Minta-minta atau mengemis adalah meminta bantuan, derma, sumbangan, baik kepada perorangan atau lembaga. Secara umum , walaupun tidak selalu begitu, mengemis itu identik dengan penampilan yang kusam , yang dijadikan sarana untuk mengungkapkan kebutuhan apa adanya. Hal-hal yang mendorong seseorang untuk mengemis adalah anggapan mudah dan cepatnya hasil yang didapatkan. Cukup dengan mengulurkan tangan kepada anggota masyarakat agar memberikan bantuan atau sumbangan.
Saudaraku, ada banyak faktor yang mendorong seseorang mencari bantuan atau sumbangan. Faktor-faktor tersebut ada yang bersifat permanen, dan ada pula yang bersifat mendadak atau tak terduga.
1. Faktor ketidakberdayaan, kefakiran, dan kemiskinan yang dialami oleh orang-orang yang mengalami kesulitan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Karena mereka memang tidak memiki penghasilan konstan , santunan-santunan rutin atau sumber-sumber kehidupan yang lain. Sementara mereka sendiri tidak memiliki keterampilan atau keahlian khusus yang dapat mereka manfaatkan untuk menghasilkan uang. Sama seperti mereka ialah anak-anak yatim, orang-orang yang menyandang cacat, orang-orang yang menderita sakit menahun, janda-janda miskin, orang-orang yang sudah lanjut usia sehingga tidak sanggup bekerja, dan selainnya.
2. Faktor kesulitan ekonomi yang tengah dihadapi oleh orang-orang yang mengalami kerugian harta cukup besar. Misalnya seperti para pengusaha yang tertimpa pailit (bangkrut) atau para pedagang yang jatuh bangkrut atau para petani yang gagal panen secara total. Mereka ini juga orang-orang yang memerlukan bantuan karena sedang mengalami kesulitan ekonomi secara mendadak sehingga tidak bisa menghidupi keluarganya. Apalagi jika mereka juga dililit hutang yang besar sehingga terkadang sampai diadukan ke pengadilan.
3. Faktor musibah yang menimpa suatu keluarga atau masyarakat seperti kebakaran, banjir, gempa, penyakit menular, dan lainnya sehingga mereka terpaksa harus minta-minta.
4. Faktor-faktor yang datang belakangan tanpa disangka-sangka sebelumnya. Contohnya seperti orang-orang yang secara mendadak harus menanggung hutang kepada berbagai pihak tanpa sanggup membayarnya, menanggung anak yatim, menanggung kebutuhan panti-panti jompo, dan yang semisalnya. Mereka ini juga adalah orang-orang yang membutuhkan bantuan, dan biasanya tidak punya simpanan harta untuk membayar tanggungannya tersebut tanpa uluran tangan dari orang lain yang kaya, atau tanpa berusaha mencarinya sendiri walaupun dengan cara mengemis.
Ketika kita membahas tentang fenomena pengemis dari kacamata kearifan, hukum, dan keadilan, maka kita harus membagi kaum pengemis menjadi dua kelompok:
1. Kelompok pengemis yang benar-benar membutuhkan bantuan
Secara riil (kenyataan hidup) yang ada para pengemis ini memang benar-benar dalam keadaan menderita karena harus menghadapi kesulitan mencari makan sehari-hari.
Sebagian besar mereka ialah justru orang-orang yang masih memiliki harga diri dan ingin menjaga kehormatannya. Mereka tidak mau meminta kepada orang lain dengan cara mendesak sambil mengiba-iba. Atau mereka merasa malu menyandang predikat pengemis yang dianggap telah merusak nama baik agama dan mengganggu nilai-nilai etika serta menyalahi tradisi masyarakat di sekitarnya.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya ," (Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah sehingga dia tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui" (Qs. al-Baqarah : 273].
2. Kelompok pengemis gadungan yang memainkan sandiwara dan tipu muslihat
Selain mengetahui rahasia-rahasia dan trik-trik mengemis, mereka juga memiliki kepiawaian serta pengalaman yang dapat menyesatkan (mengaburkan) anggapan masyarakat, dan memilih celah-celah yang strategis. Selain itu mereka juga memiliki berbagai pola mengemis yang dinamis, seperti bagaimana cara-cara menarik simpati dan belas kasihan orang lain yang menjadi sasaran. Misalnya di antara mereka ada yang mengamen, bawa anak kecil, pura-pura luka, bawa map sumbangan yang tidak jelas, mengeluh keluarganya sakit padahal tidak, ada yang mengemis dengan mengamen atau bermain musik yang jelas hukumnya haram, ada juga yang mengemis dengan memakai pakaian rapi, pakai jas dan lainnya, dan puluhan cara lainnya untuk menipu dan membohongi manusia.
PANDANGAN SYARIAT tentang Mengemis
Islam tidak mensyari’atkan meminta-minta dengan berbohong dan menipu. Alasannya selain karena melanggar dosa, juga karena perbuatan tersebut dianggap mencemari perbuatan baik dan merampas hak orang-orang miskin yang memang membutuhkan bantuan. Bahkan hal itu merusak citra baik orang-orang miskin yang tidak mau minta-minta dan orang-orang yang mencintai kebajikan. Karena mereka dimasukkan dalam golongan orang-orang yang meminta bantuan. Padahal sebenarnya mereka tidak berhak menerimanya.
Banyak dalil yang menjelaskan haramnya meminta-minta dengan menipu dan tanpa adanya kebutuhan yang mendesak. Diantara hadits-hadits tersebut ialah sebagai berikut.
Hadits Pertama.
Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, yang artinya ," Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya".[1]
Hadits Kedua
Diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, yang artinya ," Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api" [2].
Hadits Ketiga
Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda , yang artinya ," Minta-minta itu merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya dengannya, kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa, atau atas suatu hal atau perkara yang sangat perlu" [3]
Bolehnya kita meminta kepada penguasa, jika kita dalam kefakiran. Namun, tidak boleh sering meminta kepada penguasa.
Hal ini berdasarkan hadits Hakiim bin Hizaam Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: Aku meminta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lantas beliau memberiku. Kemudian aku minta lagi, dan Rasulullah memberiku.
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya ," Wahai Hakiim! Sesungguhnya harta itu indah dan manis. Barang siapa mengambilnya dengan berlapang hati, maka akan diberikan berkah padanya. Barang siapa mengambilnya dengan kerakusan (mengharap-harap harta), maka Allah tidak memberikan berkah kepadanya, dan perumpamaannya (orang yang meminta dengan mengharap-harap) bagaikan orang yang makan, tetapi ia tidak kenyang (karena tidak ada berkah padanya). Tangan yang di atas (yang memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang meminta)".
Kemudian Hakîm berkata: "Wahai Rasulullah! Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak menerima dan mengambil sesuatu pun sesudahmu hingga aku meninggal dunia”.
Ketika Abu Bakar ra menjadi khalifah, ia memanggil Hakîm ra untuk memberikan suatu bagian yang berhak ia terima. Namun, Hakîm tidak mau menerimanya, sebab ia telah berjanji kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ketika ‘Umar menjadi khalifah, ia memanggil Hakîm untuk memberikan sesuatu namun ia juga tidak mau menerimanya. Kemudian ‘Umar bin al-Khaththab ra berkata di hadapan para sahabat: "Wahai kaum Muslimin! Aku saksikan kepada kalian tentang Hakîm bin Hizâm, aku menawarkan kepadanya haknya yang telah Allah berikan kepadanya melalui harta rampasan ini (fa’i), namun ia tidak mau menerimanya. Dan Hakîm Radhiyallahu 'anhu tidak mau menerima suatu apa pun dari seorang pun setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai ia meninggal dunia”.[4]
Hadits ini menunjukkan tentang bolehnya meminta kepada penguasa. Akan tetapi tidak boleh sering, seperti kejadian di atas, yaitu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menasihati Hakîm bin Hizâm. Hadits ini juga menerangkan tentang ta’affuf (memelihara diri dari meminta kepada manusia) itu lebih baik. Sebab, Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu 'anhu pada waktu itu tidak mau meminta dan tidak mau menerima.
ORANG YG DIBOLEHKAN MEMINTA-MINTA
Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya ," Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang:
(1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti,
(2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan
(3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”.[5]
KEUTAMAAN TIDAK MEMINTA-MINTA DAN ANJURAN UNTUK BERUSAHA
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam haditsnya menganjurkan kita untuk berusaha dan mencari nafkah apa saja bentuknya, selama itu halal dan baik, tidak ada syubhat, tidak ada keharaman, dan tidak dengan meminta-minta. Kita juga disunnahkan untuk ta’affuf (memelihara diri dari minta-minta),
sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya, yang aartinya , " (Apa yang kamu infakkan adalah) untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah sehingga dia tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari minta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak minta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui" [Qs. al-Baqarah : 273].
Diriwayatkan dari az-Zubair bin al-‘Awwâm ra , Rasulullah bersabda , yang artinya , " Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, mereka memberinya atau tidak memberinya".[6]
Seseorang yang menjual kayu bakar yang ia ambil dari hutan adalah lebih baik daripada ia harus meminta-minta kepada orang lain. Nabi n menjelaskan jalan yang terbaik karena meminta kepada orang lain hukumnya haram dalam Islam, baik mereka (orang yang dimintai sumbangan) itu memberikan atau pun tidak.
Tetapi yang terjadi pada sebagian kaum muslimin dan thâlibul-‘ilmi (para penuntut ilmu) adalah meminta kepada orang lain, dan menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa dan wajar. Padahal, hal ini hukumnya haram dalam Islam. Jadi, yang terbaik ialah kita mencari nafkah, kemudian setelah itu kita makan dari nafkah yang kita dapat, baik sedikit maupun banyak, dan sesuatu yang kita dapat itu lebih mulia daripada minta-minta kepada orang lain.
Seorang anak yang minta kepada kedua orang tuanya, atau orang tua kepada anaknya, atau isteri kepada suaminya, ini tidak termasuk dalam hadits ini. Karena, orang tua wajib memberikan nafkah kepada anaknya. Jadi, kalau anak meminta kepada orang tuanya, tidak termasuk dalam hadits ini, begitu pun sebaliknya. Karena pada hakikatnya harta anak itu milik orang tuanya.
Sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya ," Engkau dan hartamu adalah milik bapakmu".[7]
Sebagian dari para sahabat adalah orang-orang miskin, tetapi mereka tidak meminta-minta kepada orang lain walaupun mereka sangat membutuhkan. Tetapi, orang-orang yang tidak mengetahui menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya disebabkan mereka menjaga kehormatan diri mereka dengan tidak meminta-minta kepada orang lain.
Orang yang paling berbahagia dan yang paling beruntung dalam hidup ini adalah orang yang merasa cukup dengan apa yang Allah berikan. K emudian ia merasa cukup dengannya, maka ia adalah orang yang paling beruntung dan bersyukur kepada Allah Ta’ala dengan apa yang Allah berikan kepadanya.
Sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya ," Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rizki yang cukup, dan dia merasa puas dengan apa yang Allah berikan kepadanya".[8]
Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud ra, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya ," Barang siapa yang ditimpa suatu kesulitan lalu ia mengadukannya kepada manusia, maka tidak akan tertutup kefakirannya. Dan barangsiapa yg mengadukan kesulitannya itu kepada Allah, maka Allah akan memberikannya salah satu diantara dua kecukupan: kematian yang cepat atau kecukupan yang cepat".[9]
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa seorang yang mendapat kesulitan dan kesusahan, namun ia selalu berharap kepada orang lain, maka kefakirannya tidak akan tertutupi. Dan , apabila sedang mendapatkan senang dan mendapat keuntungan, mereka tidak mengadukannya kepada orang lain. Seseorang yang mengadukan kefakiran dan kesulitannya agar orang lain merasa kasihan kepadanya, maka hal itu tetap tidak akan menutup kefakirannya. Namun jika ia merasa cukup dengan karunia yang Allah Ta’ala berikan, dan ia mengadukan segala kesulitannya kepada Allah, maka Dia akan menutupi kefakirannya itu dan akan menambah karunia yang telah diberikan-Nya kepadanya.
Apabila Allah Ta’ala mentakdirkan kita mengalami kesulitan, lalu kita adukan kesulitan yang kita alami kepada Allah, maka Dia akan memberikan kepada kita jalan keluar yang baik dan rizki, baik cepat maupun lambat.
Kita harus mengimani, memahami, dan mengamalkan hadits ini dalam kehidupan kita. Kita harus yakin bahwa hanya Allah-lah yang mendengar kesulitan kita. Adapun manusia, mereka tidak suka mendengar kesulitan orang lain. Islam menganjurkan kita untuk berusaha, berdasarkan ayat-ayat dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan usaha ini tidak mengurangi waktu kita, baik dalam menuntut ilmu maupun mengajar dan mendakwahkan ilmu.
Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai orang yang bersyukur dan qana’ah atas segala nikmatnya, merasa cukup dengan apa yang ada, serta menahan diri dari minta-minta. Sesungguhnya Allah Mahadermawan, Mahamulia.
Sumber : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas , manhaj or id ,majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/Ramadhan1429H/2008
catatan :
[1]. Muttafaqun ‘alaihi. HR al-Bukhâri (no. 1474) dan Muslim (no. 1040 (103)).
[2]. Shahîh. HR Ahmad (IV/165), Ibnu Khuzaimah (no. 2446), dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul-Kabîr (IV/15, no. 3506-3508). Lihat Shahîh al-Jâmi’ish-Shaghîr, no. 6281.
[3]. Shahîh. At-Tirmidzi (no. 681), Abu Dawud (no. 1639), an-Nasâ`i (V/100) , as-Sunanul-Kubra (no. 2392), Ahmad (V/10, 19), Ibnu Hibbân (no. 3377 –at-Ta’lîqâtul Hisân), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (VII/182-183, no. 6766-6772), dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ` (VII/418, no. 11076).
[4]. Shahîh. Al-Bukhâri (no. 1472), Muslim (no. 1035), dan lainnya.
[5]. Shahîh. HR Muslim (no. 1044), Abu Dâwud (no. 1640), Ahmad (III/477, V/60), an-Nasâ`i (V/89-90), ad-Dârimi (I/396), Ibnu Khuzaimah (no. 2359, 2360, 2361, 2375), Ibnu Hibbân (no. 3280, 3386, 3387 –at-Ta’lîqtul-Hisân), dan selainnya.
[6]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 1471, 2075).
[7]. Shahîh. HR Ibnu Mâjah (no. 2291) dari Jaabir bin ‘Abdillah ra, dan ath-Thabrâni dalam Mu’jamul-Kabîr (VII/230, no. 6961, X/81-82, no. 10019) dari Samurah dan Ibnu Mas’ûd ra. Lihat Irwâ`ul-Ghalîl (no. 838).
[8]. Shahîh. HR Muslim (no. 1054) dan lainnya, dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr ra.
[9]. Shahîh. HR Ahmad (I/389, 407, 442), Abu Dâwud (no. 1645), at-Tirmidzi (no. 2326), dan al-Hâkim (I/408). Lafazh ini milik Abu Dâwud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar