Makna I’tikaf adalah tinggal (berdiam) diatas sesuatu. Atau juga dikatakan bagi hamba beriman yg tinggal di masjid dan menegakkan agama di dalamnya sbg mu’takif dan ‘akif (orang yg sedang melakukan I’tikaf). Menurut bahasa i’tikaf berarti menetapi sesuatu dan menahan diri agar tetap berada padanya, baik hal itu berupa kebajikan ataupun keburukan. Menurut syara’ i’tikaf artinya seseorang muslim itu menetap dirinya di dalam masjid utk melaksanakan ketaatan dan ibadah kpd Allah Ta’ala.
Ibnu Qayyim , menyatakan bahwa, Allah mensyariatkan I’tikaf bagi mereka dimana fisik dan ruhnya adalah berdiam hati kepada Allah dan berkumpulnya hati kpd Allah, berkhalwat dengan-Nya dan memutuskan (segala) kesibukan dgn makhluk, hanya menyibukkan diri kepada Allah semata”. Diantara tujuan I’tikaf adalah agar kita bertafakkur (memikirkan) untuk selalu meraih segala yang mendatangkan ridha Allah dan segala yang mendekatkan diri kepada-Nya dan mendapatkan kedamaian bersama Allah.
Disunnahkan bagi para mu’takif supaya memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya untuk berzikir, membaca Al Qur’an, mengerjakan solat sunnah (terkecuali pada waktu-waktu terlarang), serta memperbanyak tafakur tentang keadaannya yang telah lalu, hari ini dan masa mendatang. Juga memperbanyakkan merenungkan tentang hakikat hidup di dunia ini dan kehidupan akhirat kelak.
Syaikh Muhammad bin sholeh al-Utsman , berkata, bahwa tujuan I’tikaf adalah memutuskan diri dari manusia untuk meluangkan diri dalam melakukan ketaatan kepada Allah didalam masjid. Hendaknya seorang yang beri’tikaf menyibukkan diri dengan berdzikir, membaca Al-Qu’an, shalat, dan ibadah lainnya, serta menjauhi segala kegiatan yang tidak penting tentang masalah dunia.
Disunnahkan pada bulan Ramadahan dan bulan lainnya sepanjang tahun. Telah shahih bahwa Rasulullah beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Syawwal (Hr Bukhari-Muslim). I’tikaf boleh dilakukan diluar bulan Ramadhan dan tanpa melakukan ibadah puasa, karena I’tikaf dan puasa adalah dua ibadah yang terpisah dan tidak disyariatkan untuk menggabungkan keduanya. Sebagaimana diriwayatkan sahabat Umar, ketika bertanya kepada Rasulullah ,” Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku bernazar pada jaman jahiliyah (dahulu), (yaitu) aku akan beri’tikaf semalam di Masjidil Haram ?”.
Rasulullah bersabda, “Tunaikan nazarmu”, Maka ia (Umar) beri’tikaf semalam”, (Hr. Bukhari-Muslim).
Dan diperbolehkan pula I’tikaf beberapa saat (tidak dalam waktu yang lama). Sebagaimana yang diuraikan dalam Asy Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni (Syaikh Utsaimin 6/508-509).
Tentu yang utama adalah di bulan Ramadahan, sebagaimana hadits riwayat Abu Huriairah, bahwasanya Rasulullah saw beri’tikaf setiap Ramadhan selama sepuluh hari dan manakala tiba tahun dimana beliau diwafatkan, beliau beri’tikaf selama duapuluh hari , (Hr Bukhari).
Dan lebih utama lagi adalah pada akhir bulan Ramadhan, karena Rasulullah beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah SWT mewafatkan beliau (Hr Bukhari-Muslim).
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn ketika ditanya : “Apakah disyari’at I’tikâf pada di luar bulan Ramadhan ?
Beliau rahimahullah menjawab : “I’tikaf yang disyari’atkan yaitu pada bulan Ramadhan saja, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan I’tikaf di luar Ramadhan, kecuali pada bulan Syawâl, saat beliau tidak bisa melakukan I’tikâf pada bulan Ramadhan tahun itu. Namun, seandainya ada yang melakukan I’tikâf di luar bulan Ramadhan, maka itu boleh. Karena Umar Radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Aku bernadzar untuk melakukan I’tikâf selama satu malam atau satu hari di Masjidil Haram.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Penuhilah nadzarmu !” Namun kaum Muslimin tidak dituntut untuk melakukannya di luar Ramadhan.
Demikian beberapa hal yang berkait dengan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin, semoga menjadi renungan bagi kita semua.(Redaksi)
Sumber : Al-Mughni, Ibn Qudamah , Mukhtashar Al-Majmu syarh al-Muhadzdzab, An-Nawawi, Fiqus Sinnah, Abullah shaleh Al-Hadrami Fiqh Ramadhan. majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XIII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar