Ada bermacam pemahaman tentang 'Uzlah . Dalam sufisme klasik cenderung pada mengisolir diri yaitu uzlah dari keramaian hidup bermasyarakat dan hanya melakukan kegiatan yang bersifat spiritual, diantaranya adalah Surri Al-Sahathi, Sufyan Al-Suri, Bisyr ibn Al-Harists, Al-Hafi dan Al-Ghazali. Dalam neo sufisme mendorong dan memotivasi untuk kreatif dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, seperti Fazlur Rahman, Hamka dan Said Ramadhan.
Ibnu Athaillah Assukandary dalam Syarah Hikam menyebutkan bahwa dalam diri manusia terdapat bagian yang namanya al-qalbu (hati). Hati ini bisa membuat manusia sejahtera dan bisa pula membuat manusia sakit. Hati ini pula yang membuat tumbuhnya iman, tempat berseminya makrifat kepada Allah SWT, dan berkembangnya rasa keikhlasan.
Uzlah yang terbaik menurut Ibnu Athaillah adalah uzlah-nya Ahlun Nihayah atau manusia yang berada pada tingkat sempurna. Berdasar penjelasannya, orang yang berada pada tingkat ini, ciri-cirinya lebih dekat dengan pelaku uzlah yang masuk kelompok pertama. Orang yang masuk kriteria pertama ini hidupnya diibaratkan seekor ikan yang hidup di laut. Ikan laut tidak akan terasa asin walaupun ia hidup di air laut yang begitu asin. Begitulah hidup orang yang beriman, sangat dekat kepada Allah SWT.
Ia tidak terpengaruh oleh keadaan sekitarnya yang penuh kemungkaran. Dia justru terus melawan kemungkaran itu. Jadi yang dimaksud dengan uzlah adalah menghadapkan hati secara terarah khusus kepada Allah SWT. Dengan demikian, menurut dia, hati akan terbebaskan dari masuknya gambaran-gambaran lain selain Allah SWT.
Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsir Al-Munir. Beliau menyatakan bahwa didalam Al-Qur’an tema uzlah tidak didiskripsikan secara detail. Penafsiran uzlah hanya tersirat dari isyarat yang ditunjukkan oleh beberapa ayat Al-Qur’an Ayat uzlah terdapat dalam surat Al-Kahfi yang didalamnya menerangkan kisah Ashhabul kahfi dalam ayat 16 Allah berfirman, yang artinya, “Dan apabila kalian meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung kedalam gua itu niscaya Tuhan kalian akan melimpahkan sebaian rahmatnya kepada kalian dan menjadikan sesuatu yang berguna bagi kalian dalam urusan kalian”.
Menurut Ibnu Katsir, sebagaimana dikuti Az-Zuhaili, tindakan mengasingkan diri kedalam gua sebagaimana pernah dilakukan ashhabul kahfi adalah di syari’atkan ketika terjadi fitnah atas diri manusia yang membehayakan agamanya.
Menurut Syekh Zarruq, orang yang ber-uzlah terbagi dalam tiga bagian. Pertama, orang yang ber-uzlah dengan hatinya saja sementara badannya tidak. Kedua, orang yang ber-uzlah badannya saja sementara hatinya tidak. Ketiga, orang yang ber-uzlah baik badan maupun hatinya. Orang yang ber-uzlah menurut kriteria pertama adalah orang yang dapat memelihara hatinya dari keadaan sekitar dia. Meski hidup di tengah kemaksiatan, ia tidak terpengaruh oleh keadaan sekitarnya. Orang yang ber-uzlah menurut kriteria kedua adalah orang yang terpengaruh oleh keadaan sekitarnya meskipun ia tinggal menyendiri. Sedangkan orang yang ber-uzlah menurut kriteria ketiga adalah orang yang benar-benar menjauhkan diri dari keadaan sekitarnya baik fisik maupun hatinya.
Dakwah baginya merupakan kewajiban dalam rangka mencegah kemungkaran dan menegakkan yang makruf (QS Ali Imran: 104, 110). Tentu saja dakwah yang dilakukan adalah dakwah yang sesuai dengan perintah Allah SWT dan tuntunan Rasulullah SAW. Dakwah yang mengajak manusia untuk beriman kepada Allah SWT dengan cara memberi hikmah, memberi teladan yang baik, dan memperlakukan manusia dengan rasa kemanusiaan (QS An-Nahl: 125). Dengan dakwah seperti itu, manusia yang mendapatkan dakwahnya dapat melakukan uzlah untuk mencapai tingkat kesempurnaan (uzlah ahlun nihayah).
Dr. 'Aidh al-Qarni dalam La Tahzan , menekankan ‘uzlah (pengasingan diri) sebagai ber-uzlah dari segala bentuk kejahatan, dan kemubahan yang berlebihan. Ber-’uzlah seperti ini akan membuat dada menjadi lapang dan mengikis semua kesedihan.
Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Ada keharusan bagi hamba untuk melakukan ‘uzlah agar dapat beribadah kepada Allah, berdzikir kepada-Nya, membaca ayat-ayat-Nya, melakukan muhasabah terhadap dirinya, berdoa kepada-Nya, meminta ampunan-Nya, menjauhi tindakan-tindakan yang jelek, dan lain sebagainya.
Dalam Shaidul Khathir, Ibnu al-Jauzi telah menuliskan tiga pasal, yang ringkasannya demikian: “Saya tidak melihat dan mendengar manfaat yang lebih besar daripada ‘uzlah. Karena ‘uzlah adalah sebuah ketenangan, sebuah keagungan, sebuah kemuliaan, sebuah tindakan untuk menjauhkan diri dari keburukan dan kejahatan, sebuah kiat untuk menjaga kehormatan dan waktu, sebuah cara untuk menjaga usia, sebuah tindakan untuk menjauhkan diri dari orang-orang yang mendengki, sebuah perenungan tentang akhirat, sebuah persiapan untuk bertemu Allah, sebuah pemusatan jiwa raga untuk melakukan ketaatan, sebuah pemberdayaan nalar terhadap hal-hal yang bermanfaat, dan sebuah eksplorasi terhadap nilai dan hukum dari nash-nash yang ada.”
Dr. 'Aidh al-Qarni menyatakan bahwa dalam ‘uzlah itu terdapat sebuah kemuliaan yang hanya diketahui oleh Allah saja. Dalam ber-’uzlah terjadi pengembangan daya berpikir, pencapaian pada sebuah hasil pemikiran, penenangan kalbu, dan penyelamatan kehormatan.
Di samping itu, dalam ber-’uzlah ada banyak pahala yang didapatkan, ada usaha untuk menjauhkan diri dari kemungkaran, ada pemberdayaan jiwa untuk selalu melakukan ketaatan, ada waktu untuk mengingat Sang Maha Pengasih, ada usaha untuk menjauhi hal-hal yang melenakan dan menyita waktu, ada upaya untuk lari menjauh dari fitnah, ada usaha untuk menjauh dari kepungan musuh, ada kesempatan untuk tidak mencela orang lain, ada pemenuhan hak-hak, ada kesempatan untuk sembunyi dari orang yang sombong, dan ada kesempatan untuk bersabar terhadap orang yang bodoh.
Dalam ‘uzlah juga terdapat tabir untuk menutupi aurat: yakni aurat berupa aurat lisan, kesalahan melangkah, penyimpangan pikiran, dan kecenderungan jiwa yang jahat.
‘Uzlah merupakan hijab untuk menutupi wajah-wajah kebaikan, cangkang untuk menyembunyikan mutiara-mutiara keutamaan, dan lengan baju untuk membungkus tangan-tangan kebaikan. Alangkah indahnya ber - ‘uzlah dengan buku; karena orang akan dapat menambah usia, dapat mengulur kematian, dapat meraih kenikmatan dalam kesendirian, dapat
mengembara menuju ketaatan, dan dapat berjalan-jalan dalam perenungan.
Dalam ‘uzlah akan kita dapatkan perenungan, penghayatan, tafakkur, dan tadabbur.
Pada saat ber-’uzlah Anda akan dapat menyelami makna-makna, menangkap butiran-butiran nilai, merenungkan tujuan-tujuan hidup, dan membangun menara ide serta pemikiran.
Pada saat ber-’uzlah ruh berada dalam kegembiraan, hati berada dalam kebahagiaan terbesar, dan nurani berada dalam perburuan nilai-nilai. Jangan riya’ pada waktu ber-’uzlah, sebab hanya Allah yang melihat Anda. Dan, jangan perdengarkan pembicaraan Anda kepada sesama, sebab
hanya Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat yang mendengar. Semua orang besar menyirami ‘tanaman’ kemuliaan mereka dengan ‘air’ ‘uzlah sampai mereka bisa tegak berdiri. Selanjutnya, tumbuhlah pohon keagungan mereka dan menghasilkan buahnya yang bisa dipetik setiap saat dengan izin Rabb-nya.
Ada banyak manfaat yang dapat kita petik dari 'uzalh, antara lain ;
Misalnya tersedianya waktu luang untuk lebih berkonsentrasi dalam beribadah, bertaffakur dan bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, menyibukkan diri dengan berupaya menyingkap rahasia-rahasia Allah dalam berbagai perkara dunia dan akhirat, serta memikirkan hikmah penciptaan makhluk, termasuk kerajaan langit dan bumi yang begitu luas. Seluruh hal tersebut menuntut adanya waktu luang. Sedangkan waktu luang tidak bisa didapat ketika kita banyak menghabiskan waktu dalam bergaul dengan orang lain; dan uzlah merupakan salah satu sarana yang bisa mengantarkan kita kepada tujuan tersebut. Dzun Nun Al Mishri berkata,bahwa 'Kebahagian seorang mukmin dan kelezatanya, yaitu ketika dia bermunajat kepada Rabb-nya.'
Fudhail bin Iyadh berkata,'Jika aku melihat malam telah datang, aku bergembira karenanya, dan ku katakan, ‘aku akan berkhalwat bersama Rabb-ku’.
Dengan ber- 'uzlah , dapat melepaskan diri dari jeratan maksiat, seperti: ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), riya’ (beramal agar dilihat orang), enggan beramar ma’ruf nahi mungkar, serta perangai-perangai buruk lainnya yang menyebabkan kita hanya berambisi kepada dunia. Juga dapat membebaskan serta memelihara diri dan jiwa dari tenggelam ke dalam bermacam fitnah dan permusuhan.
Abdullah bin Amr bin Al Ash berkata, Rasulullah menjelaskan tentang berbagai fitnah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, yang artinya ," Jika engkau lihat manusia, ketika itu perjanjian-perjanjian mereka dilanggar dan amanah mereka diremehkan, serta keadaan mereka seperti ini (beliau mengaitkan jari jemarinya).”
Aku bertanya,”Apa yang engkau perintahkan kepadaku, ya Rasulullah ?”
Maka beliau bersabda,”Tetaplah di rumahmu, tahanlah lidahmu, ambillah apa-apa yang engkau ketahui dan tinggalkanlah hal yang engkau ingkari, kerjakanlah perkara yang khusus bagimu, serta tinggalkanlah urusan orang banyak.
Ber- 'uzlah dapat menyelamatkan diri dari kejeleken manusia. Tidak diragukan lagi, orang yang bergaul dengan menusia dan bergabung dengan mereka, tidak akan luput dari orang-orang yang dengki dan berburuk sangka kepadanya. Sebagaimana dikatakan ”Bergaul dengan orang-orang yang jelek akan membuahkan buruk sangka kepada orang-orang baik”. Umar bin Al Khattab berkata,”Pada uzlah ada peristirahatan dari teman-teman yang jelek.”
Uzlah juga dapat mengerem ketamakan manusia terhadap diri kita, karena ridha manusia merupakan satu hal yang sulit di raih. Artinya, apapun yang kita perbuat tidak akan pernah lepas dari komentar manusia. Disamping itu juga, uzlah memangkas ketamakan diri kita terhadap apa yang ada di tangan orang lain.
Sebagaimana Rasulullah bersabda, yang artinya , " Lihatlah orang yang berada di bawahmu, dan janganlah engkau melihat orang yang berada di atasmu, karena hal demikian itu lebih membuatmu bersyukur atas nikmat Allah atasmu. [HR Muslim dari Abu Hurairah].
Banyak kemuliaan ditemukan dalam ber-uzlah (pengasingan diri) dari segala bentuk kejahatan, dan kemubahan yang berlebihan. Dalam kondisi ini 'uzlah tidak diartikan mengasingkang atau menjauhkan diri dari pergaulan . Seperti kita ketahui bahwa , kita tidak mendapatkan beberapa manfaat pada hal-hal yang memang tidak mungkin kita dapatkan, kecuali dengan bermu’amalah dengan manusia lain; baik yang berkaitan dengan masalah duniawi maupun ukhrawi.
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya ," Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturahim. [Qs. An Nisa :1].
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya ," Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabb mereka dan takut kepada hisab yang buruk. [Qs. Ar Ra’d : 21].
Sebagaimana telah disabdakan oleh qudwah kita Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang artinya ," Mu’min yang bergaul dengan manusia serta bersabar menghadapi gangguan mereka, lebih utama daripada mu’min yang tidak bergaul dengan manusia, serta tidak bersabar atas ganggaun mereka."
Sebagaimana Rasulullah bersabda, yang artinya ," Barangsiapa melepaskan kesulitan seorang mu’min di dunia, niscaya Allah lepaskan kesulitannya di akhirat. Barangsiapa yang membantu orang miskin di dunia, niscaya Allah membantunya di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, niscaya Allah tutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong hambaNya selama si hamba mau menolong saudaranya. [HR Muslim].
Sebagaimana Rasulullah bersabda, yang artinya ," Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan orang yang memerintahkan untuk bersedekah atau berbuat kebajikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. [An Nisa:114].
Allahu a'lam
Sumber : La -Tahzan, Dr. 'Aidh al-Qarni, majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VII/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar