Dalam menghadapi sesuatu yang tidak disenangi, seorang hamba dapat bersikap, marah sabar, rela atau bahkan bersyukur. Sikap sabar adalah wajib bagi seorang hamba yang beriman, sedangkan rela (ikhlas) adalah sikap utama yang disunahkan.
Hamba yang ikhlas lebih mampu melihat hikmah dan kebaikan dalam cobaan yang ditimpakan Allah kepadanya, dan terhindar dari prasangka buruk terhadap ketentuan-Nya. Bahkan para ahli makrifat, dalam menghadapi musibah yang menimpa, dirasakannya sebagai suatu nikmat, lantaran jiwa bertemu dengan kecintaanya.
Syaikh Abu ‘Ali ad-Daqqaq menyatakan, “Keridlaan bukanlah bahwa engkau tidak mengalami cobaan, keridlaan sesungguhnya adalah sebuah keadaan dimana engkau tidak berkeberatan terhadap ketetapan Illahi dan pengadilan-Nya”.
Diantara sabar dan ikhlas, dimana sabar adalah menahan diri dan mencegahnya dari kemarahan serta kesal pada saat merasakan derita, sakit dikala musibah. Sambil berharap , dan berdoa agar derita ini segera berakhir.
Sedangkan ikhlas (rela), adalah berlapang dada dalam menerima ketentuan-Nya dan menerimanya dengan sepenuh hati. Dan menjauhi keinginan-keinginan atau harapan agar derita ini segera berakhir.
Imam Tirmidzi mentakhrijkan hadits dari Anas ra, bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya, “ Jika Allah mencintai suatu kaum, Dia mengujinya (dengan musibah). Barangsiapa yang rela, maka mereka mendapat ridha Allah. Dan barang siapa yang tidak rela bahkan benci, maka mereka akan dibenci pula oleh Allah “, (Hr Tirmidzi dalam Az-Zuhd (7.77). Ia menyatakan ,’hadits ini hasan gharib.Assuyuthi menghasankan hadits ini dalam Jami’as Shaghir 3,459).
Ketika Musa as berdoa, “Ya Allah, bimbinglah aku kepada amal yang akan mendatangkan keridlaan-Mu.”
Allah SWT menjawab, “Engkau tidak akan mampu melakukannya.” Musa bersujud dan terus memohon. Maka Allah SWT lalu mewahyukan kepadanya, “Wahai putra ‘Imran, Keridlaan-Ku ada pada keridlaanmu menerima ketetapan-Ku.”
Sahabat Ibn Mas’ud, berkata bahwa ‘Allah SWT dengan keadilan dan Kemahatahuan-Nya menjadikan kebahagiaan dan kesenangan ada pada keyakinan dan kerelaan hati, dan menjadikan duka dan kesusajan pada keraguan dan ketidak relaan,’
Para syaikh berkomentar, “Keridlaan adalah gerbang Allah yang terbesar”. Maksud mereka adalah bahwa barangsiapa yang mendapat kehormatan dengan keridlaan, berarti dia telah disambut dengan sambutan yang paling sempurna dan dihormati dengan penghormatan yang tertinggi”.
‘Abdul Wahid bin Zayd menjelaskan, “Keridlaan adalah gerbang Alah yang terbesar dan surganya dunia ini”. Seorang hamba tidak akan mendekati derajat keridlaan terhadap Allah sampai Allah ridha terhadapnya, sebab Allah SWT telah berfirman, “Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya” (QS. Al-Bayyinah, 98:8).
Bahkan Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz , berkata ,’tak ada kebahagiaan bagiku kecuali menerima datangnya takdir,’ Dan ketika ditanya ‘Apa yang tuan sukai ?’ Dijawabnya ,’ Yang aku sukai adalah apa-apa yang ditakdirkan oleh Allah ‘azza wa jalla’.
Imam Hasan Basri berkata ,bahwa barang siapa yang rela terhadap bagian (takdir yang telah ditentukan) untuknya niscaya Allah akan melapangkan jalan dan memberkahinya. Namun barangsiapa yang tidak rela, maka Allah tidak akan melapangkannya dan tidak akan memberi keberkahan baginya ,’
Syaikh abu ‘Ali ad-Daqqaq menuturkan, “Seorang murid bertanya kepada syaikhnya, ‘Apakah si hamba mengetahui apakah Allah ridla kepadanya?‘ Sang Syaikh menjawab, ‘tidak. Bagaimana dia bisa tahu hal itu sedangkan keridlaan-Nya adalah sesuatu yang tersembunyi?’ Si murid memprotes, ‘Tidak, dia bisa mengetahuinya!’
Syaikhnya bertanya, ‘Bagaimana si hamba bisa tahu? Si murid menjawab: “Jika saya mendapati hati saya ridla kepada Allah SWT, maka saya tahu bahwa Dia ridla kepada saya.’ Maka sang Syaikh lalu berkata, ‘Sungguh baik sekali ucapanmu itu, anak muda.’ “
Abu Sulayman ad-Darani menyatakan, “Jika si hamba membebaskan dirinya dari dominasi hawa nafsu, maka dia akan mencapai keridlaan.”
An-Nasrabadhi menyatakan, “Barangsiapa yang ingin mencapai derajat keridlaan, maka hendaklah ia
berpegang teguh pada apa-apa yang padanya Allah telah menempatkan keridhaan-Nya.”
Muhammad bin Khafif menjelaskan, “Ada dua macam keridlaan: keridlaan terhadap Allah SWT dan keridlaan terhadap apa yang datang dari-Nya.” Keridlaan terhadap Allah SWT berarti bahwa si hamba ridla terhadap-Nya sebagai Pengatur (urusan-urusannya), dan keridlaan terhadap apa yang datang dari-Nya berkaitan dengan apa yang telah ditetapkan-Nya.”
Saya mendengar Syaihk Abu ‘Ali ad-Daqqaq menyatakan, “jalan sang pengembara lebih panjang, dan itulah jalan latihan spiritual. Jalan kaum terpilih lebih singkat, tapi lebih sulit dan menuntut agar engkau bertindak sesuai dengan keridlaan dan agar engkau ridla dengan takdir.”
Abu Bakr bin Thahir berkomentar, “Keridlaan adalah menghilangkan keengganan dari hati hingga tak sesuatupun yang tinggal selain kebahagiaan dan kegembiraan.”
Al-Wasiti mengajarkan, “Manfaatkanlah keridlaan sebesar-besarnya, dan jangan biarkan kemanisan dan pengetahuan memanfaatkan dirimu agar supaya tidak menabirkan dirimu dari kebenaran batin yang menyangkut kepedulianmu.” Ketahuilah bahwa kata-kata ini sangatlah penting. Di Dalamnya terdapat peringatan yang tersirat bagi ummat sebab keridlaan terhadap keadaan itu sendiri merupakan tabir yang membatasi si Pemberi Keadaan. Jika seseorang menemukan kesenangan dalam keridlaannya dan mengalami nikmatnya keridlaan dalam hatinya, maka dia telah tertabiri oleh keadaannya sendiri dari menyaksikan kebenaran hati.
Ibn khafif menyatakan , “Keridlaan adalah tenangnya hati dengan ketetapan Allah dan keserasiannya hati dengan apa yang menjadikan Allah ridha dan dengan apa yang dipilih-Nya untukmu.”
Ketika Rabia’ah al-Adawiyah ditanya: “Kapankah seorang hamba dipandang ridla?” dia menjawab: “Apabila baginya penderitaan sama menggembirakannya dengan anugerah.”
Abu Sulayman ad-Darani mengatakan: “Keridlaan adalah jika engkau tidak meminta surga kepada Allah SWT atau berlindung kepada-Nya dari neraka.“
Dzun Nun al-Mishri menjelaskan, “Ada tiga tanda keridlaan, tidak punya pilihan sebelum diputuskannya ketetapan (Allah), tidak merasakan kepahitan setelah diputuskannya ketetapan, dan merasakan gairah cinta di tengah-tengah cobaan.”
Dikatakan kepada al-Husayn putra ‘Ali bin Abi Thalib ra, “Abu Dzar menyatakan, ‘Kemikisnan lebih kucintai daripada kekayaan, dan sakit lebih kucintai daripada kesehatan.’
Al-Husayn menjawab, “Semoga Allah mengasihani Abu Dzar. Aku sendiri, kukatakan, ‘Orang
yang menaruh kepercayaan kepada pilihan baik Allah baginya tidak akan berkeinginan selain dari apa yang telah dipilihkan Allah SWT baginya.’ “
Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan bahwa Bisyr al-Hafi, “Keridlaan adalah lebih baik daripada hidup kepertapaan (asceticism) di dunia ini, sebab orang yang ridla tidak pernah berkeinginan akan sesuatu di luar keadaannya. “
Ketika Abu ‘Utsman ditanya tentang ucapan Nabi saw, “Aku memohon kepada-Mu rasa ridla setelah diputuskannya ketetapan (Mu), “Dia menjelaskan, “Ini karena keridlaan sebelum diputuskannya ketetapan Allah berarti adanya niat kuat untuk merasa ridla, tetapi keridlaan setelah diputuskannya ketetapan adalah [sebenar-benar] keridlaan.”
Abu Sulayman menyatakan, “Aku ingin seandainya aku mengetahui sebagian kecil saja tentang keridlaan. Sekalipun itu akan menyebabkan aku masuk ke neraka, aku akan puas karenanya.” Abu ‘Umar ad-Dimasyqi menyatakan, “Keridlaan adalah hilangnya kesedihan terhadap perintah (Allah) yang mana pun. “ Al-Junayd berkomentar, “Keridlaan adalah meniadakan pilihan.”
Ibnu ‘Atha’ menegaskan, “Keridlaan adalah mengarahkan perhatian hati kepada ketentuan Allah (Qadha’) bagi si hamba, dan meninngalkan ketidaksenangan.”
Ruwaym berkata,”Keridlaan adalah tenangnya hati dalam menjalani ketetapan (Allah).” An-Nuri menyatakan, “Keridlaan adalah senangnya hati atas pahitnya nasib.”
Al-Jurayri mengatakan, “Barangsiapa yang ridla tampa batas, Allah akan mengangkat derajatnya di luar batas.” Abu Turab An-Naksyabi menyatakan, “Orang yang menaruh penghargaan terhadap dunia di dalam hatinya tidak akan dianugrahi keridlaan.”
Diriwayatkan oleh al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib bahwa Rasulullah saw mejelaskan: “Barangsiapa yang ridla akan Allah sebagai Tuhannya, ia akan meresakan nikmatnya iman.”
Diceritakan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab menulis surat kepada Abu Musa al-‘Asy’ary, “Segala kebaikan terletak di dalam keridlaan. Maka jika engaku mampu, jadilah oranng yang ridla; jika tidak mampu, jadilah orang yang sabar.”
Saudaraku, semoga kita mendapat hidayah-Nya untuk menjadi hamba-hamba yang bersyukur.
Allahu a’lam
Sumber : Ibtihadj Musyarof, Rahasia sifat ikhlas dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar