) dan Al Fasawi (2/239-pada penggal yang terakhir). Atsar ini shahih.

Imam al Ghazali membagi riya' dalam enam macam;
riya' dari badan; dalam tingkah-laku, dalam berpakaian, dalam ucapan, amal dan dalam menunjukkan banyaknya murid. Riya' dapat muncul dalam bentuk ingin menunjukkan kepada khalayak bahwa dirinya pintar dan banyak tahu tentang urusan agama. Bentuk ini adalah riya' yang jelas dan dekat kesombongan.

Yang lebih tersamar lagi, dia tidak ingin menunjukkan kepintarannya, serta ibadahnya namun manakala orang lain tidak mengakui eksistensinya, kurang dihormati, dia merasa kurang nyaman (heran) mengapa orang lain bersikap seperti itu kepadanya. Dia heran kenapa orang lain tidak tahu kemampuannya.

Dia berupaya bersembunyi untuk beramal, namun manakala orang lain mengetahuinya hatinya gembira, bahkan berharap agar ada orang yang memergokinya.

Jadi dari segi bentuk ada riya' yang jelas, riya' yang samar dan riya' yang tersamar. Riya' yang jelas nampak manakala dalam ibadah yang diketahui orang lain seseorang memperbagus tata-cara, memperlama sujud dan ruku, seperti nampaknya khusyu'. Tanpa adanya riya' ini dia tidak dapat beramal seperti itu, dan merasakan senang dalam beramal karenanya.

Riya' yang samar tidak mampu mewujudkan amal, namun dengannya menambah semangat untuk beramal. Bila dia bertahajut dan kebetulan ada tamu, bertambahlah semangatnya. Yang lebih samar dari ini, adanya orang lain tak memberi semangat amalannya, namun manakala ketika beramal terlihat oleh orang lain timbul rasa senang dan puas.

Tingkat yang terakhir adalah riya' tersamar. Dalam tingkatan ini tak ada rasa senang bila dipergoki sedang melakukan amaliah. Namun dia merasa heran kalau orang lain bersikap berbeda dengan apa yang dia harapkan. Heran kalau orang lain merendahkannya, dan kurang menghormatinya.

Saudaraku, riya' yang sangat halus kerjanya, yang tak pernah diketahui orang lain, namun sungguh berbahaya, ia mampu menghancurkan ikhlash, menghancurkan pahala dan hanya menyisakan kesia-siaan .

Lalu bagiman usaha kita, ya tentu jalan satu-satunya adalah berlindung kepada Rabb manusia yaitu Allah sebagai satu-satunya tempat berlindung dan sebaik-baiknya tempat berlindung.

Abu Abdullah Al-Quraisyi pernah berkata, 'Siapa yang tidak puas dengan pendengaran dan penglihatan Allah dalam amal perbuatan dan perkataannya, maka pasti kemasukan riya,'

Abdul Khair Al-Aqtha', berkata 'Siapa yang ingin amalnya diketahui orang, maka itu riya' dan siapa yang ingin diketahui oleh orang hal keistimewaannya maka ia adalah pendusta,'

Abdul Abbas Al-Marsy, pernah berkata 'Siapa yang ingin terkenal maka ia budaknya terkenal, dan siapa yang ingin tersembunyi maka ia budaknya tersembunyi, dan siapa yang benar-benar merasa sebagai hamba Allah, maka terserah kepada Allah apakah ditampakkan atau disembunyikan. Yakni sama saja yang penting ia beramal karena Allah,'

Hammad bin Zaid , berkata: 'Saya pernah berjalan bersama Ayyub tapi beliau melewati jalan-jalan yang membuat diriku heran dan bertanya-tanya kenapa beliau sampai berbuat seperti ini (berputar-putar melewati beberapa jalan kecil). Ternyata beliau berbuat seperti itu karena beliau tidak mau orang-orang mengenal beliau dan berkata: ‘Ini Ayyub, ini Ayyub! Ayyub datang, Ayyub datang!' (Riwayat Ibnu Sa’ad dan lainnya).

Hammad berkata lagi: ' Ayyub pernah membawa saya melewati jalan yang lebih jauh, maka sayapun berkata: ‘Jalan ini lebih dekat!’
Beliau menjawab: ‘Saya menghindari kumpulan orang-orang di jalan tersebut.’ Dan memang apabila dia memberi salam, akan dijawab oleh mereka dengan jawaban yang lebih baik dari jawaban kepada yang lainnya.
Dia berkata: ‘Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak menginginkannya! Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak menginginkannya!' (Riwayat Ibnu Sa’ad (7/248) dan Al Fawasi (2/239-pada penggal yang terakhir). Atsar ini shahih).
Sungguh beruntung hamba yang memperhatikan gerak gerik hatinya, yang selalu memperhatikan niatnya. Sudah banyak hamba yang lalai dari hal ini kecuali yang diberi taufik oleh Allah. Orang-orang yang lalai akan memandang kebaikan-kebaikan mereka pada hari kiamat menjadi kejelekan-kejelekan.

Sebagaimana dalam firman-Nya, yang artinya ," Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya.” (Qs. Az-Zumar : 48). Sebagaimana dalam firman-Nya, yang artinya , “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Qs. Al Kahfy: 104).

Riya’ adakalanya sangat samar namun dan berbahaya. Ia membutuhkan pengobatan dan terapi serta bermujahadah (bersungguh-sungguh) supaya dapt terhindar darinya , sambil tetap meminta pertolongan Allah Ta’ala untuk menolaknya. Karena seorang hamba selalu membutuhkan pertolongan dan bantuan dari Allah. Seorang hamba tidak akan mampu melakukan sesuatu kecuali dengan bantuan dan anugerah Allah.

Sebagaimana , Rasulullah mengajarkan kepada kita dalam sabda beliau, yang artinya ," Wahai sekalian manusia, peliharalah diri dari kesyirikan karena ia lebih samar dari langkah kaki semut.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara kami memelihara diri darinya padahal ia lebih samar dari langkah kaki semut?” beliau menjawab, yang artinya “Katakanlah: ‘Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang kami ketahui. Dan kami mohon ampunan kepada-Mu dari apa yang tidak kami ketahui.’” (HR. Ahmad)

Salah satu upaya meredam riya’ adalah dengan menyembunyikan amalan. Hal ini dilakukan oleh para alim sehingga amalan yang dilakukan tidak tercampuri riya’. Mereka tidak memberikan kesempatan kepada setan untuk mengganggunya. Para ulama menegaskan bahwa menyembunyikan amalan hanya dianjurkan untuk amalan yang bersifat sunnah.

Sedangkan amalan yang wajib tetap ditampakkan. Sebagian dari ulama ada yang menampakkan amalan sunnahnya agar dijadikan contoh dan diikuti manusia. Mereka menampakkannya dan tidak menyembunyikannya, dengan syarat merasa aman dari riya’. Hal ini tentu tidak akan bisa kecuali karena kekuatan iman dan keyakinan yang kuat .

Sesungguhnya pujian dan sanjungan orang lain kepada kita tidaklah akan merubah hakikat kita di hadapan Allah Yang maha Mengetahui , apa yang nampak dan tersembunyi. Orang lain boleh terperdaya dengan penampilan kita , dengan indahnya perkataan kita atau tulisan-tulisan kita, akan tetapi kitalah yang lebih tahu tentang hakikat diri kita yang penuh lumuran dosa. (Muhammad bin waasi' rahimahullah)

Allahu a'lam

Sumber : Sittu Duror, Syaikh Muhammad At Tamimi. Abu ‘Isa ‘Abdullah bin Salam, Abu Muhsin Firanda Andirja Lc., Menggapai Tingkatan Shufi & Waliyullah , Ahmad Bin Atha'illah As-Sakandary.

Tidak ada komentar: