perjanjian dibidang ekonomi dikaitkan dengan bunga. Banyak negara yang telah dapat mencapai kemakmurannya dengan sistem bunga ini di atas kemiskinan negara lain sehingga terus – menerus terjadi kesenjangan. Pengalaman dibawah dominasi
perekonomian dengan sistem bunga selama ratusan tahun membuktikan ketidak – mampuannya untuk menjembatani kesenjangan ini. Didunia, diantara negara maju dan negara berkembang kesenjangan itu semakin lebar sedang didalam negara berkembang, kesenjangan itupun semakin dalam
Karena ketidak sadaran akan besarnya kelemahan sistem bunga, Pemerintah di negara – negara itu menjadi sibuk menambalnya dengan berbagai kebijaksanaan dan peraturan yang memaksa para pelaku ekonomi yang di untungkan sistem bunga agar menaruh peduli kepada pelaku ekonomi yang dirugikan sistem bunga itu. Tetapi para pelaku ekonomi yang diuntungkan sistem bunga dan telah menjadi konglomerat itu kebanyakan lebih merasakannya sebagai paksaan daripada kewajiban, sebaliknya
para penyandang gelar ekonomi lemah (PEGEL) korban sistem bunga lebih merasakannya sebagai belas kasihan dari pada hak.
Sebagian umat Islam di Indonesia yang mampu mensyukuri nikmat Allah itu mulai memanfaatkan peluang tersebut dengan mendukung berdirinya bank syariah,
asuransi syariah, dan reksadana syariah dalam bentuk menjadi pemegang saham,
menjadi penabung dan nasabah, menjadi pemegang polis, menjadi investor, dan
sebagainya. Lebih dari itu banyak pula yang secara kreatif mengembangkan ide untuk berdirinya lembaga – lembaga keuangan syariah bukan bank lainnya seperti : modal ventura, leasing, dan pegadaian.
Konsep lembaga gadai syariah.
Walaupun cikal bakal lembaga gadai berasal dari Italia yang kemudian berkembang
keseluruh dataran Eropa, perjanjian gadai ada dan diajarkan dalam Islam. Fikih Islam mengenal perjanjian gadai yang disebut “rahn”, yaitu perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan hutang.
Dasar hukum rahn adalah Al Qur’an, khususnya surat Al – Baqarah ayat 282 yang
mengajarkan agar perjanjian hutang – piutang itu diperkuat dengan catatan dan saksi – saksi, serta ayat 283 yang membolehkan meminta jaminan barang atas hutang. 2
Al – Qur’an, Surat Al – Baqarah, ayat 282 : “ Hai orang – orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. ... Dan persaksikanlah dengan dua orang sakasi orang – orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi – s aks i yang kamu r idhai , supaya j ika seorang lupa maka seorang l agi mengiangatkanya. ... “
Al – Qur’an, Surat Al – Baqarah, ayat 283 : “ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). ... “
Dasar hukum lainnya adalah Sunnah Rasul, khususnya yang meriwayatkan Nabi
Muhammad s.a.w. Pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan harga yang diutang dengan jaminan berupa baju besinya.3
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah r. a., berkata : “ Rasullulah SAW pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau maggadaikan kepadanya baju besi beliau “.
Dasar hukum berikutnya adalah Ijma’ ulama atas hukum mubah (boleh) perjanjian gadai. Selanjutnya yang menyangkut segi – segi teknis, seperti ketentuan ditangan murtahin, tatacara penentuan biayanya, dsb., adalah merupakan ijtihad yang dilakukan para fukaha.
Unsur – unsur rahn adalah : orang yang menyerahkan barang gadai disebut “ rahin
“, orang yang menerima barang gadai disebut “ murtahin “, dan barang yang digadaikan disebut “ marhun “. Juga merupakan unsur rahn adalah sighat akad.
Mengenai rukun dan sahya akad gadai dijelaskan oleh Pasaribu dan Lubis4 sebagai berikut :
- Adanya lafaz, yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai. Lafaz dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.
- Adanya pemberi dan penerima gadai. Pemberi dan penerima gadai haruslah orang yang berakal dan balig sehingga dapat dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari’at Islam.
- Adanya barang yang digadaikan. Barang yang digadaikan harus ada pada saat dilakukan perjanjian gadai dan barang itu adalah milik si pemberi gadai, barang gadaian itu kemudian berada dibawah pengasaan penerima gadai.
- Adanya utang/ hutang. Hutang yang terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga atau mengandung unsur riba.
Mengenai barang (marhum) apa saja yang boleh digadaikan, dijelaskan dalam Kifayatul Akhyar5bahwa semua barang yang boleh dijual – belikan menurut
syariah, boleh digadaikan sebagai tanggungan hutang.
Setelah jatuh tempo, rahin berhak menerima barang yang menjadi tanggungan hutangnya dan berkewajiban membayar kembali hutangnya dengan sejumlah uang
yang diterima pada awal perjanjian hutang. Sebaliknya murtahin berhak menerima
pembayaran hutang sejumlah uang yang diberikan pada awal perjanjian hutang,
sedang kewajibannya adalah menyerahkan barang yang menjadi tanggungan hutang
rahin secara utuh tanpa cacat.
Diatas hak dan kewajiban tersebut diatas, kewajiban murtahin adalah memelihara
barang jaminan yang dipercayakan kepadanya sebagai barang amanah, sedang haknya dalah menerima biaya pemeliharaan dari rahin. Sebaliknya rahin berkewajiban membayar biaya pemeliharaan yang dikeluarkan murtahin, sedang haknya adalah menerima barang yang menjadi tanggungan hutang dalam keadaan utuh.
Dasar hukum siapa yang menanggung biaya pemeliharaan dapat dirujuk dari pendapat yang didasarkan kepada Hadist Nabi riwayat Al – Syafi’I, Al – Ataram, dan Al – Darulquthni dari Muswiyah bin Abdullah Bin Ja’far : “Ia (pemilik barang gadai) berhak menikmati hasilnya dan wajib memikul bebannya (beban pemeliharaannya)"
Ditempat lain terdapat penjelasan bahwa apabila barang jaminan itu diizinkan
untuk diambil manfaatnya selama digadaikan, maka pihak yang memanfaatkan itu
berkewajiban membiayainya.
Hal ini sesuai dengan Hadits Rasullullah SAW : Dari Abu Hurairah , barkata, sabda Rasullulah SAW : “Punggung (binatang) apabila digadaikan, boleh dinaiki asal dibiayai. Dan susu yang deras apabila digadaikan, boleh juga diminum asal dibiayai. Dan orang yang menaiki dan meminum itulah yang wajib membiayai.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam keadaan tidak normal dimana barang yang dijadikan jaminan hilang, rusak,
sakit atau mati yang berada diluar kekuasaan murtahin tidak menghapuskan kewajiban rahin melunasi hutangnya Namun dalam praktek pihak murtahim telah mengambil langkah – langkah pencegahan dengan menutup asuransi kerugian sehingga dapat dilakukan penyelesaian yang adil.
Mengenai pemilikan barang gadaian, berdasarkan berita dari Abu Hurairah perjanjian gadai tidak merubah pemilikan walaupun orang yang berhutang dan menyerahkan barang jaminan itu tidak mampu melunasi hutangnya.
Berita dari Abu Hurairah, sabda Rasullulah SAW., : “ Barang jaminan tidak bisa tertutup dari pemiliknya yang telah menggadaikannya. Dia tetap menjadi pemiliknya dan dia tetap berhutang “
Pada waktu jatuh tempo apabila rahin tidak mampu membayar hutangnya dan
tidak mengizinkan murtahin menjual barang gadaiannya, maka hakim/pengadilan dapat memaksa pemilik barang membayar hutang atau menjual barangnya. Hasil penjualan apabila cukup dapat dipakai untuk menutup hutangnya, apabila lebih dikembalikan kepada pemilik barang tetapi apabila kurang pemilik barang tetap harus menutup kekurangannya.
Dalam hal orang yang menggadaikan meninggal dan masih menanggung hutang,
maka penerima gadai boleh menjual barang gadai tersebut dengan harga umum. Hasil penjualan apabila cukup dapat dipakai untuk menutup hutangnya, apabila lebih
dikembalikan kepada ahli waris tetapi apabila kurang ahli waris tetap harus menutup
kekurangannya atau barang gadai dikembalikan kepada ahli waris setelah melunasi
hutang almarhum pemilik barang.
Dari ketentuan-ketentuan yang tersedia dapat disimpulkan bahwa barang gadai
sesuai syariah adalah merupakan pelengkap belaka dari konsep hutang piutang antara individu atau perorangan. Konsep hutang piutang sesuai dengan syariat menurut Muhammad Akram Khan adalah merupakan salah satu konsep ekonomi Islam dimana bentuknya yang lebih tepat adalah al-qardhul hassan. Hutang piutang dalam bentuk alqardhul hassan dengan dukungan gadai (rahn), dapat dipergunakan untuk keperluan sosial maupun komersial. Peminjam mempunyai dua pilihan, yaitu : dapat memilih qardhul hassan atau menerima pemberi pinjaman atau penyandang dana (rabb al-mal) sebagai mitra usaha dalam perjanjian mudharabah .
Didalam bentuk al-qardhul hassan ini hutang yang terjadi wajib dilunasi pada waktu
jatuh tempo tanpa ada tambahan apapun yang disyaratkan (kembali pokok). Peminjam menanggung biaya yang secara nyata terjadi se[perti biata penyimpanan dll., dan dibayarkan dalam bentuk uang (bukan prosentase). Peminjam pada waktu jatuh tempo tanpa ikatan syarat apapun boleh menambahkan secara sukarela pengembalian hutangnya.
Apabila peminjam memilih qardhul hassan, rabb al-mal tentu saja akan mempertimbangkannya apabila peminjam adalah pengusaha pemula dan apabila
peminjam memilih perjanjian mudharabah maka terlebih dahulu harus disepakati porsi bagihasil masing-masing pihak dimana posisi peminjam dana adalah sebagai mudharib.
miskin karena dia mempunyai simpanan dalam bentuk harta tiak produktif (hoarding) yang dapat digadaikan. Dengan demikian fungsi dari gadai disini adalah mencairkan atau memproduktifkan (dishoarding) harta yang beku.
Dari uraian tersebut diatas, tidak tersurat sedikitpun uraian tentang lembaga gadai
syariah sebagai perusahaan, mungkin karena pada waktu peristiwa itu terjadi belum ada lembaga gadai sebagai suatu perusahaan. Hal serupa juga terjadi pada lembaga hutang piutang syariah yang pada mulanya hanya menyangkut hubungan antar pribadi kemudian berkembang menjadi hubungan antara pribadi dengan bank.
Pengembangan hubungan antar pribadi menjadi hubungan antara pribadi dengan
suatu bentuk perusahaan tentu membawa konsekuensi yang luas dan menyangkut
berbagai aspek. Namun hendaknya tetap dipahami bahwa lembaga gadai adalah
pelengkap dari lembaga hutang piutang. Hal ini juga mengandung arti bahwa hukum
gadai dalam keadaan normal tidak merubah status kepemilikan. Baru apabila terjadi
keadaan yang tidak normal, misalnya rahin pada saat jatuh tempo tidak mampu melunasi hutangnya maka bisa terjadi peristiwa penyitaan dan lelang oleh pejabat yang berwenang.
Keadaan tidak normal ini bisa merubah status kepemilikan sehingga berkembang menjadi pembayaran angsuran (baiu bithaman ajil).
Bagaimana konsepsi lembaga gadai syariah dalam suatu perusahaan tentunya tidak
berbeda dengan lembaga gadai syariah dalam hubungan antar pribadi. Alternatif yang tersedia untuk lembaga gadai syariah juga ada dua, yaitu hubungan dalam rangka perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan, dan hubungan dalam rangka perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah.
Lembaga gadai syariah perusahaan bertindak sebagai penyandang dana atau rabb almal sedang nasabahnya bisa bertindak sebagai rahin atau bisa juga bertindak sebagai mudharib, tergantung akternatif yang dipilih. Aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan pada lembaga gadai perusahaan adalah aspek legalitas, aspek permodalan, aspek sumber daya manusia, aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek pengawasan, dan lain-lain.
sumber :
Al Qur’an dan terjemahnya, Mujamma’ Khadim al Haramin asy Syarifain al Malik Fahd li thiba’at al Mush-haf-asy-Syarif, Medinah Munawwarah, 1413 H.
Agreement Establishing The Islamic Development Bank, Dar Alasfahani Printing Press, Jeddah, 12 Agustus 1994.
Prospektus Perum Pegadaian, Jakarta 16 Juni 1993.
Muhammad Akram Kahan, Ajaran Nabi Muhammad SAW tentang Ekonomi (Kumpulan Hadits-hadits Pilihan Tentang Ekonomi), PT. Bank Muamalat Indonesia, Jakarta, 1996.
Thahir Abdul Muhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis Ekonomi secara Islam, terjemahan Anshori Umar Sitangal dari Haajul Musykilah Al-Iqtisshaadiyah fil-Islam, Al-Ma’arif, Bandung, 1985.
Masjfuk Zuhdi, Drs., Masail Fiqhiyah, Kapita Selekta Hukum Islam, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1989.
H. Abdul Malik Idris, Drs., dan H. Abu Ahmadi, Drs., Kifayatul Akhyar, Terjemahan Ringkas FIQIH ISLAM LENGKAP, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.
H. Chaeruddin Pasaribu, Drs., dan Suhrawardi K. Lubis, SH., Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 12, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1988.