Seringkali kita merasa lebih bangga apabila telah mengikuti mimpi-mimpi, keinginan-keinginan serta harapan orang lain daripada menelusuri jalankehidupan kita sendiri. Sebagian dari kita hidup dalam dunia bayang-bayang orang lain. Atau bahkan kita dengan sukarela masuk dalam dunia itu.Salah satu alasan adalah karena kurang merasa percaya diri membangun dunia kita sendiri. Seringkali terdengar keluhan, seperti ‘seandainya saya pandai seperti Amran, sungguh saya pasti lebih bahagia.’ ‘Seandainya saya mempunyai postur tubuh seperti …’.‘ Saya tentu bahagia bila mempunyai istri seperti ..’. Kita baru merasa sukses bila mendapat pujian atau pengakuan orang lain.
Persoalan timbul setelah melakukan hal itu, adalah kita mulai melakukan perbandingan antara diri kita dengan orang lain. Kita menjadi tidak bahagia atau bahkan menyesali atas apa yang ada dalam diri kita, keluarga kita dst. Dalam setiap perban-dingan, akan menghasilkan psikologi rendah diri. Setiap perbandingan akan mereduksi nilai yang dikandung dari sesuatu yang diperbandingkan itu. Setiap perbandingan akan semakin menjauhkan kita dari rasa bersyukur kepada Sang Pencipta.
Dengan setiap perbandingan menghasilkan pembatasan terhadap sesuatu. Ketika seseorang berlatih keras fitness, atau sering keluar masuk salon, salah satu alasan mereka melakukan semua itu adalah untuk meningkatkan rasa percaya diri. Kenapa rasa percaya diri diukur dengan kondisi yang tampak saja. Ia telah mereduksi diri dan melakukan pembatasan diri bagi dirinya sendiri.
Ia menjadi tidak merdeka lagi dan terbelenggu dengan pembatasan yang ia bikin sendiri. Ruang gerak menjadi lebih terbatas. Sebagiamana seorang bintang dunia intertainment akan dilanda kegelisahan manakala tubuhnya tidak seindah saat muda dulu.
Kenapa kita harus merendahkan diri kita dengan melakukan pembatasan-pembatasan. Mengapa seorang manusia hanya dinilai dari apa yang dia pakai atau tampak, arlojinya, kemejanya, mobilnya, hartanya. Bila itu semua tidak ada, apanya yang salah?
Janganlah kita merendahkan nilai diri kita sendiri. Jangan menilai diri dengan sesuatu yang bisa usang, yang mudah rapuh dan selalu berubah. Seringkali kita menciptakan ketegangan dan rasa frustasi dengan suatu hal yang sebenarnya tak perlu terjadi.
Bila kita hanya mempunyai mobil seharga 50 juta, kenapa harus menderita bila seorangteman mempunyai mobil seharga 200 juta. Bila rasa ini terpupuk maka rasa frustasi juga akan berkembang dan menjalar ke hal-hal lain. Kita mulai membatasi diri dengan realitas yang semakin sempit, I am what I wear. Keadaan ini akan menjadikan semakin menderita.
Untuk itu , mari kita perluas realitas kita. Realitas diri kita sesungguhnya terbagi menjadi dua hal ,
a. Realitas kecil, dimana hal ini selalu mencari hal-hal diluar diri kita yang memang terbats sifatnya. Realitas kecil ini selalu menarik diri kita kepada hal-hal yang kongkrit sifatnya. Ia menyenangi sesuatu yang bisa disentuh, diraba , ditakar, dihitung.
b. Realitas besar, yang selalu mencari kedalam diri sendiri yang memang tak terbatas sifatnya.
Adapun sifat terbatas menghasilkan kerapuhan , sementara sifat tak terbatas menghasilkan keabadian. Sehingga ketika kita mencari hal-hal diluar diri kita, sesungguhnya itu berarti sedang merangkul sesuatu yang rapuh dan terbatas.
Realitas besar ini lebih banyak bergerak kearah yang abstrak, seperti keyakinan, keimanan, kesabaran, keikhlasan , kejujuran.
Justru hal hal inilah yang sebenarnya menjadi sumber energi dan kehidupan.
Rasulullah pernah bersabda, yang arti bebasnya kurang lebih seperti ini ,” Bersedekahlah dan jangan kau hitung, supaya Allah tidak menghitung kepadamu, dan jangan kau takar karena Allah akan membatasimu”.
Sungguh , memberi adalah tindakan yang penuh energi positif yang justru akan mendatangkan lebih banyak rizki kepada si pemberi tersebut. Ketika anda memberi, maka sebenarnya anda berkata saya punya banyak. Semakin dia banyak memberi maka semakin banyak rizki mengalir kepadanya. Sungguh janji Allah selalu benar.
Apalagi niat pemberian, sedekah itu berlandaskan karena mencari ridha Allah dan sebagai bentuk rasa syukur kepada-Nya.
Sebaliknya bila kita, berpikir , menghitung-hitung, dan akhirnya berkata , saya tidak cukup uang untuk aku sedekahkan, atau aku sumbangkan dst. Maka itulah yang akibat yang terjadi, mengapa kita mengalami seret rizki….
Sekarang kita pahami, ketika kita tidak cukup uang, maka mulailah memberi. Ketika anda berpikir bahwa anda tidak mempunyai cukup rizki untuk diberikan ke orang lain, maka mulailah memberi. Pada saat itu juga Allah, hukum Allah ( hukum tarik menarik) akan mulai bergerak dan menyalurkan rizki yang lebih banyak dari Allah
kepada anda.
Memang ego kita selalu mengarah kepada realitas kecil, dengan melakukan penghitungan-penghitungan melakukan perbandingan-perbandingan , pentakaran dst.
Realitas kecil
• mengandalkan rasio untung rugi
• tidak ingin mengambil resiko
• tidak ingin gagal
• sulit menerima kritik
Memang realitas kecil hanya memandang kehidupan dari satu sisi yang bisa diraba atau dilihat, sukses, menang persaingan, nomor satu, kekayaan materi, pujian dst.
Ia melupakan sisi lain yang sebenarnya jauh lebih besar manfaatnya, yaitu seperti keberkahan, Ridha Allah, kebahagiaan , ketentraman. Realitas besar menerima keseimbangan dari dua sisi kehidupan, ia tidak hanya merasakan indahkan kesuksesan namun merasakah rahhmat dan indahnya sebuah kegagalan.
Realitas besar akan semakin meluas sehingga membuat anda lebih menikmati kehidupan, dan berjalan tanpa beban. Dengan realitas yang semakin luas membuat anda menjadi orang yang bebas. Hal itu akan semakin indah bila setiap langkah kita selalu kita tujukan untuk mencari ridha Allah, sungguh keindahan, kebahagiaan dan ketentraman akan pasti tercipta bila kita berjalan dalam ketaatan kepada-Nya.
Allahu a'lam
Sumber kutipan : gagal itu indah, Yusran Pora.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar